Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25). Happy? Of Course!

I heard that all the rules in this world
exist because they are meant to be broken
-Y.Z.

*****

Padahal Yoga berusaha berpikir jernih, tetapi mengapa Yoana bertindak agresif begini? Ditambah, keduanya tengah berada di area sepi persis terakhir kali mereka menjadi saksi bisu antara Tristan dengan Clara.

Lantas, apakah Yoana juga akan melakukan hal yang sama dengan Tristan?

Merasa putus asa dan clueless, Yoga memutuskan untuk membuang pandangan ke samping atau arah mana saja selain netra milik Yoana. Nyatanya, ini menjadi keputusan yang tepat karena sedikit banyak bisa menenangkan gemuruh aneh dalam dirinya.

"Lo kenapa?" Yoana malah bertanya polos, tanpa mengerti alasan yang sesungguhnya terjadi. "Dugaan gue bener. Lo lagi nggak sehat kan, Yoga?"

Yang benar, pikiran gue yang nggak sehat. "Ng-nggak, kok."

"Kayaknya lo harus ke dokter, Ga. Muka lo merah banget trus lo juga keringat dingin. Lo ngerasa pusing, nggak? Kalo iya, bisa jadi lo punya gejala Vertigo."

"Hah?"

"Iya, Vertigo. Yang gue tau tuh gejalanya mirip-mirip kayak lo sekarang ini. Pandangan lo pasti lagi susah fokus, kan? Respons lo juga nggak segesit biasanya. Terus... lo agak demam kayaknya."

Lantas begitu saja, Yoana mengangkat sebelah tangan untuk mengecek pada bagian kening Yoga kemudian mengecek suhu tubuhnya sendiri dengan punggung tangannya yang lain.

Yoga bersyukur apa yang ada dalam pikirannya tidak diciduk oleh Yoana. Oleh karenanya, dia menghela napas gusar dan menatap Yoana jengah sebagai gantinya. "Gue nggak sakit."

"Iya juga, ya. Lo nggak panas," kata Yoana setelah menurunkan tangannya. "Gue kira lo sakit."

"Trus... kenapa kita ke sini?"

"Oh." Yoana menunjukkan gestur seakan baru sadar diri dan dia spontan mundur selangkah. Jarak keduanya kini melebar. "Seperti gue bilang tadi, keberhasilan hubungan kita tuh harus dilandasi oleh usaha."

Yoana menunjukkan tas yang sedari tadi bergelantungan di salah satu lipatan lengannya pada Yoga. Senyumannya melebar optimal hingga sepasang matanya melengkung. "Tada! Gue masak menu spesial buat lo. Lo pasti suka."

"Jadi, bukti yang lo maksud itu... ini, ya?" Yoga bertanya polos, matanya membulat selagi menunjuk tas bekal yang kini telah dibuka isinya oleh Yoana.

Menu yang dipersiapkan benar-benar seuwu motif tas bekal karena Yoana mengkreasikannya dengan model yang lucu-lucu; mulai dari membentuk rambut karakter dengan potongan telur dadar, mata dan mulut yang dibentuk dari rumput laut, hingga menggunakan irisan wortel untuk membentuk bagian hidung. Sayur berkuah dipisahkan pada sekat yang lain sedangkan ada beberapa potong nugget pada sekat di atasnya untuk melengkapi bekal yang mirip bento itu.

Yoana mengangguk bersemangat, membuat Yoga seketika teringat akan masakan rumah yang dikreasikan bundanya saat masih berstatus siswa.

Lebih tepatnya, masa-masa rutinnya membawa bekal adalah saat dia duduk di bangku SMP.

Jika sekarang Yoga bukannya diasingkan, hanya saja jarak dari rumah ke kampusnya terlampau jauh meski masih bisa dicapai jika menggunakan jasa angkutan bus.

Namanya juga cowok, dia lebih suka hidup mandiri di indekos yang letaknya strategis dari kampus daripada harus bolak-balik dengan bus.

Maka dari itu, melihat bekal yang dibuatkan oleh Yoana entah mengapa memberikan semacam sensasi gereget yang tidak bisa Yoga jelaskan secara gamblang.

Yang jelas, ada sensasi nostalgia dengan masa-masa remajanya.

"Enak, nggak?" tanya Yoana setelah Yoga menelan suapan pertama ke dalam mulutnya.

Yoga mengangguk. "Enak, Yoana. Rasanya pas."

Namun, Yoga terbatuk parah saat Yoana menimpali, "Baguslah, Ga. Gue usahain banget nyicipin terus. Yaaa... khawatirnya disangka ngebet nikah sama lo kalo keasinan--ya elah... malah keselek?"

"Ohok-ohok!"

"Ya ampun... bentar ya, gue ambilin minum dulu." Yoana segera menyerahkan sebotol air mineral setelah sebelumnya membantu Yoga memutar tutup untuk melepas segel. "Gombalan receh gini doang udah main keselek aja lo!"

Entahlah. Yoga sendiri juga tidak mengerti mengapa dia bisa terpelatuk dengan kata-kata Yoana tadi, apalagi gombalan receh yang seharusnya tidak bisa mempengaruhinya.

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Yoga Pradipto?

Beruntung, Yoana tidak meneruskan celetukannya dan dia lanjut menyantap bekalnya sendiri di sebelah Yoga. Tambahannya, ada bangku panjang sehingga keduanya tidak perlu menekuk kaki atau melantai di tanah sambil makan.

"Any request for tomorrow menu, Ga? Gue bahkan bisa buat masakan Asia atau fast food kalo lo suka. Zaman sekarang tinggal ikutin resep dan apartemen gue deket banget sama toko serba ada. Tinggal turun, cusss... sampai, deh. Mau ngesot juga nggak bakal ada kendala."

Lagi-lagi, Yoga merasa seperti ada jiwa lain yang merasukinya karena mendengar kata 'toko serba ada', spontan membuatnya merasa salty.

"Nggak usah. Nggak perlu juga buatin menu tiap hari." Benar saja, nada bicaranya seakan mengajak Yoana gelut.

Aneh bin ajaib, Yoga benar-benar lain dari biasanya.

"Tuh-tuh-tuh! Lo kenapa, sih? Nggak biasanya lo sinis gitu jawabnya."

Yoga mengalihkan atensinya, lantas seakan ada kekuatan magis, ada sesuatu yang membuat cowok itu bungkam seribu bahasa dengan sebuah asumsi yang muncul mendadak dalam kepalanya.

Seperti tertampar, Yoga sedikit banyak mulai menyadari sesuatu, apalagi saat melihat wajah Yoana yang dilatarbelakangi sinar matahari dengan pembiasan sedemikian rupa hingga memaksimalkan visualnya.

Persis seperti kejadian di kafetaria di mana Yoana memilih duduk di dekat jendela dan ada berkas cahaya yang menyilaukan wajahnya.

Saat itu, Yoga merasa betah melihat visual Yoana. Sekarang juga masih sama meski kalau ada yang harus jadi pembedanya, kali ini daya tariknya lebih kuat.

Lantas... mengapa demikian?

Perasaan ini... meski belum bisa dipastikan sepenuhnya, Yoga tidak merasa asing.

Momen ini mengingatkannya pada kenangan di masa lampau, saat dia sudah mengerti arti perasaannya pada Luna Lovandra.

Saat itu dia mengerti apa alasan dia tidak bisa oleng setiap ekor matanya menangkap sosok Luna. Saat itu dia mengerti apa alasan dadanya gemuruh hebat setiap melihat kedekatan Luna dengan Ferdian. Dan saat itu dia juga mengerti apa alasan dia selalu mendekat setiap melihat Luna bersedih.

Semua alasan merujuk ke satu jawaban; karena Yoga sadar dia sudah menjadi bucinnya Luna.

Lantas... bagaimana dengan sekarang?

Yoana mungkin belum menjadi jawaban sepenuhnya bagi Yoga, tetapi lebih dari setengah sudah terbukti benar.

Kemungkinan besar, Yoga Pradipto sudah menyukai Yoana Zeminna.

Apakah benar? Ya, bisa jadi. Karena Yoga mulai menyadari apa arti nada bicaranya yang terdengar sinis dan lain dari biasanya. Jika bukan cemburu, lantas apa artinya?

"Yoana."

"Hm?"

"Semalam itu... gue sebenarnya lihat lo pelukan sama Tristan."

Gue perlu memastikan sesuatu.

Tangan Yoana spontan tidak bertenaga dan sendok yang sedari tadi dipegangnya jatuh begitu saja ke wadah bekalnya.

"J-jadi... lo ngira gue selingkuh?" tanya Yoana dengan nada serak. Dia jadi sadar tentang alasan terselubung Yoga membatalkan kencan mereka. "Jadi... apa jangan-jangan--"

"Jujur, iya. Gue mundur setelah lihat kalian pelukan. Makanya tadi gue bilangin lo buat bertahan sedikit lagi. Lo bisa kembali ke mantan lo, jadi jangan sampai gue yang jadi penghalang di antara kalian."

"Yoga--"

"Gue serius, Na."

Gue mulai yakin gue suka sama lo, tapi gue takut memaksakan takdir.

"Trus lo kira gue nggak serius?"

"Bukan itu maksud gue, Yoana. You know what I mean."

"Kenapa sih, lo pesimis banget? Gue nggak mungkin kembali sama Tristan, Ga. Pelukan kemaren hanya dalam artian sahabat yang berbaikan. Nggak lebih."

"..."

"Gue suka sama lo, Yoga."

Pernyataan Yoana seolah-olah menjadi mantra, berhasil menyihir Yoga hingga tergerak untuk merebut bekal yang sedari tadi dipegang Yoana untuk dia letakkan di bangku panjang, termasuk mencondongkan tubuh untuk mendekat.

Semua itu adalah tindakan spontan karena di saat jarak keduanya terlalu dekat untuk disebut sebagai pasangan romantis, ekspresi Yoga tampak kikuk seolah-olah baru menyadari apa yang telah dia lakukan.

Mata Yoana membulat sempurna, dia tentu kaget dengan aksi Yoga yang bersikap agresif secara tiba-tiba. Mulutnya turut mangap saking syoknya, tetapi adaptasinya tergolong cepat. Senyumannya merekah dan pipinya bersemu merah sebelum dia menutup kelopak mata. Ditilik dari bahasa tubuhnya, dia jelas mengizinkan Yoga melakukan apa yang ada dalam pikirannya.

Meski sempat clueless dan super canggung, Yoga memberanikan diri untuk melakukan aksi lanjutan, yaitu menipiskan jarak hingga mempertemukan wajah mereka.

Bibir keduanya pun dipertemukan. Meski baru sekadar menempel, efeknya tidak sesederhana itu bagi Yoana karena untuk pertama kalinya dia merasakan seperti apa dicium duluan.

Oleh karenanya, Yoana spontan mengulurkan kedua tangan untuk memeluk sekeliling pinggang Yoga, memeluknya erat.

Reaksi tersebut lantas memberi kesan perintah pada Yoga untuk ikut merangkul Yoana dan secara bersamaan kedua insan tersebut berciuman dengan lebih intens.

"Gue... gue juga suka sama lo, Yoana." Yoga berujar lirih setelah dia memundurkan kepala untuk memperhatikan lebih detail ekspresi Yoana. Wajahnya memerah dan senyumannya yang manis memberi cowok itu semacam dorongan untuk melakukan lebih dari seharusnya.

Apakah... apakah ciuman memang bisa membuat candu seperti ini?

"Akhirnya usaha kita berhasil, Yoga." Yoana tersenyum semakin lebar. "Kita harus rayain."

"Rayain?" tanya Yoga, lagi-lagi merasa canggung karena dari jarak sedekat ini, dia bisa membaui aroma tubuh Yoana.

Yoana mengangguk sebelum mencondongkan tubuh ke arah Yoga tanpa aba-aba, membuat cowok itu melebarkan matanya. "Ho oh. Rayainnya berdua."

Kesannya jadi gantian karena Yoana mendekatkan wajahnya ke arah Yoga dan mempertemukan bibir mereka kembali.

Kalaupun ada yang harus menjadi pembedanya, ciuman mereka berlangsung lebih lama dari yang tadi.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro