Cranky 38
Update lagi nih. Maap agak malem ye :")
Btw biar semangat komen yang banyak~~
-
-
Seluruh keluarga Sastromidjo telah berembuk membahas insiden yang terjadi. Tidak ada yang berani membela anak-anak mereka ketika Handoko marah dan murka. Tanpa disangka-sangka, Hewin Sastromidjo, ayahnya Rastina bersedia mencoret nama putrinya dari daftar waris dan tidak akan memberikan bantuan apa pun selama putrinya dipenjara. Handoko tentu saja menyampaikan kekecewaannya terhadap para saudaranya yang telah lalai mengatur dan mendidik anak mereka. Tidak heran pula Handoko sampai meninju dinding sebagai bukti bahwa kemarahannya telah mencapai batas. Obrolan itu pun berakhir dengan kesepakatan untuk tidak memberi bantuan apa pun kepada anak-anak mereka yang nantinya akan berurusan dengan polisi dan dipenjara.
Meskipun terkesan selesai, Handoko tetap akan mengingat semua yang telah dilakukan anak-anak terkutuk itu. Apalagi setelah melihat kondisi Kabut. Hati Handoko rasanya sakit. Handoko sampai tidak berani menatap putrinya lama-lama, merasa bersalah tidak mengurus masalah warisan yang menjadi awal perseteruan Kabut dan sepupu yang lain lebih awal.
"Kamu tahu, kan, sekarang kenapa aku benci keluarga kamu?" Arina membuka percakapan. Kedua tangannya menggenggam tangan Kabut. Putrinya sedang tertidur setelah sudah ditangani oleh dokter dengan baik.
Kondisi Kabut sangat menyayat hati. Arina sampai menangis terisak-isak melihat kondisi putrinya. Sebelum menemani Kabut dan ikut menemani Handoko berbincang dengan keluarga besar Sastromidjo, Arina menampar semua orang tua yang anak-anaknya ikut terlibat. Arina sudah muak dan tidak peduli dibilang sebagai ipar yang kurang ajar. Lagi pula Arina sebentar lagi tidak akan menjadi bagian keluarga terkutuk itu. Arina ingin menyalurkan kesedihan, kebencian, dan kemurkaannya terhadap keluarga Sastromidjo.
Handoko diam tidak menanggapi Arina. Dia tahu. Hanya saja dia terlalu abai dan sering menutup mata akan semua tindakan keluarganya.
"Gimana ... gimana...." Kata-kata Arina tertahan. Bibirnya bergetar, tangannya semakin erat menggenggam tangan Kabut. "Maafin Mama, Nak..."
Dalam sekejap suasana di dalam kamar dipenuhi kesedihan. Baik Handoko dan Arina tidak berhenti menyesali hal yang telah terjadi. Mereka merasa gagal menjaga Kabut. Tidak ada satu orang tua pun yang tidak sedih ketika anaknya dipukuli separah ini.
Kesedihan itu berangsur hilang setelah pintu terbuka. Handoko menoleh dan mendapati ketiga putranya datang bersama. Mereka bertiga menyapa, tetapi hanya Handoko yang menanggapi karena Arina sedang mencium punggung tangan Kabut berulang kali dan menangis tanpa henti.
"Badai," panggil Handoko ketika ketiga putranya duduk di atas sofa panjang. Putranya itu menyahuti dengan santai. "Kamu pukul tangannya Mardi pakai palu, ya?"
"Siapa mukul siapa? Palu?" Arina menoleh, menghapus air matanya begitu telinga mendengar hal gila.
Badai mengedikkan bahunya. "Bukan. Eknath, tuh."
Eknath menoleh pada sang kakak dan geleng-geleng kepala. Tidak perlu ditanggapi, ayahnya pasti tahu bukan dia pelakunya. Siapa lagi, sih, manusia nekat di keluarganya yang tidak takut akan hukum dan dipenjara selain Badai? Tidak ada lagi, hanya Badai. Oh, tentu ada Kabut. Akan tetapi, tidak mungkin mengira Kabut karena adiknya sedang terluka parah.
"Jangan nyalahin orang yang nggak ada di TKP. Kamu, nih, mau dipenjara juga bareng Mardi mukulin dia sesadis itu? Kalau Mardi buka mulut gimana?" omel Handoko memasang wajah seriusnya.
Badai menanggapi santai sambil mengunyah kacang almond yang baru saja diambil dari dalam bungkus di atas meja. "Ya, bagus. Nanti bisa main bunuh-bunuhan di sel."
"Ya, Gustiiiiii!" Arina kesal dan langsung menghampiri sang putra. Tanpa basa-basi, dia menjewer telinga Badai sekeras-kerasnya, tidak peduli putranya kesakitan atau tidak. "Jangan belajar gila kamu, ya, Badai! Mama nggak pernah ngajarin kamu gunain kekerasan. Semua ada proses hukumnya, jangan main hakim sendiri. Nanti kamu kebiasaan apa-apa pakai kekerasan. Mama nggak suka!"
"Yaelah, Ma ... hukum di sini penjaranya sebentar. Nggak berasa tiba-tiba hukumannya dipotong ini dan itu. Paling baru dua tahun udah keluar. Jadi, cara terbaik dengan melakukan hal yang sama. Nggak perlu diampuni soalnya bukan Tuhan. Cukup Tuhan aja yang berbaik hati," balas Badai santai. Walaupun jeweran ibunya lumayan sakit, dia tidak merintih dan membiarkan sang ibu melakukan yang diinginkan.
"Anak gila!" Arina semakin mengeraskan jewerannya.
Handoko menepuk keningnya, cukup pusing dengan kelakuan anarkis Badai. Memang, sih, Badai tidak sesering Kabut yang keluar masuk kantor polisi, tetapi sekalinya masuk kantor polisi, masalahnya jauh lebih rumit. Sementara itu, Igor dan Eknath tidak mau berkomentar, sudah hafal sekali kelakuan Badai dan mulutnya yang enteng itu.
"Udahlah kamu nikah aja. Biar ada pawang yang bisa hentiin kegilaan kamu itu." Arina menarik tangannya, menghela napas kesal. "Mumpung kamu ada di sini, Mama mau bahas perjodohan kamu sekalian."
Badai menyahuti, "Tiba-tiba dijodohin, tiba-tiba nikah. Heran banget sama keluarga ini."
"Diam nggak!" Arina memelototi sang putra. Tentu saja putranya cuma cengengesan. "Mama mau jodohin kamu sama Sayang Handoyo. Tahu, kan? Pengacara terkenal itu."
"Iya, tahu." Badai mengambil kacang almond dan kembali mengunyah. "Kalau mau jodohin, tuh, sama yang imut-imut manja, Ma. Kenapa mesti yang tegas begitu? Hidup bakal membosankan."
"Justru kalau sama yang imut-imut, kamu nggak bakal mau diam. Pasti ada aja kelakuan ajaib kamu. Kalau sama Sayang, kan, dia tegas dan nggak menye-menye. Tolong, ya, jangan nolak. Mama nggak mau dengar alasan klasik kamu minta dijodohin sama yang imut-imut," oceh Arina.
"Kalau sama yang imut-imut, kan, mau melindungi. Kalau tegas begitu, dia bisa apa-apa sendiri, Ma," balas Badai enteng. Sambil terus mengunyah kacang almond, dia melirik Igor yang duduk di samping kanannya. "Minimal kalau mau galak atau tegas, tuh, macam Duda mantannya Igor. Bolehlah, nggak too much."
Igor geleng-geleng kepala. Badai tertawa kecil menangkap reaksi adiknya. "Ya udah, jodohin sama Tiffany Atmaja aja, deh, Ma. Nawar, nih, jangan sama Sayang."
Arina memijat keningnya. "Tolong, jangan bikin Mama berubah jadi Power Ranger, ya."
"Jangan mulai, Kak." Igor menyenggol bahu Badai, lalu melirik Eknath yang berdeham berulang kali. "Masa mau gebet pacar adik sendiri?"
"Oh, udah pacaran? Nggak cuma friends with benefit aja?" ledek Badai pada Eknath.
"Heh! Mulut kamu, ya, Badai!" omel Arina.
Badai tertawa lagi. Bangun dari tempat duduknya, dia menghampiri sang adik. Badai berdiri di samping ranjang Kabut. Sambil memandangi sang adik yang terbaring lemah, dia berkata, "Kalau mau jodohin sama yang imut aja, Ma, jangan Sayang. She's not my type."
"Nggak, pokoknya tetap Sayang. Kalau dia bisa handle Trendi Prambadi, berarti dia bisa handle kamu juga," kata Arina ngotot.
Badai tidak menanggapi. Dia memandangi adiknya cukup lama. Satu tangannya bergerak hendak menyentuh pipi Kabut, tapi dia mengurungkan niatnya. Badai mengepal tangannya kuat-kuat memupuk kebencian pada semua sepupunya yang telah membuat kondisi Kabut sedemikian rupa. Mencondongkan tubuhnya, Badai berbisik pelan di telinga sang adik.
"I'll never forgive them for what they did to you. I'll kill them."
Dan sebagai pamungkas terakhir, Badai mengecup kening sang adik. Kecupan pertama setelah bertahun-tahun hubungan mereka tidak pernah baik. Doa cepat pulih pun dipanjatkan seiring usapan lembut di kepala Kabut sebelum akhirnya Badai meninggalkan ruangan setelah sang ibu mulai tenang tidak membahas apa pun.
❤🔥❤🔥❤🔥
Sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta, Bangkit tidak bisa tenang sama sekali. Pikirannya bercabang memikirkan banyak hal, terutama mengenai kabar Kabut dan anak mereka. Namun, tidak ada satu pun yang memberi tahu kabar selanjutnya. Bangkit dibuat pusing sendiri. Selain itu, Bangkit memikirkan cara bagaimana membunuh Taj, sosok yang paling dia benci sekarang. Anarki cerita bagaimana Taj akan memperkosa Kabut saat sudah tidak berdaya. Sungguh keji. Bangkit merasa kesal, sedih, dan marah pada dirinya sendiri tidak bisa menjaga Kabut. Seharusnya dia memaksa Kabut untuk ikut, bukan membiarkannya sendirian.
Dihantui rasa ingin tahu Bangkit berlari secepat mungkin setelah tiba di rumah sakit. Anarki sudah memberi tahu di mana kamarnya Kabut sehingga tidak perlu repot mencari, hanya sebatas bertanya di mana tepatnya nomor kamar tujuannya. Setibanya di depan pintu kamar inap, Bangkit melihat Eknath, kakaknya Kabut yang jarang sekali terlihat. Laki-laki itu baru saja keluar.
"Hei, Bangkit," sapa Eknath.
"Hai, Kak," balas Bangkit canggung.
"Di dalam ada Badai. Lebih baik lo—"
"Oh, ada manusia paling sibuk sedunia." Kata-kata Eknath disela begitu saja ketika Badai menampakkan diri. "Nggak sekalian aja lo balik tahun depan?"
"Kak," Eknath berdeham, menahan lengan Badai mewanti-wanti untuk tidak membuat masalah baru.
Badai menepis kasar tangan Eknath, maju selangkah menghampiri Bangkit dan menarik kasar kerah kemeja adik iparnya. Eknath mencoba menarik tangan Badan, tapi kekuatan kakaknya jauh lebih besar.
"Lo tahu apa yang gue benci dari lo, Bangkit?" Badai meremas kerah kemeja Bangkit lebih kuat dari sebelumnya. "Kesibukan lo yang memuakkan itu. Juga, sepupu lo yang mirip anjing. Kalau lo maksa Kabut ikut seperti dulu, hal ini nggak bakal terjadi. Dan kalau lo bunuh Taj dari lama, udah pasti kalian tenang-tenang aja."
Bangkit tidak membantah ataupun menjawab. Ini pertama kalinya kedua kakak Kabut yang jarang terlihat muncul di tempat yang sama. Itu berarti permasalahan ini sudah mengusik keduanya. Bangkit menatap Badai dengan tenang. Alih-alih takut, Bangkit justru merasa bersalah karena ucapan Badai sebelumnya benar.
Eknath berdecak kasar. "Kak, cukup. Lo nggak bisa bicara begitu sama Bangkit. Dia lebih banyak melindungi dan bantu Kabut dibandingkan kita. Gue nggak perlu nyebut berapa kali Bangkit rela ditampar atau dipukul bokap kita untuk gantiin Kabut, sedangkan kita sendiri nggak berani belain. Jadi, jangan begini."
Badai menatap tajam Bangkit, memperkuat cengkeramannya. Namun, kemudian Badai melepas dengan mendorong tubuh Bangkit. Decakan kasar berulang kali dan kalimat sumpah serapah lolos dari mulut Badai seolah tidak terima mendengar kata-kata Eknath yang benar itu.
"Masuk sana. Kabut lagi di dalam ngobrol sama orang tua gue," suruh Eknath.
Saat Bangkit hendak masuk ke dalam, Badai kembali menghalangi dengan tangannya. Sontak, hal itu membuat Bangkit berhenti.
"Kalau sampai Kabut terluka lagi begini, gue nggak segan-segan tusuk lo karena nggak becus jagain adik gue. Ini bukan peringatan, gue ngancam biar otak lo yang pintar itu bekerja dengan baik," ancam Badai galak.
Eknath mendesah kasar. Susah sekali memberi tahu Badai. Mau sampai berbusa, laki-laki itu selalu semaunya meskipun kelakuan sama buruknya.
Bangkit menjawab tegas. "Iya, Kak. Saya pastikan hal ini nggak terulang."
Badai berdecih. "Ah, udahlah. Keluarga Adipranas memang isinya sampah." Lalu, dia beranjak pergi dari sana sambil terus berdecak kesal.
Sementara itu, Eknath menepuk pundak Bangkit supaya Bangkit tidak mengambil hati ucapan kakaknya. Bangkit mengangguk pelan seakan paham maksud tepukan itu. Bangkit berdiam sebentar di depan pintu sambil memandangi kedua kakaknya Kabut pergi. Sesudahnya Bangkit mengetuk pintu dan memasuki kamar inap.
Di dalam kamar ada orang tua Kabut, orang tuanya, serta Traya dan Marsha. Pandangan Bangkit lantas tertuju pada Kabut yang tengah duduk di ranjangnya. Wajah istrinya memar parah, bahkan salah satu matanya setengah tertutup.
Bangkit mengepal tangannya melihat kondisi istrinya. Tidak ada yang menunjukkan foto kondisi Kabut padanya. Entah semua sepupunya ingin dia melihat secara langsung atau takut dia mengamuk dan langsung membunuh Taj.
"Kabut," panggilnya lirih.
Kabut diam memandangi suaminya selama beberapa saat. Tiba-tiba bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca. Hanya sepersekian detik, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Lambat laun tetesan air mata itu berubah menjadi isak tangis histeris.
Detik itu dada Bangkit sesak melihat istrinya menangis. Bangkit berjalan cepat, menghampiri Kabut yang terus menangis. Tanpa ragu Bangkit duduk di pinggir ranjang dan memeluk Kabut. Semua orang yang ada di sana menatap pilu seolah ada hal yang akan mengguncang dirinya.
"Anak kita...," Kabut berucap terbata-bata disertai isak tangis. "Kita kehilangan anak kita, Bangkit..."
Kata-kata itu memperjelas semuanya mengapa Kabut menangis. Bangkit ikut menitikkan air mata dalam duka tanpa suara. Hatinya sedih dan terluka. Seharusnya dia bisa menunda kepergian atau mengutus seseorang untuk menjaga Kabut. Jika semua dia lakukan, hal seperti ini tidak akan terjadi.
"Anak kita nggak bisa diselamatkan ... anak kita..."
Kalimat penuh duka menyatu dalam tangis yang kian deras. Bangkit bisa merasakan betapa pedihnya kehilangan anak sama seperti Kabut. Hanya saja Bangkit menahan isak tangisnya supaya tidak menambah kesedihan. Namun, sekuat apa pun Bangkit mencoba untuk menahan diri, Bangkit tetap menangis terisak-isak.
Dalam pelukan penuh luka, kehilangan, dan duka, mereka terus menangis. Semua orang di dalam kamar ikut menangis.
Kebahagiaan yang dirasa sudah di depan mata harus pupus dengan adanya berita duka ini. Kini, mereka hanya berdua, tanpa anak yang selalu mereka idam-idamkan.
❤🔥❤🔥❤🔥
Jangan lupa vote dan komen kalian<3
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro