Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 27

Yuhuuu update gaes ^^

Ingeeeeet, komen gengs!<3 

Ini 3300 kata. Kalo gak komen mah keterlaluan sih hahahahaha 

-

-

Bangkit mempercepat langkahnya memasuki mal untuk segera bertemu Kabut. Bangkit mendatangi Game Zone. Andine bilang Kabut menunggu di sana jadinya setelah selesai sidang Bangkit bergegas pergi.

Bangkit tidak sempat menjawab panggilan Kabut karena sedang di ruang sidang mengurus klien dan ponselnya disunyikan sehingga tidak tahu Kabut telepon. Biasanya Bangkit mensunyikan telepon setiap mau sidang supaya lebih fokus, Kabut pun tahu akan hal itu. Namun, setelah dapat kabar Kabut muntah-muntah, Bangkit merasa kesal pada dirinya sendiri lantaran sampai melewatkan panggilan Kabut berulang kali. Lain kali dia akan menyalakan getaran ponsel supaya saat Kabut telepon dia tahu.

Di depan permainan basket untuk dewasa Bangkit melihat Kabut sedang melempar bola berusaha memasukkan ke dalam ring. Bangkit khawatir sepanjang jalan, tapi tampaknya Kabut sudah merasa lebih baik. Tadi dia sempat menyuruh Andine untuk membawa Kabut ke dokter cuma Kabut menolak dan malah melipir ke tempat bermain.

"Katanya tadi kamu muntah-muntah, kenapa malah main di sini?" Bangkit menegur tanpa basa-basi setelah berdiri di samping Kabut.

Kabut terlonjak kaget. Bola yang dipegang nyaris saja jatuh kalau Andine tidak menahan. Kabut memukul lengan Bangkit sebagai protesnya.

"Ngagetin aja, deh!" sungutnya sebal.

"Kenapa nggak ke dokter? Kok, malah main? Udah nggak mau muntah lagi?" Bangkit mengambil alih bola basketnya, memberikan kepada Andine agar perempuan itu saja yang main. Dia menarik Kabut mendekat padanya. "Kamu tahu nggak, sih, aku khawatir? Takutnya kamu salah makan atau sakit."

"I'm fine. Tadi cuma muntah sebentar terus hilang setelah makan es krim sama minum boba." Kabut menunjuk gelas plastik berisi matcha frappe dicampur boba yang dipegang oleh Andine.

"Tapi tetap aja harus ke dokter, dong. Jangan––"

"Sssttt ... mending lo bantuin gue main basket," sela Kabut tidak mau mendengar ocehan Bangkit.

Bangkit menghela napas. Kesal, sih, cuma Kabut memang begini selalu susah dibilangi. Dia tidak mungkin pakai metode borgol tangan Kabut seperti biasa, malu, lagi ada di luar. Untuk sekarang ini Bangkit akan mendengarkan Kabut. Nanti saat mau pulang, dia akan membawa Kabut ke rumah sakit terdekat, tidak peduli diomeli atau digigit, yang penting Bangkit bisa memastikan keadaan Kabut.

"Ayo, lo bantuin gue dapat poin banyak!" Kabut mengambil bola yang dipegang Andine, lalu menyerahkan kepada Bangkit.

Kondisi Kabut sudah jauh lebih baik setelah Andine datang dan menemani mencari minuman manis. Kabut tidak lagi merasa panik dan takut setelah ada Andine. Mualnya juga hilang setelah makan es krim dan Kabut sudah nafsu makan. Kabut makan dua piring daging steak sampai Andine heran sendiri.

"Sebentar." Bangkit melihat Andine. Lebih baik bertanya pada asistennya Kabut. "Tadi Kabut udah makan belum? Nggak cuma makan es krim doang, kan?"

"Udah, Pak. Tadi makan daging steak dua piring." Andine memberi tahu.

"Dua piring? Tumben." Bangkit melihat Kabut. Perempuan itu nyengir. "Kamu lapar banget? Masih lapar nggak?"

Kabut menggeleng. Kemudian, dia memeluk lengan sang mantan. "Ayo, main. Cepetan masukkin bola yang banyak biar gue dapat tiket banyak."

"Kamu, nih. Ampun-ampun memang. Bikin khawatir, tapi malah begini." Bangkit mendesah kasar. Melihat Kabut memasang puppy eyes, dia tidak tega mau marah sekarang. "Ya udah. Beneran nggak mau muntah lagi, ya?"

"Beneeer! Cepetan!" paksa Kabut tidak sabar.

Bangkit segera membantu Kabut memasukkan bola basket yang dia pegang ke dalam ring. Sayangnya, waktu habis. Tidak butuh waktu lama Kabut sigap menggesek kartu untuk memulai kembali. Beberapa bola basket keluar, Bangkit bergerak cepat melempar bola-bola tersebut ke dalam ring. Tidak ada satu pun yang meleset. Bangkit sering bermain basket semasa SMA dulu cuma tidak bergabung dengan tim basket karena lebih memilih fokus dengan ekskul karate.

Dengan kehebatan Bangkit yang di luar prediksi Kabut, banyak tiket yang keluar dari mesin. Kabut tersenyum cerah. Kabut hendak berjingkrak cuma Andine menahan lengan Kabut.

"Bu, jangan lompat-lompat nanti jatuh." Andine mengingatkan. Pandangannya turun melihat sepatu hak tinggi yang dipakai Kabut. Dia tidak mau Kabut jatuh seperti beberapa bulan yang lalu, takut keseleo lagi.

"Bener juga," kata Kabut.

Demi menyalurkan kegembiraannya tanpa berjingkrak, Kabut memeluk Bangkit, tidak peduli diperhatikan anak-anak kecil di sekitar mereka. Kekesalan Bangkit hilang setelah dipeluk. Bangkit memang terlalu lemah untuk skinship sejenis ini. Apalagi Kabut menjadi sangat manja sekali. Aduh, aduh, Bangkit tidak sanggup.

"Ayo, kita ke situ! Bantu gue ambil boneka!" Kabut menarik diri, lalu meraih tangan Bangkit dan membawanya pergi menuju mesin capit boneka.

Bangkit tidak banyak bicara dan mengikuti keinginan Kabut. Sesampainya di depan mesin capit, Bangkit disuruh berdiri dengan benar dan menangkap boneka pilihan Kabut. Iya, disuruh mengambil empat boneka yang Kabut inginkan yakni; boneka penguin, boneka kelinci, boneka buaya, dan boneka beruang.

Kalau boleh jujur Bangkit payah masalah capit-mencapit ini. Apa mungkin Kabut lupa? Dulu Kabut pernah ngambek berhari-hari perkara Bangkit tidak berhasil mengambil boneka satu pun. Bangkit lebih memilih disuruh mencoba semua permainan di Gamezone ketimbang mengambil boneka. Mesin capit boneka dan Bangkit bagai air dengan minyak, sulit akur. Bangkit tidak punya keberuntungan saat bermain capit boneka––yang lucunya mesin capit permen dan mesin capit lain masih baik-baik saja dengan Bangkit dan bisa memberi hasil memuaskan.

"Kamu mau semuanya? Kalau nggak keambil satu pun nggak apa-apa, ya?" Bangkit bertanya pelan, mencoba mencari jalan aman supaya tidak diambekin.

"Enak aja! Harus dapat semua. Nggak mau tahu!" rengek Kabut ngotot.

Bangkit menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. Matilah. Bagaimana mengambil boneka-boneka itu? Ukurannya lumayan besar terutama yang penguin.

"Ya udah aku coba dulu, ya."

Bangkit meniup kedua telapak tangannya. Semoga saja beruntung dan bisa mendapatkan semuanya. Setelah Kabut menggesek kartu, Bangkit memulai usahanya. Bangkit sangat fokus dalam menargetkan boneka-boneka lucu itu. Sialnya, usaha Bangkit gagal. Benar, kan, Bangkit sial kalau berurusan dengan mesin capit boneka. Namun, Bangkit tidak mau menyerah. Bangkit mencoba lagi.

Dua, tiga, empat, lima ... Bangkit tetap gagal. Bangkit kesal sendiri. Bangkit mengacak rambutnya frustrasi. Setiap kali Bangkit gagal, wajah Kabut menunjukkan kekecewaan. Kalau dulu Kabut mengamuk dan memukul lengannya setiap kali gagal, sekarang Kabut cuma cemberut dan menunjukkan tatapan kecewa. Bagaikan anak kucing yang meminta makan kepada manusia dengan ekspresi memelas––seperti itulah Kabut sekarang.

"Yah..." Kabut bersuara, menyerukan kata yang sama setiap kali Bangkit gagal.

"Bentar, aku coba lagi," kata Bangkit tidak mau menyerah.

"Pak, saran saya ganti mesin. Capitan ini nggak begitu kuat cengkeramannya," saran Andine.

"Gitu, ya? Ya udah saya––"

"Nggak boleh pindah. Gue nggak mau boneka lain. Harus boneka dari mesin ini!" sela Kabut membuyarkan keinginan Bangkit untuk pindah. Kabut memasang wajah serius atas ucapannya.

Andine tidak bisa menolong Bangkit. Niatnya mau mengusulkan mesin dengan boneka lebih kecil cuma Kabut sudah bicara demikian jadinya tidak ada yang bisa dilakukan selain mendoakan agar berhasil.

Bangkit mengusap kepala Kabut. "Ya udah, aku coba lagi. Sabar, ya. Semoga berhasil."

"Good luck!" Kabut menyemangati dengan sabar.

Bangkit mencoba kembali usahanya. Pokoknya pantang menyerah sebelum semua didapat. Sayang, dua kali mencoba Bangkit gagal lagi. Bangkit kesal, tapi kemudian dia melihat yang lain memainkan mesin capit di sebelahnya. Bangkit memperhatikan sebentar, mengamati tangan orang itu untuk ditiru. Orang itu mengetuk tombol capit dua kali dengan cepat, yang membuat capit mengencangkan cengkeramannya pada boneka yang diinginkan. Bangkit paham sekarang bahwa dia tidak boleh asal-asalan. Bangkit pun mencoba cara orang itu saat menargetkan boneka kelinci.

Dalam hati Bangkit terus berdoa. Dan usahanya pun berhasil. Boneka kelinci yang ditargetkan berhasil didapatkan.

"Yaaaaaaay!" Kabut berteriak senang hingga membuat orang-orang menoleh.

"Finally," gumam Bangkit seraya mengambil boneka kelinci dan memberikan kepada Kabut. "Here, your cutie rabbit."

"Makasih, Bangkit!" Kabut mengambil boneka kelinci itu dan memeluknya dengan erat. Dia mengunyel pipinya dengan pipi boneka kelinci tersebut. "Aaaaaa! Gemas banget!"

"Masih mau yang lain?" tawar Bangkit mulai percaya diri.

"Nggak. Cukup. Foto dulu sama bonekanya." Kabut menyerahkan kembali bonekanya kepada Bangkit. "Peluk bonekanya. Gue mau foto lo."

Bangkit tidak menolak, mengambil bonekanya dan memeluk boneka kelinci tersebut sambil memamerkan senyum lebarnya. Kabut tersenyum riang mengabadikan pose tersebut ke dalam galerinya. Kabut tertawa kecil menyadari Bangkit datang ke tempat bermain ini memakai kemeja putih lengan panjang, vest hitam, dan dasi hitam. Walau terkesan salah kostum Bangkit sangat tampan. Sisiran rambutnya yang rapi itu selalu on point. Garis terbelah pada dagunya membuat Bangkit lebih tampan dua kali lipat.

"So handsome," gumam Kabut.

Tumben sekali foto Kabut kali ini tidak blur atau jelek. Semua terabadikan dengan sempurna dan jelas.

"Udah belum? Kamu ngomong apa?" tegur Bangkit.

Kabut menggeleng. "Udah selesai. Ayo, pulang. Gue lapar mau makan."

"Oke. Nggak mau coba permainan lain?"

"Nope. Makan aja. Ayooooo!" rengek Kabut cemberut.

"Oke, oke, kita makan."

"Kamu juga ikut, Ndine," ajak Kabut.

"Baik, Bu," sahut Andine.

Kabut mengambil alih boneka kelinci dari tangan Bangkit. Menguyel pipi boneka kelinci yang menggemaskan itu sambil tersenyum riang.

Melihat kegembiraan sang mantan, tangan Bangkit gatal ingin memotret. "Mau aku fotoin nggak sama bonekanya?"

"Mau!"

Bangkit merogoh saku celana mengambil ponselnya dan dalam hitungan detik langsung mengabadikan Kabut bersama boneka kelinci tersebut. Cara Kabut menampilkan wajah lucunya dan berulang kali menguyel boneka kelinci terlihat sangat lucu. Ya, ampun! Bangkit gemas banget! Tolong, tolong, Bangkit ingin menggigit pipi Kabut. Semoga saja mereka punya anak selucu Kabut. Dalam hati sambil memotret, Bangkit berharap bisa punya anak perempuan yang menurunkan wajah cantik Kabut. Pokoknya wajah plek-ketiplek harus mirip dengan Kabut!

"Udah, kan? Ayo, cepeeet. Gue lapar banget, nih," tanya Kabut tidak sabar.

"Iya, udah."

Bangkit memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu menggandeng tangan Kabut untuk segera pergi dari sana. Sementara itu, Andine mengikuti dari belakang sambil diam-diam memotret kebersamaan dua insan di depannya. Andine salah satu shipper keduanya––satu komplotan bersama Traya dan Marsha, deh.

Siapa pun yang melihat Kabut dan Bangkit pasti akan berpikir mereka berpacaran, nyatanya akan menikah untuk kedua kali, meskipun masih ada halang melintang yang belum usai.

❤❤❤

Di dalam mobil Kabut memeluk boneka pemberian Bangkit dari hasil mesin capit. Tidak dilepas sedikit pun sambil menyandarkan kepala di pundak Bangkit. Kabut senang Bangkit bisa menemaninya. Ketakutan Kabut hilang, perasaan muaknya teringat Taj ikut memudar digantikan kesenangan bersama Bangkit hari ini.

Andine sudah pulang duluan, sedangkan Kabut pulang bersama Bangkit dan sopir pribadi seperti biasa. Setelah makan malam usai, mereka memutuskan pulang. Sudah cukup lama mereka berada di mal.

Di kala Kabut sibuk sendiri, Bangkit sibuk mengoreksi beberapa berkas yang dikerjakan Abraham melalui ponsel. Satu tangan Bangkit sibuk mengetik, sedangkan tangan lainnya mengusap kepala Kabut tanpa henti.

Tiba-tiba panggilan masuk menginterupsi ketenangan. Bangkit melihat nama Meera, sepupunya, muncul pada layar ponsel. Bangkit menjawab panggilan itu tanpa pikir panjang.

"Ya, halo?"

"Bangkit! Kabut beneran mau diperkosa sama Taj? Bajingan itu berani nyentuh Kabut?" Meera bertanya tanpa basa-basi. Suara hebohnya kurang lebih sama dengan Marsha.

Bangkit kaget. "Lo tahu dari mana?"

"Puspika tadi misuh-misuh telepon gue cerita kalau Om Lasdi tahu Taj mau perkosa Kabut. Puspika nggak enak sama Kabut dan ngumpatin kakaknya berulang kali. Om Lasdi ngamuk katanya sampai bikin Taj babak belur. Gila, sih, Taj nggak ada otak. Baguslah dipukulin dan diusir biar mampus dia! Bajingan biadab! Orang gila!" cerocos Meera tidak lupa mengumpat kasar tanpa henti.

"Kok, bisa tahu?" Bangkit tambah penasaran.

"Bukannya tadi siang Om Lasdi ketemu sama Kabut bawa Taj? Soalnya Puspika diajakin Om Lasdi juga cuma nggak bisa karena mau pergi sama temannya. Puspika malah nyesal nggak ikut. Kalau ikut, dia mau minta maaf sama Kabut kakaknya sebejat itu."

Mendengar penuturan Meera, amarah Bangkit muncul. Jadi, Kabut bertemu Om Lasdi dan ada Taj juga? Mengapa Kabut belum cerita? Bangkit ingat ucapan Andine tadi siang, mengatakan bahwa Kabut muntah berulang kali. Pasti teringat kejadian menakutkan itu selama bertemu dengan Taj. Waktu itu saja Kabut gemetaran, bagaimana tadi? Bangkit tidak bisa membayangkan. Kenapa pula pakdenya harus mengajak Taj? Apa ini yang ayahnya maksud tentang siasat pakdenya? Bangkit tidak terima. Cara pakdenya salah dan keterlaluan.

"Kabut baik-baik aja, kan? Tadi gimana, ya, perasaannya ketemu Taj? Lo lagi sama dia nggak?" Suara Meera terdengar khawatir dari seberang sana.

Bangkit memperhatikan Kabut yang sibuk memainkan telinga boneka kelinci. Perempuan itu terlihat riang seperti tidak ada kejadian apa pun. Justru yang seperti ini membuat Bangkit khawatir. Mungkinkah Kabut sedang berusaha menyembunyikan kejadian hari ini? Dia mengusap kepala Kabut, membuat perempuan itu menoleh dan tersenyum. Sungguh, Bangkit tambah tidak tenang.

"Iya, dia baik-baik aja, kok. Ini lagi sama gue," balas Bangkit.

"Thank God! Ya udah nanti gue mampir ke rumah lo, ya. Gue mau pergi dulu. Jagain Kabut, lho! See you later, Bangkit."

Sambungan telepon berakhir. Bangkit memasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu memperhatikan Kabut melalui ekor mata. Tindakan Bangkit rupanya disadari oleh Kabut.

"Kenapa?" tanya Kabut.

"Nggak ada yang mau kamu ceritain sama aku?" Bangkit menanggapi berusaha tenang meskipun darah sedang mendidih.

Kabut menarik diri, menatap Bangkit yang tampak samar-samar menunjukkan ekspresinya. Kondisi di dalam mobil gelap lantaran hari mulai malam dan hanya lampu penerang jalan yang sesekali menerangi dari luar.

"Tadi siapa yang telepon?" Kabut mengalihkan pertanyaan.

"Meera."

Kabut segera paham. Keluarga Adipranas sangat kompak. Kalau ada satu gosip saja yang menyebar pasti bisa sampai ke semua anggota keluarga tanpa terkecuali. Kalau boleh menebak, Meera pasti membahas Taj.

"Bahas apa?" cecar Kabut.

"Taj."

"Jadi...," Kabut mulai buka suara. Bukan tidak mau cerita, dia tidak mau teringat betapa menjijikan sosok Taj yang membuatnya mual. Mengambil napas dalam, lalu mengembuskan perlahan, dia melanjutkan, "aku cerita, ya. Tadi siang Om Lasdi ajak ketemu buat makan siang bareng."

Bangkit menatap tidak sabar. Kabut menyadarinya. Saat mobil berhenti tepat di samping lampu jalanan ketika lampu lalu lintas berwarna merah, Kabut dapat menangkap raut wajah penuh amarah. Kabut melirik tangan kanan Bangkit yang mengepal sempurna seolah sudah mengetahui ceritanya sebelum dia cerita.

"Nggak tahunya Om Lasdi ngajak Taj. Gue mau marah cuma gimana, udah terlanjur."

Kabut meletakkan boneka kelinci di sisi samping kirinya yang kosong, meraih kepalan tangan Bangkit, membuka kepalan itu supaya mantannya lebih tenang. Kabut mengusap telapak tangan itu dengan lembut, membuat gerakan memutar sambil sesekali memandangi Bangkit.

"Then what did he do to you?" tanya Bangkit tidak sabar.

"He grab my hand. I hate it."

Suara lembut Kabut menyiratkan kekesalan yang tertahan. Tangan Kabut sedikit gemetar teringat kejadian tadi siang. Bangkit bisa merasakannya dari sentuhan yang kian intens pada telapak tangan.

Bangkit tambah emosi mendengarnya. Benar-benar bajingan sialan itu. Bangkit tidak akan memaafkan Taj sampai kapan pun. Bisa-bisanya sudah dia lempar batu masih berani kurang ajar. Lihat saja, Bangkit akan balas. Bangkit tidak masalah dibilang pendendam, begitulah adanya. Bangkit menjadi pendendam jika ada yang mengganggu Kabut.

"What else?" Bangkit memperhatikan Kabut yang tertunduk memandangi telapak tangan. Suaranya sedikit lebih lembut mencoba mengorek informasi.

"Gue nggak mau cerita lagi. Mual tiap bahas dia."

"Maaf aku datang terlambat, maaf aku nggak jawab panggilan kamu lebih cepat."

Kali ini Bangkit menarik Kabut dalam rengkuhannya, memeluk dengan erat, mengecup puncak kepala berulang kali. Bangkit berusaha menahan kepalan tangannya supaya Kabut tidak mencoba menghiburnya. Tidak. Bangkit sangat murka sekarang.

"It's okay. At least, lo udah datang. I'm happy you're here with me, Bangkit. I feel safe when i'm with you." Kabut balas memeluk, menguyel wajahnya pada dada bidang Bangkit. Kemudian, dia menarik diri dan mendongak untuk menatap Bangkit. "Makasih udah datang setelah sidang."

Mendengar kalimat itu menambah hancur hati Bangkit. Di saat Kabut melewati hari yang buruk, Bangkit datang terlambat. Kalau tahu Kabut bertemu Lasdi dan Taj, dia akan meminta pegawainya menggantikannya sementara di pengadilan. Tapi, ya, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa Bangkit lakukan selain membalas Taj nanti.

Bangkit mengecup kening Kabut, menyudahi obrolan yang takutnya akan membuat Kabut teringat lagi. Dia mengeratkan pelukan sambil terus mengusap punggung Kabut. Bangkit akan mencari cara untuk membuat Taj kapok sudah mengganggu Kabut.

❤❤❤

Pagi-pagi sekali Kabut dibuat kesal. Ayahnya datang sambil teriak-teriak menyuruhnya pulang di depan semua pekerja rumah. Kabut menghela napas harus segera mengatasi kelakuan ayahnya. Lebih gila lagi waktu ayahnya menampar Bangkit dan memakinya untuk tidak menikah dengannya. Kabut sudah cukup muak diam saja saat Bangkit menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Sudah saatnya Kabut membuat gebrakan baru supaya ayahnya berhenti.

"Apa Harta mau nikah sama perempuan yang hamil anak laki-laki lain?" Kabut mulai bersuara.

Handoko menatap tajam putrinya. "Apa maksud kamu?"

"Kabut hamil anak Bangkit. Papa masih mau jodohin sama Harta? Kalau iya, apa kata keluarganya pas tahu Kabut hamil anak laki-laki lain?"

Bangkit hendak protes, tapi Kabut mencubit keras lengan Bangkit supaya tidak merusak rencananya. Kalau harus kena pukul, Kabut tidak masalah asalkan bisa segera lepas dari jerat keluarga Sastromidjo dan hidup tenang.

"Kamu menghamili putri saya?" Handoko berteriak keras hingga membuat para pekerja rumah menoleh dan menghentikan kegiatannya.

"Kenapa?" Kali ini Kabut gantian menarik Bangkit ke belakang tubuhnya, memasang wajah menantang supaya ayahnya tambah kesal. "Kabut sendiri yang maksa Bangkit supaya bisa punya anak lebih cepat."

"Kamu gila, ya, Kabut! Di mata otak kamu sampai hamil duluan? Bikin malu keluarga Sastromidjo aja!" Handoko meninggikan suaranya beberapa oktaf. "Kamu nggak pernah berhenti memalukan keluarga. Kelakuan kamu sudah macam perempuan nggak benar aja!"

"Memangnya kelakuan kamu udah benar?" Suara seorang wanita yang baru saja tiba diiringi bunyi ketukan sepatu hak tinggi memecah ketegangan. Suara itu tidak lain keluar dari mulut Arina.

Kedatangan Arina ke rumah Bangkit untuk bicara dengan Kabut mengenai kelakuan Handoko soal tidak mau merestui. Tidak disangka Arina akan bertemu suaminya di tempat yang sama.

"Mau apa kamu ke sini?" Handoko bertanya galak.

"Suka-suka aku, dong. Nggak boleh ngobrol sama putriku? Kita udah dalam proses perceraian jadi apa pun yang kulakukan bukan urusan kamu lagi." Arina mengalihkan pandangannya pada sang putri. "Papamu yang gila ini mukul kamu nggak?"

Kabut menggeleng. "Tapi dia nampar Bangkit, Ma. Katanya nggak boleh nikah sama Kabut."

Arina mendesah kasar, menatap sang suami. "Kamu masih waras nggak, sih? Bersyukur anak kamu dapat laki-laki sebaik Bangkit. Kalau ketemu laki-laki seperti kamu, apa nggak menderita hidupnya?"

"Baik kata kamu? Kalau dia baik nggak bakal menghamili Kabut. Kamu yang nggak waras!"

"Mereka udah besar dan tahu konsekuensinya sendiri. Aku yakin bayi itu hadir atas keinginan mereka berdua, bukan karena terpaksa atau dipaksa."

Kabut menyela, "Iya, Kabut sendiri yang minta Bangkit buat menghamili Kabut, bukan salah Bangkit. Kabut sendiri yang mau punya anak duluan."

Kabut berkata benar. Toh, dia sendiri yang nakal menggoda Bangkit. Kalau Bangkit duluan, baru dia bilang. Biar saja ayahnya tahu putrinya yang senang berulah ini adalah pusatnya kegilaan.

"See?" Arina mendesah kasar saat menatap suaminya.

"Kamu ngajarin apa, sih, sampai Kabut begitu? Jadi perempuan harus bersikap baik supaya nggak menjelekkan nama baik keluarga. Memalukan!" Handoko menatap kesal sang istri. "Oh, iya, aku lupa. Kamu sendiri nggak kasih contoh baik. Kamu tinggal bareng selingkuhan berondong kamu itu."

Arina melayangkan tamparan keras sampai bunyi 'plak!' memecah kesunyian. Tamparan itu merupakan tamparan pertama yang Arina berikan untuk suaminya. Selama ini Arina menahan diri untuk tidak menampar suaminya cuma sekarang tidak perlu menahan lagi. Arina sudah tidak takut dengan Handoko.

"Tamparan itu bukan karena aku nggak suka kamu nuduh tinggal bareng sama Hansen. Tapi karena aku udah gatal mau nampar kamu dari lama. Selama ini yang kasih contoh nggak baik kamu sendiri. Kalau kamu merasa paling suci di dunia ini, aku bisa sebutin kebusukan keluarga Sastromidjo, termasuk kamu." Suara Arina semakin melengking naik, membuat gema yang cukup jelas.

Bangkit tidak bisa melakukan apa-apa selain mendengarkan perdebatan itu. Mau ikut campur cuma keduanya sedang dalam tahap emosi. Kabut juga diam saja, tampak tidak ingin mengganggu perdebatan orang tuanya.

Tidak cukup sebatas berucap dengan keras, Arina menunjuk Handoko berulang kali menunjukkan kebenciannya yang mendalam. Kemudian, suaranya kembali terdengar melanjutkan kata-kata yang belum dijabarkan sepenuhnya. "Apa kamu nggak ingat pernah perkosa aku dulu? Kamu bilang itu cinta, tapi setelah aku pahami lagi, itu pemaksaan. Kamu merebut masa-masa mudaku yang indah itu. Kalau orang tuaku nggak gila punya menantu perwira tentara, aku nggak sudi menikahi bajingan seperti kamu. Harusnya kamu ngaca, kamu jauh lebih buruk!"

Kabut kaget mendengarnya. Mengejutkan sekali. Ibunya pernah diperkosa ayahnya? Kehidupan seperti apa yang ibunya lalui sampai bisa bertahan hingga sekarang?

"Tutup mulut kamu!" bentak Handoko saat menunjuk Arina.

"Kamu yang tutup mulut!" Arina balas membentak Handoko tidak kalah sengit, dengan jari yang ikut menunjuk Handoko. "Kalau kamu nggak merestui Kabut sama Bangkit, aku bongkar semua kebusukan kamu dari pertama kita kenal sampai sekarang. Aku juga bakal bongkar semua kebusukan keluarga Sastromidjo. Jangan kamu pikir aku takut, ya, sama kamu. Nggak. Aku udah bernyali sekarang. Aku punya bukti semua kekerasan yang kamu lakukan."

"Kamu mau viralin? Silakan. Kamu nggak akan bisa menjatuhkan aku dan keluarga Sastromidjo," tantang Handoko.

"Kamu yakin? Jangan main-main di zaman modern gini. Orang-orang lebih benci laki-laki kasar suka mukul ketimbang tukang selingkuh. Kalau mereka tahu seberapa parahnya kamu mukulin aku, mereka nggak akan berempati sama kamu atau keluarga gila kamu itu. Mau kamu take down videonya, aku akan terus unggah semua kegilaan kamu sampai seluruh dunia tahu ada manusia segila kamu!" Arina menanggapi tidak mau kalah. Tekadnya sudah bulat ingin membuat Handoko jatuh sejatuh-jatuhnya jika tidak merestui Kabut dengan Bangkit. Dia muak dengan semua kegilaan yang Handoko lakukan dan ciptakan.

Kabut pusing mendengar orang tuanya saling berteriak dan menunjuk. Entah mengapa kepalanya berputar. Penglihatannya kabur dan menggelap. Tidak butuh waktu lama Kabut tumbang. Untungnya, Bangkit sigap menangkap Kabut yang pingsan.

"Kabut!" seru Bangkit panik.

Dalam sekejap perdebatan sengit itu berakhir. Handoko dan Arina menoleh. Mereka membelalak kaget melihat Kabut pingsan, yang kini sudah digendong oleh Bangkit. Mereka melihat wajah Kabut pucat. Mereka ikut panik.

❤❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian❤❤

Follow IG, Tiktok, Twitter: anothermissjo

Yuhuuu salam dari Bangkit

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro