Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Bersikap bodo amat tapi tetap waspada, itu yang dilakukan Kemuning selama Ayumi ada di rumah. Ia mulai berpikir bijak, tentang kerugian yang dialami kalau menuruti emosi. Ia memang tidak menyukai sikap Ayumi yang menurutnya arogan, tapi yakin bisa bertahan asal pekerjaannya tidak diganggu. Sebisa mungkin ia menghindari adu mulut dengan wanita itu, kalau pun tetap merasa jengkel maka satu-satunya orang yang bisa diajak bicara karena sering di rumah adalah Caesar.

“Nggak ngerti aku apa maunya, segala masakanku diprotes. Kurang asin, keasinan, kurang pedes, anak tetangga yang numpang tapi ribet!”

“Sabar, Ning. Dia nggak akan lama,” ucap Caesar menenangkan.

“Iyaaa, Kak Cairo, Kak Cavin, Kak Carlo juga bilang gitu. Sabaaar, Ning. Tetap saja, hatiku panas.”

“Nah, dari pada hati panas, mending kita bikin es kopi jelly Ning.”

“Kok malah minta dibuatin makanan? Aku lagi curhat ini.”

“Curhat sambil minum es kopi, mantap rasanya. Yuuk ah!”

Ditemani Caesar, Kemuning membuat es kopi jelly kesukaan pemuda itu. Saat itulah, pintu belakang terbuka dan Cavin masuk bersama Ayumi. Kemuning mendongka, menatap wajah Ayumi yang terlihat basah dengan mata memerah. Sepertinya, keduanya baru saja bertengkar dan Ayumi menangis.

“Apa kamu lihat-lihat!” bentak Ayumi kasar.

Kemuning mengangkat es kopi di dalam gelas dan tersenyum. “Es kopi enak dan dingin.”

Tidak mengindahkan Ayumi, ia duduk di meja makan berhadapan dengan Caesar. Sementara Cavin duduk di sebelahnya.

“Ning, aku juga mau,” ucap Cavin.

“Iya, Kak.”                                                        

Saat Kemuning sibuk membuat es kopi untuk Cavin, terdengar suara Ayumi.

“Kamu nggak bisa giniin aku, Cavin. Selama bertahun-tahun aku pergi dan berharap saat kembali kamu sudah berubah. Ternyata, makin membuatku kecewa.”

“Berubah, bukan hanya untuk aku tapi juga untuk Cairo. Kami bukan anak kecil yang bisa kamu adu domba dan manipulasi, Ayumi.”

“Cavin! Kamu jelas tahu bagaimana perasaanku dari dulu!”

“Bisa jadi, sebelum kamu menanam benih luka yang sama di hati Cairo. Dulu, kami masih muda dan naif, memandangmu sebagai gadis cantik dengan kelembutan luar biasa, ketika manipulasimu terbongkar, kamu menyalahkan kami dan membuat aku dan Cairo terlibat pertengkaran panjang. Sudahlah, Ayumi. Kami tidak tertarik lagi main cinta-cintaaan denganmu.”

Baru pertama kali, Kemuning mendengar Cavin bicara panjang lebar, rupanya hubungan rumit pernah terjadi di antara Cavin, Cairo, dan Ayumi.

“Kamu menyakitiku, Cavin.” Terdengar isak Ayumi.

“Kamu yang menyakiti kami lebih dulu. Waktu berubah, sama sepertiku, Cairo aku rasa juga tidak ada lagi cinta untukmu.”

“Kejaam kalian.”

Ayumi melesat pergi, menuju pintu depan. Kemuning berpandangan dengan Caesar dengan tatapan tidak mengerti. Tak lama, hujan turun dengan deras. Entah kenapa, Kemuning kuatir dengan Ayumi yang meninggalkan rumah dalam keadaan menangis. Ia yakin, wanita itu tidak pergi jauh. Berinisiatif, ia mengambil payung dan melangkah menuju taman. Tempat favoritnya kala ingin sendiri. Dugaannya benar, ada Ayumi duduk di ayunan dengan tubuh basah tersiram hujan. Menyingkirkan rasa enggan, ia mendatangi wanita itu dan menutupi tubuhnya dengan payung.

Ayumi mendongak, menatap Kemuning dengan heran. “Mau apa kamu? Mau mengejekku?”

Kemuning menggeleng. “Lagi hujan, nanti masuk angin.”

“Memangnya ada yang peduli kalau aku masuk angin.”

“Eh, aku akan repot pastinya. Karena kalau kamu sakit yang mengurus pasti aku, bukan anak asuhku.”

Ayumi menunduk menahan isak. “Aku benci sekali sama kamu. Apa kamu tahu alasannya?”

“Nggak, karena kadang orang membenci tanpa alasan. Sama seperti cinta.”

“Aku benci dengan sikap lugumu, dengan ucapanmu dan tindakanmu yang apa adanya. Kamu merebut perhatian Cavin dan Cairo yang seharusnya ditujakan padaku.”

Kemuning menahan napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Setahuku, mereka bersikap sama dari sebelum kamu datang. Tidak ada yang berubah.”

“Tapi, mereka berubah padaku.”

“Waktu berlalu, hati bisa berputar haluan, apalagi cinta.” Detik itu juga, Kemuning bingung dengan ucapannya sendiri. Terlebih soal cinta-mencinta. Tahu apa ia soal cinta sedangkan punya kekasih saja tidak pernah.

“Ning, kamu di sini?”

Saat hujan mereda, terlihat Cairo mendatangi mereka. Pemuda itu menatap Kemuning dan Ayumi bergantian.

“Ning, kamu bisa pulang sekarang. Aku ingin bicara dengan Ayumi.”

Tanpa kata, Kemuning mengangguk. Terakhir kali, sebelum pergi ia mengamati bagaimana Carlo bicara dengan Ayumi. Suaranya terdengar lembut membujuk. Seketika ada yang aneh dengan dirinya. Ia bertanya-tanya, akan seperti apa kelak hatinya kalau jatuh cinta.

Keesokan harinya, Ayumi berniat pergi. Wanita itu membawa seluruh barang-barangnya dan berpamitan dengan wajah pucat.

“Terima kasih sudah mengizinkanku tinggal di sini, Kak Carlo aku pamit pergi.”

Carlo mengangguk kecil. “Kamu akan selalu menjadi bagian dari keluarga ini, Ayumi. Aku selalu menganggapmu adikku.”

Ayumi mengangguk, berpindah pada Cavin. “Sekali lagi, maaf untuk semua yang sudah aku lakukan.”

Cavin tersenyum, mengusap pundak Ayumi. “Hati-hati, di jalan.”

“Cairo, terima kasih untuk pencerahannya.” Kali ini Ayumi bicara dengan Cairo. “Waktu berubah, dan aku yang masih menganggap segala sesuatunya sama, ternyata aku salah.”

Cairo mengangkat bahu. “Waktu akan mendewasakan kita. Jangan bersikap sembarangan lagi, orang tuamu kuatir.”

Ayumi memeluk Cairo lalu berpindah pada Caesar. Terakhir, wanita itu berdiri menghadap Kemuning dan tersenyum manis.

“Aku pergi bukan karena kalah, Ning. Kamu jangan merasa hebat dulu.”

Kemuning terperangah. “Eh, kok pamitan sama aku beda, ya!”

“Tentu saja, kamu pikir aku tidak tahu kamu suka dengan siapa?” Ayumi berbisik di telingannya.

“Su-suka apa?” Kemuning bertanya gagap.

Saat Ayumi menyebut satu nama, hati Kemuning berdebar tak terkira, Bagaimana mungkin, Ayumi bisa melihat apa yang ia rasakan.

“Ingat, Ning. Aku hanya pergi sementara, suatu saat akan kembali untuk merebut apa yang menjadi milikku.”

Tidak ada bantahan dari Kemuning, ia menatap kepergian Ayumi dengan pikiran bertanya-tanya. Siapa yang berhasil membuat Ayumi pergi, Cairo apa Cavin?

Sepeninggal Ayumi, rumah dalam keadaan tentram kembali. Tidak ada lagi tukang protes masakan, atau jam tidur Kemuning. Kehidupan berjalan normal dan Kemuning kembali ke rutinitas.

“Ning, es kopi jelly kemarin yang lo bikin, gue bawa ke sekolah trus gue suruh temen-temen nyobain. Enak kata mereka.” Caesar berucap antusias pada Kemuning saat pulang sekolah.

“Wah, mantap.”

“Ayo, bikin yang banyak. Kita jualan.”

Kemuning melotot. “Jualan es kopi?”

“Modalnya dari mana?”

“Tenang, ada tabungan gue.”

“Oke, siip. Trus pembagian keuntungan bagaimana?”

“Lo dapat 30 persen bagaimana?”

“Nggak mau, enak aja. Aku yang masak, aku yang bungkus cuma dapat 30 persen. Lima puluh baru benar.”

“Modal dari gue, Ning. Gue juga yang jualin.”

“Tapi aku yang capek!”

Keduanya terus berdebat tentang keuntungan es kopi, hingga malam tiba tidak ada titik temu tentang pembagian keuntungan. Gagal sudah rencana keduanya untuk membeli rumah, mobil, dan skincare dari jualan es kopi.

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro