Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 36

Yuhuuu update ^^

Ini 2600 kata jadi komen ye '-')/

-

-

Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Bangkit ke Amsterdam. Kabut sedih dan merasa kesepian dengan tidak adanya Bangkit. Biasanya suka ribut sekarang harus makan sendiri. Namun, Kabut tidak benar-benar sendirian. Dia sering mengajak Traya, Marsha dan Anarki untuk makan siang atau makan malam bersamanya. Seperti halnya sekarang saja, dia sedang makan bersama Anarki dan Marsha.

Kabut mengunyah daging steak yang dilumeri bumbu blackpepper. Selama hamil maunya makan daging terus jadi Kabut lebih banyak mengajak ke restoran yang menjual daging steak. Alunan lagu dari 911 yang berjudul The Day We Find Love menjadikan suasana di restoran lebih menyenangkan. Lagu-lagu lawas itu diputar untuk membuat para pengunjung menikmati waktu mereka sambil bernostalgia.

"By the way...." Kabut berhenti bicara saat tiba-tiba Anarki menyeka sudut bibirnya dengan tisu. Melihat laki-laki itu menunjukkan sisa bumbu pada tisu yang dipegang, dia berkata, "Makasih, An."

Anarki mengangguk, lalu kembali memotong daging steak. Anarki mengunyah dengan santai sambil memasang telinga mendengarkan cerita dua perempuan yang sedang bersamanya. Sementara itu, Marsha ikut menyaksikan tindakan Anarki barusan.

"Kenapa, sih, kelakuan sepupu kalian mirip binatang?" Kabut melanjutkan kata-kata yang sempat tertunda sebelumnya.

"Entahlah. Bapaknya nggak begitu. Tapi kayaknya dia marah gara-gara diusir, deh," sahut Marsha.

"Salah dia sendiri. Kenapa mesti gila begitu?" Kabut menaikkan nada bicaranya, mulai emosi teringat kelakuan Taj yang menyebalkan.

"Dia begitu karena nggak bisa bareng lo makanya nekat. Setelah Bangkit pulang, lo cerita aja biar diurus sama suami lo," sambung Anarki.

"Ya, nggak begitu juga." Kabut mendengkus sebal. Sambil mengunyah daging steak dengan tingkat kematangan well done, dia memperhatikan suasana di sekitar. "Udahlah, badmood gue. Tapi memang harus cerita sama Bangkit, sih. Kalau dia nggak tahu dan malah tahu dari kalian, itu lebih bikin dia murka."

"Itu betul." Anarki manggut-manggut. Kemudian, dia kembali memperhatikan Kabut. Bibir perempuan itu penuh dengan sisa bumbu. Anarki sigap menyeka kembali, berhasil membuat Kabut menoleh dan terdiam memandanginya. "Kalau lo makan kenapa berantakan mulu, deh? Mau nyisain buat Bangkit?"

"Yeeee ... mana ada. Memang nggak berasa aja bumbunya nempel," ujar Kabut.

"Tapi lo begitu mulu dari dulu. Kalau gue atau Bangkit nggak ada, yang nyeka siapa, dong?"

"Setan! Ya, gue lah! Lo pikir gue nggak punya tangan?" dengkus Kabut. Seperti biasa, Anarki tertawa setelah mendengar jawabannya.

Marsha yang kala itu terus memperhatikan langsung menyadari pandangan Anarki pada Kabut terasa begitu berbeda. Entah dia baru sadar atau mungkin tidak begitu memperhatikan setiap kali mereka bersama. Padahal sudah sering kumpul bersama dan tindakan Anarki yang begitu memperhatikan Kabut tidak pernah terasa aneh untuknya. Tapi kali ini, rasanya berbeda, entah apa yang membuatnya demikian. Seolah Anarki menjadi pengganti Bangkit sementara waktu.

"Kalau dilihat-lihat lo berdua lebih serasi," gumam Marsha. Suaranya yang cukup keras membuat dua insan yang tengah ledek-ledekan itu menoleh. Marsha segera meralatnya, "Kalau kalian nggak punya pasangan maksud gue. Kalau sekarang lebih serasi sama pasangan masing-masing."

"Ah, males kalau nikah sama Anarki bisa nangis darah," kata Kabut sambil melahap daging steak yang baru saja ditusuk garpu.

Anarki tertawa, tidak menanggapi dengan kalimat apa pun. Marsha melihat Kabut dan Anarki bergantian. Marsha bukan tipe yang mau tahu, tapi melihat dua orang itu, memiliki masa lalu yang tidak pernah mereka umbar ke mana-mana bahkan dirinya saja tidak tahu mengapa keduanya putus, dia menjadi penasaran.

"Sebelum gue mati, boleh lah kalian sharing kenapa putus. Selama ini keluarga kita nggak pernah tahu alasan lo berdua bubar setelah dua tahun pacaran. Mana itu rekor dunia buat Anarki yang bajingan ini dua tahun pacarin satu orang doang," ucap Marsha.

"Rahasia, dong. Nggak boleh ada yang tahu," balas Anarki jahil.

"Halah! Bilang aja lo takut nostalgia. Takut jatuh cinta lagi sama Kabut. Ya, kan?" Marsha mencibir. Detik berikutnya dia meralat, "Eh, tapi kelihatannya masih cinta. Apa perasaan gue doang?"

Anarki tertawa lagi. "Haha ... kesurupan hantu kepo? Mending bahas kapan Bangkit balik aja nggak, sih? Biar dia bisa gebukin Taj."

Kabut menimpali, "Mending bahas kenapa lo nggak ajak istri ke sini. Kapan kita bisa makan siang bareng istri lo?"

"Eh, iya, benar juga!" Marsha menjentikkan jarinya ikut nyeletuk. "Kenapa nggak bawa istri lo, An? Dia nggak mungkin kerja non stop tanpa ada istirahat, kan?"

Anarki memotong daging steak dan melahapnya dengan santai. Melihat Marsha yang memasang wajah ingin tahu, dia menanggapi, "Istri gue sibuk."

"Halah. Gue yakin nggak mau dibawa biar lo bisa elap-elap bibirnya Kabut," ledek Marsha.

Anarki tertawa, entah untuk berapa kali. Kabut geleng-geleng kepala setelah sebelumnya sempat melirik Anarki yang senang sekali tertawa menyaingi hantu. Kabut menoleh ke samping, memperhatikan Anarki yang tampak tenang dan tidak tergiur mengatakan hal lain.

"Anyway, Bubut. Gue mau usap perut lo, dong. Boleh nggak? Siapa tahu dalam waktu dekat ketularan." Marsha menatap dengan memasang puppy eyes andalannya. Melihat Kabut mengangguk, dia bersorak kecil dan bangun dari tempat duduknya. "Yay! Makasih, Bubut!" Lalu, dia mulai mengulurkan tangannya sambil setengah membungkuk setelah berdiri di samping Kabut. Untungnya Kabut sigap mengarahkan tangannya sehingga Marsha bisa segera mengusap perut Kabut yang belum buncit. "Sehat-sehat dedek bayi."

"Makasih Aunty Marsha," sahut Kabut dengan suaranya yang dibuat sok imut. Marsha terkekeh dan kembali mengusap perut Kabut sebelum akhirnya menyudahi kegiatan singkat itu.

"Lo mau usap perut gue juga nggak?" tawar Kabut saat melihat Anarki.

Anarki cukup terkejut meski sebenarnya sejak tadi memang memperhatikan Marsha kesenangan mengusap perut Kabut. "Boleh, nih?"

Kabut mengangguk. "Cepetan. Mumpung gue lagi baik."

Anarki mengarahkan telapak tangannya pada perut Kabut hingga berhasil menyentuhnya. Dengan gerakan pelan dan sambil memandang perut yang belum membesar, Anarki mengusapnya. Selagi Anarki sibuk, Marsha sudah kembali ke tempat duduknya dan menyaksikan pemandangan tersebut.

"Ini berasa lo yang suaminya, ya, An. Pandangan lo macam suaminya Kabut aja," goda Marsha.

"Diam nggak!" omel Kabut.

Marsha tertawa kecil. "Ya, kan, ngomong doang, Bubut. Tapi Anarki lebih mirip om lo, But."

Anarki menyahuti sambil menarik tangannya dari perut Kabut. "Nggak salah lo? Bukannya Bangkit lebih om-om dari gue?"

"Nggak. Justru muka lo yang kelihatan lebih tua dari Bangkit. Eh, tapi memang lo lebih tua dari Bangkit juga, sih," ujar Marsha. Sementara itu, Anarki cuma mengeluarkan tawa khasnya saja.

Kabut tidak menanggapi apa pun karena faktanya demikian. Tiba-tiba perutnya terasa sakit. Kabut pun langsung mengusap perutnya, menunda makannya sebentar.

"Kenapa, But?" tanya Anarki begitu menyadari Kabut memasang wajah kurang nyaman.

"Perut gue sakit. Tapi ini udah mendingan, sih. Kayaknya butuh diusap aja sama istirahat," jawab Kabut.

"Mau gue beliin minyak angin?" tanya Anarki.

"Nggak usah, fine, kok. Butuh diusap aja."

"Mau gue bantu usap?" tawar Anarki.

Marsha nyeletuk, "Jangan gila ya, Anarki. Nanti lo kepengin raba-raba yang lain."

Anarki berdecak. "Lo pikir gue Taj. Nggak gitu, ya, Marsh. Gue cuma nawarin aja, belum tentu Kabut mau. Jangan nuduh gue mulu kenapa."

"Nggak usah." Kabut menggeleng pelan. "Thanks, An."

"Berarti gue bantu suapin aja, ya? Biar lo bisa senderan sambil usap perut. Gimana?"

"Boleh aja, An."

Selagi Kabut mengusap perutnya, Anarki sigap menyuapi Kabut dengan sabar. Marsha sebagai penonton sejati cuma mengamati meskipun mulutnya gatal ingin meledek dua insan di depannya. Orang-orang yang tidak mengetahui status mereka, pasti akan berpikiran bahwa Kabut dan Anarki adalah sepasang suami-istri, seperti yang Marsha pikirkan setiap kali melihat keduanya bercengkerama.

❤‍🔥❤‍🔥❤‍🔥

Di dalam kantor Kabut sibuk menggambar sketsa untuk salah satu kliennya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Kabut mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja dan melihat nama Bangkit muncul. Tanpa mau membuang waktu, Kabut menjawab panggilan itu.

"Halo, Sayang," sapa Kabut dengan nada manja.

"Hai, Istriku. Kamu lagi apa? Tadi udah makan banyak?" tanya Bangkit di seberang sana.

"Udah, tadi ditemani Anarki sama Marsha. Gimana kerjaannya, Mas?"

"Rumit. Tapi masih bisa diurus. Terus kepala pusing soalnya kangen sama kamu."

Kabut memutar bola matanya. Halah, halah. Meskipun terdengar gombal, Kabut senang dan tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik sempurna. "Hm ... gombal. Kalau kangen harusnya kamu ajak aku ke sana."

"Memangnya kalau aku ajak, kamu mau? Terakhir kamu bilang, kamu nggak suka diajak-ajak. Jadi, aku nggak berani ngajak lagi atau maksa kamu ikut."

Kabut manggut-manggut. Benar, sih, dia memang malas ikut Bangkit kalau mengurus pekerjaan. Dia bakal kesepian karena laki-laki itu sibuknya keterlaluan dan suka lupa waktu meskipun sering menghubungi. Kalau tidak ikut, kan, dia bisa main dengan Traya, Marsha, dan Anarki jadinya tidak begitu sepi.

"Nggak, sih. Aku mau istirahat tenang dan main di sini."

Bangkit terdengar terkekeh pelan di seberang sana. "Jangan lupa vitamin, ya. Jaga kesehatan. Aku mau video call. Coba videoin perutnya dan usap-usap, aku mau nyapa anak kita."

Tidak butuh waktu lama, Bangkit mengubah mode panggilan mereka menjadi video call. Kabut pun segera mengarahkan layar kamera depan pada perutnya dan mengusap perut dengan lembut supaya Bangkit lihat.

"Hei, Little Pumpkin. Papa kangen, nih. Baik-baik, ya, sama Mama," ucap Bangkit.

Kabut bisa melihat wajah berbinar Bangkit melalui layar. Siapa yang menyangka Bangkit akan begitu senang punya anak? Berkat ucapan menggemaskan itu, Kabut tersenyum senang dan semakin merindukan suaminya. "Comeback home quickly, Daddy," ujar Kabut pelan, membuat suaranya dengan nada lebih imut.

"Pasti pulang secepatnya. I miss you, Kabut." Bangkit memasang senyum lebar, lalu melempar chef's kiss ke udara.

"Miss you too, Honey." Kabut memberikan kecupan yang sama setelah mengarahkan kamera pada wajahnya. "Ya sudah sana urus pekerjaan lagi. Aku lagi buat sketsa, nih, kamu ganggu konsentrasi aja."

"Lho? Aku diusir?" Bangkit memasang wajah pura-pura sedih.

"Iya." Kabut menahan tawa. Kemudian, dia mendengar ketukan pada pintunya. "Nah, itu kayaknya Andine. Soalnya aku mau bahas hal penting sama dia. Aku matiin dulu, ya, nanti telepon lagi. See you, Mas Bangkit."

Bangkit menghela napas, terpaksa menggangguk. "Ya udah, deh. See you later, Sayang. Nanti aku telepon lagi, ya. Kalau ada apa-apa telepon aku."

"Iya, Sayang."

Tidak lama kemudian sambungan berakhir. Senyum di wajah Kabut masih terpancar cerah walau telepon telah berakhir. Hal itu didukung dengan pesan yang dikirim Bangkit setelah telepon mereka berakhir.

Mas Bangkit: Love you♥

Mas Bangkit: Nanti teleponan lagi, ya, harus lebih lama.

Mas Bangkit: Kangen banget soalnya.

Mas Bangkit: Bye.

Mas Bangkit: Ah, kangen....

Mas Bangkit: Ya udah, deh, kamu urus dulu kerjaan.

Mas Bangkit: Beneran bye. Love you, Kabut.

Kabut meletakkan ponselnya di atas meja dan mendengar ketukan yang sama. Dia segera menyahuti dan menyuruh untuk masuk. Bukannya Andine, pupil mata Kabut melebar begitu melihat Mardi masuk ke dalam ruangan bersama dua sepupunya yang lain: Handra dan Saraz. Kabut spontan bangun dari tempat duduknya.

"Haaa ... akhirnya tiba juga. Cepetan pegang Kabut!" perintah Mardi kepada dua sepupunya.

Kabut menatap bingung. Sebelum sempat berlari menjauhi meja dan tidak sempat mengambil ponsel, dua sepupunya sudah lebih dulu memegang masing-masing tangannya dari sisi berlawanan. Kabut berusaha berontak, tapi sialnya tenaga kedua orang itu jauh lebih besar. Keduanya menarik Kabut keluar dari tempat duduknya hingga berdiri di depan Mardi.

"Gue udah gatal banget mau melakukan ini." Mardi melayangkan tamparan keras di wajah Kabut hingga menciptakan bunyi yang cukup keras dan menggema di seisi ruangan. "Kita masih punya urusan yang belum selesai, Kabut."

Kabut berdecak kasar menahan sakit di pipinya. "Urusan apa? Masalah warisan? Cih! Orang gila!"

Di pikiran Kabut sekarang, dia ingin tahu di mana Andine sekarang. Mengapa sampai tiga cecunguk ini dibiarkan memasuki butiknya. Sebelum dia bertanya, sepupunya yang lain datang. Shelda dan Rastina memasang wajah jutek.

"Gila, tenaga asistennya Kabut kuat juga. Tangan gue sampai dicakar pas mau kunciin dia di toilet," keluh Rastina.

"Berarti udah beres, kan?" tanya Saraz.

Rastina mengerlingkan matanya. "Beres."

Kabut membelalak setelah mendengar hal itu. Sial. Mengapa sepupu-sepupunya ini semua titisan dajjal? Setega itu mengunci Andine di toilet. Sungguh gila!

"Berhubung udah beres, kita tinggal urus yang satu ini." Mardi menyentuh dagu Kabut, memegangnya kuat-kuat, lalu menampar pipi sekeras mungkin. "Gue udah cukup muak, ya, diam aja. Berhubung Bangkit udah pergi, ini saatnya gue kasih pelajaran buat pelacur nggak guna macam lo." Lagi, Mardi menampar wajah Kabut.

Kabut tertawa kecil, terus menahan sakit di pipinya. "Haha ... laki-laki pengecut! Lo beraninya nampar gue pas kedua tangan gue dipegangin dua setan. Kenapa nggak nampar pas tangan gue nggak dipegangin? Kenapa? Nyali lo nggak sebanyak itu?"

Mardi mengepal tangannya kuat-kuat. Melihat Handra dan Saraz, dia memberi kode kepada dua orang itu untuk melepaskan Kabut. Setelah Kabut sudah dilepaskan, tanpa diduga-duga Kabut menampar balik wajahnya. "Dasar perempuan sinting!" Tanpa berpikir lebih dahulu, Mardi melayangkan tinju di wajah Kabut hingga perempuan itu jatuh tersungkur.

"Mardi!" pekik Shelda. Dengan cepat dia berlari hingga berdiri di depan Kabut dan memelototi Mardi. "Lo gila, ya? Kok, lo tinju dia? Kata lo kita cuma mau ngomong baik-baik, kenapa lo main tangan?"

Mardi tertawa kecil, memandang Shelda yang ada di depannya. "Haha ... lo pikir gue bisa ngomong baik-baik sama jalang itu? Kenapa? Lo takut mukul dia?"

Shelda menoleh ke belakang, memperhatikan Kabut memegangi pipinya. Sebelum dia sempat bicara, dia mendengar kalimat lainnya.

"Namanya juga bukan laki-laki, beraninya mukul perempuan. Gue nggak nyangka lo pengecut akut, Mardi. Kenapa nggak berubah jadi perempuan sekalian?"

Shelda membentak. "Kabut! Tutup mulut lo!"

"Lihat, kan? Ngomong baik-baik? Mana bisa! Jalang sialan itu memang pantas dipukulin. Apalagi suaminya udah bikin tangan gue cacat kemarin. Nggak ada baik-baik kalau udah menyangkut jalang." Mardi mendorong Shelda hingga nyaris terjatuh dan berhasil menyingkir dari pandangannya. "Lagian gue nggak akan mukul sendirian. Gue ajak satu kru lagi yang punya dendam sama."

"Hei, Kabut Sayang."

Sapaan itu berhasil membuat Kabut mendongak dan menatap laki-laki yang membuatnya takut. Langkah mantap laki-laki itu memenuhi telinga. Sepatu pantofel berwarna hitam berpijak tepat di depan Kabut. Sosok itu adalah Taj. Bajingan satu itu memasang senyum sambil mengusap kepala Kabut dengan tatapan cabulnya. Kabut bergerak mundur ke belakang, tapi Handra dan Saraz kembali menahannya agar tetap berada di tempat yang sama.

"Kira-kira kalau muka lo ancur, Bangkit masih mau nggak?" Taj berjongkok, lantas mengusap pipi Kabut dengan punggung tangannya. "Kalau gue nggak bisa memiliki lo, harusnya Bangkit juga nggak bisa. Gue nggak suka ditolak."

Kabut membelalak. Tubuhnya gemetaran saat menatap Taj yang menunjukkan tatapan menjijikan itu. Kabut tidak sempat menjawab ketika Taj secara paksa mencium bibirnya. Kabut menutup mulutnya rapat-rapat meskipun Taj berusaha untuk meloloskan lidah ke dalam mulutnya. Kabut ingin menangis, tapi tidak bisa, semua sepupunya memperhatikan. Jika Kabut menangis sekarang, maka dia menunjukkan kelemahannya kepada semua sepupunya.

"Haa ... sial. Kenapa nggak buka mulut? Waktu itu lo semangat banget nyium gue." Taj berdiri. Dia membuka ikat pinggangnya. "Apa kita bercinta dulu, ya?"

"Jangan gila lo, ya! Gue nggak sudi bercinta sama lo! Bajingan!" umpat Kabut.

Taj menoleh ke belakang melihat Mardi. "Kalau gue bercinta dulu sama Kabut boleh nggak?"

"Boleh. Pakai aja dulu sepuas lo. Urusan gue bisa belakangan," kata Mardi sambil tertawa puas.

Shelda langsung menatap Mardi. "Mardi! Lo jangan gila, ya! Kita cuma perlu ngomong sama Kabut secara kasar, bukan main tangan. Lo juga ngapain, sih, bawa orang lain?"

Mardi bersedekap di dada. "Kenapa? Kalau lo takut pulang aja. Pengecut!"

"Lo pengecut! Laki-laki sinting! Gue nggak mau ikutan!" kata Shelda.

Handra menyela, "Yah ... lo balik?"

"Kata lo mau kasih Kabut pelajaran?" sambung Rastina.

"Iya, tapi bukan mukulin dia. Lo mau ikut mukulin dia?" Nada bicara Shelda naik beberapa oktaf.

"Why not? Kita dibuat susah gara-gara dia," kata Rastina.

Shelda berdecak, menatap para sepupunya dengan tidak percaya. "Lo semua gila. Nggak waras tahu nggak! Terserah lo semua mau apa, gue nggak mau terlibat sama kegilaan kalian."

Tanpa banyak bicara Shelda langsung berbalik badan dan bergegas keluar. Sebelum dihalang-halangi, dia berlari cepat meninggalkan ruangan, kebetulan tidak ada yang menjaga pintu. Shelda tidak mau bergabung dengan kejahatan Mardi yang tidak bisa ditolerir, dia tidak tega.

Tidak lama setelah Shelda keluar membiarkan pintu terbuka, suasana lebih mencekam, dipenuhi kebencian yang tidak bisa ditampung lagi. Kabut kesulitan berontak dengan kedua tangan yang tertahan. Sudah begitu kedua sepupu Kabut benar-benar mencengkeram tangannya dengan keras seolah sudah menunggu momen ini untuk menyiksanya.

Taj menjilat bibir bawahnya ketika memandangi ketidakberdayaan Kabut yang membuatnya senang dan terangsang. "Kelihatannya gue terakhir setelah kalian puas main sama Kabut. Lo duluan aja, Mardi," suruh Taj.

"Baiklah, kalau lo maunya begitu." Mardi maju beberapa langkah, berdiri di depan Taj, lalu berjongkok di depan Kabut. "Lepasin tangan Kabut, Gaes. Ini saatnya kita kasih pelajaran buat tuan putri kita."

Sebelum Kabut sempat mundur untuk menjauh, Saraz sudah lebih dulu menjambak Kabut dengan keras. Sementara itu, Mardi sigap melayangkan tinju yang sama ke wajah Kabut. Setelah Kabut tersungkur, Mardi berdiri dan menendang tubuh Kabut. Tidak hanya Mardi saja yang menendang, Saraz dan Handra ikut melakukan hal yang sama. Kemudian, Rastina juga ikut menendang dengan senyum senang yang terpancar di wajahnya. Taj mundur beberapa langkah membiarkan semua sepupu Kabut beraksi dan sebagai penonton untuk sementara waktu, dia tersenyum lebar menyaksikan insiden itu tanpa merasa kasihan.

Di tengah kuatnya tendangan kaki menyapa seluruh bagian tubuh, Kabut berusaha menutup perut sebaik-baiknya dengan tangan, menjadikan kedua tangannya sebagai pertahanan terbaik agar perutnya tidak terkena tendangan. Dalam hati Kabut berharap ada seseorang yang dapat menolongnya. Entah siapa pun itu orangnya.

❤‍🔥❤‍🔥❤‍🔥

Jangan lupa vote dan komen kalian<3

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro