Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19). Conflict (2)

Reality is just reality until I found the imaginary way from you.
-Y.P.

*****

Yoana tidak menyangka akan bertemu dengan Yoga selepas keluar dari departemen jurusannya. Jika saja cowok itu sendirian, dia pasti akan menggodanya dengan mengatakan kalau situasi mereka sedang dikendalikan oleh takdir.

Alih-alih mengatakan demikian, Yoana hanya bisa diam tatkala memperhatikan Yoga berjalan bersama dengan Luna. Ditilik dari tas yang bergelayut pada masing-masing bahu, bisa disimpulkan kalau keduanya sedang berada dalam perjalanan pulang.

Sama seperti Yoana.

Cewek itu segera bersyukur dia tidak jadi menyuarakan kata-kata yang terlintas dalam otaknya tentang takdir konyol barusan. Rasanya tentu akan memalukan, apalagi dengan adanya eksistensi Luna di dekat Yoga.

Luna Lovandra, si cantik yang vibes-nya sangat bertolak belakang dengan Yoana Zeminna.

Yoana bisa saja berpenampilan feminin dan 'menipu' kaum awam di permukaan, tetapi dia jelas lebih powerful dari Luna. Dia juga tipikal berterus terang dan barbar, yang memberikan kesan tomboi dalam dirinya. Selain itu, fakta dia lebih sering berinteraksi dengan kaum adam membuatnya semakin jauh dari dunia ke-cewek-cewek-an.

Lantas melihat bagaimana Luna berjalan di sisi Yoga, membuat Yoana mengatakan ini dalam batinnya secara spontan.

Pantesan, Yoga rela jadi bucinnya.

Tak ayal, kalimat berikutnya menyusul seakan menampar Yoana secara abstrak.

Oh iya... sama berlakunya dengan Kak Clara, Tristan juga suka sama cewek tipe ginian.

Kenapa, sih? Emangnya cowok-cowok ngeri banget ya sama cewek barbar?

Kemudian seolah-olah menjawab pertanyaan dalam kepala Yoana, suara random milik salah satu mahasiswa terdengar dari balik punggungnya. Dia berjalan sambil lalu dengan tangan memegangi ponsel yang sudah ditempel ke salah satu telinganya.

"... iya, Bro. Ngeri banget gue sama cewek-cewek zaman sekarang. Gila aja ya, gue ditembak di depan orang banyak. Malu banget, asli!"

"Sialan!" umpat Yoana spontan. Untungnya mahasiswa tersebut sudah jauh dari jarak pandang, jadi dia tidak bisa mendengar celetukannya.

Sebagai gantinya, duo Yoga dan Yoana yang mendengar itu.

"Kenapa, Yoana?" tanya Yoga polos setelah menghentikan langkah, disusul Luna. Wajar saja mereka akan dipertemukan, mengingat posisi Yoana berada di percabangan koridor yang merujuk ke mana departemen yang satu dengan yang lain.

"Hai, Yoana." Luna menyapa lembut, disambut cengiran lebar Yoana.

Ya ampun, cantik banget sih lo. "Hai juga, Luna."

"Nah kalo gitu gue duluan, ya. Anterin Yoana pulang gih, Ga."

"Eh tapi, Na...."

"Gue bisa pulang sendiri, Yoga. Lagian tadi janji kalian batal, kan?" tanya Luna frontal dan kalem, lantas mengalihkan atensinya pada Yoana. "Jangan sampai salah paham ya, Yoana. Kami memang deket, tapi sebatas sahabat aja jadi lo nggak boleh nyerah sama Yoga, ya."

"Luna!" tegur Yoga dengan ekspresi tidak nyaman. Seketika dia merasa canggung di depan Yoana. Gimana ya, berasa jadi pejomblo yang kentara sekali ngenesnya padahal dia yakin dia tidak semenyedihkan itu. "Ya ampun...."

"Hmm... nggak salah paham, kok." Yoana menjawab sama kalemnya meski dia juga canggung sama halnya dengan Yoga.

"Bagus kalo gitu. Seneng rasanya, moga kalian jadian beneran ya. Yoga, makasih ya udah dengerin curhat gue."

"Iya, Na. Sama-sama," jawab Yoga sebelum Luna meneruskan perjalanannya.

"Rumah lo di mana, Yoana?"

"Kos-an lo jelas lebih deket, apa nggak repot, nih?" tanya Yoana balik.

"Yakin nggak mau dianter?" tanya Yoga, bertepatan dengan ekor matanya yang menangkap sesuatu yang menarik perhatian di salah satu genggaman tangan Yoana. "Eh, itu...."

Yoana mengikuti arah pandang Yoga dan gerakan impulsifnya menyembunyikan tas bekal bermotif lucu-lucu membuat segalanya menjadi terlalu kentara untuk tidak mengundang kecurigaan.

Padahal jika saja Yoana bersikap biasa saja, mungkin dia bisa mengarang alasan yang lebih meyakinkan untuk menyelamatkan gengsinya.

Sedangkan Yoga, dia sebenarnya hanya mau berbasa-basi kalau model tas tersebut mirip dengan yang biasa dibawa Luna untuk bekal makan siangnya Ferdian. Melihat Yoana bertingkah absurd dan wajahnya memerah secara mendadak tentu memberi Yoga petunjuk atas pembatalan makan siang tadi.

"Tadi... lo udah sampai di kelas?"

"Hmm... gu-gue...."

"Astaga, Yoana. Lo takut gangguin? Padahal kita bisa makan bareng, loh. Tasnya aja gede, lo pasti buat banyak kan?"

"Gue cuman... cuman nggak enak aja... hmm...."

"Ya udah, sini." Yoga menengadahkan salah satu telapak tangannya ke arah Yoana.

"Hng?"

"Mana bekalnya? Gue makan di kos aja daripada nggak ada yang makan, kan?"

"Oh, itu. Udah gue abisin."

"Hah? Secepat itu?"

"Hmm... lebih tepatnya, dimakan sama Leo."

"Oh, oke."

"Lo marah?"

"Kenapa harus marah?"

"Ish, gue nanya malah ditanya balik." Yoana jadi misuh-misuh.

"Loh kok nyolot?" Yoga jadi sensitif. Entahlah, dia juga tidak mengerti apa alasannya. Rasa-rasanya berada di dekat Yoana membuat dia merasa menjadi pribadi yang lain dari tabiat aslinya. Atau... apakah karena ada sesuatu yang lain?

Yoga tidak kunjung mengerti, yang jelas, dia merasa tingkah Yoana terlalu berlebihan. Itu saja.

"Idih... emang marah, kan? Ngaku aja!" Tiba-tiba saja nuansa di antara mereka menjadi tegang, seketika mengingatkan Yoana dengan situasi sewaktu mereka bertengkar untuk pertama kalinya.

"Udah dibilangin nggak marah!" Yoga denial, tetapi sikapnya tidak sinkron karena dia mengikuti jejak Luna dengan meneruskan langkah keluar dari gedung fakultas.

"Tuh-tuh-tuh, alis lo aja berkerut. Kenapa, sih? Kesel ya karena bekal siangnya nggak jadi ngasih ke lo? Siapa suruh bilang 'Cuma makan siang biasa'?"

Yoga berhenti mendadak dan memutar tubuh ke arah Yoana dengan tatapan bermakna I-am-so-done-with-you. "Oh, jadi lo balas dendam? Gue cuma menghargai, Yoana. Jadi jangan sampe salah mengira maksud gue."

"Siapa juga yang mengharap lebih dari itu? Gue juga tau diri, lo nggak mungkin bisa move on dari Luna. Gue aja yang terlalu gencar pedekate sama lo."

"Kenapa jadi bawa-bawa Luna?" tanya Yoga, ekspresinya semakin kusut tetapi sayang Yoana menafsirkannya sebagai usaha Yoga untuk denial dengan asumsinya.

"Woya jelas, makanya gue tau diri buat nggak masuk waktu di kelas tadi! Nggak usah jauh-jauh, lo aja ngebela Luna sekarang!"

"Sekarang gue nanya."

"Nanya apa?"

"Lo cemburu?"

"Nggak! Siapa juga--"

"Oke. Pertanyaan lainnya, lo mau dianter pulang nggak?"

"Nggak perlu, makasih!"

"Oke. Hati-hati di jalan, ya."

Pelototan mata Yoana seakan mau menelan Yoga bulat-bulat dari balik punggungnya yang menjauh setelah mengucapkan semua itu. Entahlah, Yoana juga jadi ikut-ikutan mengerutkan alis sampai-sampai tepukan pada bahunya tidak berhasil mengalihkan emosinya.

"Kenapa lo? Kok kesel gitu?" tanya Leo yang segera mengerti setelah mengikuti arah pandang Yoana. "Oh... bertengkar sama si doi?"

"Bagus, dong. Pakar cinta mengatakan konflik itu penting dalam hubungan supaya rasa sayang-sayangan semakin matang." Virga menimpali, membuat Yoana auto menatapnya jengah.

"Pasti lo pencetusnya," celetuk Leo alih-alih Yoana. "Misterrrrr Aditya."

"Lebih tepatnya, gue remake kutipan itu," ujar Virga, mulai mengelus dagunya lagi untuk mengemukakan asumsinya sementara Leo menyandarkan lengan di atas bahu Yoana. "Katanya, konflik itu menambah solidaritas dalam grup. Nah kalo gue, konflik itu menambah rasa cinta dan sayang-sayangan. Jadi Yoana, lo seharusnya merasa beruntung. Luna aja nggak pernah debat-debatan sama Yoga."

"Gue balik aja, deh." Lagi-lagi, Yoana memilih untuk tidak mengindahkan wejangan dari Virga si pakar cinta ala-ala.

"Eitsss... perlu dianterin, nggak?"

"Nggak usah."

"Nggak perlu sarkastik gitu. Gue bukan Yoga." Leo menyeletuk tidak terima. "Kalo butuh pelampiasan, langsung ke sumbernya aja."

"Kayak peternakan aja ya, langsung ke sumbernya." Gantian Virga menimpali dengan tatapan jenaka hingga kedua matanya melengkung. Lantas, dia mengalihkan atensinya secara mendadak pada Yoana seolah-olah sedang mendapat intuisi dan menuding ke arahnya. "Lo pasti mau bilang kalo topik ini gaje lagi, kan?"

"Tau aja. Emang gaje, kan?"

Yoana bermaksud untuk meneruskan langkah kembali, tetapi ada seseorang yang berjalan ke arahnya dengan langkah tergesa-gesa dari arah pukul dua.

"Na, gue mau ngomong sama lo."

"Bukannya kita udah kelar?" tanya Yoana, mendadak salty dan segera bertindak impulsif ketika tahu-tahu Tristan menariknya paksa. "Heh! Apa-apaan lo?"

"Gue yang bakal anterin Yoana pulang." Tristan menolehkan kepala ke belakang untuk memberitahu Virga dan Leo sebelum menarik Yoana untuk menaksanya ikut. "Kita harus ngomong. Gue bisa gila kalo kita kayak gini terus."

"Tristan! Lepasin, nggak? LEPASIN!" teriak Yoana, tetapi sia-sia saja karena Tristan menarik tangannya dengan tenaga yang tidak main-main. Dengan kernyitan alis yang dalam dan napas memburu, bisa dipastikan kalau suasana hati Tristan sedang buruk.

Saking buruknya, mereka yang tidak mengenali Tristan pasti mengira dia adalah psikopat yang sedang dalam proses 'mengadili' sang korban.

"Sepupu lo kenapa, Bro? Serius banget gue lihat. Kalo Yoana nggak jago berantem, gue bakal cemas banget kalo lihat penistaan ginian."

"Gue mesti hubungi Yoga nggak, ya?" tanya Virga, lebih bertanya ke dirinya sendiri karena dia tampak menimbang-nimbang perkataannya sekarang. "Fix, harus deh. Mana tau Yoga cemburu lihat posesifnya Tristan."

"Emang bisa?"

"Gue yakin, sepersekian dalam ruang hati Yoga udah diisi sama Yoana Zeminna. Seperti gue bilang tadi, Bro, konflik menambah kadar sayang-sayangan."

"Hmm... relate."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro