Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 16

Bonus double update❤

Oh, Chapter 14 & 16 ini punya additional chapter di Karya Karsa ya. Bisa update hari ini atau besok❤

Ketika Bangkit dan Kabut kembali, mereka diam tanpa kata, tidak membahas apa pun selain jawaban menggantung di dalam pikiran masing-masing. Namun, ada yang lebih mengguncang mereka dari obrolan sebelumnya.

"Hei, Sepupu. Selamat ulang tahun!"

Kalimat itu, suara itu, dan senyum itu semua terpancar dari satu orang. Sosok yang mengguncang pernikahan mereka di masa lalu, Taj Emire Adipranas.

"Oh, Kabut?" Laki-laki itu berdiri di tengah-tengah antara keduanya. Melihat ke arah Bangkit, lalu kembali menatap Kabut. "Ah, jadi ini alasan lo nggak mau ngundang gue, Bangkit? Ada mantan istri lo."

Kabut bersyukur dia menggunakan kacamata jadi tidak perlu menatap Taj secara langsung. Sungguh sial, perasaannya belum membaik, sekarang ada manusia itu.

"Kenapa pakai kacamata, Kabut? Sakit mata?" tanya Taj dengan tangan yang bergerak pelan untuk menyentuh kacamata Kabut. Sebelum terjadi, Bangkit sudah lebih dulu menepis tangannya. "Santai, Bro. Gue cuma mau mastiin matanya Kabut baik-baik aja, bukan mau ngerebut dia dari lo."

Bangkit menggamit tangan Kabut, menggenggam dengan erat, menarik Kabut mundur hingga berada di belakang tubuhnya dan menjadikan dirinya dinding pemisah antara Kabut dan Taj. Sisi protektifnya menyala begitu melihat sepupunya yang satu itu.

"Anjirlah! Lo ngapain ke sini, sih?" Marsha datang dengan kesal, menarik mundur Taj untuk menjauh dari pasangan favoritnya.

"Gue diundang Meta. Kalian kenapa tega banget nggak ngundang gue? Memangnya salah apa sampai gue nggak boleh merayakan ultah sepupu sendiri?" Taj bertanya santai dengan memasang wajah pura-pura sedih.

"Soalnya lo bajingan. Udah, ah, ganggu aja. Lebih baik lo bantuin gue hidangin ikan!" Marsha melingkarkan tangannya pada lengan Taj agar menariknya dari sana dan tidak menimbulkan masalah.

"Haha ... yang bajingan bukan cuma gue doang." Taj melihat Kabut dan tersenyum. "Glad to see you again, Kabut. Hope you didn't run away this time." Lalu, dia melambaikan tangannya seiring tarikan Marsha untuk menjauh.

Kabut semakin tidak nyaman. Kata-kata terakhir Taj seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak boleh kabur seperti waktu itu. Kabut meremas tangan Bangkit yang menggenggamnya. Tangan Kabut gemetaran. Dia ingin pulang. "Gue mau pulang."

Bangkit berbalik badan, mencoba memahami apa yang dipikirkan Kabut dengan permintaannya itu––yang mana sulit dilakukan karena Kabut masih memakai kacamata. Namun, dengan merasakan tangan yang gemetar itu, Bangkit tahu Kabut tidak mau menetap di sini. "Ya udah kalau kamu mau pulang. Aku antar kamu pulang, ya."

Kabut menggeleng. "Nggak mau. Gue mau pulang sendiri."

"Nggak boleh. Kalau kamu nggak mau aku antar, aku minta Marsha antar kamu."

"Nggak usah. Gue bisa––"

"Nggak. Pokoknya sama Marsha," potong Bangkit.

Tanpa melepaskan tangan Bangkit berteriak memanggil Marsha yang terlihat dari pandangan lurusnya. Perempuan itu segera menghampiri setelah Bangkit melambaikan tangan untuk memintanya datang. Tidak perlu menunggu lama Marsha sudah berdiri di hadapan mereka.

"Wassup?" tanya Marsha.

"Tolong antar Kabut pulang," jawab Bangkit.

Marsha melirik Kabut yang diam saja berdiri di belakang tubuh Bangkit. Dia mengangguk, paham dengan tugas yang diberikan oleh sepupunya. "Let's go, Beb. Kita ambil barang-barang lo."

"Nggak usah nanti biar gue yang beresin. Lo antar sekarang. Jangan dibawa pergi clubbing atau luar negeri. Antar dia pulang ke apartemennya. Temani sampai gue datang ke sana," titah Bangkit penuh penegasan.

Marsha mencibir, "Huh! Takut banget gue bawa kabur. Iya, Tuan Bangkit. Gue bakal antar dia dan temani sampai lo tiba di sana. Eh, tapi kenapa ke apartemen? Bukannya kalian tinggal berdua?"

"Nggak usah banyak tanya," omel Bangkit.

"Iya, iya. Galak amat." Marsha mendelik tajam. Kemudian, dia memukul tangan Bangkit agar melepaskan tangan Kabut. Setelah berhasil memutus genggaman erat itu, dia menggandeng tangan Kabut. "Gue cabut dulu. Bye. Jangan lupa transferin gue uang buat jajan. Nemenin Kabut butuh uang jajan yang banyak."

"Iya, nanti gue transfer."

Senyum di wajah Marsha merekah sempurna. "Nggak salah gue selalu bilang lo sepupu favorit gue. Makasih, Bangkit! Byeeeeee!"

Sebelum Marsha membawa Kabut pergi, Bangkit lebih dulu mengusap kepala Kabut.

"Nanti aku samper di apartemen kamu, ya. Jangan ke mana-mana. Nanti aku kirimin makanan. Tell me whatever you need, okay?" ucap Bangkit.

Kabut cuma menjawab dengan pelan, tanpa melihat Bangkit dan hanya menunduk. "Oke."

Marsha memperhatikan Bangkit dan Kabut bergantian, sadar dengan perubahan atmosfer sejak kehadiran Taj. Semalam baik-baik saja. Tampaknya sebelum Taj muncul sudah ada hal lain. Marsha pintar mencium hal-hal seperti ini melalui ekspresi keduanya. "Oke, oke, ditunggu kedatangan lo, Bangkit. Gue mau bawa pulang ayang lo dulu, ya. Sampai ketemu nanti."

Setelah itu Marsha bergegas membawa Kabut pergi. Biasanya Kabut paling benci ditarik-tarik dengan langkah cepat meskipun mereka sedang berbelanja bersama, tapi kali ini Kabut menurut. Marsha semakin penasaran dengan cerita di balik suasana tidak menyenangkan tadi.

Baru beberapa menit setelah pintu mobil ditutup dan bokong mendarat sempurna, Marsha mendengar tangis Kabut pecah. Marsha kaget dan bergegas mengusap punggung Kabut ketika kening perempuan itu bersandar pada dashboard.

"Kenapa lo nangis?" Marsha bertanya dengan hati-hati. "Gara-gara si monyet itu, ya? Taj ngomong apa sebelum gue seret dia?"

Namun, tidak ada jawaban lain selain tangis. Marsha tidak berani mendesak dan membiarkan Kabut menangis supaya lebih lega. Marsha mengusap punggung Kabut berulang kali sambil sesekali mengusap kepalanya.

"Jujur aja keluarga gue banyak yang bajingan. Taj, Meta, dua manusia itu nggak ada bedanya sama orang gila. Bahkan lebih mulia orang gila. Mereka binatang nggak tahu diri. Kadang malu punya sepupu kayak gitu," oceh Marsha kesal.

Ocehannya tidak meredakan tangis. Marsha semakin bingung. Dia lebih pandai menghasut daripada menghibur.

"Lo nangis merasa nggak enak sama Bangkit gara-gara masalah itu? Kalau iya, dia nggak mikirin itu lagi. Lagian si ganjen itu yang cium lo duluan. Dari awal dia sering ikut kita pergi, dia selalu merhatiin lo. Dia pasti ada hati sama lo, deh. Berengsek memang, tuh, orang nggak bisa lihat istri orang!" Marsha kembali mengoceh dengan nada menggebu-gebu kesal akan kelakuan sepupunya.

Kabut menarik diri, mengusap air mata yang membasahi pipi. "Gue takut, Marsha ... gue nggak mau balik sama Bangkit nggak cuma karena udah bikin kesalahan itu. Gue nggak mau sampai ketemu Taj di setiap acara. Gue nggak mau..."

"Itu mah gampang. Nanti kalau ada dia menghindar aja. Nggak usah peduliin setan itu."

Kabut menggeleng. Sambil terus terisak, kata-katanya terputus-putus. "Gue takut ... gue takut ... dia hampir perkosa gue dulu...."

"Apa?!" Marsha membelalak kaget. Suaranya meninggi. "Kapan Taj mau perkosa lo? Gila kali, ya! Lo nggak laporin polisi?"

"Enam bulan yang lalu di California. Dia..." Kabut menceritakan kronologinya dengan terbata-bata seiring tangis yang terus mengalir.

Marsha mendengarkan sambil mengepal tangannya kesal. Dia saja sudah kesal setengah mati saat mendengar bagaimana Taj hampir memperkosa Kabut––yang untungnya Kabut berhasil kabur sebelum itu terjadi dan ada orang lain yang menolong. Kabut tidak melaporkan kepada polisi karena takut didengar Bangkit dan mengubur masalah itu rapat-rapat. Setelah bercerai Taj lebih aktif mengirim pesan kepada Kabut dan tentu saja Kabut mengabaikan serta memblokir nomor Taj. Selain itu Taj sering mendatangi Kabut ke California, entah tahu dari mana posisinya. Saat Taj datang, Kabut selalu menolak bertemu dan entah bagaimana Taj mengetahui tempat hangout Kabut hingga insiden nahas itu hampir terjadi.

"Bangsat, ya, Taj! Lihat aja, sih, gue laporin Bangkit biar dihajar habis-habian. Orang gila!" umpat Marsha kasar sambil memukul setir kemudi dengan penuh amarah.

"Please ... jangan cerita sama Bangkit," mohon Kabut.

"Tapi dia harus ta––"

"Please, Marsha ... please...," sela Kabut dengan nada memohon.

Marsha mengangguk. Tentu saja mengangguk bukanlah jawaban penuh janji. Dia akan menceritakan pada Anarki sebagai pancingan. Sepupunya yang satu itu bermulut ember yang apa-apa akan dilaporkan kepada Bangkit. Dengan begitu Marsha tidak bisa disalahkan kalau cerita Kabut bocor.

Untuk mengurangi kesedihan Kabut, dengan lembut Marsha memeluk perempuan kesayangannya. "It's okay, dia nggak bisa macem-macem. Kalau dia macem-macem lagi, gue bunuh dia. Lo aman. Bangkit pasti akan melindungi lo di sini."

Kata-kata itu menjadi penenang terakhir yang berhasil menyurutkan tangis Kabut. Walau tidak banyak yang surut setidaknya Marsha berhasil.

❤❤

Bangkit memasukkan barang-barang Kabut ke dalam mobil. Suasana sarapan pagi ini berubah dingin dengan hadirnya Taj. Meskipun yang lain masih bisa berbincang dan bercanda ria, Bangkit tidak bisa bersikap seperti dulu dengan Taj. Bukan perkara insiden ciuman itu melainkan tindakan Taj yang memulai insiden itu meski sudah tahu Kabut adalah istrinya dulu.

"Lo sama Kabut beneran mau rujuk?"

Tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa gerangan yang menyampaikan pertanyaan tersebut. Bangkit tetap fokus melanjutkan kegiatannya.

"Gue paham kenapa lo sering banget nyium Kabut. Bibirnya memang selembut itu. I love the taste of her lips." Taj berdiri di samping Bangkit sambil menjadikan badan samping mobil sebagai sandaran tubuhnya.

Darah Bangkit langsung mendidih. Dia menarik dengan kasar kerah kaus polo Taj dan mencengkeramnya kuat. "Tutup mulut lo. Jangan ngomongin Kabut dengan mulut sialan lo itu."

Taj menarik senyum miring. "Kenapa? Lo sedih gue udah pernah cicipin bibirnya?"

Bangkit semakin geram. Dia mencoba menahan diri untuk tidak memukul Taj detik itu juga.

"Berhubung dia bukan istri lo lagi, gue boleh deketin, kan?" Taj menatap Bangkit tanpa takut diikuti senyum miringnya. "Ah, tapi ngapain gue nanya lo. Lebih baik gue deketin beneran. Gue cinta sama Kabut. Gue jatuh cinta sama dia dari lama. Gue sama Kabut pasti cocok banget, kan, kalau nikah nanti?"

Bola mata Bangkit membesar. Dia pernah mendengar Marsha menuding Taj jatuh cinta dengan Kabut, tapi dia tidak menganggapnya sebuah ancaman. Namun, mendengar secara langsung rasanya lebih mengoyak hati.

"Oh, gue bisa cium dia lagi karena kali ini udah nggak sama lo."

Kata-kata itu mengjadi penghantar awal Bangkit lepas kendali. Bangkit memukul wajah Taj dengan tenaga penuh hingga laki-laki itu jatuh tersungkur. Bukannya meringis, Taj tertawa dan tersenyum, seolah meledek Bangkit bahwa pukulan itu tidak mempan membuatnya mundur. Bangkit tidak tinggal diam dan kembali memukul Taj. Sekali lagi. Berulang kali tanpa adanya balasan dari Taj.

"Astaga, Bangkit!" Anarki berteriak keras, berlari mendekat, dan segera memisahkan. "Woi, Timo! Cepetan bantu!" teriaknya pada sepupu lainnya yang berada di belakang sana.

Sosok yang dipanggil segera berlari dan membantu Anarki menarik Bangkit untuk berhenti. Dengan cepat Anarki dan Timo berhasil menarik Bangkit dan menjauhkan dari Taj yang tertawa tanpa mengeluhkan babak belur di wajahnya.

"Jauhi Kabut. Kalau lo deketin dia dan nyium dia lagi, gue bunuh lo. Gue nggak peduli lo sepupu gue atau bukan. Jangan kurang ajar," ancam Bangkit.

Taj tertawa keras. "Haha ... lo siapa? Balikan aja belum. Memangnya dia mau balik sama lo? Apa lo yakin dia cinta sama lo?"

"Heh, Sialan! Tutup mulut lo! Jangan banyak ngomong lo, ya!" omel Anarki.

Taj meludah sembarangan. "Berharap sebanyak mungkin, Bangkit." Berdiri pelan-pelan, dia menyentuh rahangnya yang sakit. "Lo nggak akan bisa balikan sama dia. Kalau dia cinta sama lo, dia nggak akan balas ciuman gue."

"Si bajingan ini, ya!" umpat Anarki.

"Thank you pukulannya. Gue nggak akan nuntut lo. Anggap aja hadiah ultah," ucap Taj, yang kemudian berjalan pergi meninggalkan tempatnya.

"Bajingan itu, ya!" Anarki menarik tangannya dari lengan Bangkit dan berkacak pinggang. "Orang gila. Udah cium sembarangan, hampir merkosa Kabut jug...." Anarki buru-buru mengatup mulutnya. Sial. Dia malah keceplosan. Niatnya mau cerita nanti.

"Lo bilang apa tadi?" cecar Bangkit.

"Nggak ada, gue cuma bilang Taj cium sembarangan," alasan Anarki.

Bangkit mencengkeram kerah kemeja Anarki, menatapnya dengan tajam. "Setelah itu lo bilang apa? Ngomong atau gue pukul."

Timo juga mendengar dan cukup kaget. Dia pun menyela, "Tadi lo bilang Taj hampir merkosa Kabut, kan? Itu bener?"

Anarki melirik Timo, memelototi sepupunya. Bukan meredakan suasana sebentar malah semakin dijabarkan secara terang-terangan. Sialan. Anarki terjebak. Kalau Bangkit sudah marah, tidak peduli siapa pun, pasti akan mukul.

"Anarki," Bangkit mencengkeram kerah kemeja Anarki lebih kuat. "Ngomong sekarang."

Anarki meneguk ludah ngeri. Tidak ada yang dia takuti di dunia ini selain Bangkit. Kalau Bangkit sudah marah bisa melebihi kemarahan Hulk yang luar biasa. Itulah mengapa banyak sepupu Bangkit yang segan dan takut, terkecuali Taj.

"Lepas dulu biar gue bisa jelasin," pinta Anarki.

Bangkit menarik tangannya, menatap tidak sabar. Anarki mendesah kasar dan mulai membuka mulutnya untuk menjelaskan cerita Marsha padanya melalui pesan WhatsApp.

Beberapa menit cerita, raut wajah Bangkit berubah. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras pertanda kemarahan sudah mencapai puncaknya. Bangkit mengambil batu berukuran sedang yang ada di dekatnya, menggenggam kuat-kuat dan berjalan tanpa pamit.

"Eh, Bangkit. Lo mau ke mana?" teriak Anarki.

"Mau bunuh bajingan itu."

"Anjirlah!" umpat Anarki, yang segera mengejar dari belakang. "Jangan gila, dong, Bangkit. Lo bisa di penjara. Woi, Bangkit!" Lalu, dia menoleh ke belakang. "Heh, Timo! Jangan bengong aja, cepetan ikut! Kalau lo diem aja di situ, bakal jadi TKP dadakan, nih!"

Timo mendesah kasar. Dia tidak peduli mau ada yang meninggal atau tidak. Dia hanya ingin tidur. Akan tetapi, dia tidak mau Bangkit di penjara perkara beneran membunuh Taj. Jadi, ya sudah, dia mengejar dari belakang dengan berlari cepat.

Sebelum kegilaan terjadi, Timo dan Anarki berhasil menghalau Bangkit, menarik laki-laki itu dan membujuknya untuk tenang. Syukurlah Bangkit mau tenang dan kembali ke mobilnya. Mereka pikir bakal selesai begitu saja, ternyata tidak.

Bangkit masuk mobil bukan untuk pulang melainkan mengemudikan mobilnya dan menabrak mobil Taj saat laki-laki itu terlihat akan masuk ke dalam mobil yang berada di depan sana. Akibatnya Taj jatuh terpelanting ke belakang saat menyadari Bangkit akan menabrak mobilnya. Tidak berhenti sampai di situ, Bangkit menurunkan kaca jendela dan melempar batu pada kepala Taj dan tepat sasaran. Taj meringis sakit dengan kepala yang terluka. Bangkit menambah kegilaannya dengan memundurkan mobil dan berancang-ancang menabrak. Sebelum Taj dilindas, Anarki dan Timo sudah lebih dulu menyelamatkan. Bangkit sudah hilang kendali dan tidak ada yang bisa meredam kemarahan itu.

Untungnya setelah Anarki dan Timo menarik Taj menjauh dari jangkauan mobil, Bangkit melaju pergi. Khusus hari ini Taj selamat––setidaknya–– meskipun kepala yang berdarah sudah menjadi bukti tindakan anarkis Bangkit kalau sudah murka.

❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗❤

Follow IG: anothermissjo

Pilih salah satu:

Update maunya kapan aja?

1) Tiga hari sekali

2) Seminggu sekali

3) Empat hari sekali

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro