Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Tiga Orang, Satu Kota, Tiga Rumah

Najla.

Aku rasa akan sangat wajar, kalau sekarang Dhanu lagi nyari tukang batu nisan. Selain bodoh, ternyata dia juga sial.

Disaat mereka berduaan, Fadli muncul dan boom, pada akhirnya Thalia dapat notice dari Fadli. Coba sebutin, apa namanya kalau bukan sial?

Percuma banget kan, aku rela-relain nggak ikut nonton.

Segera setelah meninggalkan mall tadi, Thalia dan Dhanu langsung datang ke rumahku. Bisa kalian bayangin deh, gimana berbanding terbaliknya raut muka mereka.

Dan seperti biasa, Dhanu balik lagi ke rumahku, setelah mengantar Thalia, demi menceritakan segala hal yang bisa dia ceritain di depan Thalia.

"Seriusan? Memang lo nyatain ke Thalianya gimana?" Aku nyaris berteriak saking excitednya, mendengar Dhanu akhirnya berani buka mulut soal perasaannya. Yah, walaupun Thalianya nggak ngeh sih, tapi bisa di bilang kemajuan, 'kan?

"Ya, gue bilang, kalo dia lebih cantik dari pada itu aktor Korea, makanya gue jadi lebih cinta sama dia." Mendengar pengakuannya, aku menyempatkan diri menghela napas panjang sebelum mulai menghina. Menghina Dhanu nggak butuh banyak tenaga, tapi menasihati dia perlu kesabaran extra, jadi semoga saja hinaan aku ini bisa dia anggap sebagai nasihat.

"Nu..."

"Iya?"

"Satu kata, bego, lo tuh bego, lo tuh tolol, lo tuh dong--"

"Jla, itu udah lebih dari satu kat---"

"Whatever! Lo tuh goblok Dhanu Ishal, astagfirullah!" Dhanu menatapku horror, membuatku lebih berhasrat untuk mengeluarkan otak dari kepalanya. Itu juga kalo dia punya.

"Jla, lo ngehina sambil nyebut, ntar dos--"

"Jangan ngalihin pembicaraan! Mati aja lu sana! Mana ada cowok yang nyatain perasaannya kayak gitu, terus dianggap serius?! Alien aja nggak akan paham, Ishal!" Habislah Dhanu ini aku hina-hina.

Gimana dong, gemas banget aku sama ini anak satu. Dhanu Ishal. Siapa sih yang nggak tau trackrecordnya? Apalagi zaman dia SMP, SMP loh ya! SMP aja udah rusak ini anak.

Player cap kakap.

Aku yakin dia aja pasti udah lupa, berapa banyak mantan dia waktu zamannya aku masih cinta Justin Bibier itu. Seingatku, dari junior, seangkatan, sampai senior pun ada. Kalau kata teman SMPnya Dhanu, ini anak bahkan bisa pacaran dengan dua cewek dalam satu kelas. Kasihan banget sih aku sama cewek-cewek itu, kok bodoh sampai segitunya ya?

Tapi lihat sendiri kan? Ternyata jam terbang dia, sama sekali nggak berguna. Please babe, kasih tau aku, cewek bodoh mana yang peka ditembak dengan cara tadi?

Taruhan uang jajan ku seminggu, mainan-mainannya Dhanu ini--agak jahat sebenarnya menyebut mereka mainan-- yang udah sebegitu cintanya pun nggak akan sadar kalau apa yang Dhanu omongin itu serius.

Apa yang Dhanu omongin ke Thalia itu, nggak terdengar lebih berkelas, dari pada gombal murahan yang di tebar player alay nggak di Facebook.

That sounds like a joke. Kayak humor receh anak SD keburu gede yang kalo pacaran panggilannya papah-mamah.

Dan di atas segalanya, dia melempar line itu ke Thalia. Aku ulangi ya, Thalia, Thalia Maharani. Cewek yang sudah hapal di luar kepala mana aja line yang bikin muntah dan mana yang bikin melting.

Nggak bisa apa ya, sahabat ku yang satu ini sedikit worth it di hadapan Thalia? Memangnya kemana sih pesona dia, yang suka dia tebar di depan cewek lain? Kenapa langsung lenyap nggak bersisa di depan Thalia? Ugh.

"Terus gue harus apa?" Dhanu mulai terlihat frustrasi dan sebagai teman yang baik aku hanya bisa menikmati pemandangan ini lebih lama lagi.

"Gue pengen bilang, mending lo mati, tapi kasihan nyokap lo entar. Syukurin aja lah, Nu. Syukur-syukur Thalia nggak sadar, jadi dia masih mau jadi temen lo. Coba kalo dia sadar, udah ditendang jauh-jauh mungkin lo."

"Gara-gara ginian gue jadi nggak ada gentle-gentlenya." Dhanu mengantukan keningnya ke balkon.

"Emang, nah itu sadar." Mendengar kalimat ku, Dhanu mengangkat kepalanya lalu menatap ku datar.

"Terima kasih sekali, sahabat ku tersayang, lo itu memang paling jago memotivasi teman."

"Kembali kasih, Dhanu, makanya lain kali otaknya di pake ya, biar nggak perlu gue motivasi lagi." Dhanu berdecak kesal, menyadari bahwa perang sakars ini nggak akan selesai, dan dia juga nggak mungkin memenangkannya.

Tidak lama, suara mobil terdengar dari bawah sana, Dhanu melongokan kepalanya, tapi tentu saja itu tidak akan membantu, sepanjang-sepanjangnya leher Dhanu, balkon kamarku dan garasi berada di sisi yang berbeda, mana bisa kelihatan!

"Ngapain sih pala lo maju-maju gitu? Kepo amat." Aku berdecak sambil menarik bagian belakang kausnya.

"Siapa, Jla? Nggak mau lihat?" Aku menggelengkan kepala, sebelum menjawabnya secara lisan.

"Males, paling bokap, atau nyokap, pulang ngambil berkas, terus jalan lagi deh." Aku mengedarkan kepalaku ke sisi lainnya, berharap Dhanu tidak menyadari raut wajahku saat ini.

"Jla?" Dhanu memanggilku lembut, sial, berarti dia sudah menyadarinya. Menyadari bagaimana suasana hatiku saat ini. Kadang aku benci, betapa sahabatku ini terlalu mengenal ku.

Aku menghela napas kasar, lalu menghempaskan pungungku ke sandaran kursi.

"Gue sendiri hampir lupa, Nu, kalau gue punya orang tua." Dhanu mengusap-ngusap bahuku.

"You really miss them, i know."

"Yes, i am. But, they don't." Dhanu tidak mengucapkan apapun lagi setelahnya, membiarkanku tenggelam dalam pikiranku.

Aku tidak bohong pada Dhanu ketika aku mengatakan, bahwa aku hampir lupa, kalau aku masih punya orang tua lengkap. Karena di rumah ini, aku hanya terbiasa dengan kehadiran pembantu, supir, satpam, dan tukang kebun yang datang seminggu sekali.

Papa ku adalah seorang pimpinan di perusahaan yang bergerak di bidang programming, kantornya ada di daerah yang sama dengan apartemen tempat tinggalnya sekarang, cukup satu jam perjalanan dari rumah ku. Sedangkan mama ku adalah seorang dokter gigi yang sudah memiliki kliniknya sendiri, di sebuah ruko yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari rumah kami.

Keluarga kecil kami bukan keluarga yang sangat kaya raya, ayah dan ibuku juga bukan jenis orang yang workaholic. Jadi, alasan mereka meninggalkanku tentu bukan karena pekerjaan, ada kenyataan lain yang jauh lebih dalam dari sekedar 'terlalu sibuk untuk pulang ke rumah'.

Aku bahkan iri pada mereka yang orang tuanya, jarang pulang karena sibuk mencari nafkah.

Jika Thalia merindukan mamanya karena her mom loves her dad so much, maka aku adalah kebalikannya.

Sejak umur ku delapan tahun, aku sudah dapat menyadari, bahwa apa yang terjadi di keluargaku bukanlah sesuatu yang wajar. Mama dan papa ku tidur di kamar yang terpisah, dan seiring berjalannya waktu kenyataan lebih pahit yang akubl sadari adalah; mama dan papa tidak pernah saling mencintai.

Pernikahan mereka adalah rencana yang diatur oleh kakek-nenek ku. Setidaknya, itu yang aku ketahui, tentang alasan kenapa mereka tidak belajar saling mencintai, aku tidak pernah mengetahuinya.

Saat aku kelas lima SD, mereka hampir tidak pernah pulang ke rumah, mungkin hanya sebulan sekali aku bertemu dengan mereka, dan sejak itulah aku tinggal sendirian di rumah sebesar ini.

Aku merasakan tenggorokan kembali tercekat, setiap kali menyadari betapa miris keadaan keluarga kami.

Kami hanya bertiga, tinggal di kota yang sama, tapi tiga orang itu juga tinggal di rumah yang terpisah.

Dulu, sebelum Dhanu dan Thalia masuk di hidupku, aku punya banyak teman, tapi tidak seorang pun yang pernah datang ke rumahku.

Karena terlalu menyakitkan, mendengar pertanyaan 'Bokap, nyokap kemana, Jla?'

Mungkin itu juga alasan kenapa aku baru punya sahabat sejak aku SMA.

Mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi bahkan setelah melewati ini bertahun-tahun, aku masih berharap, suatu hari nanti ada panah cupid nyasar untuk kedua orang tua ku.

"Jla, are you okay?" Aku mengangkat kepalaku, lalu tersenyum ke arah Dhanu.

"Nggak ada anak yang baik-baik aja ditinggal sama orang tuanya, Nu. Tapi kalo lo nanya apa gue bisa ngatasin ini, ya gue bisa, gue terbiasa untuk itu." Aku akhirnya memutuskan untuk jujur, toh nggak akan ada gunanya berbohong di depan Dhanu ataupun Thalia.

"Temuin dia, seenggaknya itu bisa ngobatin rasa kangen lo, 'kan?" Aku mengangguk lalu tersenyum, meyakinkan Dhanu bahwa dia tidak perlu khawatir.

"Gue balik sekarang ya? Nggak apa-apa kan?"

"Yuk, gue antar ke bawah, Nu!" Aku bangkit dari kursi ku, lalu berjalan di samping Dhanu.

Tepat sebelum kami menuruni tangga, Dhanu merangkul ku dan mengajukan ide gila tepat di telingaku.

"Nanti kalo bokap atau nyokap lo nanya gue siapa, bilang aja gue pacar lo ya?" Aku langsung bergidik mendengar kalimatnya.

"Najis sih, Nu."

"Najla kok jahat, sih? Nunu nggak suka." Tawa ku meledak melihat ekspresi terluka yang Dhanu pasang di tampangnya.

"Nunu, jangan menjijikan gitu dong, gue jijik."

"Mana ada yang menjijikan gitu seganteng gue, Jla."

"Mana ada yang 'seganteng itu', secupu elo Dhanu?"

"Sialan kamu ya, Najla." Dhanu bersungut-sungut kesal, sedangkan aku hanya tertawa geli melihat tingkah sok cutenya.

Terima kasih Dhanu, si sahabat paling bodoh. Walaupun sering bikin emosi, tapi selalu ada cara untuk membuat aku feel better.

Setelah memastikan Dhanu sudah benar-benar pergi dari lingkungan rumahku, aku kembali masuk ke dalam rumah.

Tadinya, aku mau langsung naik ke atas, tapi tanpa aku sadari aku malah melangkah menuju kamar orang tua ku. Lampu kamar papa menyala, artinya papa yang pulang malam ini. Untuk beberapa waktu, aku hanya berdiri di depan pintu, menimang-nimang, untuk masuk atau tidak. Pada akhirnya, ku ketuk juga papan kayu di hadapanku, hanya perlu menunggu beberapa detik sampai papa menyuruhku masuk.

"Teman kamu udah pulang, Jla?" tanya papa sambil meletakan bukunya pada rak.

"Udah, pa, baru aja." Papa menghampiri ku, lalu memeluk ku sekilas.

Entah seberapa jauh jarak kami, entah bagaimana pun hubungan kami, pelukan ini selalu berhasil membuatku merasa lemah.

Aku dan papa duduk di sofa yang menempel pada salah satu sisi tembok, ku perhatikan wajah letih pria di hadapanku, sudah berapa lama sebenarnya kami tidak bertemu?

Aku bahkan tidak ingat ada keriput di ujung mata papa, pada pertemuan terakhir kami.

Sadar diperhatikan, papa membelai kepala ku lembut, jika aku tidak salah ingat, terakhir kali aku merasakan ini adalah waktu aku lulus SMP tiga tahun yang lalu.

"Siapa Jla yang main?" tanya beliau sambil melepaskan tangannya dari puncak kepala ku.

"Dhanu, Pa."

"Dhanu? Pacar kamu?" sepercik perasaan senang terbit dalam hati ku, begini ya rasanya dikepoin orang tua?

"Bukan Pa, sahabat aku." Aku tersenyum lebar, rasanya menyenangkan bisa berbagi sedikit tentang orang terdekat ku kepada papa.

"Oh, papa kirain pacar. Najla kalo udah punya pacar wajib kenalin ke papa ya?" Crap, Aku terharu sekarang! Bukan, bukannya aku membenci perhatian papa semacam ini, atau apa. Masalahnya aku adalah Najla, Najla yang sudah terbiasa hidup sendirian, Najla yang sudah terbiasa tidak berharap pada apapun. Tapi harapan nggak pernah minta izin untuk bersarang, 'kan?

"Papa pulang yuk? Tinggal sama Najla." Sudah aku bilang kan, aku membenci situasi ini, situasi dimana aku bergantung pada sebuah harapan.

"Najla nggak mau tinggal sendirian lagi pa, aku... butuh papa dan mama." Raut wajah papa berubah layu seketika. Aku tau, aku terdengar seperti sedang merengek sekarang. Aku terdengar begitu lemah dan payah tapi entah kenapa hanya ini yang dapat aku katakan.

"Kamu naik dulu sayang, istirahat ya." Papa mengecup puncak kepalaku, sedangkan aku pias di tempat.

Aku bangkit dari sofa, keluar dari kamar papa, dan ketika aku sampai di kamar, air mata itu pun luruh, aku mengusapnya kasar lalu menghela napas berat.

Dan inilah bagian yang paling aku benci dari berharap; kecewa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro