Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 9

Komen jangan lupa gengs<3 makasih<3

-

-

Kabut belum mencapai lelahnya meskipun sudah empat jam mengelilingi mal untuk memenuhi hasrat belanjanya. Dia membeli beberapa pakaian baru termasuk bikini seksi untuk dipakai nanti.

Dalam kamus Kabut, kalau dia pernah memamerkan pakaian yang dipakai di Instagram satu kali, maka dia tidak akan memakainya lagi. Pakaian tersebut akan dia berikan pada Andine atau yang membutuhkan. Tidak heran kalau pakaian di rumah hampir setiap minggu baru.

Selain pakaian, Kabut senang mengoleksi tas. Mulai dari tas paling mahal sampai termurah. Sebagian besar tasnya dibelikan Bangkit baik saat menikah maupun sudah bercerai. Satu tahun yang lalu tepatnya pada hari ulang tahun Kabut, Bangkit memberikan hadiah tas melalui Abraham.

Setelah berkeliling Kabut memutuskan mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum nanti keliling lagi. Sesuai janji dengan Bangkit sebelumnya, mereka makan siang bersama.

Mereka memilih restoran masakan Italia––Kabut yang meminta. Bangkit tinggal mengikuti ke mana tujuan mereka karena tidak masalah mau makan di mana.

"Tumben lo nggak batalin janji tiba-tiba. Mulai takut gue santet, ya?" mulai Kabut menyindir sang mantan.

"Takut kamu berulah jadi mau aku pastiin kamu makan dengan tenang," balas Bangkit santai.

Kabut mencibir, "Gaya lo selangit." Lalu, dia mulai menyantap spaghettinya.

Bangkit memperhatikan Kabut mengunyah makanan. Penasaran bagaimana tanggapan mantannya, "Enak nggak spaghettinya?"

"Not bad." Kabut mengunyah sambil melihat sekeliling. Tiba-tiba pandangannya jatuh pada bayi yang entah sudah berapa bulan. Bayi itu tertawa saat diajak bercanda oleh ibunya. "Lucu banget," gumamnya pelan.

Selama menikah dulu Kabut tidak pernah kepikiran memiliki anak. Dia lebih suka mementingkan dirinya sendiri dan berulah. Kabut pikir tidak akan baik kalau dia punya anak sementara dirinya masih senang berulah. Kabut menunda kehamilan dengan memasang KB dan meminta Bangkit menggunakan alat kontrasepsi supaya tidak hamil. Tapi kalau dipikir-pikir Kabut tidak pernah menanyakan pendapat Bangkit mengenai anak. Kebetulan keluarga mereka juga tenang-tenang saja soal anak karena waktu itu pernikahan baru berjalan tiga tahun––yang ujungnya bercerai.

"Siapa yang lucu?" Bangkit mencoba melihat ke mana mata Kabut tertuju.

Kabut mengalihkan pandangan dan menyantap spaghettinya. Sambil mengunyah, dia memperhatikan Bangkit yang menikmati lasagna. "Lo pernah kepikiran punya anak nggak?" tanyanya tiba-tiba. 

"Kenapa?"

"Jawab aja, sih, jangan banyak tanya," omel Kabut. Nadanya mulai meninggi menunjukkan sisi sewotnya.

"Pernah. Pengin punya satu yang mukanya mirip kamu. Pasti cantik dan lucu," jujur Bangkit.

"Kenapa nggak minta yang kayak lo aja? Bukan berarti gue bilang lo ganteng, ya. Tapi, kan, harus dilestarikan gen dari keluarga lo. Ganteng––ehem––lo nggak ganteng. Sepupu-sepupu lo ganteng," ucap Kabut tidak mau mengakui. Kalau dia jujur dan mengakui Bangkit jauh lebih tampan dari semua sepupunya bisa senang sampai langit. Kabut gengsi mengakuinya.

"Nggak mau. Cukup yang mirip sama kamu. Kalau bisa plek-ketiplek kamu."

"Aneh, nih, orang," ujar Kabut geleng-geleng kepala. Dia tidak mengerti alasan Bangkit ingin punya anak yang mirip dengannya.

"Kenapa kamu nanya soal anak?" tanya Bangkit.

Kabut menggeleng pelan, lanjut mengunyah spaghetti, lalu menjawab, "Nggak apa-apa, iseng aja. Nggak ada maksud apa-apa soalnya dulu gue nggak pernah nanyain ini."

Bangkit tidak bertanya lagi. Selama menikah mereka memang menunda punya anak atas keinginan Kabut. Bukan dia tidak ingin punya anak satu atau dua yang mirip dengan Kabut, tapi dia lebih memikirkan bagaimana perasaan Kabut. Dia sendiri tahu menjadi ibu adalah tugas yang berat dan butuh kesiapan untuk itu. Jadi, saat mereka memutuskan menunda, Bangkit tidak masalah.

Kabut kembali melihat tempat yang sama. Lucunya tingkah bayi itu membuat Kabut tersenyum tipis.

"Kamu mau makan...." Bangkit menunda kalimatnya saat sadar ke mana arah pandangan Kabut––sama seperti sebelumnya––memperhatikan bayi yang digendong ibunya.

Ini pertama kalinya Bangkit melihat Kabut tersenyum melihat bayi. Biasanya perempuan itu tidak peduli pada apa pun. Jarang-jarang juga ada yang mengalihkan pandangan Kabut saat mereka makan bersama.

Bangkit membiarkan Kabut menikmati pemandangan itu. Dia senang bisa melihatnya karena berkat bayi itu Kabut tersenyum. Jauh lebih tulus dari dibelikan tiket berlibur.

❤❤

"Besok kamu temui Mbak Disha dulu. Saya mau ke Jakarta ketemu keluarga Winanda bareng Jeri. Mbak Disha mau nuntut mantan suaminya atas penggelapan uang. Kamu dengerkan cerita lengkapnya, dia baru jelasin sedikit sama saya tadi."

Malam sudah menyapa, tapi Bangkit masih sibuk menghubungi pegawainya untuk membahas pekerjaan.

"Kasus Pak Dioko nanti diurus Sena dan Andro. Mereka besok pagi udah sampai sini," lanjut Bangkit.

"Baik, Pak. Omong-omong, ada video viral terkait Bu Kabut, Pak. Tapi nggak lama hilang. Kelihatannya dihapus atau take down. Padahal saya mau kirim ke Bapak dan kalau memang Bu Kabut merasa nggak senang bisa nuntut orang itu atas pencemaran nama baik." Abraham memberi tahu.

Bangkit baru dengar masalah video. Dia tidak tahu apa-apa. "Isi videonya apa?"

"Bu Kabut bantingin piring sama mangkuk, deh, kalau nggak salah. Terus si perekam video itu buat narasi kalau kelakuan anak menteri ada-ada aja. Ditulis juga kalau Bu Kabut ini biang onar dan nggak pernah baik," jelas Abraham.

Kalau boleh menebak video itu direkam saat Kabut sedang bersamanya. Apa mungkin orang tua Kabut telah mengetahui video itu sehingga Kabut mendadak minta dipeluk olehnya? Bangkit agak kesal dengan sisi kurang update-nya ini. Kalau tidak ada Abraham, dia tidak tahu. Dia termasuk orang yang tidak suka mengumbar privasi jadi tidak ada Instagram dan Tiktok. Kalau mau stalk atau mengetahui kegiatan Kabut tentu lewat Abraham.

"Saya kasihan sama Bu Kabut, sih, Pak. Maksud saya, beliau masuk kantor polisi bukan gara-gara berulah tanpa alasan. Tahun lalu Bu Kabut mukul laki-laki pakai botol wine itu, dia kesal lihat laki-laki itu tamparin pacarnya berulang kali. Nggak ada yang berani bela kecuali Bu Kabut. Hal-hal seperti ini yang nggak orang tahu, Pak. Mereka lihat narasi depannya aja, nggak keseluruhan," lanjut Abraham.

Bangkit diam mendengarkan. Dia belum mendengarkan alasan Kabut masuk kantor polisi sebelum membawa ke Surabaya. Seperti kata Abraham, pasti ada alasan. Namun, Kabut tidak pernah mengatakan apa-apa padanya. Alasannya apa selalu disimpan sendiri kalau Bangkit tidak mengurus urusan itu.

"Pak, sebenarnya ada hal penting. Saya nggak diizinin kasih tahu Bapak sama Bu Kabut cuma saya bilang supaya Bapak tahu, meskipun ini udah berlalu satu tahun."

"Apa?"

"Waktu saya urus masalah Bu Kabut satu tahun yang lalu itu, ayahnya tiba-tiba datang terus nampar Bu Kabut, Pak. Saya kaget. Pipinya Bu Kabut sampai kegores cincin ayahnya dan berdarah, Pak. Bu Kabut bilang jangan kasih tahu siapa-siapa yang saya lihat," cerita Abraham.

Bangkit pikir masalah itu akan berakhir, ternyata tidak. Saat mereka akan bercerai dulu orang tua Kabut mengomel dan memarahi Kabut di depannya. Meskipun Bangkit sudah berbohong dengan bilang bahwa dialah yang merasa tidak cocok dengan Kabut, tetap saja orang tua Kabut merasa semua salah Kabut. Wajar jika ekspresi Kabut seperti waktu itu. Ayahnya pasti memarahi Kabut habis-habisan terkait video viral itu.

"Oke, makasih infonya, Ab. Kalau gitu saya matikan."

"Baik, Pak. Malam, Pak."

"Iya, malam."

Tepat setelah sambungan berakhir, Bangkit melihat pada pintu kamarnya yang terbuka. Seperti biasa pintunya belum dikunci jadi siapa pun bisa masuk. Kabut sebagai pelaku utama masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk dan permisi.

"Bangkit!" Kabut bergegas mendekati tempat tidur, melepas sandalnya, kemudian duduk di pinggirnya. "Gue punya ide. Setelah seharian berpikir, gue rasa ini ide yang bagus."

"Ide apa?" Bangkit menanggapi sambil meletakkan ponsel di atas nakas.

"Kasih gue sperma lo. Gue mau punya anak. Tapi jangan bercinta."

Bangkit melirik Kabut sebentar—menggeleng kepala sesudahnya. Dia pikir bakal ada ide brilian entah apa itu, ternyata ide yang di luar dugaan.

"Atau kayak film India aja, deh. Lo tidur sama perempuan bayaran, eh, jangan. Tidur sama Andine aja nanti anaknya lahir buat gue. Soalnya gue nggak mau adopsi anak, nanti nggak mirip lo. Kalau mirip lo, kan, lumayan gan—maksudnya mirip keluarga Adipranas gitu sempurnanya nggak ngotak," celoteh Kabut menggebu-gebu.

Bangkit geleng-geleng kepala. "Nggak ada yang lebih gila lagi?"

"Banyak, sih, tapi itu aja dulu." Kabut bergerak naik ke atas tempat tidur, mendekati Bangkit yang bersandar pada headboard. "Mau, ya? Janji nggak berulah lagi, deh. Nggak bakal nyusahin lo, Abraham, atau siapalah itu."

Bangkit menatap Kabut yang memasang wajah memohon padanya. "Nggak mau."

"Ih ... kenapa? Memangnya gue nggak boleh punya anak?"

"Kamu cuma terbayang-bayang aja sama bayi di restoran. Aku tahu kamu belum mau punya anak. Lebih baik kamu tidur, besok mau liburan, kan?"

Kabut mengerucutkan bibirnya, mendengkus kesal. Dia tidak langsung turun, dia merebahkan tubuhnya di samping Bangkit. "Gue nggak bakal cabut sebelum lo setuju. Pokoknya gue mau punya anak."

"Terserah kamu aja."

Bangkit berbalik memunggungi Kabut, menarik selimutnya. Biarlah Kabut melakukan hal sesuka hati. Dia ingin beristirahat.

"Ah, nggak seru!" Kabut memukul punggung Bangkit. "Eh, bentar. Gue ada ide lain. Kalau memang lo mau rujuk, hamilin gue dulu. Gimana? Tapi kalau selama empat bulan nggak hamil, rujuknya batal."

"Kamu kebanyakan baca novel. Lebih baik tidur."

"Heh! Bayi lucu tahu! Gue mau satu."

Bangkit berbalik badan, tidak jadi tidur dan terpaksa duduk gara-gara sang mantan. "Kabut, punya anak bukan masalah lucu aja. Kamu harus pikirin banyak hal. Kalau kamu mau punya anak bukan karena siap, nanti kamu repot sendiri. Terlepas dari dapat bantuan baby sitter, apa kamu siap memberi seluruh waktu kamu untuk mendidik anak itu? Kamu siap mengawasi dia supaya menjadi anak yang baik? Ada orang tua yang tiba-tiba punya anak cuma nggak siap, terus habis itu anaknya terlantar dan nggak dipeduliin. Kamu tahu ada yang namanya baby blues? Kamu tahu ada ibu yang stres dan depresi setelah melahirkan? Banyak pertimbangan."

"Misal kita rujuk, lo pasti bantu urus anaknya, dong? Lo nggak mungkin biarin gue stres atau depresi. Kalau lo suami yang baik udah pasti nggak bakal biarin istrinya menderita," balas Kabut sambil ikut duduk, yang kini sudah saling berhadapan.

"Iya, betul. Tapi aku, kan, nggak sepenuhnya di rumah. Pekerjaanku lebih banyak nuntut untuk ke luar, bukan remote di rumah. Okelah ada baby sitter bantuin kamu, tapi pasti ada perasan yang bikin kamu lelah. Pasti ada. Rasa lelah itu kadang masih ada meskipun kamu udah istirahat. Depresi itu muncul dari perasaan lelah nggak berkesudahan."

"Ah, ribet lo! Bilang aja lo nggak suka anak kecil," cetus Kabut.

"Siapa bilang? Aku suka anak kecil. Kamu tahu nggak kenapa aku setuju saat kamu bilang belum mau punya anak? Itu karena aku mikirin kamu. Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa. Aku tahu jadi seorang ibu nggak mudah. Bukan berarti aku nggak bisa support atau nggak siap jadi ayah, tapi kesiapan kamu yang paling penting. Aku nggak mau tiba-tiba kamu merasa terbebani dengan adanya anak. Sebaliknya, aku mau kamu bahagia dengan adanya anak itu."

Kabut diam memandangi Bangkit. Setiap kalimat yang diucapkan Bangkit terdengar masuk akal. Namanya juga Kabut, dia selalu punya sanggahan yang tidak masuk akal. Seolah-olah Kabut alergi dengan setiap kalimat bijak mantan suaminya.

"Halah, halah, alasan. Bilang aja lo termasuk laki-laki yang nggak bisa memenuhi seluruh kebutuhan istri. Laki-laki dengan pemikiran seperti lo, tuh, pasti cuma ngandelin istri aja buat ngurus anak," balas Kabut dengan nada sewot.

"Kamu yakin?"

"Yakin."

"Kita aja belum pernah punya anak, gimana kamu bisa yakin aku begitu?"

"Pokoknya gue yakin!" Kabut tidak mau mengalah, tetap ngotot meskipun ngawur.

"Oke."

"Apanya oke?" Kabut menatap bingung.

Bangkit melepas piyama dengan satu tarikan tangan. Perut kotak-kotak yang terbentuk, dada bidang yang tidak kalah memukau, dan pundak lebar yang kokoh, mendadak menjadi pemandangan yang tidak bisa ditolak mata. Kabut selalu terkesima dengan tubuh Bangkit yang indah.

"Ko-ko-kok, lo buka baju?" Kabut gelagapan. Tapi sialnya, mata terus tertuju pada perut mantannya yang menggugah selera.

"Katanya mau punya anak? Kalau mau, aku bisa penuhi. Tapi nggak mau pakai cara tidur dengan perempuan lain atau pakai teknologi canggih. Aku pilih secara langsung sesuai tawaran mantan istriku," tantang Bangkit.

Kabut mundur beberapa langkah, meneguk ludahnya panik. Dia sendiri yang menawarkan secara langsung, dia juga yang kaget. Aduh! Kabut ingin pergi saja. Padahal rencana awalnya supaya tidak rujuk, kenapa dia malah bodoh menawarkan hal semacam itu perkara ingin punya anak?

"Nggak jadi, po-pokoknya batal!" ucapnya gelagapan sambil terus mundur.

Secepat mungkin Kabut turun dari tempat tidur sebelum Bangkit meraih tangannya. Setelah turun Kabut berlari keluar tanpa pamit. Belum ada beberapa menit, tiba-tiba Kabut kembali.

"Gue lupa sendal gue," jelas Kabut, yang segera memakai sandalnya dan berlari keluar tanpa permisi.

Bangkit tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. Lumayan juga dapat hiburan malam-malam sebelum istirahat. 

❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗❤

Follow IG: anothermissjo

Salam dari Kabuuuuut~~

Ini mah kalo punya anak yang tantrum Kabut, bukan anaknya XD wkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro