12. Film dan Fadli
Dhanu.
Entah gue harus bersyukur atau justru pura pura mati aja, saat ini kami lagi makan berdua, gue dan Thalia.
Kenapa gue dan Thalia? Karena pada detik-detik terakhir, dengan cerdasnya Najla mengundurkan diri dari rencana nonton ini, dengan alasan di cari orang rumah. Orang rumah kambing laut, memang gue segitu bodohnya sampe lupa bahwa orang tuanya aja bahkan nggak perduli berada dimana si Najla tiap malamnya.
Thanks Najla, karena sahabat paling baik di dunia macam lo, saat ini kami-gue dan Thalia- terjebak di awkward moment sialan ini, awkward yang tercipta berkat film korea pilihan Thalia.
Gue tekankan ya! Ini pilihan Thalia! Soal janji dia untuk membiarkan gue memilih film? Yaelah, mungkin gue harus nunggu Mars bisa dihuni manusia kali, dan karena gue terlalu cinta sama dia, gue akhirnya rela di seret-seret nonton film romance-comedy yang menurut gue, enggak gue banget.
Tapi jeng jeng, ternyata film yang enggak gue banget itu, berkisah tentang cerita persahabatan cewek dan cowok yang gue banget. Shit man! Friendzone!
Awal cerita, gue sama Thalia masih santai, di sela-sela film malah Thalia sempat nyeletuk "Ih, Nu! Kayak kita banget ya!"
Komentar itu dia lontarkan, waktu si cowok lagi bawain barang ceweknya yang bejibun, sedangkan si cewek dengan cantik dan imutnya, berjalan-jalan, melompat-lompat, tertawa-tawa bahagia tanpa dosa. Iya, tau kan adegan apa itu? Adegan cowoknya jadi babu.
Setelah beberapa scene berlalu, setelah semakin mirip kami dengan mereka, dan setelah kami menonton ending film itu, maka kikuk lah gue di depan dia.
Sebenarnya, mungkin hanya gue yang canggung di sini, karena walaupun hanya ngomong seperlunya gesture Thalia masih sesantai biasanya.
Keep calm Nu! Jangan jadi pengecut di depan Thalia, gue meneriakan hal itu di dalam hati, tapi di detik kemudian Thalia mengangkat kepalanya, lalu tersenyum singkat.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah kebiasaan paling cheesy orang yang sedang jatuh cinta; deg-degan.
Anjrit, kenapa gue jadi menjijikan banget gini, sih?
Mulai nggak tahan sama awakward ini, akhirnya gue memberanikan diri memulai percakapan.
"Gue bingung apa yang lo agung-agungkan dari aktor tadi, sih? Lee Seung Gi lo itu, sama gue juga masih gantengan gue." Heran juga gue bisa hapal nama tuh aktor.
Tiba-tiba Thalia memukul jidat gue dengan sendoknya, membuat gue meringis.
"Heh, jangan sembarangan deh lo ya, Nu. Dia tuh cute tau, emang lo nggak lihat tadi? Mana ada anjir cowok yang segitu cintanya sama cewek, sampe mau kejebak friendzone bertahun-tahun?" gue hampir tersedak mendengar kalimat terakhir Thalia.
Ada Tha, ada. Dan cowok cute nan bodoh itu ada di hadapan lo sekarang. Gue meneguk ludah, sebelum kembali mendebat Thalia.
"Ya dia itu kan arahan sutradara, Tha. Lagian nggak ngerti deh gue, kenapa sih cewek suka sama cowok cute, nggak mikir apa kalian ya, kadang mereka lebih cantik dari pada kalian?"
Gue serius deh nggak ngerti jalan pikiran para cewek itu, suka sama cowok cute. Cute anjir cute! Itu sama sekali bukan kata yang pas untuk mendeskripsikan rupa laki-laki, 'kan? Secinta-cintanya gue sama Thalia, ogah deh gue dibilang cute.
"Enak amat ya itu mulut ngomong sembarangan? Minta ditabok amat sih Nu, jadi cowok! Maksudnya gue nggak cantik gitu ya?"
Bhak! Sialan, bener-bener keselek kan gue. Kurang ajar juga si Thalia ini, kalo dia nggak cantik, ngapain gue lepehin itu cewek-cewek cakep? Ngapain juga gue ngesot-ngesot ngejar dia?
Heh, gue player karena gue punya standard, tapi lo liat sendiri deh, sejak ketemu perempuan satu ini. Jangan kan jadi player, babu perasaan iya.
"Iya deh, gue akuin, cowok tadi nggak cantik kayak cewek, masih cantikan juga lo, buktinya gue masih lebih cinta sama lo, dari pada dia." Gue menatap makanan gue, terlalu cupu untuk berani digampar Thalia.
Tapi ternyata Thalia cuma tertawa renyah, lalu menoyor kepala gue.
"Makanya Nu, punya mulut tuh di rem, lo sama dia itu, seujung upilnya aja nggak ada." Ah, mau mati gue. Sama laki-laki yang dia kagumin aja gue nggak ada seujung upilnya, gimana sama yang lo cintai mati-matian, Tha?
Tapi kayaknya Thalia nggak sadar, kalau kalimat gue barusan adalah pernyataan dari perasaan gue. Sial, ngomong gitu aja, gue udah jantungan, gimana kalo nyatain secara gamblang.
Terserah lo mau ngatain gue banci atau pengecut, sini deh ya lo gantiin posisi gue, biar tau apa rasanya friendzone sialan ini.
"Dhanu?" Gue dan Thalia refleks melongok ke sumber suara, dan seketika itu juga, Thalia membeku. Bukan kayak stupa atau patung, karena stupa dan patung nggak ada yang secantik dia.
Ya, kalo Thalia udah begini, lo tebak sendiri deh itu siapa.
"Loh, Dli? Ngapain lo?" gue menyapanya ramah, seenggaknya gue berusaha senyum ya, dari pada gue tusuk nih anak pake garpu.
"Oh, ini abis ke SS, beli sepatu futsal." Fadli mengangkat kantung plastik berwarna oranye, bertuliskan Sport Stasion. Sedangkan gue hanya mengangguk sekilas.
Thalia yang mulai sadar dari shock-modenya menendang-nendang kaki gue di bawah meja, memberi kode untuk mengajak Fadli ikut makan bareng.
Gue menatap Thalia dengan tatapan melotot, berharap tatapan itu bisa jadi mulut yang bilang ke Thalia kayak gini; "Nggak deh ya, Tha, cukup sekali aja gue gali lobang kuburan sendiri, kalo sekali lagi gue menyodorkan lo ke Fadli, sekalian aja lo masukin gue ke peti mati dan kirim gue ke Antartika sana, biar cuma pinguin yang bisa yasinin gue."
"Eh, hallo, lo temen sekelasnya Dhanu, 'kan?" Jackpot, yeah! Pinter Dhanu, karena lo pelotot-pelototan sama Thalia, akhirnya Fadli sadar ada Thalia juga di meja ini.
Thalia nggak jawab, mungkin terlalu shock karena mukanya di kenalin sama Fadli. Apa specialnya gitu loh? Emang siapa sih anak sekolah gue yang nggak ngenalin muka nih anak?
"Eh, sorry gue ganggu date kalian ya?" Iya Dli, lo gangu, merusak malah. "Kalo gitu gue duluan ya, Nu? Duluan ya... ehm?"
"Thalia." Thalia meneruskan kalimat Fadli, dengan suara yang gemetar. Dan gue? Rasanya gue mau ditelen bumi sekarang juga.
"Oh iya Thalia, duluan ya. Yuk, bro!" Fadli menepuk bahu gue, dan gue cuma balas tepukan itu dengan senyuman singkat.
Dli, dli, bersyukur deh lo ya, ada si Thalia, kalo enggak, udah gue tusuk-tusuk badan lo. Fadli udah hilang ditelan kerumunan dan Thalia lagi mengatur napasnya, kelihatan shock berat. Yang barusan dia lihat memangnya apa sih? Cuma Fadli kan?
"Nu..."
"Hmmm?" gue berusaha kalem, padahal jantung gue udah kebat kebit. Dengan Fadli ngenalin nama Thalia, artinya bubar jalan buat gue.
"Tadi... Fadli... nyebut nama gue kan? Thalia?"
"Hmmm."
"Dhanuuu!!! Fadli tau gue, Nu! Fadli sekarang tau nama gue! Gila, Dhanu! Fadli tau nama gue Nu! Fadli hmpfff..." Thalia langsung lompat-lompat histeris, sedangkan gue harus ngebekep mulutnya karena beberapa pengunjung mulai ngeliatin kami.
Gue tersenyum meminta maaf sama beberapa pengunjung, tanpa ngelepasin tangan dari mulut Thalia. Terima kasih, karena walaupun gue fakir asmara tapi gue ganteng, jadi beberapa pengunjung yang rata-rata cewek, cuma membalas senyuman gue, paling yang bete peliharaan di sebelahnya. Siapa suruh nggak seganteng gue?
"Tha, diem Tha, malu." Thalia akhirnya cuma menyalurkan euforianya lewat gerakan tangan. Cuma dikenalin mukanya aja bisa ampe gini ya?
Kalau aja, Thalia histerisnya karena gue, bukan karena si Fadli kupret itu, bakal gue biarin dia terus histeris sampai kayang sekalipun, walaupun habis itu kami harus digiring satpam keluar ini mall. Serius gue rela banget.
Tha, Tha, ngapain coba lo jatuh-cinta-setengah-mati sama cowok yang bahkan nggak tau nama lo, padahal jelas-jelas ada cowok yang jatuh-cinta-ampir-mati sama lo. Yang jangankan nama lo, nama panjang pembantu lo pun gue hapal.
Dan saat gue ngomong kayak gitu dalem hati, setan dalam kepala gue pun ikut ngomong.
Nu, Nu, ngapain coba, lo jatuh cinta sama cewek yang udah jelas-jelas cuma nganggep lo temen, yang bahkan nggak pernah melihat lo sebagai laki-laki, walau cuma sedetik, padahal jelas-jelas banyak cewek yang available buat lo jadiin pacar bukan temen. Shit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro