Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15


K

emuning hanya bisa diam, saat melihat Ayumi datang menyeret koper besar. Gadis itu tanpa sungkan mengatakan akan tinggal di rumah bersama mereka.

“Aku akan menempati kamar Kemuning, suruh dia pindah ke kamar bawah!”

Permintaannya ditentang semua orang, bahkan Cairo dengan tegas mengatakan Kemuning tidak akan pindah dari kamar.

“Kenapa begitu membelanya, Cairo? Jangan bilang kamu suka dengan maid itu?” Ayumi bertanya sambil tersenyum, mengalungkan lengannya pada leher Cairo.

“Gue nggak peduli lo ngomong apa, tapi Ning Ning tetap di kamar ini. Ada satu kamar lagi di ujung, dekat tangga. Pakai aja kalau lo mau tinggal di sini.”

Ucapan tegas dari Cairo membuat Kemuning yang sedari tadi mendengar perdebatan, bernapas dengan lega. Tidak bisa merayu Cairo, Ayumi berpindah pada Cavin.

“Cavin, Sayang. Kamu setuju dengan Cairo?”

Untuk sesaat Cavin tertegun, menatap wajah Ayumi tanpa kedip. Lalu, mengangguk perlahan. “Itu kamar, Ning Ning.”

Terdengar dengkusan tak percaya dari mulut Ayumi. Gadis itu membalikkan tubuh dan menatap Kemuning tajam.

“Kamu pasti bangga karena semua orang membelamu?”

Kemuning mengangguk tanpa malu. “Iya, kok tahu?”

“Apa? Kamu mengakui senang karena dibela?”

“Iya, maid mana yang tidak senang dibela sama anak asuhnya?”

Ayumi mengepalkan kedua tangan. “Kalau gitu, bereskan kamar di ujung tangga. Aku akan tidur di sana!”

Kemuning mengangguk tanpa kata, menuju kamar di ujung tangga dan mulai mengganti sprei dan sarung bantal. Selama bekerja, pikiran Kemuning berkecamuk. Tentang siapa sebenarnya Ayumi dan kenapa gadis itu begitu dekat dengan anak asuhnya. Sepertinya ada masalah terpendam antara gadis itu dengan anak-anak asuhnya.  Bukan untuk ikut campur tapi ia akan mencari tahu kebenarannya.

Selama Ayumi tinggal di rumah, banyak peraturan dibuat oleh gadis itu yang semuanya ditujukan bagi Kemuning. Bangun lebih pagi, tidur lebih malam, siang tidak ada istirahat kalau masakan ada yang gosong atau tidak enak akan dipotong gaji. Awalnya Kemuning hanya diam dan selalu beranggapan kalau Ayumi tidak akan lama tinggal di rumah ini, hingga puncaknya saat ia membuat pepes ayam, ada satu bungkus terlalu asin dan membuat Ayumi mengamuk.

“Maid nggak becus! Masak begini aja nggak bisa. Di sini kerja apa ongkang-ongkang kaki makan gaji buta?”

“Ayumi.” Carlo menegur lembut. “Hanya satu bungkus yang asin. Kamu masih bisa makan yang lain.”

“Tetao saja, dia nggak becus!” Ayumi menuding Kemuning dengan rasa benci tersirat.

Kemuning yang selama beberapa hari menahan geram karena terus menerus ditekan, menghela napas panjang. Ia membuka celemek dan menyampirkannya ke punggung kursi. Menatap keempat anak asuhnya lalu tersenyum.

“Sepertinya, aku sudah nggak cocok kerja di rumah ini lagi. Pak Wicaksono memintaku merawat empat anaknya, bukan empat anak plus satu wanita penindas!”

“Apaa?” Ayumi bangkit dari kursi dan menghampiri Kemuning. “Kamu bilang aku apa? Penindas? Bilang saja kalau kamu yang malas!”

Tersenyum kecil, Kemuning mengangkat bahu. “Aku melakukan pekerjaanku, berusaha sebaik mungkin untuk anak asuhku, mereka semua diam dan hanya kamu yang menjerit nggak terima.”

Ayumi mengayunkan tangan untuk memukul, Kemuning bertindak cepat menangkap tangan gadis itu dan mendorong tubuhnya hingga membentur meja.

“Ayumi!”

“Ning Ning!”

Tak lama tangis Ayumi pecah. Mengatakan dengan terbata kalau tubuhnya sakit membentur meja. Mengambur dalam pelukan Cavin dan menangis di sana. Kemuning menatap tak percaya padanya, lalu menggeleng cepat.

“Ratu drama, sudahlah. Aku berhenti saja!”

Kemuning melangkah cepat menuju tangga. Ia menjerit kecil saat tangan Cairo meraih lengannya dan menyeretnya ke teras.

“Ikut gue. Kita cari es teh manis.”

“Eh, ngapain jauh-jauh kalau mau cari es teh. Di rumah ada!”

Percuma Kemuning protes karena Cairo tidak melepaskan pegangannya. Mereka berlari kecil dengan tangan saling berpegangan di sepanjang jalan yang cukup sepi.

“Tunggu, ini kita lagi olah raga?” tanya Kemuning dengan napas terangah.

“Iya, biar lo nggak gendut. Perlu kita olah raga.”

“Siapa bilang aku gendut! Aku langsing!”

“Biar tambah langsing.”

Tidak peduli Kemuning memprotes, Cairo terus mengajaknya berlari. Mereka kini bahkan berkeliling taman yang sepi. Tanpa kata, tanpa percakapan tercipta, keduanya berlari hingga keringat membanjiri tubuh dan Kemuning ambruk di bangku taman karena kelelahan.

“Ini ke-kenapa sih? Lari malam malam?” Kemuning bertanya dengan napas terengah.

Cairo membungkuk, tangan di dengkul. Menatap Kemuning yang kelelahan. “Biar lo nggak emosi, Ning. Bagus lari buat ngilangin marah.”

“Eh, aku nggak marah. Aku cuma--,”

“Kesal?”

Kemuning mengangguk, duduk tegak di bangkunya. “Iya, kesal.”

Cairo duduk di sebelah Kemuning, menatap gadis itu dengan senyum tersungging. “Jangan marah, jangan kesal. Dia nggak akan lama di rumah kita. Palingan dua minggu lagi juga pergi.”

“Begitu, yakin kalau dia nggak akan lama?”

“Yakin.”

Kemuning menghela napas lalu mengangguk. “Baiklah, aku tetap kerja di rumah kalian. Asal tahu, ini kamu yang maksa aku, Kak.”

Cairo mendengkus geli. “Terserah lo, Ning.”

“Kalau gitu, boleh dong naik gaji.” Kemuning mengedipkan sebelah mata.

“Kenapa harus naik gaji?”

“Yah, kerjaan nambah. Awalnya jaga empat anak, tambah satu lagi anak tetangga. Repotlah aku.”

“Lo belagu banget, Ning.”

“Biarin, dikira jaga empat anak nggak repot apa?”

“Iya, yaa, ntar gue bilang sama Kak Carlo buat naik gaji.”

Kemuning terlonjak senang, akhirnya ia bisa naik gaji meski dengan cara aneh. Setidaknya kali ini ia bersyukur, kedatangan Ayumi menambah pundi-pundi uangnya. Mereka pulang setelah keringat mengering. Tanpa disangka, Ayumi menunggi di teras. Gadis itu bertanya pada Cairo ke mana mereka pergi dan hanya dijawab dengan satu kata, lari. Tidak puas dengan jawaban Cairo, Ayumi menghentikan langkah Kemuning.

“Dari mana kalian?”

Kemuning tersenyum manis. “Nego gaji.”

“Hah, maksudmu?”

Tidak mengindahkan gadis itu, Kemuning masuk dan berdendang kecil. “Horee! Aku naik gaji. Asyik, naik gajiii! Naik gajiii, yuhuuu!”

“Gadis nggak tahu malu!” Ayumi mengumpat pelan, yang celakanya didengar oleh Kemuning.

Menolehkan perlahan, Kemuning meleletkan lidah. “Naik gaji, wew!” Setengah berlari menaiki tangga dan meninggalkan Ayumi yang terlihat geram.

Kemuning tidak peduli seandainya Ayumi mengamuk, karena yang terpenting sekarang adalah, ia naik gaji. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro