Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 39

Hehe update lagi<3

Yok komen sebanyak-banyaknya biar aku semangat nulis ^^

Additional part belum sempat aku buat jadi pas abis chapter 40, baru aku buat sekalian di KK ya ^^

-

-

Suasana di dalam kamar sunyi. Keluarga Kabut dan Bangkit datang bergantian menjenguk, begitu pula kerabat terdekat mereka. Ketika malam tiba, tidak ada lagi yang diperbolehkan menjenguk dan semuanya pulang untuk kembali esok hari. Bangkit tidak beranjak dari tempatnya dan menemani Kabut seharian penuh setelah tiba di Jakarta. Meskipun sudah diminta keluarga untuk pulang dan beristirahat di rumah, Bangkit tidak mau pulang. Mandi di rumah sakit dan memilih membawa beberapa pakaian untuk terus menemani Kabut sampai diperbolehkan pulang.

Malam ini rasanya langit begitu gelap. Kesedihan menyelimuti keduanya. Bibir saling terkatup, kebingungan membicarakan sesuatu, yang nantinya akan menyakiti mereka lebih dalam lagi.

"Kabut," panggil Bangkit pelan.

Kabut sedang mengunyah apel yang dikupas suaminya. Dia menoleh ke samping memandangi Bangkit. "Hm?" sahutnya berdeham pelan.

"Maaf."

Kabut tahu Bangkit sedih sama seperti dirinya. Dia bahkan mendengar Bangkit menangis terisak-isak sambil memeluknya dengan erat setelah mengetahui anak mereka tidak bisa diselamatkan.

"Seharusnya aku maksa kamu seperti biasa. Kalau aku maksa kamu ikut, udah pasti kejadian seperti ini nggak terjadi. Dan seharusnya aku bisa lebih tegas soal Taj jadi dia nggak akan macam-macam sama kamu lagi...," ucap Bangkit lirih. Kepalanya tertunduk penuh penyesalan.

"Bangkit," Kabut mengulurkan tangannya, berharap Bangkit mau menyambutnya. Usahanya berhasil, Bangkit meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. "Kamu nggak perlu menyalahkan diri kamu. Aku sendiri yang bilang nggak mau ikut kamu pergi ke mana-mana. Aku bukan pengangguran makanya aku nggak mau ikut. Meskipun pekerjaanku fleksibel, aku nggak suka terlalu lama ninggalin butik dan ngekorin kamu. It's okay. Kita bisa melewati ini semua."

Bangkit menaikkan pandangan, menatap Kabut yang melempar senyum kecil. Dia tahu Kabut sangat terluka, tetapi berusaha tetap tegar. Hatinya sakit melihat senyum penuh luka itu. Bangkit menundukkan kepala di atas tangannya yang menggenggam tangan Kabut. "Maafin aku nggak bisa jaga kamu dengan baik. Maaf aku nggak ada di saat kamu butuh. Maaf..."

Kata-kata itu membuat mata Kabut berkaca-kaca. Orang yang perlu dia salahkan adalah Mardi. Otak dari pengeroyokan itu. Bangkit sudah cukup menjaganya dengan baik, memberinya kehidupan yang lebih layak.

"Cukup. Kalau kamu minta maaf mulu, aku marah."

"Tapi—"

"Come here," potong Kabut sambil menunjuk sisa ruang dari ranjang yang ditempatinya melalui gerakan mata. "Tidur di sini. Kalau tidur di sofa pasti sakit."

Bangkit menggeleng pelan. "Nggak, aku tidur di sofa. Takutnya nanti kamu kesempitan."

"Badan aku, kan, nggak segede kamu jadi muat berdua. Lagian kita nggak bakal bercinta di atas sini jadi nggak akan ambruk."

Bangkit bukan tidak mau, dia takut tubuhnya yang besar akan membuat Kabut sesak berada di ranjang yang tidak terlalu besar. Bangkit takut kalau nanti mendekap Kabut dalam pelukannya Kabut kesakitan karena ada beberapa luka yang kalau disentuh masih sakit.

"Kalau kamu nggak mau, nggak usah datang lagi besok," ancam Kabut.

Bangkit menyerah. Kalau sudah diancam begini, dia bisa apa? Mau bersikap seperti biasa memaksa Kabut untuk nurut, istrinya sedang sakit. Mau tidak mau Bangkit menuruti, menaiki ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap Kabut. Detik selanjutnya, Bangkit menarik Kabut ke dalam pelukannya dengan hati-hati.

Sempit. Iya, Bangkit merasa sebentar lagi ranjangnya ambruk. Bangkit berusaha tidak begitu erat mendekap Kabut, tidak mau membuat istrinya sakit. Melihat tubuh istrinya penuh luka, terutama di beberapa bagian yang bisa terlihat mata, Bangkit semakin sedih. Bangkit bersumpah tidak akan berhenti menuntut keadilan yang setimpal. Bangkit tidak akan diam saja setelah ini.

"Bangkit," panggil Kabut.

Bangkit tersentak, sadar dari lamunannya saat memandangi luka yang ada pada tubuh Kabut. "Iya?"

"Kamu ketemu Kak Badai sama Kak Eknath?"

"Iya."

"Tumben banget dua setan itu datang."

"Mereka khawatir sama kamu makanya datang." Bangkit mengusap kepala Kabut. "Biar gimana, kamu adik mereka."

Kabut tertawa kecil. "Adik? Giliran aku dipukul Papa meskipun nggak sampai babak belur begini, mereka diam aja. Kamu doang yang berani belain aku. Tapi, ya, benar kata pepatah. Kalau udah kehilangan orang yang disayang pasti baru berasa. Mungkin mereka takut aku mati dipukulin Mardi dan gengnya."

Bangkit tetap mengusap kepala Kabut sambil mendengarkan. Sejujurnya Bangkit bingung mau menanggapi seperti apa. Ketiga kakaknya Kabut memang tidak pernah ikut campur kalau Kabut dipukul atau ditampar orang tuanya. Mereka menyaksikan dan hanya diam saja. Entah takut akan kemurkaan Handoko atau merasa tindakan Kabut—yang pada saat itu mereka tidak mengetahui alasan Kabut berulah—sudah mencoreng nama baik Sastromidjo. Tapi tetap saja diam tanpa membela termasuk salah. Akan tetapi, dibandingkan dengan Igor yang berusaha untuk menanyakan keadaan Kabut setelah dipukul secara langsung, Badai dan Eknath tidak pernah berusaha menjangkau Kabut. Dua orang itu tidak pernah mengirim pesan atau telepon Kabut, berbeda dengan Igor yang masih berusaha untuk memahami Kabut dengan cara mengirim pesan, telepon, atau usaha bertemu. Bangkit sendiri tidak pernah mengobrol dengan Badai dan Eknath sepanjang pernikahan. Setiap kali Bangkit menyapa Badai selama menghadiri acara keluarga, Badai tidak pernah menggubris dan mengabaikannya. Setidaknya kalau soal menyapa, Eknath masih menanggapi walaupun tidak pernah berbincang seperti bersama Igor. Ya, bisa dibilang Badai dan Eknath cukup rumit untuk dipahami dan dimengerti.

"Mereka sayang sama kamu," bisik Bangkit.

"Mana mungkin," cibir Kabut.

"Sayang," Bangkit mengecup puncak kepala Kabut. Kemudian, dia mengusap pipi Kabut secara perlahan dengan ibu jarinya. Istrinya mendongak dan menatapnya. "Mereka memang salah nggak membela kamu saat kesulitan, tapi bukan berarti mereka nggak sayang. Mungkin cara mereka menunjukkan kasih sayangnya agak berbeda."

Kabut mendesah kasar, lalu menyandarkan wajahnya pada dada bidang Bangkit. Kehangatan ini yang dia rindukan. Tiba-tiba bayangan menyesakkan itu, ketika dia dipukuli para sepupunya muncul. Mimpi buruk itu membuat Kabut memejamkan mata, berusaha mengusirnya. Bukan berhenti membayangkan, Kabut menitikkan air mata teringat kegagalannya menjaga bayi yang dikandungnya. Kabut berusaha tenang supaya tidak menangis lebih keras. Sayangnya, kesedihan itu kembali menghantamnya. Kabut menangis histeris. Entah sudah berapa kali hari ini di dalam pelukan suaminya.

"It's okay, i'm here now. I'll never leave you, Kabut," bisik Bangkit lirih.

Tangis penuh luka itu mengisi telinga Bangkit. Seperti halnya Kabut, dia juga ingin menangis lagi, tapi Bangkit menahan diri. Jika dia menangis, Kabut akan lebih sedih. Biarlah Kabut menangis dan tugasnya mendengarkan. Bangkit mengusap punggung Kabut perlahan dan hati-hati dan mengecup puncak kepalanya berulang kali.

Mereka pasti bisa melewati ini bersama-sama. Pasti.

❤‍🔥❤‍🔥❤‍🔥

Suasana di dalam kamar cukup tenang. Namun, kedatangan Badai seolah menjadi pengganggu layaknya arti nama itu sendiri. Kabut sedang duduk dan menonton berita, sedangkan kakaknya duduk di sofa yang tidak begitu jauh dari ranjang. Kabut menghela napas mendengar Baadai membuka kacang tanah tanpa henti dan mengunyahnya tanpa mengajaknya bicara. Kabut ingin segera bertemu dengan Bangkit. Suaminya sedang pergi membeli makanan sejak setengah jam yang lalu.

"Kalau lo cuma mau duduk di situ numpang nonton mending di rumah aja," tegur Kabut.

Badai menoleh sekilas kepada adiknya. "Apartemen lagi sepi nggak ada perempuan. Jadi, gue nemenin lo di sini."

Kabut berdecak kesal. "Kenapa bukan Kak Igor aja yang datang?"

"Igor lagi sibuk, Eknath lagi pacaran. Gue satu-satunya yang paling lowong."

Kabut tidak tahu Badai benar-benar senggang atau hanya beralasan saja. Tapi tidak menyenangkan kakak pertamanya itu datang dan bersikap seakan-akan sedang menjaganya. Kabut butuh hiburan, minimal mengobrol untuk mengusir nyeri di tubuhnya yang masih terasa sakit kalau disentuh.

"Bangkit lama banget. Lagi godain perempuan lain dia?" tanya Badai asal.

Kabut menoleh. Pertanyaan itu membuatnya kesal. "Heh! Dia bukan lo yang seenaknya mainin perasaan perempuan. Jaga bicara lo itu. Jangan pernah nuduh suami gue yang nggak-nggak. Gue nggak suka."

Sejak lama Kabut tidak pernah memanggil Badai dan Eknath dengan embel-embel panggilan kakak. Dua orang itu yang paling abai akan dirinya. Jadi, sekarang pun meskipun keduanya mulai memperhatikan, Kabut tidak langsung memanggil mereka dengan panggilan lebih sopan. Hanya Igor saja yang masih Kabut hormati.

Badai tertawa kecil. "Mana ada yang tahu hati orang. Bahkan wajah polos bisa berbuat mesum lebih banyak dari orang yang berwajah bajingan."

Cukup sudah. Kabut muak. Bibir sudah ditahan sejak tadi untuk tidak mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Sekarang tidak bisa lagi dibendung. "Dengar, ya. Gue tahu Bangkit seperti apa. Lo aja nggak pernah ngobrol sama Bangkit, gimana mau tahu dia seperti apa? Jangan asal ngomong kalau lo sendiri nggak pernah kenal dia dengan baik. Dan lo juga nggak pernah ada buat gue kecuali sekarang. Jadi, lebih baik lo pergi. Gue nggak butuh lo di sini. Gue bisa manggil suster kalau kesulitan."

Kali ini Badai berhenti mengunyah, menelan kacang terakhir yang dia masukkan ke dalam mulut. Badai bangun dari tempat duduknya, menghadap Kabut yang memasang wajah penuh kebencian. Dia tahu itu. "Ya udah, gue cabut, deh. Enjoy your time with your husband."

Tepat saat Badai berjalan menuju pintu keluar, Bangkit sudah lebih dulu membuka pintu. Di belakangnya ada Traya dan Sayang. Kedua perempuan itu berpapasan dengan Bangkit di koridor rumah sakit.

"Sayang!" Kabut memanggil Bangkit, memasang wajah cerah dan senyum lebar.

Badai menoleh dan melihat senyum itu. Bukan baru pertama melihat, sudah berulang kali sejak Kabut menikah dengan Bangkit untuk pertama kalinya. Dulu sebelum Kabut menikah, hanya ada ekspresi muram, marah, kesal, dan benci. Setelah menikah, Badai bisa melihat ragam ekspresi dari wajah Kabut. Ya, meskipun sebelum Bangkit, ada Anarki yang lebih dulu menciptakan keceriaan itu di wajah Kabut. Akan tetapi, ekspresi Kabut sekarang lebih lepas dan dipenuhi keimutan yang tidak pernah ditunjukkan padanya ataupun di depan orang tua mereka.

"Kak," sapa Bangkit pada sang kakak ipar. Namun, kakak iparnya tidak menjawab dan mengabaikan.

"Kenapa lo nggak balas sapaan Bangkit?" tegur Kabut.

"Mau balik. Duluan, Kabut," kata Badai.

Bangkit melempar senyum tipis melewati Badai, lalu menghampiri istrinya sambil menenteng beberapa tas tote berisi camilan pesanan Kabut.

"Apaan, sih, nyebelin banget!" gerutu Kabut. Suaranya sengaja dikeraskan supaya sang kakak dengar. "Lo memang nggak pernah sayang sama gue, kan? Kalau sayang, lo nggak akan mengabaikan gue. Lo juga nggak akan mengabaikan suami gue."

"Sayang," Bangkit menggeleng pelan berusaha untuk menghentikan Kabut memulai perdebatan. Tangannya bergerak mengusap kepala Kabut supaya menurut.

Badai mendesah kasar, lalu menoleh ke belakang. "Entahlah."

Traya tidak berani masuk lebih jauh, terpaku mendengar Kabut begitu blak-blakan. Traya masih berada di ambang pintu bersama Sayang. Mereka belum berani mengintervensi.

"I hate you," ceplos Kabut.

Kalimat itu memaksa Traya untuk mengakhiri peperangan yang mungkin bisa membuat Kabut tambah terluka mendengar jawaban asal-asalan Badai. Untuk itu, Traya bertepuk tangan pelan dan menyapa perempuan di sampingnya.

"Oh, iya, Kak Sayang. Dengar dari Tante Arina katanya mau nikah sama Kak Badai, ya?" Traya tahu membuka obrolan ngalor-ngidul seperti ini akan menciptakan masalah baru. Iya, bakal dipelototi Badai. Tapi lebih baik begitu daripada melihat kakak-adik itu bertengkar hebat. Dia tidak mau Kabut terluka karena luka baru yang muncul belum hilang.

Pandangan Badai tertuju pada sosok perempuan yang berdiri berhadap-hadapan dengannya, hanya berjarak beberapa langkah saja. "Nggak. Ngapain nikah sama robot."

Kabut membelalak mendengarnya. Bibirnya sudah terbuka hendak menegur Badai, tapi tertahan setelah mendengar balasan yang tidak terduga.

"Lebih baik menjadi robot daripada bajingan bermulut besar, kan? Nggak takut kena penyakit kelamin?" sahut Sayang.

"Apa lo bilang?" Badai maju beberapa langkah menghampiri Sayang.

Traya buru-buru berdiri di depan Sayang, takut Badai memukul perempuan itu. Ya, meskipun tidak ada sejarahnya Badai kasar sama perempuan, tetapi siapa yang bisa menebak sikap arogan dan menyebalkan laki-laki itu?

Sayang menepuk pundak Traya, lalu berjalan hingga berpapasan dengan Badai. Saat itu juga Sayang berkata, "Sampah."

Badai tertawa kecil. "Sampah? Lo harus berkaca diri, justru yang sampah itu lo. Ninggalin orang seenaknya."

Detik itu pula semua orang di dalam kamar dibuat kaget. Kata-kata Badai mengindikasikan dengan jelas bahwa keduanya sudah saling mengenal. Jadi, apa maksud meninggalkan yang dibahas barusan? Kebingungan mereka terjawab dengan jawaban yang lebih mencengangkan lagi.

"Oh, jelas." Sayang berbalik badan. "Buat apa bertahan dengan laki-laki yang senang selingkuh? Nggak waras namanya."

Badai terdiam, lalu kemudian pergi berlalu begitu saja. Suasana menjadi tidak terkontrol. Mendadak sunyi dan dipenuhi segudang pertanyaan. Kapan tepatnya Badai dan Sayang menjalin hubungan? Dimulai sejak kapan sampai kapan? Masih banyak pertanyaan yang membuat mereka penasaran.

Kabut sudah membuka mulutnya bersiap bertanya, sayangnya, Sayang lebih dulu membuka obrolan lain demi mengalihkan drama yang baru saja terjadi beberapa menit sebelumnya.

"Pak Bangkit, apa nanti jadi?"

"Oh, iya, jadi." Bangkit mengangguk cepat. Lalu, dia mengusap kepala Kabut. "Sayang, nanti agak siang aku izin mau pergi sama Kak Sayang untuk urus masalah kamu. Nggak apa-apa aku tinggal sebentar? Aku udah bilang sama Marsha buat temani kamu. Mama dan Papa juga mau datang."

Kabut mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Sayang."

Menit berikutnya Kabut mengalihkan pandangan kepada Sayang yang sedang berbincang . Memperhatikan sebentar, dia ingin menyumpahi kakaknya. Tidak ada yang kurang dari perempuan itu. Benar kata orang-orang, sudah cantik pun belum tentu tidak diselingkuhi. Bahkan perempuan secantik dan sehebat Sayang saja bisa diselingkuhi. Entah apa yang dicari laki-laki.

Kenapa keluarga Sastromidjo tidak ada yang beres? Mengapa pula kakak-kakaknya senang selingkuh? Ya, terkecuali Eknath, sih. Pantas saja dulu dia diselingkuhi. Jadi, memang karma itu benar adanya. Tidak turun ke diri sendiri, bisa jadi turun ke keluarga. Sialan. Kabut ingin mengutuk keluarga Sastromidjo. 

❤‍🔥❤‍🔥❤‍🔥

Jangan lupa vote dan komen kalian<3

Follow IG: anothermissjo

Bagi yang bertanya-tanya, di chapter sebelumnya kan bahas nama 'Duda' tuh. Itu Duda Aditama yang ada di cerita The Naughty List. Igor ini muncul di cerita sana meskipun bukan sebagai pemeran utama. Jadi, Igor ini udah ku spill di sana jauh sebelum aku nulis Cranky Romance ^^ terus Tiffany Atmaja ini karakter lama yang udah aku bahas di cerita My Boss's Problem~~ dah gitu aja hehe btw, kalau Sayang sendiri muncul di cerita Thank You For Cheating. Kakak iparnya Top, yang sahabatan sama Bangkit ^^

Jadi buat yang baru baca ceritaku, kayaknya boleh juga sih mampir ke ceritaku yang lain hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro