Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Pumpkin Girl

Yang kulakukan setelah makan siang adalah mencuci piring, mendengarkan lagu melalui headphone, dan sesekali menari mengikuti choreography milik Wanna One. Sebenarnya sudah setahun boyband itu bubar karena masa kontrak telah usai. Namun, karya mereka masih saja membuatku sulit move on hingga kalau bukan karena Tante Lidya yang menarik sebelah headphone-ku, mungkin aku tidak akan sadar bahwa sejak tiga puluh menit berkutat di dapur pekerjaanku sama sekali belum beres.

Serius. Sejak tadi hanya satu piring yang baru kuselesaikan.

"Kamu sudah dua puluh lima tahun, tapi masih aja fangirling-an," komentar Tante Lidya setelah menggeser sebelah headphone-ku lalu melangkah menuju oven yang sedari tadi menghasilkan aroma sedap. "Masih suka nge-dance? Tante kira kamu sudah pensiun sama yang begituan."

Aku menoleh ke arah Tante Lidya, sambil memperingatkan diri agar segera menyelesaikan pekerjaan kemudian meluncur ke kamar Divtia untuk meminjam laptopnya. "Usia bukan batasan, Tante. Lagipula, masih ada nenek-nenek yang masih nge-dance, kok."

"Di Bandung, kamu masih manggung juga?" Tante Lidya menarik perhatianku agar tidak mengalihkan pandangan, terutama saat wanita itu mengeluarkan pumpkin pie dari oven. Aroma gurih dan manis seketika merasuk ke dalam rongga hidung sehingga kembali memancing rasa lapar, meski telah melewati makan siang tiga puluh menit lalu.

Diam-diam aku meneguk saliva, berharap bisa segera menikmatinya.

"Terkadang, kalau ada panggilan."

Tante Lidya menghentikan aktivitasnya lalu menatapku sampai melahirkan rasa salah tingkah akibat dipandang begitu intens. Alhasil, demi menutupi perasaan tersebut aku pun memutuskan untuk secepat mungkin menyelesaikan pekerjaan kecil ini dan--

"Kirana, kalau boleh Tante bicara, sebenarnya enggak ada yang salah kalau kamu menjadi sosok mandiri, tapi keberadaan kerabat--di mana mereka memiliki tanggung jawab atas dirimu--tetap harus diperhitungkan karena--"

Bingo! Tante Lidya jadi malah memulai kembali adegan diskusi yang mana seharusnya itu tidak perlu dilakukan lagi.

"Tante," selaku sebelum pembicaraan di meja makan setiap pagi bersama Paman Arya terulang lagi seperti file di CD yang bisa diputar ulang berkali-kali. "Actually, I have a big plan dan aku butuh proses. Jangan khawatir, uang yang dikirim Paman tetap aku terima, tapi tidak digunakan untuk sekarang." Selesai dengan piring-piring kotor, aku pun memberikan dua jempol di hadapan Tante Lidya. Niatnya supaya wanita itu percaya dan berhenti mengkhawatirkanku seperti yang dilakukan Paman Arya.

Sebenarnya agak heran, kenapa Paman Arya harus bersikap demikian karena kenyataan mengatakan bahwa aku sudah berusia dua puluh lima tahun dan itu merupakan usia dewasa awal. Lain waktu, jika ada kesempatan mungkin aku akan mempertanyakannya kepada Paman Arya.

Di lain sisi, Tante Lidya hanya bisa mengembuskan napas kemudian membuka lemari yang berada di dekat pintu penghubung antara ruang keluarga dan dapur kemudian mengeluarkan pumpkin pie lainnya dengan beberapa hiasan biskuit berbentuk daun. Entah kapan Tante Lidya membuat pie semenarik itu, tapi jika hanya dinikmati untuk orang rumah bukankah ini terasa aneh karena kebetulan kita tidak memiliki perayaan dan sekarang pun bukan tanggal dua puluh enam November.

Aku menghampiri Tante Lidya, memutuskan duduk di kursi depan meja penyajian. "Sekarang bukan dua puluh enam November," kataku memulai rasa penasaran dengan dua perwujudan pumpkin pie yang jelas-jelas berbeda. "Mustahil thanksgiving day mengalami pergeseran."

Tidak langsung menjawab, Tante Lidya lantas tersenyum lebar kemudian mendorong piring berisi pumpkin pie yang telah dihias cantik ke arahku, sambil mengerling ke sebelah kanan. Oke, aku tidak mengerti maksudnya karena jika diartikan secara harfiah, kerlingan Tante Lidya tertuju pada ruang laundry dan semakin aneh kalau dipaksa untuk menyangkutpautkan hubungan antara pumpkin pie dan laundry.

Alhasil aku hanya menatap Tante Lidya dengan pandangan penuh tanya, hingga lima detik saat keisengan melanda.

"Ini adalah pumpkin terbaik dari sekian percobaan yang gagal," kata Tante Lidya, "Dan tidak akan berhasil jika bukan karena guru yang hebat." Ia tersenyum lebar, sambil merendahkan tubuh agar pandangannya bisa sejajar dengan meja penyajian. "Dan guru terbaik itu ada di sebelah rumah kita." Kembali bangkit, Tante Lidya meletakkan kedua tangannya di bahuku--jarak kami tidak terlalu jauh, sehingga melakukan hal tersebut bukanlah hal sulit. "Mrs. Fred, kamu mau bantu Tante untuk mengantarkan ini, 'kan? Hitung-hitung sebagai ramah-tamah agar mereka juga mengenalmu lalu ... oh, dua anak lelaki mereka juga bisa diandalkan sehingga jika kau perlu sesuatu kau bisa mengandalkan--"

"Tante kupikir--"

"Ma!!" 

Ucapanku terputus. Karma is real. Memotong perkataan Tante Lidya secara tidak sopan lalu hal itu terbalaskan saat suara Divtia terdengar dari arah ruang keluarga. 

Tidak hanya suara, tapi langkah kakinya juga terdengar mendekati dapur dan jika ia sampai di sini kuharap kecanggungan di antara kami berdua tidak akan disadari oleh Tante Lidya.

"Ma, aku pergi ke rumah Candice sekarang. Orang tuanya mengadakan pesta barbeque dan Candice mengundangku." Divtia muncul di pintu penghubung antara ruang keluarga dan dapur, kemudian bersandar di dinding tanpa menatap ke arahku.

... atau mungkin, ia menganggapku tidak ada.

Baiklah, kupikir ini wajar jika usiaku masih belasan tahun dan aneh jika usiaku menginjak kepala dua. 

Sungguh aneh karena setiap manusia pasti memiliki kehidupan pribadi, di mana tak semuanya diapat diketahui oleh orang lain, termasuk keluarga sekali pun dan Divtia setelah ia menyeretku meninggalkan Melrose Avenue akibat Walter yang secara sepihak memulai drama, ternyata tidak setuju dengan prinsipku itu. Sehingga sejak kemarin, ia mendiamkanku bahkan hanya berbicara seperlunya. Namun, tidak meninggalkan aktivitas rutin setiap pagi yaitu mengintip kamar Walter melalui jendela kamarku.

Serius, bagian terakhir itu sempat membuatku berpikir bahwa Divtia masih seperti anak kecil meski usianya sudah dua puluh tahun.

"Akan mama sampaikan ke papa, tapi ingat jangan pulang terlalu malam dan telepon dulu jika ingin menginap. Have fun." Tante Lidya melambai kecil kemudian dibalas anggukan antusias milik Divtia, meninggalkan kebingungan luar biasa di kepalaku.

Kebingungan yang terlahir karena tidak ada orang lain yang bisa kujadikan tumbal selain Divtia sebab jika boleh jujur, rumah keluarga Fred adalah hal paling kuhindari sejak kemarin.

Sederhana, alasannya adalah aku menolak untuk bertemu dengan Walter meski terikat janji dengannya karena perubahan status palsu yang begitu tiba-tiba.  

Ya Tuhan, aku bukan lagi anak ABG yang harus malu-malu seperti ini, tapi .... entahlah, aku sendiri bingung bagaimana harus bersikap di hadapan Walter sebelum pesta peyambutan musim panas dimulai.

"Jadi, Kirana," Suara Tante Lidya mengalihkan perhatianku. "Bisa kamu bantu Tante untuk mengantarkan ini?"

Mengerling sejenak dengan terpaksa aku pun mengatakan, "After a minute because I needed to prepare myself." 

Tanpa menunggu lama, aku pun segera bergegas menuju kamar, mempersiapkan ini-itu demi mengantar pumpkin pie di rumah keluarga Fred. Sayup-sayup, aku juga mendengar bahwa Tante Lidya memperingatkanku agar tetap menggunakan Bahasa Indonesia jika berada di rumah ini.

***

Berkunjung ke rumah tetangga bukanlah hal yang merepotkan. Tidak perlu berdandan, apalagi berganti pakaian hanya demi terlihat menarik. Selama berada di Bandung, jika hanya ingin keluar sampai depan gang sejarak seratus meter, aku masih percaya diri mengenakan masker bengkoang di wajah, berpakaian baju tidur jenis baby doll, dan dilengkapi dengan sendal jepit. Namun, untuk kali ini rasanya jelas berbeda.

Aku mengkhawatirkan penampilanku sekarang.

Bukan karena ada Walter di sana, tapi karena Greg juga terlalu menarik untuk dihadapi dengan pakaian terlalu biasa ini. Bonusnya di waktu bersamaan kebingungan tersebut juga ditambahi dengan kegalauan, yaitu jika aku menambahkan sesuatu maka dikhawatirkan akan terkesan berlebihan seolah sengaja mempercantik diri karena ada dua lelaki hot di rumah sebelah.

Nyaris satu menit mondar-mandir di depan cermin, akhirnya dewi batinku pun menyatakan keputusan akhirnya yaitu tidak perlu melakukan perubahan apa pun, selain memperbaiki tatanan rambut menjadi kuciran ekor kuda dan memoles lipbalm dengan warna bibir alami.

"Kirana!" Dan untuk ketiga kalinya, kudengar suara Tante Lidya memanggil dari lantai bawah.

"Ya, aku turun, Tante," kataku, sambil sekali lagi bercermin demi meyakinkan diri bahwa tidak ada yang terlewat atau terkesan berlebihan sekalipun lalu segera menuruni tangga dengan berlari. 

Setelahnya, aku melihat Tante Lidya bersama sepiring pumpkin pie di tangannya. Aroma parfume mengudara dari tubuhnya, pakaian Tante Lidya juga berubah, tidak lagi mengenakan baju kaos dan celana selutut, melainkan dress ungu lavender, dan ketika baru saja ingin bertanya wanita itu terlebih dahulu mendecak.

"Kamu mau ke sebelah aja riwehnya bukan main," kata Tante Lidya sambil menyerahkan sepiring pumpkin pie dengan hiasan cantik di atasnya, kemudian mengambil kunci mobil di gantungan samping pintu. "Tante ada urusan sebentar jadi enggak apa, 'kan kalau kamu di rumah sendirian? Enggak lama, kok cuma setengah jam tanpa waktu perjalanan." Menarik lenganku pelan, Tante Lidya mencium pipi kiriku kemudian pergi setelah mengucapkan salam perpisahan dan sekarang hanya menyisakan aku, dengan sejuta rasa gugup.

Ya Tuhan, tidak pernah merasa seperti ini saat berkunjung ke sarang perjaka. Padahal di Bandung, depan kos-ku juga adalah kontrakan para cowok. Sehingga melihat mereka bertelanjang dada pun, bukanlah hal mendebarkan karena kalau tidak tubuh kerempeng, ya tubuh one pack-lah yang terlihat.

Sayangnya, Fred bersaudara jauh berbeda dengan cowok-cowok di kontrakan depan kos. Mereka berdua memiliki pahatan sempurna untuk membuat sudut bibir wanita basah akibat lapar tak terbendung, sampai-sampai menimbulkan rasa linglung pada diriku.

Namun, tidak ada jalan lain. Amanah adalah hutang dan hutang adalah beban, sehingga beban jika tak segera dijauhkan akan menjadikan seseorang gila dan karena aku menolak untuk jadi gila, maka terpaksa aku harus pergi ke rumah keluarga Fred dengan harapan semoga Mrs. Fred yang menyambutku.

"Ya, tunggu sebentar." Suara seseorang di dalam sana menyambut, ketika aku menekan bel di rumah kelurga Fred. Aku membalasnya dengan anggukan, meski yang berbicara tidak akan mengetahui bahasa tubuhku.

"I'm coming," katanya lagi dengan nada berat khas lelaki, di mana kuharap itu adalah milik Greg.

Jika memang bukan Mrs. Fred, kuharap Greg-lah yang menyambutku, sehingga ....

Oh, shit!

"Hai," sapaan itu bagai badai yang menghajar telingaku. "The sexy and sweet pumpkin girl."

"Apa kau sengaja, Walter?" Kuusahakan agar tetap bersikap normal, meski lelaki di hadapanku tampak di luar batas normal. "Where's Mrs. Fred?"

"Kau tampak cantik dengan pakaian super santai itu? Apa cuacanya membuatmu sangat gerah, eh?" Walter mengabaikan ucapanku dan sambil bersandar pada kusen pintu, ia melilitkan kedua lengannya di atas dada. "Aku suka perpaduannya pada tubuh mungilmu."

Mengambil napas panjang, kuputar mataku di hadapan Walter. "Seriously, Walter? Cepat ambil pie buatan tanteku ini dan katakan 'Terima kasih' pada Mrs. Fred karena akhirnya tanteku berhasil membuatnya dengan harus merepotkanku, sebab harus melihatmu hanya mengenakan boxer."

Refleks kedua pupil Walter melebar, ia menundukkan pandangan kemudian menatapku--berulang kali--hingga makian dengan nada tertahan terdengar setelah ia mengambil pumpkin pie dari tanganku, dan pintu rumah keluarga Fred pun tertutup tanpa basa-basi tetangga.

Aku tersenyum simpul, tidak mampu menyembunyikan semburat kemerahan di kedua pipi juga tidak mampu berbohong tentang tanggapan bahwa, Walter ternyata lucu juga.

"Yeah, thanks for you and I have to go!" seruku sambil melambai pada pintu yang tertutup kemudian memutar tubuh untuk kembali pulang. Namun, belum sempat melangkah sebuah tangan menarik lenganku.

"Jangan pergi dulu sebelum aku mengizinkannya." Itu suara Walter dan dengan kekuatan lelaki, ia menyeretku masuk ke dalam rumahnya tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Ia mengunci pintu, masih dengan penampilan serupa kemudian berbisik. "Tunggu di sini dan jangan mencoba kabur."

"W-what?! No, don't do something weird! Aku di sini bukan untuk 'itu' dan aku akan berteriak jika kau tetap nekat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro