Cranky 29
Yuhuuuu update lagi ^^
-
-
Bangkit menghela napas. Perkara Corysha ini tidak kelar-kelar sampai Kabut tidak mau diantar ke dokter kandungan olehnya. Oleh karena itu Bangkit meminta Meera menggantikan dan menemani Kabut. Semalam pun Bangkit tidur di kamar lain. Pagi juga dijuteki habis-habisan. Belum lagi grup Adipranas mendadak heboh gara-gara Marsha dan Meera ember. Lengkap sudah sakit kepalanya.
Tidak cuma grup keluarga Adipranas saja yang heboh, grupnya dengan para sahabat ikutan heboh.
Ganteng-Ganteng Sinting:
Bijaksana: HAHAHAHA MAMAM MAMAM DIMUSUHIN KABUT😌
Anarki: Lo sih kenalin Bangkit sama Corysha🫢
Top: Corysha siapa sih?
Bijaksana: Corysha Subroto, Top. Kenal nggak?
Top: Nggak.
Top: Keluarga Subroto yang gue tahu cuma Wesmilia Subroto. Itu pun tahu dari Laciara. Nggak tahu sekeluarga sama Corysha atau nggak.
Bijaksana: Nah, masih sekeluarga. Corysha ini anak dari adik bapaknya Wesmilia. Om Edo Subroto yang punya mal itu.
Aaron: Laciara kenal Wesmilia dari mana, Top?
Top: Cerita kalau Wesmilia ini cinta pertamanya Expan. Pamerin secantik apa Wesmilia. Bilangnya nggak cemburu cuma ngedumel. Heran.
Bijaksana: Wow. Keluarga Subroto ini pesonanya nggak main-main ya. Iya nggak, Bro? @Bangkit jangan baca doang ini grup!👊
Bangkit: Diem. Gak mood.
Bijaksana: HAHAHAHAHA
Aaron: HAHAHAHAHA (2)
Anarki: HAHAHAHA (3)
Top: haha juga nggak nih? @Bangkit
Bangkit: 🐶🐶🐶🐶🐶🐶🐶
Bijaksana: Maksud lo, kita anjing?
Bangkit: 👍
Aaron: singkat, padat, anjing🤡
Top: Kalau Corysha pasti dibilang bidadari
Top: Mana ya emot bidadari?
Anarki: NEEEEH 🧚♀️
Bijaksana: Itu ibu peri bego!😒
Bijaksana: Ini nggak sih? 🧞♀️
Aaron: anjirlah itu jinny oh jinny bego🤦♂️
Aaron: nih gue kasih sayapnya doang🪽 kurleb gitu kali ye mirip malaikat juga tapi
Aaron: dahlah💆♂️
Bangkit: para kumpulan 🤡🤡🤡🤡 berisik ya
Bijaksana: kumpulan cogan😎😎😎
Anarki: coba ceritain dulu kenapa nggak jadi sama Corysha ini @Bangkit
Bangkit: Kepo amat
Anarki: WAAAAAAHH ADUIN KABUT NEEEEEEH
Bangkit: 🤬🤬🤬🫵👊👊👊
Aaron: Alay bener pake emoji doang
Bijaksana: Takut kita sebarin sama Kabut😌
Bangkit: Lo sih ember.
Bijaksana: HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAAHAHA
Bangkit: 🐶 memang
Aaron: wkwkwkwk sialan gue ketawa beneran Bangkit ngatain anjing mulu
Top: emosi terdalam
Anarki: foto ah kasih tahu Kabuttttt📸
Bangkit: 👊👊👊👊
Bijaksana: neh gue kasih foto menarik
Bijaksana: *kirim foto*
Bijaksana: Ini pas Bangkit ngobrol sama Corysha. Seru banget ye ngobrolnya? HAHAHAHAHA
Bangkit: HAPUS GAK!
Anarki: JANGAN! GUE KIRIM KABUT DULU! HAHAHAHAHA
Aaron: kalo dilihat-lihat Bangkit sama Corysha cocok juga🤔🤔🤔🤔🤔
Bangkit: Hapus!
Bijaksana: HAHAHAHA @Anarki udah kirim ke Kabut belum?
Anarki: sip udah. Lagi ngetik dia🤣
Bangkit: 🤬🤬🤬🤬🤬🤬
Anarki: *mengirim foto*
Aaron: anjir ngambek si Kabut wkwkwkwk gue cuci tangan ah🫗🫗
Bangkit menghela napas melihat balasan Kabut saat Anarki memamerkan fotonya berdua dengan Corysha. Benar-benar, deh. Menambah kerjaan saja. Pasti bakal lebih lama lagi tantrumnya Kabut.
Mencoba mengirim pesan kepada sang calon istri, Bangkit menyipitkan mata menyadari foto profil Kabut mendadak kosong. Dia mengirimkan pesan dan cuma centang satu. Jangan bilang Kabut memblokir nomornya? Dia mengirim pesan melalui iMessage dan tidak ada respons. Wah, benar-benar. Efek foto itu semakin menambah amukan Kabut.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Bangkit mempersilakan sang pengetuk untuk masuk ke dalam. Dia melihat Abraham muncul sambil menenteng beberapa berkas.
"Siang, Pak," sapa Abraham.
"Iya, Siang."
"Pak, Bu Mia udah datang. Beliau nunggu di ruang rapat." Abraham memberi tahu.
"Oh, iya, saya segera ke sana."
Bangkit bangun dari tempat duduknya, memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Dia ada klien baru yang ingin membahas masalah penipuan.
"Oh, ya, kamu udah buat replik, Ab?" Bangkit bertanya sambil berjalan mendekati Abraham yang menunggu di ambang pintu.
"Terkait masalah Bu Marisa? Udah, Pak."
"Good then."
"Oh, ya, Pak--"
"Bentar, Ab." Ponsel Bangkit berdering. Berharap yang menghubungi adalah Kabut, ternyata malah omnya. "Ab, kamu bisa temui Bu Mia dulu nggak? Coba bahas sama dia gimana kronologi masalah kasusnya. Ajak Dian sekalian. Saya mau bicara dulu sebentar sama om saya, beliau telepon."
"Baik, Pak."
Sesaat Abraham keluar dari ruangan, Bangkit masih berdiri di depan pintu, belum melangkah keluar. Sebelum menjawab panggilan omnya, Bangkit mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan.
"Halo, Om Royal," sapa Bangkit.
"Hei. Apa kabar, Bangkit? Kamu lagi di mana?" tanya Royal di seberang sana.
"Baik, Om. Kabar Om gimana? Saya lagi di kantor."
"Baik juga. Lusa bisa ketemu?"
"Bisa, Om."
"Oke, nanti Om kasih tahu kita ketemu di mana. Tapi sebelum ketemu, Om mau tanya dulu. Kamu beneran mau gabung partai? Nggak akan menyesal? Om nggak mau kamu bergabung dengan perasaan terpaksa. Kasihan kamu nanti. Papamu pasti yang maksa-maksa, kan? Kalau memang terpaksa, lebih baik nggak usah, nanti Om bantu bicara sama papamu."
Bangkit sudah mempertimbangkan matang-matang semalam. Setelah pembicaraan mengenai pernikahan, ayahnya tetap memaksa Bangkit untuk bergabung dengan partai politik. Saat membahas masalah partai, orang tua Kabut sudah keluar duluan sehingga tidak mendengarkan perjanjian lisan yang berlangsung. Ayahnya marah waktu tahu Kabut hamil duluan jadi meminta Bangkit untuk bergabung partai politik. Walau sebenarnya bergabung dengan partai politik bukan keinginannya melainkan keinginan sang ayah, Bangkit perlu mencoba. Mungkin nanti dia akan membicarakan dengan Kabut saat suasana hati calon istrinya senang dan tenang. Takut tantrum lagi.
"Saya mau coba, Om. Mohon bantuannya, Om," ucap Bangkit mantap.
Royal menghela napas. "Ya udah kalau kamu maunya begitu. Sampai ketemu lusa nanti, Bangkit."
"Iya, Om."
Setelah itu sambungan berakhir. Bangkit tidak tahu apakah pilihan ini sudah benar. Dia malas didesak bergabung tanpa henti oleh ayahnya jadi lebih baik dituruti.
Memasukkan ponsel ke dalam saku celana, Bangkit keluar dari ruangan untuk menemui klien.
❤❤❤
Kabut mendatangi rumah sakit bersama Meera untuk memeriksa kandungan. Alih-alih pergi ke rumah sakit lain, Kabut datang ke rumah sakit Harapan Cinta--yang mana Corysha bekerja di sana. Tidak cuma itu saja, Kabut memilih Corysha sebagai dokter ginekologi yang sebelumnya direkomendasikan suaminya Meera.
Setelah dipanggil ke dalam ruangan Kabut terkesima, terpesona, dan terkagum-kagum dengan wujud Corysha yang cantiknya luar biasa seperti tidak nyata. Iris hijau itu paling memukau. Kulit Corysha yang kecokelatan eksotis dan rambut hitam legamnya, sungguh luar biasa.
Dalam sekejap kekesalan Kabut hilang. Selain wajahnya yang cantik, Corysha juga ramah. Senyumnya juga manis. Duh, Kabut jadi kesal sendiri. Pantas saja dikenalkan sama Bangkit.
Saat kandungan diperiksa Kabut senang. Corysha bilang kandungannya sudah memasuki minggu ke-6. Kabut juga bisa melihat hasil USG anaknya. Baik-baik saja dan tidak ada masalah. Kabut disuruh menjaga pola makan dari makanan mentah dan tidak boleh stres. Corysha meresepkan vitamin dan menuliskan dengan jari-jari lentiknya apa saja yang tidak boleh dimakan ibu hamil supaya Kabut tidak lupa.
"Dok," Kabut memanggil di saat Corysha sedang menuliskan beberapa pantangan untuk ibu hamil.
"Iya? Bu Kabut ada keluhan lain?"
Kabut menggeleng. "Saya cuma mau tanya. Uhm..."
Meera paham maksud Kabut. Dia menyenggol kaki Kabut untuk tidak bertanya aneh-aneh terkait Bangkit sebelum nanti tantrum sendiri. Kabut menoleh dan tidak peduli dengan isyarat Meera. Kabut penasaran.
"Mau tanya apa, Bu?"
Kabut mengamati wajah cantik Corysha. Suaranya benar-benar halus seperti yang dikatakan Meera. "Dokter Corysha kenal Bangkit Adipranas? Temannya Bijaksana Aditama."
"Oh, Bangkit? Saya kenal." Corysha tersenyum lebar menanggapinya.
"Dia calon suami saya, Dok. Ini anaknya."
Entah untuk apa Kabut berbicara seperti ini. Padahal hamil duluan tidak usah diumbar-umbar cuma dia ingin Corysha tahu bahwa anak yang dia kandung merupakan anaknya Bangkit, seolah ingin memberi tahu bahwa Bangkit tidak sepolos itu.
Meera menepuk kening. Gusti, gusti, bisa-bisanya Kabut membicarakan hal ini. Kebanyakan perempuan yang belum menikah pasti menolak untuk pamer. Perkara Bangkit pernah dekat, Kabut menjadi was-was.
"Selamat, ya, Bu Kabut. Saya turut senang. Semoga lancar sampai hari H. Salam untuk Bangkit," ucap Corysha masih tetap ramah.
"Dokter pernah dekat sama Bangkit, kan?" todong Kabut.
Meera menendang kaki Kabut sambil memberi isyarat melalui gerakan mata untuk tidak bertindak impulsif. Kabut balas menatap penuh menantang dan tidak peduli.
Meera menyela, "Abaikan aja, Dok. Kabut cemburu mulu sama dokter. Nggak usah diladeni. Tulisan boleh dan nggak boleh udah, kan, Dok?" Lalu, dia menggamit tangan Kabut bersiap berdiri untuk pergi dari sana.
"Oh, iya, ini udah." Corysha menyelesaikan dalam hitungan detik dan menyerahkan daftar makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan kepada Kabut. Sambil tetap tersenyum, Corysha menambahkan, "Sehat selalu, Bu Kabut."
"Makasih, Dok," sahut Meera, yang kemudian menarik Kabut bangun dari tempat duduknya. "Maafin Kabut, ya, Dok. Kami permisi dan terima kasih."
Meera tidak mau semakin malu dengan kelakuan gila Kabut. Lebih baik menariknya pergi dari sana sebelum semakin cemburu membabi buta. Kabut mendengkus saat Meera memaksanya pergi sebelum sempat bertanya banyak pada Corysha.
Tepat saat Meera memegang daun pintu, suara Corysha berhasil menghentikan niat mereka untuk segera keluar.
"Bu Kabut," panggil Corysha.
"Ya, Dok?" Kabut menoleh.
"Saya sama Bangkit memang pernah dekat, tapi hubungan kami nggak lebih dari teman biasa. Bangkit bilang dia punya perempuan yang dia cintai dan tunggu. Saya nggak perlu menebak namanya karena saya yakin, Bu Kabut orangnya. Saya harap Bu Kabut nggak mencemburui saya karena saya juga nggak punya kedekatan lebih untuk dicemburui. Sekali lagi selamat atas pernikahannya nanti, Bu Kabut," jelas Corysha panjang lebar, masih diselipi senyum manisnya.
Kabut malu sendiri. Entah memang bawaan mood atau dia takut Bangkit berpaling sampai segila itu menodong Corysha akan pertanyaan yang tidak perlu. Kabut terharu mendengar jawabannya, terlebih cara Corysha menyampaikan dengan lantang.
"Makasih, Dok." Hanya itu yang bisa Kabut ucapkan.
Tidak lama kemudian, Kabut keluar dari ruangan bersama Meera. Mereka berjalan menjauhi ruangan menuju counter pembayaran. Meera mengambil tiketnya dan tinggal menunggu dipanggil.
Hari ini Meera sudah seperti asisten berjalan dadakan. Selain menyuruh menemani, Bangkit mengirimkan uang kepada Meera untuk membayar rumah sakit, tentu Bangkit juga mengirimkan ke rekening Kabut untuk makan dan belanja.
"Senang nggak dengar begitu?" Meera memulai obrolan setelah mereka duduk.
Kabut tersenyum malu-malu. Tangannya bergerak menyentuh perutnya. Ya, meskipun malu harus bertemu Corysha seperti tadi, dia senang dengan jawaban itu. "Gue mau buka blokir dulu."
Meera memutar bola matanya. "Duh, Gustiiii ... ada aja gebrakan lo, Kakab. Nanti mau makan di mana? Bangkit bilang pakai kartu yang dia kasih aja. Uang yang dia kirim ke rekening lo nggak usah dipakai. Dia bilang--"
"Nomor antrean S1001 harap menuju counter delapan." Suara dari salah satu pegawai terdengar melalui loudspeaker. Meera segera bangun setelah menyadari nomor antreannya.
"Bentar, gue bayar dulu. Jangan kabur ke mana-mana lo," suruh Meera.
"Iya."
Begitu Meera berjalan menuju counter pembayaran, Kabut mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Kabut membuka blokir dan mengirimkan pesan kepada Bangkit. Bukan pesan panjang, dia cuma mengirim satu emoji hati. Biarlah Bangkit pikir sendiri maksudnya. Kabut cuma mau menyampaikan itu saja.
Memasukkan ponsel ke dalam tas, Kabut mengusap perutnya. "I'm so happy my baby. I can't wait to see you."
❤❤❤
Seharian ini Kabut sudah mengelilingi mal dan belanja banyak barang tanpa disadari. Kalap. Ini pertama kalinya Kabut kalap setelah sekian lama mengamuk sepanjang hari gara-gara banyak masalah.
Ditemani Meera yang juga ikut belanja, Kabut merasa senang. Suasana hatinya bagus. Selain itu Bangkit datang menjemputnya, semakin senang saja.
Kabut menyantap makanan dengan lahap. Ini sudah piring kedua. Rasanya tidak cukup. Kabut sudah memesan daging steak ketiga untuk dinikmati setelah piring kedua habis.
Bangkit masih tidak mengerti cara berpikir Kabut. Tiba-tiba mengirim emoji hati. Kabut tidak mengatakan apa-apa bahkan saat Bangkit menjemput pun, Kabut masih bungkam dan sudah berubah ramah padanya. Terlepas dari kebingungan Bangkit, mata lebih tertarik memandangi hal lain. Dia sibuk mengamati hasil USG. Bibirnya tidak berhenti memasang senyum. "Aku masukin dompet boleh nggak?"
"Boleh."
Bangkit mengeluarkan dompet, memasukkan hasil USG ke dalam dompetnya untuk dipajang. Jadi, saat membuka dompet, foto pertama yang Bangkit lihat adalah hasil USG anak mereka. Sebelumnya foto Kabut, sekarang ditutupi dengan foto USG. Bangkit tidak bisa menutupi rasa gembiranya.
"Anak lo rakus juga, ya, Kabut," komentar Meera tiba-tiba.
Bangkit memperhatikan Kabut. Perempuan itu sudah kembali ceria dan tidak tantrum lagi. Sibuk mengunyah daging dengan lahap dan tersenyum riang memuji cita rasa steak yang luar biasa meledak di lidah. Sulit diprediksi sekali, deh, mood swing Kabut belakangan ini.
"Habis ini kita makan kue, kan?" Kabut bertanya, menatap Bangkit dan Meera bergantian.
Meera menggeleng. "Gue nyerah. Perut gue nggak bisa nampung banyak."
"Tadi lo bilang mau nemenin," dengkus Kabut.
"Iya, gue temenin cuma nggak mau makan kue. Perut gue--"
"Terus gue makan sendirian?" Kabut mengerucutkan bibirnya.
Meera gemas sendiri. Berhubung Kabut sedang hamil, dia tidak mau berdebat. Bisa-bisa suasana hati Kabut berubah buruk. "Iya, iya, gue makan. Bapaknya anak lo juga suruh makan kue, tuh."
"Ah, mana mau," gerutu Kabut.
"Kamu mau aku makan kue?" tanya Bangkit.
"Iya. Mau, ya?" Kabut menampilkan puppy eyes kepada Bangkit diikuti bibir mengerucut yang menggemaskan. Kedua tangannya sigap meletakkan alat makan, lalu menggamit tangan Bangkit dan menggenggam penuh harap. "Pleaseeeee?"
"Kapan lagi lo lihat Kabut mohon begitu, Bangkit. Mana imut lagi," celetuk Meera.
Kalimat Meera benar. Godaan banget Kabut bersikap imut begini. Bangkit tidak suka makanan manis, tapi kalau Kabut memohon seperti ini, dia tidak bisa menolak. Apalagi Kabut sedang mengandung anak mereka. Kalau ditolak bisa tantrum lagi.
"Oke, nanti aku makan."
"Asyikkkkkk!"
Kabut menarik tangannya dan kembali menyantap daging steak yang dihidangkan. Meera geleng-geleng kepala sambil tersenyum ikut senang.
"Nanti rekomendasiin, ya, apa yang enak." Bangkit mencolek pipi Kabut dengan gemasnya. Calon istrinya itu mengangguk sambil mengunyah daging. Dia pun terkekeh. "Lucu banget," gumamnya seraya mencubit pelan pipi Kabut.
Seorang pelayan datang menyajikan daging steak matang yang dipesan Kabut. Meera sudah kenyang duluan memandangi Kabut. Sementara Bangkit segera memotong daging yang baru datang supaya nanti tinggal dimakan tanpa repot.
"Btw, kapan suami gue mau punya anak, ya?" Meera menatap Bangkit dan Kabut yang tengah berbahagia. "Masa nggak mau ada bayi di antara kita? Sebel banget. Apa gue cerai cari suami baru aja yang mau punya anak?"
Bangkit menanggapi, "Lo nggak mau tanya kenapa dia belum mau punya anak?"
"Udah. Katanya nanti aja. Jawaban macam apa coba? Nggak waras," dumel Meera.
"Mungkin dia punya trauma?" tebak Kabut asal.
"Trauma apaan, sih? Keluarganya baik-baik aja. Ah, udahlah. Emosi banget." Meera menusuk daging steak seperti membayangkan suaminya. Penuh kesal. "Gue nggak bakal muda terus. Kalau punya anaknya udah tua, kan, repot juga."
"Coba bicarain baik-baik sama Kak Helsin. Siapa tahu dia mau speak up kenapa belum mau punya anak," saran Bangkit.
"Males." Meera merengut sebal. Suaminya baik, sih, baik banget malah. Tapi kalau ingat suaminya belum mau punya anak dan tidak memberi alasan yang jelas, dia kesal sendiri. "Gue juga pengin gitu hamil. Gue mau punya anak yang lucu." Kepalanya tertunduk sambil terus menusuk daging tanpa berniat dimakan. Nafsu makannya hilang.
Kabut mengunyah pelan, menoleh ke samping melihat Bangkit. Dia menyenggol lengan Bangkit dengan maksud menghibur Meera. Namun, ya, namanya Bangkit tidak pintar urusan menghibur orang. Bangkit cuma mengedikkan bahu dan tidak punya petunjuk akan maksud Kabut padanya.
"Meer," Kabut mengulurkan tangannya pada Meera, mendarat di atas punggung tangan perempuan itu. "Lo pikir gue mau punya anak setelah nikah? Nggak. Bangkit mau bersabar dan setuju nggak punya anak dulu selama empat tahun menikah. Bangkit nggak pernah desak gue sampai akhirnya gue mau. Ya, sekarang ini. Kalau memang Kak Helsin belum mau, tunggu aja. Ada waktunya dia bisa berubah pikiran seperti gue. Nih, Bangkit sabar banget nurutin keinginan gue nggak mau punya anak. Padahal dari dulu dia pengin punya anak cuma mikirin gue mulu."
Meera menatap sepupunya. Bangkit mengangguk pelan mengiakan ucapan Kabut. Melihat dua insan itu kompakan mencoba menghibur, Meera mengulas senyum. Hatinya sedikit lebih tenang.
"Gue coba sabar lagi, deh. Makasih, Kabut," ucap Meera masih mempertahankan senyumnya.
"Gue nggak diucapin makasih?" celetuk Bangkit.
"Ngapain. Lo nggak ada gunanya. Kabut yang hibur gue." Meera menjulurkan lidahnya meledek sang sepupu.
Kabut terkekeh. Bangkit pura-pura memasang wajah galak untuk menanggapi Meera. Pemandangan keluarga Adipranas ini memang selalu disukai Kabut. Mereka asyik untuk diikuti.
Bangkit merapatkan diri pada Kabut, memangkas jarak yang tersisa sedikit. Berhubung tempat duduk mereka sofa, memudahkan Bangkit untuk memeluk pinggang Kabut. Tangannya yang panjang dan besar bisa dengan mudahnya mencapai perut Kabut. Tidak perlu mengatakan apa-apa, Bangkit mengusap perut Kabut berulang kali. Kabut pun mendaratkan tangannya pada punggung tangan Bangkit, membiarkan tangan hangat itu menyentuh perutnya.
❤❤❤
Jangan lupa vote dan komentar kalian<3<3
Follow IG, Twitter, Tiktok: anothermissjo
Salam dari Mommy Kabut<3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro