7. I Think I Like His Smile And His Fangs
Dari Shaw st ke Los Angeles 44,3 mil atau sekitar 44 menit, jika menggunakan kecepatan normal tanpa hambatan. Itu kata Divtia saat ia melihatku keluar dari kamar--yang kebetulan ruangan kami saling berhadapan--dengan membawa sepatu kets berwarna soft pink.
Aku menoleh sesaat kemudian mengangguk saat tatapan kami bertemu pada pantulan cermin, di mana Divtia masih sibuk memilih pakaian paling keren untuk bersenang-senang di musim panas, karena katanya kami tidak akan pergi sendiri, melainkan bersama teman-temannya yang mana sedang dalam perjalanan menuju Melrose Avenue.
Ngomong-ngomong tentang Melrose Avenue, sebenarnya tempat ini merupakan salah satu tujuanku saat berencana pergi ke California. Mengambil rekaman vlog bersama Harry di sana pasti akan menyenangkan, apalagi karena tempat itu sangat instagramble dengan menggunakan gaya street art.
Selain itu, jika diingat-ingat lagi, rasanya selama di Bandung aku juga tidak bersenang-senang dengan cara berbelanja di pusat perbelanjaan. Sebab selama hidup sebatang kara, waktuku hanya dihabiskan untuk bekerja, membuat sekaligus mengedit video vlog mengenai kegiatan sehari-hari sembari membicarakan ini itu, dan melalukan aktivitas rutin yaitu berkomunikasi dengan Harry pada waktu tengah malam.
"Putih atau biru?!" tanya Divtia setengah berteriak dari lantai dua, di depan kamarnya, tepat di lorong menuju tangga, di mana aku masih bisa melihatnya dari anak tangga terakhir yang beralih fungsi sebagai bangku darurat untuk mengenakan sepatu.
"Tergantung warna pakaianmu," kataku tanpa menoleh dan masih sibuk berkutat dengan tali sepatu.
Sederhana, mengikat tali sepatu adalah hal yang mudah. Namun, jika ingin membuatnya terlihat berbeda, maka kekreatifitasan pun diuji dan sekarang aku sedang dalam mood melakukan hal tersebut dengan bermodalkan tutorial di Youtube.
"Kamu bahkan enggak liat apa yang aku tanyakan!" Divtia mengajukan protes kemudian ngedumel tidak jelas, hingga terpaksa aku pun harus menoleh. "Putih atau biru?" tanyanya lagi sambil tersenyum lebar.
Oke, jadi yang ditanyakan Divtia adalah dua jenis chunky sandals untuk melengkapi penampilannya. Mini skirt berbahan jins dengan crop top milennial pink, menjadi pilihannya untuk hari ini dan dalam hitungan detik, Divtia lebih baik memilih biru karena tidak jauh berbeda dengan warna jins. Aku kurang suka terlalu banyak warna.
"Biru," kataku dan Divtia pun mengangguk kemudian memberikan chunky sandals dengan cara melempar ke arahku. Tidak diambung tinggi hanya menggunakan bidang miring pada anak tangga.
"Percayalah kalau kamu keras kepala dan tetap mengenakan sneakers, kamu bakalan nyesel karena kaki yang lengket," kata Divtia sambil tertawa ringan kemudian kembali ke kamarnya.
Setelah kepergiannya yang menghilang di balik pintu, aku mengambil sendal tersebut. Memerhatikan seolah ada setitik berlian seharga miliyaran Rupiah kemudian melirik ke arah pakaian apa yang kukenakan. Menimbang-nimbang sejenak, bahkan sampai berkaca pada bufet di ruang tamu dan mengecek berapa suhu udara hari ini.
"Well, sebaiknya mengikuti saran Divtia atau akan menyesal nanti," kataku kemudian kembali duduk di anak tangga terakhir demi mengganti sneakers dengan chunky sandals berwarna putih.
Selesai dengan urusan penampilan dan segala tetek bengeknya, sekarang hanya tinggal menunggu Divtia serta demi memaksimalkan waktu, maka video vlog hari ini harus direkam untuk para subcribes yang--mungkin--menunggu unggahan terbaruku.
Keluar rumah setelah berpamitan pada Tante Lidya serta Paman Arya, kuputuskan untuk merekam bagaimana suasana di Shaw st.
... atau lebih tepatnya kawasan rumah paman dan aku menemukan sesuatu paling menarik, seolah berada di dalam film romansa usia remaja.
Di sebelah pagar berumput--pembatas antara rumah paman dan tetangganya--yang hanya setinggi pinggang orang dewasa, aku menemukan sesuatu paling lezat, hingga setiap perempuan normal pun akan kelaparan dalam sekali lihat.
Mataku tak berkedip dalam beberapa waktu sampai meninggalkan rasa perih, telinga juga jelas mendengar tawa, umpatan penuh rasa kesal, tapi saling menggoda, serta sayup-sayup suara air dari mesin penyiram tanaman otomatis. Sayangnya aku tak sadar bahwa sedang merekam mereka, jika Divtia tidak menepuk pundakku lalu menegur mereka menggunakan sebutan 'Fred bersaudara'.
Bangsat! Aku harus segera menyembunyikan kamera atau dianggap sebagai perempuan aneh-aneh.
"Hai, Div!" seruan itu berasal dari lelaki berambut jenis scissor cut, tampak masih berusaha ingin mengalahkan Fred yang satunya meskipun mereka sudah basah kuyup akibat penyiram tanaman otomatis. "Mau pergi ke mana?" tanyanya sambil menunjuk ke arah kami berdua secara bergantian. "Nice outfit. Seriously."
Divtia memutar mata kemudian tersenyum lebar. Reaksi yang membingungkan karena memiliki makna ganda antara suka atau tidak. Namun, bukan itu urusanku saat ini sebab Fred satunya lebih menarik perhatianku akibat beberapa kali pandangan kami bertemu dan sesering itu juga ia memamerkan sepasang gigi taringnya.
Aku membuang muka, tidak ingin terlibat dengan dua lelaki seksi itu dan membiarkan Divtia yang menyelesaikan hal tersebut dengan segera pergi ke mobil. Namun, memang Divtia centil! Dia malah menahan pergelangan tanganku sambil mengatakan, "Melrose Avenue. Tentu saja! It's summer and we need to preparing our self for the summer party."
"Oh, nice," ujar Fred berambut scissor cut kemudian menarik Fred satunya yang sedari tadi diam-diam selalu ketangkapan sedang menatapku. "Apakah bajingan ini juga akan ikut ke pesta kalian, eh?"
"Of course! Aku adalah tamu yang ditunggu-tunggu, Bung!" ujarnya penuh percaya diri, sambil mengedipkan sebelah mata ke arah kami dan jika kalian bertanya siapa dia ....
... well, it's Walter Fred. Sosok yang kami lihat--secara diam-diam--tadi pagi di kamarku untuk menambah asupan sarapan. Ingat, yang terakhir itu adalah ucapan Divtia ketika dia memaksaku untuk mengintip.
"Yeah, for some girls but it's not me, Walter." Divtia masih menahan pergelangan tanganku, meski kehadiranku di sini sebenarnya tidak dibutuhkan sebab komunikasi ini hanya terjadi tiga arah, bukan empat arah.
"By the way." Pandangan Fred scissor cut beralih padaku. "Who's she?"
"She's look so sweet like a chocolate." Walter membuka kaos putih oblongnya, seolah sengaja memamerkan pahatan indah hasil kerja keras dari olahraga rutin.
"Oh, ini Kirana. Sepupuku, jauh-jauh datang dari Indonesia yang kuharap berada di sini bukan sekadar untuk liburan musim panas," ujar Divtia lalu mendorongku sedikit agar ke depan dengan isyarat agar aku mengatakan sesuatu.
"Hi, nice to meet you, guys." Serius hanya itu yang kuucapkan, sambil tetap menyembunyikan kamera di balik tubuhku.
Walter tertawa menyaksikan perkenalan canggung ini kemudian ia berdiri di sisi Fred satunya dan merangkul. "Hi, it's Greg. My brother and me ... the sexiest guy next house."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Greg langsung memukul kepala Walter hingga mereka kembali bergulat di halaman berumput basah hasil mesin penyiram tanaman. Divtia menarik lenganku untuk segera pergi karena kupikir, keberadaan kami pun tidak lagi dibutuhkan.
Sehingga demi mempersingkat waktu untuk perjalanan panjang ini, kami langsung memasuki mobil milik paman Arya yang dipinjam Divtia. Gadis itu menyalakan mesin, bersiap menjalankan kuda besi tersebut, tapi juga menyempatkan diri untuk berbisik, memanggil namaku. "Sekedar informasi, Kira. Mereka adalah Fred bersaudara--lelaki paling seksi di Shaw st--aku merasa beruntung bisa akrab dan menjadi tetangga mereka. Tapi, kuanggap kau yang paling beruntung karena kamarmu bersebrangan dengan milik Walter."
Kedua alisku refleks terangkat. "Kau naksir dengannya?"
"What?! No. Ada lelaki yang lebih seksi dari mereka berdua." Divtia mengerucutkan bibirnya, memberikan ciuman udara padaku kemudian menjalankan mobil menuju Los Angeles.
Dan ketika mobil kami melewati rumah keluarga Fred, aku menyempatkan diri menoleh--menatap Walter dan Greg--lalu ....
F*ck ya! I think I like his smile with his fangs.
"Div, boleh aku pinjam ponselmu?" tanyaku tiba-tiba, sambil menadahkan tangan.
"Hah? Untuk apa?" Divtia menoleh sebentar ke arahku, sambil merogoh tasnya kemudian memberikan benda persegi tersebut. "Jangan coba-coba untuk mengintip isi chat."
"Aku bukan gadis yang suka ngintip."
Divtia tertawa kecil. "--tapi suka merekam cowok seksi sebelah rumah."
Aku menoleh dengan mata terbuka lebar lalu memberikan pukulan ringan karena sadar, bahwa Divtia menyetir dan aku menolak mati muda. "What the heck! Untuk apa aku--"
"Whatever, Kirana. Apa pun alasannya yang jelas aku memergokimu sedang merekam mereka berdua melalui kamera vlog-mu tadi dan tenang, rahasia akan tetap aman." Kirana mengarahkan jemarinya ke bibir, menggeser membentuk garis horizontal seolah ada zipper di sana.
"Jangan berpikir aneh-aneh," kataku akhirnya sambil membuka laman Youtube di ponsel Divtia. "Karena ponselku hilang, jadiku izin masuk ke akun Youtube untuk mengawali perubahan."
"Kau punya akun Youtube?! Seriously? Kenapa enggak pernah bilang?!" Divtia histeris, "kita bisa membuat beberapa konten collab. Oh, God! Kau harus subscribe Youtube channel-ku juga!" Divtia menarik kembali ponselnya, sebelum aku sempat menghapus video kenangan pahit dan mengakhirinya dengan mengedikkan bahu.
"Hell yeah, akan ku-subscribe setelah dunia baruku bersemu."
"New world? What is it mean?"
Mengibas-ngibaskan tangan, aku tidak ingin Divtia berpikir hal aneh sehingga kukatakan, "It's nothing. Just ... fokus saja pada tugas menyetirmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro