Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2.3 Najla Delapan Tahun Kemudian

Najla.

Setelah seruan sah yang aku dengar pagi tadi di sebuah masjid yang kami gunakan untuk menggelar akad pernikahan kami, aku tidak benar-benar sadar apa yang terjadi.

Seperti film yang berputar cepat, tiba-tiba saja aku sudah berada di salah satu ruangan hotel ini, memakai sebuah gaun yang Rendi pilih seminggu yang lalu.

Kebaya yang aku gunakan untuk akad tadi pagi tergantung manis di salah satu sisi dinding ruangan dan di hadapanku telah terpantul sesosok Najla yang baru.

Najla sebagai istri dari Rendi Bramantya.

Tiba-tiba saja aku merasakan ada gemuruh dalam dadaku, namun tidak terasa menyakitkan. Debaran ini terasa sangat menyenangkan, terlalu menyenangkan sampai-sampai aku merasa sesak.

Aku meraih benda mungil yang selalu ada di dalam tas ku, setelah menempelkan earphonenya di kedua telinga, aku menyetel mode suffle.

Yeah, ini iPod dari Bagas. Benda ini sudah menjadi semacam morfin bagiku, sayup-sayup suara anak kecil membuat ku merasa relax, perlahan namun pasti, aku tenggelam dalam rasa nyaman.

Okey, calm down Najla. You are 26th!

Sudah sangat normal bagi lo untuk memulai sebuah kehidupan yang baru, dengan orang yang sangat worth it, tentunya.

Menerima Rendi masuk ke dalam hidupku bukaah suatu hal yang mudah. Even, saat aku menerima lamarannya setan di kepalaku terus berteriak, "yakin lo Jla? Yakin status suami istri bisa bikin kalian bahagia?"

As you know, bagiku pernikahan bukanlah sesuatu yang wajib, rasanya terlalu basi kalau aku berani menggantungkan hidupku pada seorang laki-laki hanya atas nama cinta.

Geez, percayalah, cinta bukan satu-satunya hal yang dibutuhkan ketika keputusan besar seperti itu di ambil. Bukan hanya kepercayaan ku pada cinta yang mengikis sejak orang tua ku bercerai, namun juga pola pikir ku yang semakin berubah seiring berjalannya waktu.

Tapi... ternyata, ada saatnya dimana kamu melihat mata seseorang dan tau dunia mu berada disana.

Dan ya, prinsip itu lenyap begitu saja hanya demi seorang Rendi Bramantya. Ralat, bukan hanya, Rendi kini seperti segalanya bagi ku.

Karena begitupun cara dia memperlakukan ku, menatapku, tersenyum kepadaku. Seolah-olah aku adalah semestanya.

Ada perasaan bahagia yang menyeruak kerap kali tatapan kami bertemu. Tatapannya, senyumnya, bahkan suaranya telah menjadi candu bagiku.

Perlahan namun pasti, tanpa aku sadari, ia telah menjadi bagian dalam skema kebahagiaan ku.

Mungkin terdengar gila jika aku yang mengatakannya, namun berada di dekatnya memang tidak pernah memerlukan logika, segala hal yang aku lakukan mengalir begitu saja, tanpa campur tangan otak sedikitpun.

Jadi, ketika dua bulan yang lalu ia melamarku tanpa pernah berpacaran, entah bagaimana aku bisa langsung memeluknya erat-erat.

Karena sepenuhnya aku sadari, diatas mencintainya, aku membutuhkannya.  Perasaan ini tentu saja berbeda dengan cinta monyet di masa SMA dulu, atau suka-sukaan yang aku alami selama di bangku kuliah, bahkan perasaan ini jauh berbeda dengan perasaan yang aku rasakan saat bersama Bagas dulu.

Omong-omong Bagas, kami akhirnya resmi menjadi sebuah keluarga di atas nama hukum.

Dua tahun setelah perceraiannya dengan Papa, Mama menikah dengan Om Heru, Ayahnya Bagas.

Setelah perpisahan kami di mobil waktu itu--you know, malam dimana aku dengan bodoh dan labilnya ingin mengakhiri hidupku-- aku hanya bertemu dengan Bagas sekali, di akad pernikahan kedua orang tua kami, setelah itu? Wusss, dia menghilang seperti kabut.

Kemarin, aku sempat mengirimkannya email berisi undangan, dan beberapa baris kata. Bukan untuk mengenang apa yang telah lewat, hanya untuk meyakinkannya bahwa kini aku telah baik-baik saja, bahwa hadiah iPod darinya membantuku untuk melewati hidup, bahwa aku berharap ia juga bahagia, bukan sekedar baik-baik saja.

Aku tau, Bagas sekarang tinggal di New York, setelah menyelesaikan Magisternya di sana. Sesekali saat summer,  ia berkunjung ke rumah Mama dan Om Heru di Bogor, tapi Bagas masih menghindari ku.

Beberapa kali aku menyempatkan diri untuk datang ke Bogor, saat kedatangannya, namun kerap kali itu pula Bagas keluar dari rumah.

Dan pada akhirnya, aku tidak ingin memaksanya untuk bertemu. Jika aku adalah luka untuk seseorang, sepantasnya yang aku lakukan adalah membiarkannya menyembuhkan luka tersebut, dan ya mungkin bagi Bagas pertemuan hanya akan membuka luka lama.

Bagas memang memperlakukan Mama dengan baik, namun Mama bercerita, bahwa di banding aku, Bagas terlihat sulit menerima pernikahan mereka dan hal tersebut kerap kali membuat Mama merasa bersalah.

Melupakan Bagas juga bukan sesuatu yang mudah bagiku, tapi bukankah penerimaan adalah mengenai proses?

Tuhan telah menentukan takdir kami, menjalaninya adalah satu-satunya hal yang mampu kita lakukan. Dalam setiap luka, ada sesuatu yang di siapkan di depan sana.

Percayalah, tangan kita akan berdarah ketika kita menggenggam sesuatu yang bukan takdir kita dengan erat, dan saat kita melepaskannya dengan suka rela, akan ada tangan lain yang menggenggam kita, mengobati tanpa berniat melepas lagi.

Takdir Mama adalah Om Heru, dan takdir ku bukanlah Bagas.

Lagipula, menikah atau tidaknya Mama dengan Om Heru, aku tidak akan mengubah keputusanku, bagiku Bagas cukuplah disimpan sebagai kenangan.

Sebut aku egois, tapi aku cukup mencintai diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan hidupku bersama seseorang yang mungkin mencintaiku, namun terlalu angkuh untuk menekan sedikit egonya demi kebahagiaanku.

Dude, if you expects a woman to be an angel in your life. First, you have to create a heaven, angel don't live in hell.

And now I know, how heaven it feels. Rendi telah membuatkannya satu untukku.

Aku menutup mataku, berusaha menenangkan kupu-kupu dalam dadaku, perlahan, aku buka ingatan tentang bahagianya sebuah keluarga.

Tentang bagaimana sebenarnya aku ingin menggendong anak ku sendiri, memeluknya saat malam terbentang, dan mengecup kelopak matanya setiap pagi. Seperti yang kerap Thalia lakukan pada jagoan kecilnya Farel.

Betapa irinya aku ketika suatu pagi wajah Thalia tampak begitu cerah dan berseri, lalu bercerita bahwa kata yang pertama kali bisa Farel ucapkan adalah; Mama.

Aku ingin seperti Thalia, yang menunggu Fadli pulang sampai tertidur di sofa ruang keluarga. Aku ingin seperti Thalia, yang menemukan wajah seseorang di sampingnya setiap kali pagi menjemput, dan aku ingin seperti Thalia yang tidak pernah sabar menunggu hari esok untuk melihat suami dan anaknya tumbuh.

Aku ingin merasakan menjadi wanita seutuhnya.

Aku masih bermonolog dalam hati ketika suara anak kecil bernyanyi lagu bintang kecil perlahan lenyap, aku membuka mataku perlahan hanya untuk mendapati ada orang lain yang terpantul di beningnya cermin.

Pria itu berdiri dengan sebuah senyuman, rambutnya di gel rapih, dan sebuah tuksedo berwarna gelap melekat pas pada tubuhnya.

"Hallo tuan putri, apa kabar?" suara berat khas laki-laki itu mengisi gendang telingaku. Suara seseorang yang bahkan dalam mimpi pun tidak berani aku harapkan kehadirannya.

***

Aku masih belum puas memaki-maki Dhanu, mungkin kalau ada garpu di sini, Dhanu sudah menggelepar tak sadarkan diri dengan simbahan darah.

Namun sepertinya semua makian dan penyiksaan itu harus di tunda, karena Thalia tiba-tiba berdiri di ambang pintu, sama seperti ku, untuk beberapa saat ia hanya terkesima.

Namun selepas pelukannya dari Dhanu, dan kegiatan sori-bro-nya Dhanu kepada Fadli, Thalia langsung tersadar. Dia pun menunda makian yang aku jamin sejuta kali lebih sadis dari punya ku, dan ya satu lagi, ia tidak menangis sepertiku.

Begitu Fadli mengingatkannya, dengan sigap Thalia mengontrol kami. Ia menyuruh Fadli mengantar Dhanu mencari seragam, serta merapihkan belakang gaunku.

Setelah Fadli dan Dhanu keluar, barulah seraut rindu muncul ke permukaan wajahnya.

"Tha?"

"Hmm?" hanya satu gumaman, namun aku tau Thalia melakukannya demi mencegah air mata yang kelak akan turun.

"Nggak apa-apa, kalau mau nangis, nangis aja, Fadli juga pasti ngerti."

Dan benar saja, tetes itu akhirnya jatuh.

"Do you still love him?" Thalia menggeleng perlahan seraya menghapus air mata di sudut matanya.

"As always..." sejenak Thalia memberi jeda, sebelum melanjutkan. "Tapi bukan lagi perasaan perempuan ke laki-laki, Fadli have me completely, cuma aja gue nggak tau apa yang gue rasain sekarang, gue lega karena dia masih hidup, gue lega karena dia tampak jauh lebih baik, dan yah, waktu dia ngelepas pelukannya tadi, itu seperti de javu, gue takut kalau Dhanu akan pergi lagi atau yang lebih parah dia hanya imajinasi."

Aku menggeleng, lalu tersenyum.

"Dia bukan imajinasi, dia nyata, gue sudah memastikannya tadi. Jadi, setelah hari ini selesai, mari kita rajam Dhanu bersama-sama."

Thalia tertawa mendengar kalimatku, meskipun setetes air mata masih jatuh. Setelah lebih tenang, dia tersenyum, menatapku dari atas sampai bawah, seolah menilai.

"Ck, kampret, harus gue akui Rendi beruntung juga bisa ngegaet lo." Aku tertawa geli lalu tersenyum jumawa.

"Yeah, tapi gue lebih beruntung lagi bisa menjadi istrinya Rendi."

"Idih, kalo mau sesumbar tuh muka di kondisikan, mulut lancar banget bilang 'istrinya Rendi' tapi muka udah kayak ABG labil mau diajak malam mingguan pertama kali."

Aku nyengir, lalu tersenyum kikuk. "Sebenarnya, gue nggak tau kenapa, ini lebih gugup dari pada akad tadi, Tha."

"I know, gue pernah ngerasain, wajar Jla, kalau tadi di akad hanya segelintir orang yang tau kalau lo sekarang adalah wanita bersuami," Thalia mengerutkan hidungnya sejenak, "halah menjijikan gini kalimat gue, cuma ya intinya gitu, sekarang lo mau menunjukan sama semua orang yang mengenal lo, kalau lo sudah siap menjadi seseorang yang baru, mulai dari sekarang, orang-orang bakal kenal lo sebagai Najla istrinya Rendi, bukan cuma sebagai Najla si ratu ular, atau Najla tukang mainin cowok."

"Rahang lo gue tebas ya," aku memotong kalimat Thalia namun ia tampak tidak perduli.

"I tell you the truth yeah, kalau lo bikin survey sekampus kita, nama lo bakal ada di jajaran cewek tukang PHP." Aku merenggut, namun tidak memotong kalimat Thalia lagi, hingga ia melanjutkan.

"Jadi, sekarang, beradaptasilah Najla sayang, bermanis-manis lah sedikit, karena gue nggak mau sampai di depak mertua gara-gara mulut berbisa lo itu."

"Nggak lah, gini-gini gue kesayangan mertua dan kesayangan Rendi tentunya."

Thalia terkekeh, lantas mengedipkan sebelah matanya genit, "jadi, mulai sekarang kayaknya gue harus biasain manggil lo Nyonya Bramantya kayaknya."

Aku tertawa geli, mengingat masa-masa awal pernikahan Thalia dengan Fadli, dimana aku sering menggodanya dengan panggilan 'Nyonya Admiral' atau 'Ibu Fadli'.

Lagian, siapa suruh nikah umur 23.  Lah, aku umur segitu masih di kerjain Profesor pala botak, dia sudah hengkang-hengkang kaki di rumah jadi nyonya rumah. Jadi bayangin aja deh, waktu aku wisuda S2 gimana hebohnya Thalia membawa perut buncitnya, seraya mengomel sepanjang hari karena menurutnya nggak ada kebaya yang bisa bikin dia keliatan seksi dengan perut buncitnya.

Aku menarik Thalia dalam pelukan, sesaat ia terkejut sebelum membalas pelukanku.

"Thanks Tha, for everything, karena selalu ada di saat-saat tersulit, karena selalu menguatkan, karena selalu mengingatkan kesalahan gue tanpa menghakimi, terima kasih karena memahami tanpa kecuali."

Perlahan, aku rasakan tepukan pelannya di punggungku, "anytime Jla."

"Gue happy banget sekarang, apalagi si brengsek itu udah balik lagi, rasanya gue nggak bisa lebih bahagia lagi dari ini, rasanya gue bisa mati saking bahagianya."

"I know, habis ini kita bunuh bareng-bareng ya itu anak, Fadli juga udah gemes pengen ngebacok itu anak, gara-gara meluk gue sembarangan."

Mendengar kalimat Thalia tawaku pun akhirnya pecah, apalagi melihat ekspresinya setelah itu.

"Dhanu nggak tau aja Fadli tuh cemburuannya kayak apa, hhh parah." Thalia bergidik sendiri mengingat kesadisan suaminya dalam membatasi pergaulan Thalia yang notebene nya lebih punya banyak teman cowok dari pada cewek.

"Are you ready?" suara Rendi memecah fokusku, kini ia sudah berdiri di ambang pintu dengan tusedo putihnya.

Pagi tadi, aku sempat kesal melihatnya belum bercukur. Aku tau, besok tipis yang dia miliki itu membuatnya terlihat manly dan seksi abis, aku juga suka.

Tapi apa salahnya sih di hari pernikahan kami dia menghilangkan dulu ciri khas dia yang membuat para perawan pemuja Adam Levine itu histeris.

Namun melihat dia sekarang, kesal itu benar-benar tidak bersisa. Aku harus mengakui kekalahan ku atas laki-laki ini, dia tampak tampan, gagah dan penuh cinta.

Huek, Thalia akan muntah mendengar isi pikiran ku.

Tapi aku tidak perduli, itulah kenyataannya, dan yang terpenting dia adalah Rendi. Seorang laki-laki pemberani, yang mampu membuat ku merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia.

"I'm ready." Rendi yang sudah berdiri di samping ku menawarkan lengannya untuk di gandeng. Kami melangkah keluar dengan lengan yang terpaut, melangkah menuju gerbang yang dirambati lampu-lampu berwarna ungu serupa tanaman sulur, di sana sudah terbentuk pula barisan dari para anggota keluarga dan sanak saudara.

Kami berdiri di barisan paling depan, di belakang kami anggota keluarga masih belum lengkap, mata ku lantas bergerak liar mencari sosok Dhanu, takut-takut kalau ternyata ia menghilang lagi.

Tapi aku langsung menghela napas lega saat mendapati Dhanu tengah berjalan bersama Fadli menuju barisan.

"Gimana? Suka kado pernikahan dari aku?"

Mulanya, aku tidak mengerti maksud dari bisikan Rendi, namun ketika ia mengangkat sebelah alisnya, bola mataku sontak membulat.

"Kamu... yang nemuin Dhanu?!"

Rendi tidak menjawab, ia hanya tersenyum hingga lubang di kedua pipinya terbentuk.

"Rendi,  I love you!" layaknya refleks, aku langsung memeluknya erat. Ia balas memelukku, lalu berbisik.

"I wish you will deserve better, but I couldn't take the galaxy for you, so I really hope you happy enough to see Dhanu Ishal as your bridesmaids."

Dia mengecup puncak kepala ku sesaat, sebelum kembali berujar. "Aku sih nggak keberatan kamu peluk begini, tapi kalau kelamaan bisa-bisa kita nggak sempet ngerasain kursi pelaminan loh, Jla."

Seperti tersambar petir aku tersadar, sontak aku melepaskan pelukan lalu menunduk malu, panas menjalar di pipiku saat menyadari nyaris semua orang menatap kami dengan pandangan menggoda.

"Najla, tahan dulu dong, yang itu di private aja buat di Lombok."

Rendi sendiri hanya tertawa, namun matanya tidak lepas dari sosokku.

Aku salah tentang kalimatku yang mengatakan bahwa aku tidak bisa lebih bahagia lagi, atau bisa mati saking bahagianya. Nyatanya, bersama Rendi aku selalu bisa lebih bahagia lagi, bahagia lagi dan bahagia lagi, sampai aku ingin hidup selama-lamanya.

---
A/n: gatau kenapa gue suka menulis kebahagiaan Najla, mungkin karena ada Rendi kali ya? Haduh, gimana ya abis, gue suka banget sama cara berpikirnya Rendi.

Yaudahlah ya,  doain biar Najla di dunia nyata juga bahagia muehehe

Babay.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro