5. Fake Date For One Help
Kedua alisku mengerut, robot kecil di dalam otak mulai repot membuka laci-laci demi menemukan jawaban saat Walter meminta imbalan yang di luar dugaan. Awalnya kupikir Walter akan meminta traktiran setelah--nanti--selesai mengantarku sampai dengan selamat atau menagih nomor telepon, jika masih menganggapku berbohong di mana kalau memang benar terjadi maka nomor telepon rumah paman Arya-lah yang menjadi korbannya.
Namun, praduga remahan deterjen yang sempat kupikirkan seketika roboh, saat Walter mengatakan bahwa ia ingin agar aku menjadi pacar pura-puranya dan pergi bersama ke pesta penyambutan liburan musim panas di kampusnya.
Seketika sejuta pertanyaan pun terbesit di kepalaku, di mana beberapa di antaranya adalah; Seperti apa pestanya? Apa semacam bikini party? Apa sekadar have fun dengan dentuman musik dari tangan dewa sang disc jockey? Atau lebih parahnya, bisa saja ini perangkap penculikan dengan akhir perdagangan manusia sebab di mata perempuan normal, Walter adalah sosok menarik, sehingga melalui kelebihan tersebut ia bertugas untuk menggoda mangsanya.
Goddamned! yang barusan itu adalah pertanyaan sekaligus perkiraan paling menyeramkan. Namun, mengingat kata Walter tadi, maka tidak seharusnya aku terlalu menghakimi hanya saja ....
... oke, mari coba pikirkan sesuatu yang manis seperti cerita roman picisan. Walter mengajakku untuk pergi bersama ke pesta penyambutan musim panas sebagai pacar palsu untuk menebus imbalan karena ia menolongku keluar dari kesulitan. Anggap saja ini sebagai simbiosis mutualisme, aku butuh kompas, tumpangan, sesuatu untuk mengisi perutku, dan mungkin hal menyenangkan untuk mengobati rasa patah hatiku kemudian Walter datang membawa pertolongan dengan imbalan di mana tidak terlalu memberatkanku.
Akan tetapi, jika ini benar-benar cerita roman picisan dan andai rating ceritanya memiliki angka dua puluh satu plus, maka tidak menutup kemungkinan akan ada adegan atau setidaknya ajakan one night stand. Terlebih aku sekarang berada di California di mana seks bersama orang asing bukanlah masalah besar, selama mereka menggunakan pengaman.
Fine. Seks sebelum menikah memang bukan lagi hal tabu untukku, tapi jika bersama orang asing yang baru saja kutemui, maka ....
... jiwa ketimuran yang diajarkan ibu pun ternyata masih memiliki ruang di hatiku, sehingga jawabannya adalah--
"Aku tahu orang Indonesia lebih menjaga keperawanan mereka." Suara Walter yang diselingi dengan tawa ringan seketika memutuskan perundingan batinku.
Aku mengalihkan pandangan ke arahnya, menatapnya dengan rasa heran karena ucapan Walter barusan terdengar seolah dia memiliki keahlian micro ekspresi. Entah sungguhan atau kebetulan, tapi itu cukup membuatku terbantu karena tidak perlu lagi menjelaskan hal yang terlalu sering dijadikan pertanyaan para pria bule jika berkenalan denganku.
"And sorry to say that, kupikir itu memang prinsip yang baik, tapi juga terlalu ketat dan terkesan kaku," kata Walter lagi di mana secara tidak sadar merenggangkan kerutan di antara kedua alisku.
Aku mengangguk samar dan sepertinya Walter tidak menyadarinya karena ia kembali berbicara, "Tidak masalah aku mengerti batasan, jadi tugasmu--jika kau setuju dan kuharap kau menyetujuinya--hanyalah menemaniku ke pesta menyambut liburan musim panas."
"How can you know that I'm an Indonesian?" Pertanyaan tersebut seketika meluncur di saat ada pertanyaan lain yang lebih penting.
Walter mengedikkan bahu. "Aku punya tetangga orang Indonesia dan ciri-ciri mereka sama sepertimu. Berkulit cokelat, berambut gelap, ukuran tubuh yang mungil, serta awet muda. Kupikir begitu, mungkin karena Indonesia merupakan ras yang ramah sehingga kerutan pun tidak ingin merusak wajah kalian."
Sok tau! Refleks kata itu mencuat di kepalaku ketika Walter mengatakan bahwa masyarakat Indonesia merupakan ras penuh ramah-tamah. Ha-ha, dia hanya belum bertemu Boss Benji dengan sejuta sifat galak di jam kerja, belum bertemu Darka si cowok jomblo sejak orok yang cerewet, ketus kalau malu, dan belum bertemu Putri si gadis manis yang ramah, tapi tergantung kepada siapa ia berhadapan. Mengingat mereka semua, seketika jadi rindu keadaan Bandung.
"Lalu jika aku tidak mau pergi ke pesta penyambutan musim panas bagaimana?"
"Pertanda bahwa kau menolak niat baikku," jawab Walter enteng yang menurutku dia memang telah merencanakan hal tersebut matang-matang.
"Bagaimana caramu agar aku bisa percaya bahwa kau bukan orang jahat atau sindikat aktivitas perdagangan manusia?"
Seketika kedua netra Walter melebar. "Wow!" serunya dengan menyisir rambut gelombangnya ke arah belakang menggunakan kedua tangan. "Kau terlalu banyak berpikit, terlalu banyak mengira-mengira, terlalu banyak mengkhayal seolah di sini hanya ada orang jahat. Seriously, apa aku terlihat semenyeramkan itu? Padahal beberapa saat sebelumnya, secara tidak langsung kau mengatakan bahwa aku menarik, meski dengan menggunakan istilah gigolo."
Aku menggeser pandanganku ke arah jalan. Lebih tepatnya restoran pizza yang sungguh menggoda kemudian kembali menatap Walter. "Hanya berjaga-jaga karena aku adalah gadis tersesat bermodalkan selembar uang seratus dollar, dokumen pribadi, dan pakaian."
Senyum miring tergambar di wajah Walter. Ia kembali melilitkan kedua lengannya di atas dada kemudian melangkah memangkas jarak kami dan menunduk, agar bisa melihatku lebih dekat. "Terlalu banyak bertanya, hingga membuatku ingin balik bertanya tentang bagaimana cara kau memilah mana jawaban jujur dan bohong?"
Skak mat! Walter terlalu cerdas untuk menjawab semua pertanyaanku yang isinya hanya berupa pandangan negatif atas sifat kewaspadaan. Aku mengerjap sesaat kemudian berdeham dan akhirnya ....
... baiklah, setelah berdoa meminta perlindungan kepada Tuhan kuputuskan untuk memercayai Walter.
Toh, menjadi pacar pura-pura bisa saja dihindari karena Walter pastilah tidak serius. Maksudku, sosok seperti Walter akan sangat mudah mencari teman kencan.
"Fine. Satu syarat satu permintaan," kataku sambil menadahkan tangan menuntut kewajiban sebelum Walter menerima haknya untuk makan pizza bersama. "Pinjamkan ponselmu dan kutemani kau makan pizza."
"Ralat, bukan menemani, tapi makan pizza bersama." Walter mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, sedangkan aku memutar mata--pura-pura kesal, meski sebenarnya senang luar biasa akibat kebetulan yang menguntungkan. "Here you go."
Mengambil ponsel Walter, aku pun segera mengetik nomor rumah paman Arya, menunggu nada dering tunggu, hingga akhirnya suara khas lelaki paruh baya terdengar.
"Halo, Paman. Ini aku," kataku saat paman Arya menjawab panggilanku dan tentu saja sedetik kemudian, telingaku harus membiasakan diri dengan ocehan panjang kali lebar yang sebenarnya bersifat khawatir. Aku memaklumi hal tersebut, tapi tidak diizinkan terlalu lama karena benda komunikasi tersebut bukanlah milikku, sehingga tanpa permisi segera kusela ucapan paman Arya. "Maaf karena membuat Paman khawatir, tapi aku baik-baik saja dan sekarang sedang bersama temanku. Aku akan kembali sebentar lagi setelah mengisi perutku dengan sepotong pizza. Untuk lebih jelasnya akan kuberi tahu saat sampai di rumah Paman," kataku tanpa jeda sedikit pun kemudian memutuskan panggilan, sebelum paman Arya membalas informasi singkatku.
Ya, setidaknya beliau bisa mengurangi kadar khawatirnya karena sudah menerima kabar keponakan semata wayangnya.
Menyerahkan ponsel kepada pemiliknya, Walter langsung menarik tanganku dan menyebrangi jalan tanpa perlu mencari keberadaan zebra cross. Kupikir hanya orang Indonesia yang suka mengabaikan keberadaan rambu-rambu tersebut, ternyata orang Amerika sekali pun juga melakukannya.
Walter membantuku dengan membawakan koperku kemudian menyarankan tempat duduk terbaik yang tidak bisa kutolak. Seleranya bagus juga karena memilih posisi meja di area terbuka di lantai dua, berdekatan dengan tanaman gantung di sudut ruangan dekat pagar pembatas, dan jika menoleh ke arah barat maka pemandangan sunset pun tersaji di celah-celah gedung pencakar langit.
Aroma pizza dengan potongan ekstra daging bercampur keju meleleh mengudara, keberadaan para cacing di perut pun sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Beberapa kali mereka melakukan konser bernada super tinggi, hingga Walter menoleh ke arahku, tertawa lalu mengatakan bahwa seharusnya aku memesan makanan ringan terlebih dahulu untuk menenangkan para cacing tersebut.
"Kau beruntung bertemu denganku dan mengajakmu makan pizza karena jika tidak ...." Walter menyesap kopi yang dia bawa saat menyusulku tadi. "Kau mungkin akan masuk ke dalam surat kabar sebagai warga asing yang tewas akibat kelaparan."
Demi Tuhan, Walter adalah pelawak paling payah di dunia. Semua lelucon yang dia lemparkan sama sekali tidak lucu karena isinya hanya berupa tingkat gengsiku yang berakhir menyiksa diri sendiri. Padahal kalau dia bertanya tentang alasan, maka akan kujawab bahwa di situasi seperti ini kita harus memilih sesuatu secara hati-hati.
"Serius, apa kau tidak punya pembahasan lain selain tentang perut laparku, eh?" Aku menyesap sekali lagi kopi pemberian Walter, hingga kini tandas seutuhnya dan melirik ke arah milkshake cokelat yang baru saja berdiri gagah di hadapanku. Sengaja kupesan milkshake cokelat karena kupikir, mampu menangkan para cacing sambil menunggu pizza kami datang.
"Jika kau ingin pembahasan lain, maka ...." Walter menggantungkan kalimatnya lagi, seolah itu adalah hobi favoritnya. Ia mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja, sengaja membuatku menunggu--menguji kesabaran--hingga sepuluh detik. "Ceritakan tentang bagaimana kau dan mantan pacar gay-mu itu bertemu? Bukan bermaksud kepo, hanya saja aku penasaran seperti apa dia dan kenapa kau bisa tertipu. Padahal--"
"Situs kencan online," selaku penuh emosi karena harus teringat tentang keberadaan Harry. "Sial! Jika bukan karena dia, aku pasti tidak akan berakhir seperti ini."
"Tapi aku bersyukur karena dia, kau bisa bertemu denganku."
"Hei!" Aku memukul meja, memelototi Walter karena membalasku dengan candaan. "Kau tidak akan mengerti bagaimana perasaanku jadi dengarkan saja!"
Mengangkat kedua tangan, Walter pun mengedikkan bahu. "Well, silakan dan akan kudengarkan. Kupikir kita harus memesan dua gelas minuman lagi karena energimu mungkin akan terkuras hanya karena si Brengsek itu."
"Ya, traktir aku sebagai balasan karena bersedia menceritakan masalah pribadi kepada orang asing." Meminum nyaris setengah milk shake cokelat aku pun memulai kisah pilu antara Kirana dan Harry di hadapan Walter. Menikmati soloyang pizza di waktu senja, seolah Walter adalah teman lama.
Well, pengalaman baru di tempat baru. Percayalah, aku tidak pernah seperti ini kepada orang asing, tapi untuk sekarang aku membutuhkannya sebagai objek pelampiasan amarah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro