Bab 2
Awalnya, Kemuning merasa ketakutan berada satu rumah dengan empat laki-laki. Ia sering kali merasa kikuk setiap kali bertegur sapa dengan mereka. Untungnya, para penghuni rata-rata orang sibuk yang lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah dan mereka lebih sering berkumpul saat sarapan atau makan malam.
Seminggu berlalu dan ia masih belum terbiasa tinggal bersama mereka. Banyak hal yang tidak ia mengerti karena selain datang dari kampung, ia juga tidak paham kebutuhan sehari-hari para penghuni rumah. Dari soal makan, pakaian, dan kebersihan. Tidak pernah ada hal yang sama dalam kehidupan para penghuni rumah bercat putih, setiap hari selalu ada hal baru untuk dipelajari.
Ia menghapal satu per satu nama penghuni rumah. Anak pertama Carlo, berumur 27 tahun dan seorang bisnisman di bidang elektronik. Laki-laki baik dan ramah dan paling bijaksana di antara semua. Bisa dikatakan, Carlo adalah sang pengambil keputusan kalau rundingan dirasa tidak ada jalan keluar.
Anak kedua, si laki-laki cantik adalah Cavin, 25 tahun, seorang arsitek. Senyum Cavin dan wajahnya yang memesona tak jarang membuat Kemuning hilang akal. Laki-laki cantik itu tidak banyak bicara, meski sering kali saat menyapanya penuh dengan keramahan. Bagi Kemuning, Cavin identic dengan tokoh di drama Korea yang tampan, menawan, dan baik hati. Sanggup membuat siapa pun jatuh cinta hanya dalam sekali pandang.
Anak ketiga, Cairo 23 tahun adalah seorang seniman dan foto model. Laki-laki paling cuek yang pernah ia temui dan sering kali bersikap sembarangan, seolah-olah tidak ada seorang gadis di dalam rumah. Cairo bicara lebih blak-blakan dan apa adanya. Justru ketegasannya yang membuat para saudaRania terdiam, setiap kali bersilat lidah tentang sesuatu. Cairo juga amat tampan dengan tubuh tinggi atletis dan rambut gondrong, bukan jenis ketampanan cantik seperti anak kedua.
Terakhir adalah Caisar, 18 tahun dan masih pelajar di SMU sebaya dengan Kemuning yang berumur 20 tahun. Bagi Kemuning, Caesar tak ubahnya seorang adik. Anak laki-laki itu lebih berisik dari saudaRania yang lain dan sering kali meminta sesuatu yang membuat Kemuning repot. Ia berniat menghindari konflik dengan Caesar karena tahu pemuda itu susah mengalah.
Rumah besar bercat putih, dalam keadaan bersih setelah dibersihkan oleh Kemuning. Peralatan dapur dicuci dan ditata rapi, begitu juga ruang tamu dan ruang makan. Untuk lemari, Kemuning agak kesulitan dengan pekerjaannya. Saat pertama kali melihat boxer dan celana dalam laki-laki di keranjang cucian kotor, ia merasa dadanya berdebar tak karuan. Terlebih saat harus menyentuhnya. Ia yang seumur hidup belum pernah melihat benda itu, kini dibuat bertanya-tanya, merek apa punya siapa dan bagaimana wujud isi dari celana itu yang sesungguhnya. Menepuk jidat, Kemuning berusaha mengusir pikiran kotornya yang mengembara.
“Itu celana boxerku, kenapa kamu pegang-pegang?”
Kemuning mendongak dan menatap Cavin yang menegurnya di pintu belakang. Serta merta, ia menyembunyikan boxer ke belakang tubuhnya. “Bukan, itu, anu ….”
Cavin terlihat geli, tanpa kata membalikkan tubuh dan sebelum pergi ia berujar ringan. “Maaf kalau ada jejak, kadang situasi pagi membuat kami tidak terkontrol.”
Kemuning melongo, tidak mengerti dengan jejak di boxer dan situasi pagi. Wajahnya memanas dan merasa malu karena kepergok memegang celana boxer.
***
Senin pagi, seperti biasanya Kemuning sibuk membersihkan rumah sebelum menyiapkan sarapan. Ia berjengit saat terdengar teriakan dari lantai dua.
“Kemuning, naik ke atas. Bantu gue cari dasi!”
Suara Caisar terdengar menggelegar hingga terdengar di seantero rumah. Kemuning setengah berlari menaiki tangga dan hampir terpeleset saat berpapasan dengan Cairo yang turun dengan tergesa.
“Ning Ning, hati-hati lo. Jangan sampai jatuh dan kaki keseleo!” Laki-laki gondrong itu berlari melewatinya dan membuat Kemuning menepuk dada karena kaget.
Ia bergegas ke kamar Caisar dan membantu pemuda itu mencari dasi. “Kenapa baru cari sekarang? Kenapa bukan tadi malam?” tanyanya sembari mengaduk isi lemari.
“Gue juga nggak tahu kalau bakalan hilang!” Caisar menyugar rambut dengan frustrasi.
Mereka berdua mencari di setiap sudut kamar dengan Caesar terus menggumam tanpa henti. Dan akhirnya mendapati dasi yang dicari terselip di dalam sarung bantal. Kemuning tidak habis pikir, kenapa benda itu ada di sana. Ia membuat catatan dalam otak, untuk merapikan pakaian Caisar jika diizinkan. Terlebih saat menatap kamar Caisar yang berantakan, hatinya merintih kesal.
Selesai mencari dasi, ia turun ke dapur untuk membuat sarapan. Di meja, sudah ada Carlo, Cavin, dan Cairo. Ketiga laki-laki itu sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Ning Ning, buatkan kami kopi,” perintah Cairo.
Kemuning merasa ada yang aneh dengan apa yang didengarnya. Ia mendekat dan bertanya dengan ragu-ragu. Menunduk saat matanya bertatapan dengan pandangan Cavin.
“Maaf, namaku Kemuning.”
Protesnya membuat Cairo mengangkat wajah dari atas ponsel, dan menyibak rambut gondrongnya. “Gue tahu nama lo Kemuning, terus masalahnya apa?”
“Tadi itu, kenapa manggil Ning Ning.”
Cairo mengangkat sebelah alis, menatap gadis di depannya. “Ning Ning itu nama panggilan yang pas buat lo. Masa iya mau dipanggil Keke? Atau Munmun? Emangnya kamu muntah? Udah, nggak usah protes. Ning-Ning paling bagus.”
“Tapi--,”
“Ning, bisa dipercepat sarapannya? Kami sudah telat.” Teguran dari Carlo membungkam bantahan yang hendak keluar dari mulut Kemuning. Dengan perasaan sebal karena Cairo seenaknya saja mengubah namanya, ia mulai memasak. Hari ini, menunya roti isi ham dan kopi seperti biasanya.
Tak lama terdengar langkah kaki Caisar yang bergabung bersama kakak-kakaknya dan mulai berceloteh tentang pertandingan bola.
Selesai memasak, Kemuning menyajikan makanan di depan masing-masing orang dan ia tertegun saat Carlo menegurnya.
“Ning, kenapa dagingku gosong.”
Kemuning mengerjap, melihat potongan daging yang sedikit menghitam. “Eh, maaf, Pak.”
“Pak? Aku belum setua itu untuk jadi bapakmu.”
“Anu, Om.”
“Om, apa aku terlihat seperti om-om?”
Cavin, Carlo, dan Caisar tidak dapat menahan senyum mereka saat melihat Kemuning salah tingkah di depan Carlo.
“Kalau begitu, Mas?”
“Serasa jadi tukang bakso,” tukas Carlo lembut.
Tawa meledak di seantero meja makan dan Kemuning berdiri menunduk, menahan malu. Ia tidak tahu, panggilan apa yang pas untuk Carlo yang jauh lebih tua darinya.
“Panggil, Kak.” Akhirnya Carlo memberi jalan keluar yang membuat Kemuning bernapas lega. Memang harusnya ia memanggil yang lebih tua dengan sebutan kakak dan menolak panggilan yang sama pada Caisar, yang menurutnya lebih cocok jadi adiknya.
“Pagi ini drama dasi dan daging ham, entah apa besok,” pikir Kemuning suram saat rumah sepi karena empat penghuninya sudah pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro