Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25

Setelah rencana pertama gagal, Kemuning dan Caesar Kembali memutar otak untuk membuat cewek yang diketahui bernama Shinta, berhenti menganggu. Segala cara dipikirkan dari mulai paling halus hingga paling ekstrim.

“Bagaimana kalau kita pancing dia ke tempat sepi,” saran Kemuning.

“Trus?”

“Kita culik!”

“Ah, saiko lo mah!”

“Emang ada ide lain?”

“Ehm, gimana kalau kita cariin cowok lain?” Kali ini Caesar yang mengusulkan.

“Oke, siapa?”

Tepat saat itu, Cairo menuruni tangga. Terlihat tampan dalam balutan jaket dan celana hitam kulit. Menenteng tas kecil dan sepertinya bersiap untuk pergi. Kemuning mengedip pada Caesar yang seketika paham dengan maksudnya.

“Kak, mau ke mana?” tanya Caesar.

“Kenapa? Mau ikut?” jawab Cairo sambal lalu, sibuk memakai sepatu.

“Kak, nggak ada niatan cari cewek?” Kali ini Kemuning yang bertanya.

Cairo mengangkat wajah, menatap gadis yang sudah beberapa bulan di rumahnya. Tersenyum kecil dan tanpa diduga menyorongkan wajah mendekati Kemuning. Gadis itu terlonjak tapi Cairo menahan bagian belakang kepalanya.

“Oh, lo mau cariin gue cewek? Boleh, cari yang sexy, ukuran dada minimal C, jangan lupa harus paham fashion styles. Satu lagi ….”

“A-apa?” Kemuning merasa gugup sekarang karena wajah Cairo yang begitu dekat.

“Jangan cemburuan apalagi posesif, itu menyebalkan! Udah cukup? Sana bantu cari.” Cairo melepaskan pegangannya dan seketika Kemuning menghela napas panjang dengan jantung berdetak liar. Ia berpikir, anak asuhnya yang nomor tiga memang selalu kurang ajar.

Tanpa berpamitan, Cairo meninggalkanm Caesar dan Kemuning yang kali ini tertunduk lesu. Merasa mendapatkan jalan buntu.

“Bisa kacau ini, kalau sampai dia ngejar gue terus,” keluh Caesar.

Kemuning memijat pelipis, mencoba mencari cara yang lain. Sampai akhirnya terlintas sebuah ide. Saat ia mengutarakan pada Caesar, sempat mendapat pertentangan.

“Itu nggak mungkin, Ning. Dia udah pernah lihat muka lo!”

“Eit, aku dandan. Pokonya aku buat mukaku beda.”

Meski sedikit sangsi, tapi Caesar setuju pada akhirnya. Kesepakatan dibuat, esok siang Caesar akan membawa Shinta menemui Kemuning di kafe dekat sekolah.

Sesuai rencana, Kemuning hari ini menghias wajah dengan lipstick yang sedikit tebal. Untuk menyamarkan wajah, ia membuat tahi lalat di pipi. Agar terlihat dewasa, ia memakai jaket kulit yang pernah dipakainya waktu ke sekolah Caesar. Selepas makan siang, ia menuju sekolah Caesar dan menunggu di kafe.

Perlu waktu 30 menit hingga akhirnya Caesar datang bersama Shinta. Pemuda itu terlihat pucat pasai, Kemuning memesan minuman dan menyodorkan pada keduanya.

“Halo, namaku Kemuning.”

Shinta menyeruput minuman, tidak membalas sapaan. “Kayaknya kita pernah ketemu.”

Kemuning tersenyum, mengibaskan rambutnya ke belakang. “Oh, tentu saja. Aku orang terkenal. Pasti kamu sering lihat aku di TV’kan?”

“Bukan.”

“Oh, youtube?”

“Bukan juga.”

“Wah, pasti internet. Pokoknya di mana pun itu, aku pastikan itu aku.”

Caesar menepuk jidat, merasa kalau Kemuning bisa gagal bersandiwara.

“Mau apa kamu ajak aku ke sini? Apa kamu naksir Caesar juga?” tanya Shinta.

Kemuning menggoyangkan telunjuknya. “No, bagaimana mungkin aku naksir adik iparku?”

“Hah!” Kali ini baik Caesar maupun Shinta terlihat bingung.

“Kamu kakak ipar Caesar?”

“Iya, kakak ipar. Jadi, sebagai kakak ipar yang baik, aku ingin melihat pergaulan Caesar secara langsung. Kebetulan, aku lihat kamu nguntit dia terus. Apa maumu, Shinta?”

Pertanyaan Kemuning yang diucapkan dengan nada serius membuat Shinta menunduk. Menghela napas panjang, gadis itu mendongak. “Sebenarnya, aku nggak ada maksud apa-apa. Hanya ingin kenal lebih dekat.”

“Karena dia baik sama kamu?” tanya Kemuning.

Shinta mengangguk antusias. “Salah satunya itu tapi alasan lain adalah ….”

Kemuning dan Caesar menunggu dalam diam, saat Shinta mencopot kacamata dan tersenyum pada keduanya.

“Aku suka makan, tapi karena ibuku sudah meninggal tidak ada lagi yang memasak untukku. Saat Caesar memberiku roti isi daging, aku merasa dadaku bergetar bahagia.”  Shinta menepuk dadanya dengan ekpresi bahagia. “Setelah bertahun-tahun, aku mencari aroma ibuku dalam masakan, akhirnya aku mendapatkan dari roti itu. Rasanya, tekturnya, dan wangi mentega yang membalut roti, itu seperti ibuku.”

Nada suara Shinta tergetar, dan Kemuning menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu. Caesar bahkan terdiam dengan wajah menyiratkan rasa iba.

“Kamu tidak pernah menemukan aroma ibumu dalam masakan?”

Shinta menggeleng. “Tidak, itulah kenapa berat badanku terus menerus turun, karena tidak mampu menelan makanan dengan baik. Tidak peduli seberapa mahal makanan itu, atau orang-orang mengatakan itu enak, bagiku biasa saja.”

“Bagaimana dengan ayahmu?”

“Menikah lagi dan bahagia dengan istri dan anaknya. Aku tinggal sama Nenek.”

Kemuning mengedip, matanya mendadak memanas. “Roti itu yang buat aku, kamu tinggal minta. Kenapa membuntuti Caesar dengan membawa tali?” tanyanya sekali lagi.

Shinta tersenyum, meraih tangan Kemuning dan meremasnya. “Benarkah roti itu kamu yang buat? Terima kasih banyak, kamu membuatku bahagia.”

Kemuning tidak dapat menahan rasa senangnya. “Sama-sama. Kamu mau lagi? Besok aku buat dan titip Caesar.”

Shinta mengangguk kencang. “Iya, mau. Dan ini ….” Ia mengeluarkan tali dari dalam tas lalu menyerahkan pada Caesar. “Aku lihat waktu itu Caesar sedang memperbaiki jaring net voli. Tapi, karena talinya nggak ada, jadi aku mau bawakan buat dia.”

Caesar menerima dengan senyum di bibir. “Lo tinggal bilang, ngapain harus lari-lari ngejar gue?”

“Maaf, bikin kamu takut. Tapi, ketemu kamu bikin aku bahagia.”

“Lain kali lo bisa ngomong baik-baik, kalau memang suka sama roti itu, gue bawain tiap hari.”

Shinta mengangguk dan mengucapkan rasa terima kasih bertubi-tubi, setelahnya ia pamit pergi, dan berjanji tidak akan mengganggu Caesar lagi. Kemuning melepas kacamata hitam yang ia pakai dan menatap punggung gadis itu yang menjauh. Perasaan sendu bercampur rindu pada orang tua mengusiknya.

“Kasihan dia, kami sama-sama sudah nggak punya ibu,” ucap Caesar.

Kemuning mengangguk. “Iya, kasihan dia. Kangen ibunya.”

“Keluarga, harta yang paling berharga dan seorang ibu adalah inti sari keluarga.”

“Wah, tumben Caesar bijaksana. Tapi, lo bener.”

“Yuk, pulang! Tugas lo selesai hari ini dengan sangat baik.”

Kemuning tergelak, mengekor Langkah Caesar. “Kalau gitu gue dapat bayaran nggak?”

“Ckckck, dasar matre! Ingat, Ning. Kita lagi nolong anak piatu. Masa lo tega minta duit?”

“Dih, nggak bisa gitu dong? Kalian berempat anak piatu juga tapi punya duit, masa aku yang miskin ini harus mengalah?”

“Iyaa, yaaa, ntar gue bayar.”

“Yess!”

“Btw, lo demen banget ngaku jadi kakak ipar gue. Sebenarnya lo naksir siapa?”

Kemuning merasa wajahnya memanas dan ia menunduk. “Nggak ada!”

“Ehm, masa? Kak Carlo? Karena dia paling royal sama lo, dan paling bijak?”

“Bukaan!”

“Gue tahu, Kak Cavin karena dia paling tampan, paling lembut, dan sopan.”

“Bukan juga!”

“Kak Cairo? Nggak mungkin! Lo naksir dia bakalan makan hati, Ning. Terlalu banyak saingan. Ning, inget ye. Jangan baper sama Kak Cairo!”

“Nggak ih.”

Keduanya berdebat sepanjang jalan pulang, dan keesokan harinya Kemuning menepati janjinya untuk membuat roti isi daging bagi Shinta. Nyaris setiap hari ia lakukan, hingga suatu hari mendapat kabar kalau gadis itu pindah sekolah karena mengikuti neneknya. Kesedihan menyergap Kemuning, untuk seorang gadis yang baru saja ia kenal. Ia berharap, Shinta menemukan aroma masakan ibunya, suatu hari nanti.

**

Part ini sama sekali nggak bisa dibuat lucu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro