Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01 - BAD DAY


Attar Malik Pramastya

💥💥💥

Sunyi tak berati tenang
Nampak pula rumpang
Di sudut-sudut
Kian mengekang

💥💥💥

Aku jelas-jelas tidak ingin terlibat dalam masalah ini. Pertengkaran keluarga terjadi bahkan saat matahari belum sepenuhnya terik. Kakak pertamaku mulai membicarakan aset sedangkan kakak keduaku berusaha meredam amarah Ayah, sedangkan Bunda, Hemm... jangan tanya soal itu beliau pergi dari rumah untuk membeli cokelat saat aku umur 13 tahun dan sampai umurku 16 tahun beberapa minggu yang lalu beliau tak kunjung datang.

"Jadi, siapa yang akan mengantarku ke sekolah?" Aku menoleh ke jam berdiri kayu jepara yang kini menujukan pukul 06.45. Perjalanan menuju ke sekolah sekitar 15 menit. Di hari Senin butuh sekitar 20 menit karena padatnya kendaraan di jalanan. Yang artinya tidak menutup kemungkinan aku akan terlambat.

Kakak ketigaku langsung berdiri. "Aku yang antar kamu, dik."

Aku ikut berdiri dan berjalan mengikuti kakak ketigaku. Aku adalah anak keempat yang paling mudah. Beda 4 tahun dari kakak ketigaku.

"Aku bawa Fortuner," teriak Kak Obi, kakak ketigaku.

"Kak, itukan mobilnya ayah."

"Ayah gak akan datang ke kantor hari ini." Dia berhenti lalu berbalik menghadapku. "Lebih tepatnya dia akan tiduran di kamar dengan alasan kepalanya pening."

Aku ikut berbalik. Ayah memegang pelipisnya sedangkan kakak pertamaku memberikan tatapan tegas tidak melunak sama sekali. Tampaknya mereka masih membicarakn soal sebidang tanah di pulau Bali. Aku tidak tahu seluas apa tanah yang dimiliki Ayahku di sana, yang jelas Kakak pertamaku meminta bagian 1/4 dari luas tanah itu, yang katanya untuk ia jual. Ayah pernah menjanjikan akan memberikan tanah itu kepada salah satu dari kami, keempat anaknya. Dan sertifikat tanahnya tersimpan di dalam berangkas yang hanya bisa di buka oleh retina mata Ayah, atau empat retina mata dari anak-anaknya.

Pembicaraan mereka terus berlanjut sampai aku melihat dari luar, dibalik jendela kaca di sekitar ruang makan.

"Menurut Kakak, ayah akan memberikan tanah itu?"

Kak Obi menggeleng. "Mas Joni gak jelas mau gunakan uang hasil penjualan untuk apa. Katanya untuk modal proyek yang akan dia kembangkan." Saat itu aku dan Kak Obi sudah dalam perjalanan menuju sekolah. "Mas Joni sudah mengincar tanah itu sejak lama."

"Kakak tahu soal tanah itu?" Aku memeriksa waktu di ponselku. Sudah hampir pukul tujuh. 06.56.

"Yang di Bali, kan?" Kak Obi memang masih kuliah tetapi dia satu dari kedua kakakku yang tidak sudi melanjutkan bisnis yang di miliki Ayah. Dia lebih memilih menjadi teknisi kapal daripada harus hidup di gedung-gedung perkatoran.

***

Hari yang panas. Sekarang waktu menunjukan pukul 07.05. Hari Senin, seluruh warga sekolah berbaris rapi di lapangan depan untuk mengikuti upacara hari Senin. Kecuali petugas PKS (Patroli Keamanan Sekolah) yang bersiaga di depan kelas juga di depan gerbang untuk mencatat siswa terlambat datang ke sekolah.

Di antara siswa terlambat yang berbaris dengan wajah masam di depan gerbang ada aku. Ini adalah kali pertama bagiku berdiri di depan gerbang sekolah, alih-alih terlambat. Bukan tanpa alasan datang gerbang sudah di tutup. Semua karena drama yang terjadi di rumah pagi ini yang membuatku sedikit kendala untuk datang ke sekolah.

"Hai, Finn."

Aku mengusap kerudung lalu menoleh ke kanan, melihat sosok lelaki tinggi gagah mengenakan rompi petugas PKS. "Hai, Yan." Dia memghampiriku.

"Tumben datang telat." Dia mengulurka buku tulis besar yang trbuka. "Tanda tangan dulu."

"Macet." Aku berdalih. "Yan, plis jangan catat aku di buku besar."

"Waduh..."

"Pliss," rengekku supaya Tian kali ini melunak. "Sumpah, aku terlambat datang bukan karena telat bangun tapi ada sedikit drama di rumah."

"Ha?"

"Nanti waktu istirahat aku cerita. Tapi tolong jangan catat namaku di buku itu." Aku menunjuk buku besar bersampul batik biru dalam pelukan Tian.

"Hem... kamu mempersulit tugas aku."

"Sekali doang."

"Masalahnya yang terlambat hari ini cuma ada lima." Aku menoleh ke kanan-kiri mendapat ada empat anak di sekitar aku berdiri. "Jika aku tidak mencatat satu pasti jadi pertanyaan entar. Sedangkan Pak Hudi berdiri di pos satpam." Tian berbalik untuk melihat keberadaan guru ketertiban itu.

"Ada ide?" Aku bertanya dengan suara yang pelan melihat ke punggung Tian.

"Pingsan."

"Sekarang?"

"Terus kapan?"

"Okey!" Aku mengangguk.

Lututku tertekuk. Beberapa detik kemudian sudah meringkuk di halaman gerbang sekolah. Beberapa siswa ikut membantu Tian untuk membopongku. Kerudungku rasanya sudah tidak rapi lagi. Aku bisa merasakan bahwa tubuhku dibawa masuk bersama pak Hudi ke ruang UKS.

"Kalau sakit kenapa harus nekat datang ke sekolah, Nduk." Selentingan ucapan pak Hudi masuk ke telingaku. Ingin sekali menertawakam diri sendiri akan tetapi aku tetap memejamkan mata berusaha melemaskan tubuh.

Hingga akhirnya aku terbangun ketika sudah cukup lama terbaring di tempat tidur UKS. "Finn!"

Aku mendapati wajah Tian berdiri tak jauh dariku. "Yang benar saja. Aku minta pingsan bukan malah tidur. Tahu tidak aku melewatkan jam pelajaran pertama karena harus menjagamu."

"Sori, aku gak tahu kalau kelewat tidur." Aku berusaha duduk. "Pukul berapa sekarang."

Tian menujukkan waktu di layar ponselnya. Di sana tertera pukuk 08.16.

"Bisa-bisanya kamu yah." Tian menggelengkan kepala.

"Aku tidur selama itu?" Aku ikut menggelengkan kepala. "Jam berapa tadi upacaranya selesai?"

"Jam delapan kurang, kurasa."

"Tunggu bel jam pelajaran kedua saja kalau begitu. Sekalian."

"Hari yang buruk bisa ketemu kamu hari ini," keluh Tian. Dia telah meletakkan rompi PKSnya di sandaran kursi. Dia pun mengambil posisi duduk di tempat tidur yang lain.

"Yah aku juga...." Kuhela napas. Lalu kurebahkan tubuhku lagi. "Telat di hari pertama masuk sekolah."

"Ngomong-ngomong soal liburan akhir semester kamu di Solo apa kabar?"

"Nihil." Aku menggeleng. "Dua minggu aku habiskan waktu liburan dengan mendatangi kedai kopi. Nyatanya Malik belum membuka kedai kopi itu."

"Dari mana kamu bisa yakin kalau Malik belum membuka kedainya? Kamu bahkan belum bertemu dia lagi sejak enam bulan yang lalu."

"Hanya tahu saja." Aku pasrah dengan keaadaan dimana Cinderella malang yang mencari pangeran. Kurogoh saku rokku dan mendapati ponselku dengan gantungan kunci berbentuk bintang. Satu-satunya benda yang ditinggalkan Malik untukku. Alih-alih diberikan, aku justru menemukannya saat dia meninggalkan kursi waktu itu. Gantungan kunci itu harusnya tersemat di kunci motornya. Tapi entah bagaimana bisa terlepas.

BERSAMBUNG

Lamongan, 17 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro