Bab 16
Kehadiran Ayumi di rumah, selain berkah karena ia naik gaji juga musibah. Wanita itu sangat rewel dan sengaja menguji kesabaran. Sering kali Kemuning dibuat hilang sabar, dan ingin rasanya menatang Ayumi untuk berkelahi. Tapi, ia tahu diri posisi hanya seorang maid, tidak seharusnya bersikap tidak sopan meski tidak suka.
Dari pengamatan Kemuning, Ayumi sangat menyukai Cavin tapi juga sering mencari perhatian Cairo. Ia tidak tahu, di antara dua anak asuhnya itu mana yang lebih disukai Ayumi.
“Ning, sibuk nggak?”
Teguran dari arah pintu membuat Kemuning yang sedang membersihkan kulkas terlonjak.
“Nggak, Kak. Butuh sesuatu?”
Cavin datang menenteng bungkusan. “Aku bawa martabak, bisa buatkan kopi?”
Kemuning mengangguk, menuju mesin ekpresso dan mulai menyeduh kopi. Tak lama secangkir kopi hitam mengepul ia hidangkan di depan Cavin.
“Martabak telur, Ning. Ayo, duduk. Kita makan.”
Tanpa sungkan Kemuning makan dan menemani Cavin mengobrol. Dibandingkan saudara-saudara yang lain, Cavin terhitung paling pendiam. Laki-laki cantik yang tidak banyak tingkah.
“Enak, Kak.” Kemuning berdecak nikmat.
Cavin tersenyum. “Habiskan kalau kamu suka. Awas, ada minyak di ujung bibirmu.” Menggunakan selembar tisu, Cavin membantu Kemuning mengelap bibir.
Kemuning meringis. “Makasih, Kak.”
“Sedang apa kalian?”
Suara Ayumi terdengar dari pintu. Wanita itu menyipit, menatap Cavin dan Kemuning bergantian. “Enak sekali seorang Maid makan barengan majikan. Satu meja pula!”
“Ayumi, mau martabak? Duduk di sini kalau mau.” Cavin mengabaikan protes Ayumi, menunjuk kursi di sebelahnya. “Enak martabaknya. Mau kopi? Biar Kemuning yang buatkan.”
Ayumi duduk, menatap Kemuning tajam. “Masih duduk? Buatkan aku kopi!”
Menahan kesal, Kemuning menyeduh kopi. Dalam hati ia bergumam, harusnya wanita itu datang setelah martabak habis. Kalau gini, ia rugi karena baru makan beberapa potong.
“Kenapa kamu judes sekali sama Ning Ning.” Ucapan Cavin terdengar lembut di dapur.
“Kenapa kamu membelanya?” Ayumi menyahut kesal.
“Tidak ada yang membela, hanya mencoba mendamaikan kalian. Ayumi yang aku kenal dulu, sangat lembut dan ramah.”
Terdengar dengkusan kasar dari mulut Ayumi. “Aku yang dulu sudah mati karena kamu dan Cairo. Kamu lupa itu Cavin?”
Cavin menghela napas panjang. “Itu masa lalu, Ayumi.”
“Oh, jelas. Karena sampai sekarang aku masih tidak bisa lupa bagaimana aku dipermalukan oleh kalian.”
Kemuning terdiam di dekat meja, merasa berdosa karena sudah mencuri dengar percakapan yang tidak seharusnya ia dengar. Ia kebingungan, apakah pantas kalau ingin menyela percakapan sekarang? Belum tuntas kebingungannya, dari arah pintu kembali terdengar teriakan.
“Ning, lo di mana? Gue bawa martabak!”
Cairo datang bersama Carlo dan mereka meneteng bungkusan. Keduanya menatap Ayumi dan Cavin yang berada di meja.
“Oh, kalian makan martabak juga.”
“Aku yang beli,” jawab Cavin kalem.
“Asyiik! Aku makan martabak banyak!” Kemuning meletakkan kopi Ayumi di atas meja dan menghampiri Cairo. “Martabak apa? Telur?”
Cairo mengangguk. “Yup, spesial.”
“Yuuk, ah. Kita makan di teras belakang saja,” ajak Kemuning bersemangat. Ia tidak ingin mengganggu percakapan Ayumi dan Cavin.
“Oh, maid tak tahu malu. Bisa-bisanya mengajak majikan makan berdia. Tahu diri dong!” Ayumi berteriak keras, bangkit dari kursi dan menuding Kemuning. Lama-lama emang kamu nglunjak kalau dibiarin. Aku akan telepon Om Wicaksono, biar kamu diberhentikan dari rumah ini.”
“Ayumi!” Terdengar teguran dari Carlo. “Jangan gegabah.”
Kemuning berkacak pinggang, menatap Ayumi tajam. “Aku nggak tahu apa masalahmu sama aku. Tapi, aku di sini kerja jadi jangan ikut campur. Ingat, yang menggaji aku bukan kamu.”
Ayumi meringis. “Nah, makin nggak tahu diri. Tapi, bagus kalau kamu tahu kedudukanmu hanya babu.”
Kemuning melipat lengan kaosnya dan menaikkan dagu. “Ayo, ke luar. Kita baku hantam di halaman. Nggak usah banyak-banyak, satu ronde saja.”
“Apaa? Kamu mengajakku berkelahi?” jerit Ayumi.
“Yoi, dengan begitu kita bebas memaki dan memukul satu sama lain. Ayo!”
“Dasar gadis bar-bar! Nggak tahu tata karma! Entah bagaimana orang tuamu dulu mendidikmu.”
“Jangan bawa-bawa orang tuaku!” Kemuning menerjang marah tapi Cairo bertindak sigap dan menahan pinggangnya. “Lepaskan aku!”
Ayumi mundur, Cavin reflek menempatkan diri di antara dua gadis yang sedang bertengkar. “Ning, sabar.”
“Bukan aku yang harus sabar. Tapi dia yang harus sopan!” Kemuning berteriak geram.
Cairo menghela napas, meraih tangan Kemuning dan menyeretnya keluar. “Lepaskan aku. Mau ke mana kita?”
“Lari, Ning,” ucap Cairo tenang.
“Hah, lari lagi? Aku nggak mau, banyak kerjaan!”
“Lari bagus untuk meredam emosi. Ayo, Ning!”
Mendadak, Kemuning ingat tentang martabak yang dibawakan Cairo untuknya. “Ta-tapi, martabaknya nanti habis. Gimana dong?”
Cairo menaik tangan Kemuning berkeliling taman. “Semoga masih ada kalau kita pulang.”
Kemuning ingin menangis mendengarnya. “Aku mau makan martabak. Bukan mau lariiii! Aku mau martabaaak!”
“Lari yang kencang, Ning!”
“Martabaaak! Aku mau martabaaak!”
Suara Kemuning bergema di taman yang sepi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro