Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24

Setelah keluar dari rumah sakit, tidak perlu waktu lama bagi Cavin untuk Kembali masuk kantor. Sebenarnya, Kemuning merasa kuatir karena takut kalau anak asuh keduanya itu belum begitu kuat. Namun, Cavin gigih untuk tetap bekerja. Didorong rasa cemas, ia mengirim pesan pada Sherina dan meminta wanita itu membantu mengawasi Cavin. Terkadang, Kemuning merasa geli dengan dirinya sendiri karena begitu kuatir dengan laki-laki dewasa yang bahkan lebih tahu menjaga diri disbanding dirinya.

“Ning, lo lihat celana boxer gue yang hitam nggak?” Cairo, seperti biasa setiap kali hendak berangkat kerja selalu kehilangan barang pribadi.

“Di rak nomor dua, sebelah kanan,” jawab Kemuning tanpa menoleh, sibuk dengan persiapan sarapan.

“Ning, pagi ini lo bawain gue bekal nggak?” Caesar meluncur turun dalam seragam lengkap.

Kemuning menoleh heran. “Mau bekal apaan?”

“Apa aja, roti isi daging atau telur. Jam pertama olah raga, takut laper.”

“Ya udah, duduk sarapan dulu. Aku buatin sebentar.”

Kemuning bergerak cepat, membuat roti isi daging dan menyerahkannya pada Caesar. Setelah Cairo dan Carlo sarapan dan pergi bekerja, keadaan rumah menjadi sepi. Ia memanfaatkan waktu dengan membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, dan bergosip dengan tetangga.

Pukul dua sore, Caesar pulang dengan tubuh bersimbah peluh. Pemuda itu ambruk ke sofa dengan napas tersengal.

“Kenapa kamu?” tanya Kemuning heran.

Caesar menggeleng. “Nggak ada apa-apa, cuma takut aja gue.”

“Takut kenapa?”

“Ada pokoknya.”

Caesar tidak menjelaskan lebih lanjut, selesai makan siang bergegas ke atas dan tidur hingga waktu makan malam tiba. Kemuning menduga, anak bungsunya itu kelelahan. Namun, keesokan harinya terjadi hal yang sama dan bahkan kali ini Caesar pulang sekolah dalam keadaan lecet-lecet di wajah.

“Kamu kenapa, sih?” tanya Kemuning heran, saat membantu Caesar mengompres muka.

“Panjang ceritanya, Ning. Kali ini gue butuh bantuan lo. Entah gimana caranya, lo harus bantu gue.”

“Maksudnya apaa?”

Caesar menghela napas panjang, sedikit mengernyit saat merasakan perih di pelipis. “Hari kemarin, gue olah raga. Ada satu cewek lagi dibuli sama temen-temennya gitu. Gue ngrasa kasihan, gue tolong. Trus, bekel roti dari lo juga gue kasih dia. Nggak tahunyaaa ….”

“Apa?”

“Dia ngikutin terus ke mana gue pergi, dari mulai kelas, WC, bahkan sampai pulang pun dia ngikuti. Gue lari, dia ikut lari, Ning. Hari ini malah lebih parah, dia mau nangkep gue sampai bikin gue kepentok pohon. Parah pokoknya.”

Kemuning tercengang mendengar ucapan Caesar, tidak menyangka kalau di dunia ini ada jenis cewek seperti itu.

“Kamu pellet dia?” tanyanya spontan.

“Mana ada! Yang ada malah dia bikin gue takut!”

“Trus, kamu mau aku bantu apa?”

Caesar menghela napas panjang dan membeberkan rencannya. Tidak semua hal yang ia katakan disetujui oleh Kemuning karena gadis itu cenderung suka membantah. Setelah pembicaraan alot selama tiga jam, akhirnya tercapai kesepakatan. Besok siang, sebelum jam sekolah berakhir, Kemuning akan datang ke sekolah Caesar.

“Tunggu, sebelum aku ke sana. Sini, bagi duit dulu.” Kemuning menadahkan tangannya pada Caesar,

“Duit buat apa? Masa lo minta dibayar?”

“No-no, ini duit buat beli baju. Kamu piker aku nyamar nggak perlu beli kostum? Mana duitnya?”

Caesar mencebik, mengeluarkan tiga lembar rautan ribu dan menyerahkan pada Kemuning. “Lo matre amat, emang nggak bisa pakai baju biasa.”

“Ye, kamu mau dibantu nggak? Jangan pelit jadi orang!”

Keesokan paginya, saat ke pasar untuk membeli sayur mayur, Kemuning sekalian membeli baju untuk dipakai. Pukul 12 siang ia sudah siap dengan seragam putih, celana putih, dan dasi. Ia mengamati penampilannya di cermin dan merasa kalau masih pantas menjadi anak sekolah. Dengan ojek online, ia menuju ke sekolah Caesar, berharap tidak bertemu para guru yang akan mengenalinya.

Waktunya pas, saat tiba di sana sekolah sedang buburan. Kemuning mengirim pesan pada Caesar di tempat yang sudah ditentukan. Setengah jam kemudian, saat keadaan mulai sepi, dari arah gerbang terdengar teriakan.

“Niiing! Bantu gueee!”

Caesar datang dengan berlari dan tergeletak di belakang Kemuning. Belum sempat Kemuning bertanya, dari arah gerbang muncul seorang gadis berkacamata dan mengacungkan benda yang terlihat seperti tali. Kemuning menghalangi gadis itu dengan merentangkan tangan.

“Kamu siapa? Minggir kamu!”

Kemuning merasa tangan Caesar menepuk bahunya dan ia mengerti. “Aku yang harusnya tanya kamu. Siapa kamu? Kenapa ngejar-ngejar pacar akuu!”

Gadis berkacamata itu melotot, menatap ke balik punggung Kemuning di mana ada Caesar berdiri dengan terengah.

“Bohong kamu, Caesar itu milikku!” ucap gadis itu.

Kemuning melotot. “Apa-apaan, kamu. Dia milikku. Apa kamu tahu seberapa dekat kami? Kami tinggal bersama!”

“Aduh!” Caesar merintih.

Gadis berkacamata menyipit. “Bohong!”

“Oh, nggak percaya. Aku yang siapin dia dari ujung kaki sampai kepala. Dari mulai masak, cuci baju, siapin sarapan, bahkan ukuran celana dalamnya pun aku tahu. Mau bukti?”

“Apa buktinya?” tantang gadis itu.

Kemuning menoleh. “Caesar, buka celana.”

“Apaa? Lo gilaaa, ya!” Caesar berteriak tak percaya.

Kemuning menghela napas. “Maksudnya, buka dikit aja pinggiran. Kasih lihat dia kalau kamu hari ini pakai boxer biru.”

“Ning, jangan ngadi-ngadi lo!”

“Mau urusan ini cepat beres nggak?” desis Kemuning.

“Nggak gini juga caranya. Masa gue buka celana di pinggir jalan.”

“Nggak ada yang lihat!”

Terdengar deheman dari gadis berkacamata yang menghentikan perdebatan mereka. Gadis itu tersenyum dan memutar tali di tangan.

“Caesar, jangan percaya dia. Ayo, ikut aku saja.”

Kemuning pasang kuda-kuda. “Awas kamu mendekat. Aku hajar!”

“Silakan kalau berani. Aku teriak biar seluruh sekolah tahu aku dianiaya.”

Kemuning mencibir. “Ayo, kalau bera--,”

Belum selesai ucapannya, gadis berkaca mata itu berteriak lantang. “Toloong! Copeet!”

“Lari, Niing!”

Caesar yang panik meraih tangan Kemuning dan keduanya berlari menyusuri trotoar yang panas.

“Kenapa harus lariii!” tanya Kemuning dengan tersengal.

“Nggak tahu, lari aja dulu!”

“Aargh! Aku capeek!”

“Dikit lagi nyampai halte bus.”

Kemuning merutuk dalam hati, menyesali rencananya yang gagal total. Dalam hati benak ia menyumpahi nasibnya yang selalu diajak berlari oleh kakak beradik, setiap kali ada masalah.

“Kemarin Cairo, hari ini Caesar. Lama-lama aku ikut kejuaraan marathon.”

**

Bersambung

Jangan lupa ikut PO cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro