Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cranky 11

Yuhuuu update~ komen yaw<3 maaciw<3

-

-

Kabut memandangi diri di depan cermin ruang kerja pribadi butiknya. Dia membuka dua kancing teratas blouse yang dipakai. Seluruh tubuhnya dipenuhi gigitan dan hasil karya Bangkit semalam. Dia terpaksa mengenakan blouse dan scarf untuk menutupi keganasan Bangkit. Semua orang harus tahu Bangkit punya sisi mesum di luar prediksi. Buktinya mereka bercinta dari malam sampai menjelang subuh. Kabut jadi tidak sempat beristirahat.

Dulu waktu mereka liburan ke luar negeri menaiki kapal pesiar selama sepuluh hari bukannya jalan-jalan mengelilingi kapal atau mencoba fasilitasnya, mereka lebih banyak bercinta di kamar. Dimulai dari matahari terbit sampai fajar datang. Kira-kira seperti itu kalau Bangkit sudah mesum, tidak bisa dihentikan dan lebih liar dari binatang. Kabut cuma bisa pasrah dan menurut. Ya, tidak menolak juga meskipun kewalahan meladeni setiap hujaman ganas laki-laki itu.

Pagi ini Kabut kabur lebih awal sebelum Bangkit bangun tidur. Jika sampai sapa-sapaan, sudah pasti pagi ini akan diajak bercinta lagi. Di samping itu Kabut tidak mau bertemu Bangkit sementara waktu. Malu. Dia sendiri yang ingin menolak ajakan rujuk, dia juga yang menawarkan kegilaan. Untuk mendukung niatnya dia mematikan ponsel.

"Bu, permisi. Ada tamu yang mencari, Ibu," panggil Andine dari luar selagi mengetuk pintu.

"Tunggu bentar, An."

Kabut mengancingkan kembali blouse dan merapikan scarf. Sesudahnya dia duduk manis supaya Andine tidak curiga kalau dia habis berkaca. "Masuk, An."

"Hellooooooooo, Sistuuuuur!" Suara nyaring mengudara seiring hadirnya wujud cantik dari balik tubuh Andine.

Setelah perempuan itu masuk ke dalam ruang kantor, Andine berjalan mundur dan menutup pintu membiarkan tamu berbincang dengan sang empunya butik.

Kabut pikir siapa rupanya Marshalene Adipranas. Perempuan centil itu sangat dekat dengan Kabut bahkan setelah cerai pun mereka kerap liburan bersama. Marsha, si paling berisik, menyukai kebebasan persis seperti Kabut. Jadi mereka sangat klop dalam menikmati hidup.

"Gue pikir setan mana, ternyata lo," ujar Kabut.

Marsha tertawa geli. "Haha ... bisa aja temennya setan. Gue mau kasih kabar, nih. Info penting buat lo."

"Kalau lo mau bilang Adit idola gue udah mau nikah, gue cuekin. Gue anggap nggak ada info." Kabut menjawab sambil berpindah menuju sofa, duduk di sana dengan tenang.

"Ini menyangkut Bangkit, Beb." Marsha duduk di seberang Kabut, menyandarkan tubuhnya sambil menyilangkan kaki. "Bangkit ikut kencan buta. Meta yang atur pertemuannya. Gue males kalau Meta yang jodohin, pasti perempuannya mirip jalang kayak dia. Gue maunya lo aja sama Bangkit. Ayo, kita labrak."

"Lo bilang apa tadi? Kencan buta?" ulang Kabut.

"Yep. Anarki yang bilang."

Kening Kabut berkerut. "Anarki tahu dari mana? Dia punya seribu mata sampai tahu semua gosip keluarga lo, ya?"

"Haha ... kebetulan aja dia lagi mampir ke restoran yang sama dengan Bangkit. Jadi dia infoin sama gue terus gue sampaikan sama lo, deh." Marsha membuka pesan dari Anarki dan kemudian menunjukkan foto yang dikirimkan kepadanya untuk diperlihatkan kepada Kabut. "See? Bangkit rapi banget. Entah perasaan gue aja kali, ya, pagi ini Bangkit kelihatan lebih cerah dan bersinar. Macam baru turun dari surga."

Kabut mengamati foto yang terpampang nyata. Di dalam foto itu Bangkit terlihat sedang duduk mengenakan jas biru dongker dilengkapi dasi berwarna senada. Mantannya memang serapi itu kalau berangkat kerja, tapi entah kenapa, auranya lebih wow hari ini. Kelihatan lebih tampan juga.

"Idih ... bajingan!" umpat Kabut.

Marsha menarik senyum penuh arti. "Cemburu, kan? Yuk, yuk, kita labrak," hasutnya penuh semangat.

"Nggak, ah, biarin aja." Kabut memalingkan wajah, tidak mau melihat foto itu lagi. Dia memilih melihat Marsha yang pagi ini sudah cantik dengan pakaian seksi andalannya—tank top dan rok mini nyaris menunjukkan bokong. "Kalau dia punya perempuan lain itu bagus. Gue nggak perlu rujuk sama dia."

"Lo yakin? Seandainya Bangkit jatuh cinta sama perempuan lain, apa lo rela? Nggak mudah, lho, bikin Bangkit jatuh cinta sama seseorang. Bukti nyatanya lo cinta pertamanya, semua serba pertama. Tapi kalau ada yang kedua, lo pasti dilupain." Marsha mencoba memanasi dengan fakta yang ada, sedikit berharap Kabut mau menimbang-nimbang, meski kemungkinannya sangat tipis.

Kabut diam memikirkan kata-kata itu. Benar, Bangkit mengatakan padanya bahwa dialah perempuan pertama yang dicintai dan membuat Bangkit tertarik. Dialah satu-satunya perempuan yang mampu membangkitkan gairah laki-laki itu. Kata-kata Marsha tidak ada yang salah, tapi cukup membuat perasaannya bercampur aduk, entah mengapa.

"Bodo, ah," kata Kabut tidak mau peduli.

"Gue udah wanti-wanti, lho, ya." Marsha masih berusaha, belum mau menyerah memanasi Kabut. Dengan mengandalkan mulutnya yang lihai dalam menghasut, dia melanjutkan, "Nemu di mana lagi laki-laki setia dengan tampilan sempurna seperti Bangkit? Zaman sekarang banyak laki-laki muka pas-pasan gayanya selangit. Selengki mulu, banyak bohongnya, begitulah. Bangkit, tuh, udah sempurna banget. Mau ditawarin perempuan secantik apa pun kalau udah bucin, duh ... bucinnya juara. Tapi nggak tahu, sih, kalau ada yang bisa bikin dia deg-degan dan gemes gitu, bisa aja dia move on dari lo. Hilang, deh, fans setia lo. Siapa lagi yang bakal mencintai lo membabi buta seperti Bangkit? Bahkan lo juga mengakui cintanya Anarki nggak sebesar Bangkit. Duh ... sayang banget lo nggak mau labrak."

Entah mengapa kata-kata Marsha seperti sindiran tersirat yang mencoba memanasinya dengan semua fakta itu. Tanpa pikir panjang Kabut mengambil ponselnya dan menekan kontak Bangkit. Akhirnya dia menghubungi laki-laki itu juga.

"Lo telepon siapa? Nggak laporin gue sama polisi karena udah ganggu lo, kan?" usik Marsha.

"Nggak. Telepon sepupu lo."

"Sepupu yang mana ini?" goda Marsha tersenyum meledek.

"Bangkit."

Marsha tersenyum lebar meledek Kabut. Sambil memandang kuku-kukunya yang dihiasi nail art bergambar tengkorak, dia pun berkata, "Ututu ... panik juga. Gue pikir nggak tergiur telepon bebeb."

Kabut mengambil bantal cushion dan melemparnya ke arah Marsha. Walau tepat sasaran, Marsha tidak marah, sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak. Mendengar suara tawa Marsha, dia merasa kesal. Lebih kesal lagi waktu Bangkit tidak menjawab panggilannya. Ini anak ke mana, sih?

❤❤

Satu hal yang Bangkit tidak sukai adalah kebohongan Meta. Sepupunya itu bilang ingin mengajaknya bertemu untuk minta maaf dan berbincang santai. Kenyataannya Meta membohonginya. Bangkit tidak akan memaafkan Meta dengan mudah. Tindakan sepupunya terlalu jauh.

Bangkit menghela napas. Berulang kali supaya Cheryl—nama perempuan itu—sadar bahwa dia tidak suka dengan pertemuan ini. Bangkit datang lebih dahulu lima menit yang lalu dan dikejutkan dengan kedatangan Cheryl yang dengan tiba-tiba mengenalkan diri sebagai teman kencan buta Bangkit dari Meta. Sungguh gila.

"Kamu suka makan apa, Bangkit?" tanya Cheryl.

"Tulang anjing. Saya suka makan itu," jawab Bangkit asal-asalan.

"Eh?" Cheryl menatap kaget.

Bangkit bangun dari tempat duduknya. "Saya rasa ada kesalahan di sini. Jadi...." Kalimatnya tertahan, dia melihat nama Kabut sebagai id-caller. Tiba-tiba dia punya rencana lain. Dia pun duduk kembali, tidak jadi beranjak pergi. "Halo?" jawabnya pelan.

"Lo di mana?" tanya Kabut terdengar galak di seberang sana.

"Lagi kencan. Kenapa?" balas Bangkit jahil sambil menahan tawa.

"Bajingan lo, ya! Lo ngotot ngajak rujuk, sekarang lo kencan sama perempuan lain! Setelah semalam lo mesra-mesraan sama gue, siang ini lo nemuin perempuan cantik. Orang gila! Berengsek!" umpat Kabut. Seperti biasa, suaranya dipenuhi amarah yang tidak terkontrol.

"Gimana, ya ... soalnya pagi ini kamu kabur gitu aja. Padahal semalam kamu bilang seks kita luar biasa. Aku terluka dengan sikap kamu." Bangkit mendramatisir kata-katanya, mengubah intonasinya menjadi lebih dingin.

"Halah, alasan! Kalau lo masih mau kencan, silakan. Jangan harap bisa rujuk! Gue tandain lo, ya, Bangkit!"

Bangkit hampir tertawa terbahak-bahak kalau tidak ingat sedang menahan diri. Seru juga menggoda dan menjahili Kabut. "Gini aja, deh, kamu ngomong sama temanku ini supaya aku bisa pulang. Gimana? Soalnya dia nanya mulu, nih, aku nggak suka. Aku lebih suka ditanya kamu apa lagi kalau dicium kamu seperti semalam."

"GILA LO, YA, BANGKIT! STRES! BAJINGAN GILA!" umpat Kabut dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, seakan-akan mengumpulkan tenaga dalam untuk mengeluarkan suara yang nyaris terdengar penuh teriakan itu.

Detik itu juga sambungan terputus. Bangkit tertawa pelan. Sudah pasti Kabut mengamuk saat bertemu dengannya nanti. Di depan sana Cheryl bangun dari tempat duduknya dan tanpa banyak bicara menyiram wajah Bangkit dengan air putih.

"Kalau kamu nggak mau kencan, just tell me, nggak perlu pamer begitu. Berengsek!" umpat Cheryl.

Bangkit sudah tidak kaget. Dulu sebelum Bangkit menikah, Meta sering mengatur pertemuan suka-suka seperti ini, menjebak Bangkit dengan cara beraneka ragam. Bangkit tidak pernah merespons dan meninggalkan para perempuan itu sebelum mereka sempat berbincang. Ada dua atau tiga orang lainnya yang kesal ditinggalkan begitu saja dan menyiramnya dengan air.

Tidak peduli akan kejadian barusan, Bangkit menyeka wajahnya dengan sapu tangan. Saatnya menemui Kabut. Kalau dipikir-pikir suara dan kalimatnya yang dibuat-buat tadi terdengar menyebalkan. Semoga saja dia tidak dipukul tongkat baseball kesayangan Kabut.

❤❤

Kabut mengunyah sandwich tuna, makan bersama Marsha. Perempuan itu mengajaknya keluar dan mendatangi restoran baru bertema serba bunga. Berhubung panas sedang terik-teriknya, Kabut memilih makan di dalam ruangan. Di luar ruangan pemandangannya lebih bagus, sayangnya, terlalu panas dan Kabut tidak mau terbakar menjadi kepiting rebus di sana.

"Jadi semalam lo ehem-ehem, nih, sama Bangkit?" Marsha membuka obrolan sambil mengunyah sandwich ayamnya. Tidak pakai garpu, dia lebih suka menyantapnya dengan tangan.

Kabut tidak mau menjawab, sibuk mengunyah sandwich.

"Nggak pakai kondom, kan? Soalnya gue mau ponakan gemes dari kalian."

Sekali lagi Kabut tidak menanggapi, tetap mengunyah sambil memandang ke luar, terpesona dengan bunga-bunga yang bermekaran. Tentu saja tidak. Mereka melakukannya tanpa memikirkan alat kontrasepsi, sudah termakan hasrat yang tidak bisa ditahan.

"Gue yakin jadi, sih, kalau nggak pakai pengaman," goda Marsha. Belum puas kalau dia mendengar semua jawaban dari mulut Kabut. "Omong-omong, gue salut sama Bangkit. Setelah cerai sama lo, dijodohin sama siapa pun nggak mau. Dia bilang kalau bukan lo, dia nggak mau. Lo pakai dukun mana sampai Bangkit secinta itu?"

"Dukun, dukun. Dukun dari Hongkong! Dianya aja nggak waras cinta sama perempuan macam gue." Kali ini Kabut bersuara.

"Duh, gue benci kalau lo udah ngomong begitu." Marsha menggigit sandwich ayamnya yang tersisa sedikit lagi. "Nyam ... enak juga, nih, ayam." Melihat Kabut tidak merespons, dia menambahkan, "Oke, cukup intermezzo soal ayam. Lanjut omongan gue tadi, gue harap lo nggak berpikir seperti itu terus. Terlepas apa pun masalah di masa lalu, dia memang tulus mencintai lo apa adanya. Nggak ada alasan untuk Bangkit benci sama lo. Nih, gue ceritain satu hal penting yang lo nggak tahu."

"Apaan?"

"Bangkit nangis, lho, waktu perceraian kalian diputus. Dia nangis pas di dalam mobil mau pulang ke rumah, sopirnya yang cerita sama Om Trejo. Seumur hidup Om Trejo urus Bangkit, dia baru sekali itu denger anaknya nangis. Bangkit dari kecil, tuh, nggak pernah nangis makanya orang tuanya suka khawatir. Takut Bangkit nggak punya emosi atau psikopat. Tapi nggak, dia nangis setelah cerai. Dan hari itu lo tahu, kan, hari ulang tahunnya? Wah ... sedih, sih. Gue dengernya aja sampai ... wow. He loves you so damn much," bongkar Marsha.

Kunyahan Kabut terhenti. Tangan berada pada posisi yang sama dengan mulut, ingin menyuap sandwich, tapi mendadak batal.

"Dari cerita gue barusan bisa disimpulkan Bangkit tetap mencintai lo apa pun yang terjadi. Kalau menurutnya lo nggak cukup baik atau berarti, dia pasti berhenti mencintai lo dan membuka hatinya untuk yang lain. Tapi ini nggak. Kalau dia sebegitunya cinta sama lo, dia pasti punya alasan yang nggak bisa dipahami dan dimengerti gue, lo, atau pun orang lain. Gue harap lo mau berusaha memahami Bangkit. Bukan cuma lo yang terluka, dia pun sama," lanjut Marsha.

Kabut meletakkan garpu yang digunakan untuk makan di atas piring, tidak nafsu makan lagi. Sedangkan Marsha tidak berhenti mengunyah sampai potongan terakhir.

"Ya, kalau lo memang nggak mau rujuk, nggak apa-apa. Itu hak lo. Tapi seenggaknya kasih kesempatan untuk saling mengenal. Sepanjang jalan ternyata nggak cocok, ya, nggak usah rujuk. Kalau cocok lanjut cuma jangan bahas yang udah berlalu. Haram hukumnya," saran Marsha.

Kabut tidak mengatakan apa-apa, memilih menyeruput jus apelnya.

"Omong-omong, lusa mantan lo, kan, ulang tahun. Keluarga Adipranas rencananya mau kasih surprise dan mau kemah bareng-bareng gitu. Tapi masih belum tahu gimana. Soalnya masih cari orang yang pura-pura ngajak Bangkit pergi. Eh, eh, kenapa nggak lo aja? Lumayan, kan, bisa nginep bareng lagi!" Marsha mengambil tisu, menyeka tangannya yang kotor, lalu mengambil ponselnya. Tanpa pikir panjang dia mengirimkan pesan ke dalam grup yang dimaksudkan untuk surprise ulang tahun Bangkit. Iya, membawa nama Kabut sebagai tumbal sekaligus memperlancar kedekatan dua insan itu.

"Nggak, ah. Gue nggak enak," tolak Kabut.

"Yah ... gue udah info di grup suprise kalau lo yang ngajakin Bangkit. Sori, Beb..." Marsha nyengir.

"Hapus nggak!" omel Kabut.

Marsha cengengesan tanpa takut. "Nggak mau. Udahlah, terima aja jadi tumbal. Siapa tahu pergi berdua, pulang bertiga alias bunting."

Kabut berpura-pura akan melempar Marsa dengan garpu, sedangkan Marsha tertawa terbahak-bahak menikmati kejahilannya.

❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian🥰🥰🥰

Follow IG: anothermissjo

Kiw, keluarga Adipranas ini entar muncul semua di chapter-chapter selanjutnya wkwk lebih waras dari keluarganya Kabut nggak? Oh, jelas :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro