14. Buku Fadli
Thalia.
Ada hal-hal tertentu, yang bikin langit lebih cerah dari pada biasanya. Contohnya; Fadli yang akhirnya mengenaliku, Papa Najla yang semalam pulang ke rumah, Dhanu yang menang taruhan bola, dan guru yang tidak masuk tanpa meninggalkan tugas.
Aku mengedarkan pandanganku, lalu menemukan Dhanu yang sedang meletakan kepalanya di atas meja, lesu.
Senyumku melebar, saat melihat Dhanu yang menatapku kesal, dengan gerakan cepat aku menyambar ke kursinya.
"Heh! Pemales! Lesu amat sih, menang taruhan juga, jajanin dong!"
"Nggak mau, ntar gue ajak lo makan, lo malah ketemu Fadli."
"Ish, lo ya, sirikan banget, temen seneng lo ikut seneng apa!" Aku menyentil keningnya, membuat Dhanu meringis kesal.
"Lo senangnya diatas penderitaan gue, tau!"
"Ish, Dhanu! Nggak boleh gitu, masa temen seneng malah sedih, ikut senyum dong!" aku mencubi kedua pipi Dhanu, membuat bibirnya tertarik melengkung.
"Tha, lo ngapain sih? Serem Dhanu digituin." Najla terkekeh di sampingku, melihat senyum Dhanu yang lebih mirip seringai.
"Iya, ya? Kok lu jadi serem sih nye... aw!" aku tidak sempat menyelesaikan suku kata terakhirku, karena Dhanu sudah keburu membalas cubit pipiku.
"Ih, Thalia lucu banget, kalo mukanya lebar begini." Dhanu berujar sok lucu, membuat tawa Najla semakin geli. Dengan sekuat tenaga, aku mengenyahkan tangan Dhanu dari kedua pipiku.
"Dhanu setan! Sakit gilak!" Aku mengusap-ngusap pipiku, lalu mengambil kaca dari dalam tas.
"Tuh kan! Muka gua merah, gue bilangin nyokap lo, ntar!"
"Dasar tukang ngadu!" Dhanu mencibir kesal, paling nggak suka sama ancaman ku yang itu.
Ha! Jangan salahin aku kalo jadi tukang ngadu, mamanya Dhanu itu baik banget, lebih sayang sama aku dan Najla, dari pada sama Dhanunya. Jadi, kalau Dhanu nyeleneh dikit, aduin aja ke nyokapnya, ntar kan dia yang diomelin haha
Apalagi hari ini aku sama Najla udah janjian mau ke rumahnya, lucky me.
"Ntar siang tambah sial deh lo, Nu." Najla menepuk-nepuk pundak Dhanu, belagak khawatir.
"Ah, mending lo berdua nggak jadi ke rumah deh!" Dhanu berteriak kesal, tapi aku dan Najla tentu membalasnya dengan gelengan kepala, siapa Dhanu memangnya, mau melarang kami ke rumahnya? Haha
"Udah ah, gue mau ke BK!" Najla bangkit dari kursinya, membuatku langsung menegakan badan.
"Najla ikut!" Najla menatapku datar, membuat ku terkekeh.
Najla ini paling tau, kalau aku ikut dia ke BK, itu artinya cuma sampai depan kelas XII IPA 4. Kelasnya Fadli.
Ruang BK memang terletak di gedung yang berbeda dengan ruang kelas, tapi kelas Fadli tepat berada di seberang ruangan tersebut, dan itu juga akses jalan terdekat dari kelasku.
"Bilang aja lu mau modus!" Aku melebarkan cengiran, membuat Najla melengos.
Aku melongokan kepala ketika sampai di depan kelas Fadli, sementara Najla sudah meninggalkan ku menuju Ruang BK.
Sama seperti kelasku, kelas Fadli juga lagi nggak ada guru. Beberapa teman kelasnya lagi mondar-mandir sekitar ruangan, segerombolan cowok ada di pojok ruangan, dan kalau bisa ku tebak, cewek-cewek yang berkumpul di tengah kelas itu pasti lagi sibuk gosip, dasar cewek!
Aku nggak perlu memperhatikan satu-satu cowok di sana, karena seperti biasa Fadli cuma bisa ditemukan di satu meja. Di baris paling pojok, tiga meja dari belakang. Tuh, lihat kan, di saat semua teman cowoknya sibuk bergerombol, yang kalau nggak lagi ngomongin games, pasti ngomongin yang jorok-jorok, Fadli cuma duduk anteng di sana, sambil dengerin musik dengan headphone birunya!
Ya Tuhan, cool banget sih dia!
Aku masih memperhatikan Fadli ketika setumpuk buku menghantam pungguku.
"Brak!"
"Aw!"
Teriakan ku dan si penabrak terdengar bersamaan dengan bertebarannya buku di sekitar kami.
"Eh, sorry." Aku mengangkat kepalaku dan menemukan seorang cowok menatap ku dengan sorot hmm--bersalah?
"Eh, nggak papa." Aku mengibaskan tanganku, sebelum membantunya memungut buku-buku di sana.
"Thalia, dua belas ipa satu, ngapain lo di sini? Kok kayaknya gue sering ngeliat lo mondar-mandir depan kelas gue, ya?" Deg! Mati aku! Baru sadar aku, siapa dia. Ilham, salah satu Fadli mates, selain Egi. Mampuslah lo Thalia, kalau sampai si Ilham sadar, memperhatikan siapa lo selama ini.
Masa jadi secret admirer gagal, sih? Ogah!
"Enggak, salah lihat kali lo, gue kebetulan lewat aja kok, lagi nggak ada guru, mau ke kantin." Mendengar pengakuan ku, Ilham mengernyitkan dahinya.
"Kantin kan lewat sana, lo ngapain malah lewat sini?" Sial, ini aku yang bego atau Ilham yang terlalu teliti, sih?
Aku baru mau mengelak, ketika Ilham dengan polosnya menambahkan beberapa buku, di atas tumpukan buku yang ku pegang.
"Sekalian bantuin gue ya?" Aku melongo, sementara ia berdiri--eh?
"Maksudnya?"
"Bantuin gue, bawain terus bagiin," kata Ilham tanpa dosa. Aku masih tidak mengerti maksudnya, sampai cowok itu berdiri di dekat pintu kelas.
"Ayo dong, Tha!" Ilham menatapku gemas, akhirnya mau tak mau, aku berdiri.
"Nanti, lo bagiinnya punya cewek-cewek aja ya, yang penyamun udah ama gue kok." Ilham memberikan instruksi, membuatku tersadar. Tunggu deh, bagian mana dari kalimatku, yang mengatakan bahwa aku setuju membantu dia?
Aku tidak sempat protes lagi, karena Ilham sudah melangkah masuk ke dalam kelas. Tepat ketika langkah pertama kami masuk, kelas yang tadinya berisik mendadak sunyi, sampai sedetik kemudian seseorang dalam kelas itu memecah kesunyian, membuat kelas lebih ramai dari pada sebelumnya.
"Sialan lo Am, gue kira guru, anjrit!" Budi mengumpat, membuat yang lain mengaminkan.
"Tau lu, udah panik aja gua." Eki mengeluarkan joy stick dari dalam laci.
"Makanya ya, nyet! Kalo di kasih tugas tuh kerjain, bukannya main fifa, gue bilangin pak Rahmat aja lu!" Ilham meletakan tumpukan bukunya, lalu beralih ke arahku, membuat teman-temannya sadar, akan kehadiranku.
"Wets, Am! Balik-balik bawa ewec* nih, bolehlah oper!" Gendar, salah satu cowok yang dulu pernah mendekati ku, nyeletuk duluan.
Dan celetukan sialan itu, mengundang celetukan yang lain.
"Wah, Thalia, ngapain di sini? Mau ketemu gue ya?"
"Thalia, Najlanya mana, kok nggak ikut?"
"Thalia, kok lo sama Ilham? Ama gue aja, sini!"
Aku memutar bola mata malas, sudah pernah ku bilang kan, aku benci cowok recehan?
"Udah diemin aja, sana lo bagiin." Aku melotot mendengar kalimat Ilham, tapi lagi-lagi aku tidak bisa protes karena cowok itu sudah mulai berkeliling. Ternyata dugaan aku bahwa tadi dia feeling guilty itu salah besar, buktinya dengan semena-mena dia memerintahkan aku sekarang.
Akhirnya, aku memutuskan segera membagikan buku ini, agar secepatnya pergi dari kelas ini.
"Lo ngapain Tha, sama si Ilham?" tanya Diana, ketika aku meletakan buku di mejanya. Tatapan sinis dari cewek-cewek yang sedang berkumpul di meja Diana membuatku jengah.
"Pemaksaan," jawabku ketus, seorang diantara mereka menatapku ganas, membuat ku mengerti dimana posisi ku sekarang. Aku sedang menjadi ancaman, untuk cewek bersoftlens biru itu.
"Siapa yang maksa? Ilham?" tanya Diana lagi, sedangkan aku masih mencari nama cewek-cewek yang berada di sana, diantara tumpukan buku itu.
"Yaiyalah, masa gue, lagian bingung juga gue bisa ketemu pas dia lagi nyari kacung begini, jodoh kali ya gue sama dia." Cewek mata-mataan biru itu, menatapku makin ganas, sedangkan aku tersenyum miring. Siapa suruh sinisin aku?
"Di, yang namanya Stella, Ambar, Sinta, Laras, sama Fia, mana?" Cewek-cewek di sana menatapku tidak percaya, termasuk Diana.
"Ini Stella, ini Laras, ini Fia, Tha. Masa lo nggak tau?" kata Diana sambil menunjuk-nunjuk tiga temannya. Oh si biru itu namanya Stella?
"Kalo Ambar, Sinta, duduknya di mana?" tanyaku sambil membagikan buku pada tiga teman Diana.
Diana menujuk sebuah meja, di baris seberang tempat duduknya. Aku mengangguk, lalu meninggaljan geromborolan cewek itu, membagikan buku lainnya, sampai hanya dua buku yang tersisa.
Aku melihat dua buku itu, lalu membaca namanya, yang satu milik Ilham Fakhri, yang satu punya...
Deg!
Ahmad Fadli Admiral.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, membaca nama itu sekali lagi, namun tulisan rapih yang tertera di sampul biru itu tetap sama, nama Fadli, Fadli si cool, Fadli si penyuka biru dongker, Fadli yang aku suka!
Aku hampir saja menjambaki rambutku frustrasi, ketika aku menemukan Fadli yang sudah menatapku duluan, lebih tepatnya menatap buku yang masih aku pegang. Dia sudah mengenali bukunya, padahal aku berniat menitipkannya pada siapapun di sana, aku kan nggak siap kalau-kalau harus berinteraksi dengan cara seperti ini, kemarin sih enak ada Dhanu, lah ini aku sendirian!
Harus berani, Tha, ini cuma buku!
Aku melangkah mendekat ke meja Fadli, sedangkan cowok itu sudah melepaskan headphonenya, lalu menggantungnya di leher, sebelah kaki yang tadinya ia letakan di atas paha, juga sudah ia turunkan, sedangkan kedua tangannya, sudah ia keluarkan dari saku celana. Demi Tuhan, posisi dia tadi, udah cool banget, tapi dengan dia mengganti posisinya demi sopan santun, itu justru membuat kadar ketampanannya bertambah. Duh bisa aku bawa pulang nggak sih yang kayak gini?
Aku meletakan buku Fadli di mejanya, tidak berani menberinya langsung di tangan.
"Gue kira lo nggak tau, gue Fadli." Fadli tersenyum sopan, membuat aku meleleh di tempat. Kurang ajar juga kamu Fadli, bisa-bisanya mikir aku nggak kenal kamu, padahal kamu salah satu alasan aku jadi kacungnya Ilham di sini.
Aku mau langsung berbalik, tapi Fadli mengadahkan tangannya, dan aku hanya bisa menatap tangan itu bengong.
Dia ngapain? Mau ajak aku salaman?
"Itu bukunya Ilham 'kan? Ilham duduk di sini, Thalia." Crap! Segala menyebutkan namaku lagi ini orang, nggak sadar apa ya, aku udah nyaris pingsan begini?!
"Thalia?" Fadli menyebut namaku lagi, membuat ku tersadar, dengan gerakan cepat aku memberikan buku di tanganku.
"Makasih, Tha--" aku tidak sempat mendengar kalimat terakhir Fadli, dan dia juga tidak sempat mengatakannya, karena aku keburu berbalik dan meninggalkan dia.
Kedengaran tolol, tapi bisa mimisan aku disebut namanya sekali lagi sama Fadli, apalagi senyumannya dan segala perlakuan sopannya itu.
Tepat sampai di depan pintu kelas, aku menoleh sekilas, dan untuk sepersekian detik, dapat aku pastikan Fadli menoleh ke arahku. Terdengar cheesy, tapi...
I think he's look at my eyes. Mata kami ketemu sebelum akhirnya dia tersenyum singkat dan kembali sibuk dengan handphonenya.
Saat itulah, sesuatu yang hangat menjalar di dadaku, dan gemuruh itu hadir kembali, jauh lebih kencang dari pada semua gemuruh yang pernah aku rasakan.
Oh Fadli, apa yang sedang kamu lakukan ke aku? Now, i love you, loving someone more than i ever did.
-----
*ewec= bahasa balik, di baca cewe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro