Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 24

Update nihhhh~~

Kabut menatap tajam laki-laki bernama Harta itu. Dia menunjukkan ketidaksukaannya dengan jelas, memasang wajah sejutek mungkin supaya Harta tidak nyaman dengan sikapnya.

"Mau apa bokap gue nyuruh lo ke sini?" Kabut bertanya pura-pura tidak tahu. Dia ingin tahu jawaban apa yang akan disampaikan laki-laki itu padanya. Mungkin saja berbeda dari kegilaan sang ayah.

Harta menarik kursi di depan Kabut, duduk dengan santainya tanpa perlu minta izin. "Jodohin saya dengan kamu. Tapi sebelum kamu menolak, saya mau menyampaikan kalau saya punya penawaran menarik. Saya nggak tertarik dijodohkan, berhubung ayah saya yang minta datang, saya menuruti beliau sebagai rasa hormat saya dan nggak enak dengan ayah kamu."

Kening Kabut mengernyit. "Penawaran apa? Kalau lo nggak mau harusnya nggak usah datang."

"Kabut! Anjirlah!" Suara melengking Traya berhasil mengusir ketegangan, berubah menjadi keramaian yang mengundang beberapa pasang mata gara-gara suaranya yang sekeras stereo itu. "Gue minta maaf kalau—"

"There you are, Belena," potong Harta.

Traya menoleh dan terlonjak kaget. "Shit!"

Kabut menatap Harta dan Traya bergantian. "Lo berdua saling kenal? Kok, dia tahu nama depan lo, Tray?"

Semua orang mungkin mengenal Traya dengan nama Traya, kenyataannya nama unik itu memiliki nama lengkap yang tidak kalah menarik, Belena Trayastika Sastromidjo. Baik di keluarga maupun dunia pertemanan, orang-orang memanggil Traya, tidak pernah Belena seperti yang disebutkan Harta barusan.

"Ng-nggak kenal," sanggah Traya gelagapan.

"Ini maksud saya sebuah penawaran." Harta menunjuk Traya melalui ekor matanya. "Saya datang ingin menanyakan soal Belena sama kamu sebagai gantinya saya akan bujuk ayah saya untuk membatalkan niatnya. Tapi nggak tahunya udah ketemu sama Belena duluan di sini. Jadi, niat saya nanya-nanya batal."

"Buat apa lo nanya-nanya? Macam wartawan aja," celetuk Traya.

"Kamu yang bikin saya bertanya-tanya, Belena." Harta menatap Traya dengan serius, membuat Traya melengos.

"Lo tahu dari mana harus nanya sama gue soal Traya?"

"Belena sebutin nama marganya. Bukan hal sulit buat cari tahu marga Sastromidjo meskipun banyak yang pakai marga itu. Saya lihat nama kamu di laman pencarian Google dan lihat foto kamu sama Belena jadinya saya tahu. Pas ayah saya bilang mau kenalin sama kamu, ya udah saya setuju aja."

"Lo mau dikenalin sama Kabut? Mau dijodohin, ya?" Traya bertanya penasaran.

"Lebih baik kamu jawab pertanyaan saya. Kenapa kamu pergi?" Harta bertanya dengan tenang, menatap Traya yang berulang kali melengos ke arah lain.

"I-itu..." Traya kebingungan, tidak berhenti melihat arah lain dan berakhir menatap Kabut yang tampak sedang menelitinya. "Kita jadi pergi nggak, nih?" tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Oh, lo salah satu trofi sepupu gue." Kabut mengerti sekarang. Melihat Traya panik, dia tahu bahwa ada sesuatu di antara keduanya. Tidak usah menebak-nebak, dia tahu kebiasaan Traya yang senang mencari teman satu malam—menjadikan laki-laki sebuah trofi dan ujungnya ditinggal begitu saja. Traya selalu memasukkan laki-laki rupawan ke dalam daftar panjang laki-laki yang berhasil ditunggangi. "Kalau begitu gue balik duluan. Lo pergi nonton konser bareng Harta aja, ya. Gue mau nyamper nyokap dulu."

Kabut bangun dari tempat duduknya, menepuk pundak Traya dan berjalan pergi dengan cepat sebelum Traya latah mau ikut dengannya.

"Eh, Kabut! Tungguin gu...." Traya berhenti berteriak ketika pergelangan tangannya tertahan. Sontak, dia menurunkan pandangan dan melihat Harta menahannya. "Ih ... lo ngapain, sih? Gue mau ngejar Kabut."

"Kamu nggak mau menyampaikan apa-apa?"

"Nggak."

"Nggak mau tanggung jawab?"

"Tanggung jawab buat apa?" Traya menatap heran.

"Meninggalkan saya sendirian dengan tangan diborgol."

Pupil mata Traya melebar. Harta dapat menangkap ekspresi itu dengan jelas.

"Melihat ekspresi kamu begitu, kamu nggak merasa bersalah udah ninggalin saya tanpa meninggalkan kunci borgol. Kamu tahu saya harus nunggu berapa jam sampai sepupu saya buka pintu hotel? Saya nggak bisa raih handphone di atas meja, nggak bisa jawab telepon kamar. Apa nggak keterlaluan kamu nggak bilang apa-apa sekarang?"

"Duh...." Traya merasa bersalah. Dia tidak ingat meninggalkan Harta dalam keadaan satu tangan diborgol. Dia pikir sudah membuka borgol makanya buru-buru pergi. "Maaf. Tapi tangan lo kelihatan baik-baik aja, tuh, berarti nggak sampai diamputasi, kan?"

"Kalau sampai amputasi kamu mau tanggung jawab?"

"Ya ... uhm ... ya, iya."

"Kalau begitu kamu tanggung jawab sekarang."

"Hah? Tangan lo baik-baik aja itu." Traya menurunkan tangan Harta dari pergelangan tangannya.

"Tanggung jawab udah mengajari saya hal-hal nakal. Kamu juga udah merebut keperjakaan saya."

"What?" Traya menelan ludahnya kaget. "Kenapa gue harus tanggung jawab. Lagian lo nggak bisa hamil. Kan...." Traya kebingungan sendiri. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Memangnya perempuan aja yang boleh minta tanggung jawab? Laki-laki juga boleh. Kamu harus tanggung jawab, termasuk masalah ninggalin saya begitu aja. Kamu nggak chat saya sama sekali, padahal saya udah kasih nomor telepon. Saya harus cari tahu kamu dulu sampai bisa ke sini."

"Macam intel aja," gumam Traya sambil berdecak. "Lo mau tanggung jawab jenis apa, sih? Lagian lo sendiri yang kegoda. Kenapa jadi gue yang harus tanggung jawab coba?"

"Kencan sama saya selama sebulan penuh. Kencan yang saya maksud kita jalan-jalan dan menghabiskan waktu mengenal satu sama lain."

Traya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Sebulan?"

"Iya, sebulan."

Traya menimbang-nimbang. Sial. Dia menyesal sudah menyebut nama belakangnya. Kalau tahu bakal dicari, dia tidak akan sebut sama sekali. Dia pikir Harta hanyalah laki-laki tampan tanpa status dan pendidikan yang luar biasa. Sebaliknya, setelah mencari tahu tentang Harta, dia baru tahu laki-laki itu lahir dari keluarga bukan sembarangan dengan pendidikan yang oke punya. Percaya atau tidak, Traya alergi laki-laki pintar, berwawasan luas, dan seorang pengacara. Traya muak dengan semua huru-hara lulusan hukum di keluarganya. Dia benci mendengar pasal-pasal di setiap obrolan.

Seperti halnya Kabut yang tidak suka hukum, Traya pun sama. Bedanya ayahnya Traya membebaskan dirinya untuk mengambil jurusan apa pun. Namun, ketimbang kuliah, Traya lebih memilih untuk tidak kuliah sama sekali. Dia hanya menghabiskan waktunya dengan senang-senang, belanja, menikmati hidupnya sebagai tuan putri di rumah. Traya merupakan anak semata wayang sehingga orang tuanya membebaskan apa pun dan tidak mau mengikuti tradisi Sastromidjo yang selalu kuliah. Satu-satunya yang tidak kuliah hanyalah Traya. Makanya Traya tidak suka laki-laki pintar karena dia merasa tidak pintar dan takut tidak bisa mengimbangi wawasan laki-laki pintar dengan otaknya yang pas-pasan.

"Dua minggu aja. Gimana?" tawar Traya.

"Oke, setuju."

Traya kaget mendengarnya. "Seminggu, deh," ralatnya cepat.

"Dua minggu." Harta bangun dari tempat duduknya. "Ayo, pergi."

"Hah? Pergi ke mana?"

"Kencan. Bukannya tadi Kabut nyuruh kita nonton konser berdua?"

Traya ingin protes cuma dia tidak mau menambah durasi waktu kencan. Harta pintar bermain kata, tentu dia bisa menjadi sosok yang dirugikan kalau mereka debat. Kalau memang harus berkencan mulai detik ini juga, dia tidak masalah supaya dua minggu bisa terpangkas dengan cepat.

❤❤❤

Bangkit duduk berhadapan dengan ayahnya di rumah sang ayah. Bukan cuma ayahnya saja berada di ruang kerja melainkan Taj dan ayahnya Taj, Lasdi Adipranas. Mereka ingin membahas masalah insiden pemukulan yang dilakukan oleh Bangkit. Tampaknya mau diselesaikan secara kekeluargaan. Persetan dengan kekeluargaan. Bangkit tidak akan minta maaf jika nanti dipaksa. Kalau memang harus dilaporkan pada polisi, Bangkit tidak takut sama sekali.

"Bangkit," Trejo menghela napas, menatap sang putra dengan memijat kening. "Kenapa kamu bikin kepala Taj bocor? Kalau kamu ada masalah sama dia, kekerasan bukan solusi."

"Jelas solusi. Bajingan itu––"

"Bangkit! Jaga ucapan kamu. Jangan seenaknya manggil orang begitu," potong Trejo.

Bangkit berdecak kasar. Tidak melihat sedikit pun pada Taj yang duduk tepat di sampingnya. Jika dia memperhatikan sepupunya pasti senang sudah menjadi pusat perhatian. Dia hanya menatap Trejo dan Lasdi bergantian.

"Enam bulan yang lalu bajingan ini mau perkosa Kabut pas lagi di California makanya Bangkit marah. Apa dia pantas disebut manusia?" Bangkit tidak segan-segan menunjuk Taj dengan jari telunjuknya. Dia tidak pernah menunjuk orang karena ayahnya bilang hal itu tidak sopan. Sekarang dia tidak mempedulikan sopan atau tidak. Taj tidak berhak mendapat rasa hormatnya.

Trejo dan Lasdi kaget mendengarnya. Mereka saling melempar tatap, tidak menyangka bahwa alasan Bangkit memukul Taj sampai masuk rumah sakit adalah hal ini.

Lasdi menatap putranya tajam, membutuhkan validasi terkait ucapan barusan. "Taj! Benar ucapan Bangkit?"

"Bangkit ngarang, Pa. Nggak ada buktinya. Dia nggak terima Kabut milih Taj ketimbang sama dia." Taj menjawab santai, menahan senyum di wajah dengan pungung yang bersandar pada kursi. "Kalau Bangkit mukul Taj, kan, ada saksinya, Anarki sama Timo."

Bangkit mengepal tangannya geram. Tahan, tahan. Dia harus menahan diri supaya tidak membuat Taj babak belur. Kalau nanti dia lepas kendali, dia tidak peduli Taj mati atau tidak. Manusia itu tidak pantas dapat belas kasihan darinya.

"Kamu punya buktinya Taj melakukan itu?" Kali ini Lasdi bertanya pada Bangkit.

Bangkit tidak punya bukti apa-apa, terlebih Kabut tidak melaporkan pada polisi setempat. Dia juga tidak punya rekaman cerita Kabut saat bercerita kepada Marsha. Dia lupa bahwa keluarganya mengusung asas pembuktian. Jika tidak ada bukti maka dianggap tidak ada yang terjadi. Sungguh menyebalkan. Bangkit tidak akan membiarkan Taj lolos.

"Punya. Saya punya rekaman saat Taj melakukan aksi bejatnya." Bangkit berbohong. Biarlah nanti dia mencari cara untuk merekayasa skenario ini. Dia tidak mau Taj lolos begitu saja. Lebih baik memancing Taj mengakui dosanya sendiri.

"Bohong. Waktu itu nggak ada siapa-siapa," sela Taj.

Trejo menyela, "Berarti kamu mengakui?"

"Kalau udah bilang begitu, dia mengakui. Buktinya dia tahu nggak ada siapa-siapa. Bukan Bangkit cemburu, Taj benar-benar sebejat itu sampai mau perkosa Kabut. Jadi jangan tanya kenapa Bangkit pukul sampai dia masuk rumah sakit. Taj berhak dapat itu," ucap Bangkit.

Lasdi bangun dari tempat duduknya, menghampiri Taj dan menampar sang putra tanpa peringatan. "Tell me you didn't do that, Taj. Don't lie to me."

Trejo kaget menyaksikannya. Meskipun dua anaknya sering berulah dan membuatnya marah, dia tidak pernah menampar mereka. Trejo bangun dari tempat duduknya, bergegas mendekati sang kakak, takut nanti berbuat lebih jauh dari yang dilakukan sekarang. Berbeda dengan reaksi Trejo, Bangkit hampir tersenyum saat menyaksikan tindakan pakdenya.

"I di—"

"Jawab dengan benar dan tegas. Kalau nanti Papa tahu kamu bohong, jangan berharap apa-apa. Lebih baik kamu jujur," sela Lasdi.

Taj memasang wajah tegas dan menahan sakit yang diterima dari ayahnya. "I didn't do that."

Pernyataan itu membuat Bangkit bangun dari tempat duduknya. "Apa lo bilang? Bajingan! Lo melakukan dan lo nggak ngaku? Bajingan sakit jiwa!" omelnya kesal. Bangkit hampir saja melempar gelas ke arah Taj kalau Trejo tidak menahan tangannya.

Trejo mendesah kasar. Mengapa Bangkit semakin mirip dengan Kabut kalau sedang marah? Ya, mungkin lebih menyeramkan cuma tetap saja mirip. Trejo mengembalikan gelas di atas meja, menahan putranya untuk tidak bertindak lebih jauh.

"You hear that right, Trejo? Gue nggak akan nuntut atas tindakan Bangkit. Kita akhiri obrolannya sampai sini," ucap Lasdi.

"Pakde nggak bisa percaya begitu aja, dong. Taj udah melakukan kejahatan seharusnya dia dihukum. Kabut nggak mau laporin karena dia takut. Pakde bisa tanya sendiri sama Kabut. She's the victim, not your son," protes Bangkit dengan suara lantangnya.

"Intinya udah berlalu, kan?" Lasdi melirik sekilas pada putranya. "Kalau memang Kabut nggak mau memperpanjang, ya udah." Lalu, dia menoleh ke belakang melihat sang adik. "Gue balik duluan. Maaf udah buat kekacauan."

"Hati-hati, Kak," balas Trejo.

Lasdi beranjak pergi meninggalkan tempatnya, lalu disusul oleh Taj di belakangnya. Taj menoleh dan menarik senyum miring sebagai tanda kemenangan. Bangkit yang melihatnya langsung panas. Bangkit ingin meninju Taj lagi, sayangnya, Trejo menahannya untuk tetap diam di tempat sampai kedua orang itu keluar.

"Pa! Papa harus belain Kabut, dong. Jangan diem aja!" omel Bangkit.

Trejo mengurut keningnya berulang kali. "Kamu pikir Papa ngapain? Makan? Ini juga lagi mikir gimana caranya biar Taj ketahuan bohong. Kamu bilang punya bukti. Mana buktinya? Sini biar Papa lihat."

"Nggak ada. Tadi karangan Bangkit doang biar Taj ngaku. Bajingan itu malah nggak mau ngaku." Suara Bangkit dipenuhi kekesalan tanpa akhir. "Pokoknya Papa harus belain Bangkit dan buat Taj mengakui kesalahannya."

"Papa pasti bantu. Papa nggak tahu kamu sadar atau nggak cuma Papa lihat pakdemu agak meragukan omongan Taj. Mungkin pakdemu punya hal lain untuk dilakukan sendiri. Nanti Papa hubungi pakdemu buat cari tahu kenapa dia percaya sama Taj." Trejo mengenal kakaknya dengan baik. Kakaknya bukan tipe yang senang membela anak-anaknya tanpa bukti nyata. Jika anaknya salah maka akan dimaki-maki di tempat bahkan lebih parah dari yang Trejo lakukan. Makian Lasdi jauh lebih menyakitkan. Jadi, dia akan membiarkan kakaknya bertindak semaunya sambil mencari tahu apa yang akan dilakukan dengan keraguan yang cukup terlihat.

Walau belum puas dan tenang, Bangkit mengangguk pelan. "Makasih, Pa."

"Ya udah Papa mau telepon mamamu dulu. Mamamu belum berkabar, nih, padahal udah kangen." Trejo merogoh ponselnya dari dalam saku celana, menekan angka satu sebagai panggilan tercepat kepada sang istri.

"Trejo Bucin Adipranas," ledek Bangkit.

"Halah, halah, macam kamu nggak aja." Trejo menepuk pundak putranya sebagai tanda pamitnya. "Halo, Sayangku. Lagi di mana, nih? Mau dijemput kapan?" sapanya pada sang pujaan di seberang sana sambil berjalan pergi meninggalkan Bangkit.

Bangkit tersenyum tipis mendengar suara ayahnya berubah menjadi lebih lembut. Melihat keharmonisan keluarganya, dia teringat Kabut yang bercerita mengenai keretakan keluarganya. Bangkit segera merogoh ponsel dari dalam saku celana. Pada saat yang sama, nama Kabut muncul menghubunginya lebih dahulu. Tidak mau membuang waktu lebih lama, Bangkit menjawab panggilan pujaannya.

"Ya, halo?" Suara Bangkit berubah lembut meskipun tidak sedrastis yang dilakukan ayahnya. Rupanya Bangkit dan ayahnya memiliki kesamaan yang tidak bisa dielak.

"Lo kapan pulang?" tanya Kabut di seberang sana.

"Ini mau pulang. Kenapa? Kamu mau titip sesuatu?"

"Nggak. Buruan pulang. Perut gue sakit."

"Sakit? Kenapa? Nggak coba pergi ke dokter?"

"Nggak usah banyak tanya. Buruan balik! Gue menderita, nih. Pokoknya cepetan!"

Dan sambungan mati sepihak. Bangkit sudah hafal kebiasaan Kabut yang senang mematikan sambungan sepihak. Bangkit khawatir. Dia mengambil tasnya dan berlari keluar dari ruang kerja Trejo. Kemudian, dia berpamitan kepada sang ayah lebih dahulu. Sambil berjalan keluar Bangkit menghubungi salah satu pekerja rumah untuk memeriksa keadaan Kabut dan membuatkannya teh hangat.

Tidak mau terlalu lama berada dalam perjalanan, Bangkit menyuruh sopir pulang sendiri, sedangkan dia mengendarai motor kakaknya yang jarang digunakan. Bangkit meminta izin pada kakaknya, tapi tidak sampai menunggu jawaban, dia sudah meninggalkan pekarangan rumah ayahnya.

❤❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗❤

Follow IG, Tiktok, Twitter: anothermissjo

Mau lihat kisah Traya sama Harta lagi gak? wkwk bisa kuselipi di sini~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro