Cranky 10
Double update. Bonus ini dijamin bikin gemes👊
Inget, komen. Udah dikasih double update jangan pelit komen🙏 maaciw buat yang rajin komen❤
•
•
Rencana berlibur Kabut gagal gara-gara kabar neneknya masuk rumah sakit. Meskipun sudah menolak datang, Bangkit memaksa. Seperti biasa dengan cara menggendong dan memborgol tangannya. Cara yang sama dan mengesalkan. Mau tidak mau Kabut pulang ke Jakarta bersama Bangkit untuk menjenguk neneknya-yang menurut Kabut tidak perlu dijenguk. Neneknya tidak pernah menunjukkan kasih sayang dan suka terhadap Kabut. Setiap kali Kabut mencoba dekat, neneknya menjauh. Berbeda dengan sang kakek yang selalu menyambutnya dengan ramah dan tangan terbuka.
Kabut berdecak berulang kali. "Kenapa, sih, harus jenguk? Kalau nanti mati, ya, udah."
"Dia nenek kamu, lho. Jangan keterlaluan, Kabut." Bangkit mengingatkan.
"I don't care about her." Kabut memutar bola matanya tidak peduli. "Gue cuma doain kakek gue panjang umur. Kalau dia meninggal, gue bisa nangis darah. Kalau yang lain mau meninggal silakan aja, gue nggak peduli."
"Tolonglah, kamu tetap hargai. Mau bagaimana pun, dia nenek kamu. Behave yourself, Kabut," pinta Bangkit.
"Cerewet, ah!"
Kabut mempercepat langkahnya menyusuri lorong rumah sakit, meninggalkan Bangkit di belakang sana. Tidak peduli seberapa cepat langkahnya, Bangkit tidak pernah gagal mengejar. Dalam sekejap mereka sejajar dan berjalan bersisian.
Beberapa menit kemudian mereka sudah dekat. Dari jauh dapat terlihat bahwa di depan pintu utama masuk ke kamar inap VIP, terdapat beberapa orang anggota keluarga Sastromidjo. Sebenarnya selain malas bertemu neneknya, dia malas bertemu orang tua dan kakak-kakaknya. Kabut membenci mereka semua. Sialnya lagi, orang tuanya menoleh dan melihat ke arahnya.
"Kita jenguk nenek bareng. Kamu nggak harus tunggu di luar," ajak Bangkit, yang langsung menyadari tatapan keluarga Sastromidjo terhadap Kabut.
"Lo duluan aja," suruh Kabut.
"Nggak, kita bareng."
Bangkit khawatir Kabut akan diomeli keluarganya. Dia memang datang untuk menjenguk sebagai rasa hormatnya terhadap neneknya Kabut. Mengajak Kabut pun supaya ada temannya. Namun, dia tidak menyangka orang tua Kabut berada di tempat yang sama--berdasarkan informasi Traya sebelumnya, orang tua Kabut masih di luar, ternyata sekarang sudah kembali. Traya juga tidak mengabari hal ini.
"Ayo, temani aku." Bangkit menggamit tangan Kabut, menggenggamnya dengan erat supaya perempuan itu tidak takut. Untungnya Kabut tidak menolak.
Mereka melangkah bersama. Kabut tidak masalah ketika harus bersembunyi di balik tubuh Bangkit, membiarkan tangannya digenggam, dan membiarkan laki-laki itu menjadi perisai terbaiknya saat ini. Bangkit menyapa keluarga Kabut, berbincang sebentar, Kabut hanya mendengarkan.
Seusai basa-basi mereka melangkah menuju pintu utama-yang mana Traya sudah bersiap membuka pintunya dengan kartu akses yang dipegang-sebuah suara mendadak menghentikan langkah. Satu nama disebutkan sejelas mungkin.
"Kabut, sini dulu," panggil Handoko. "Papa ada perlu sama kamu. Biar Bangkit masuk duluan."
Kabut melepas tangan Bangkit, menggeser posisinya hingga dapat melihat sang ayah. Satu tepukan pelan pada lengan Bangkit mengisyaratkan sebuah kata yang tidak perlu diucapkan. Seolah Kabut meyakinkan Bangkit bahwa dia akan baik-baik saja bersama keluarga tercinta.
"Boleh Kabut ikut saya dulu, Pa?" tanya Bangkit.
"Nggak. Papa mau bicara sama Kabut sekarang," jawab Handoko dengan suara tegasnya.
"Udah sana. Gue tunggu sini nanti nyusul," suruh Kabut.
Bangkit was-was sendiri. Seharusnya dia menanyakan lagi pada Traya kapan tidak ada mantan ayah mertuanya. Bangkit salah langkah. Namun, dia tidak mau terlalu jelas ikut campur. Dia mengangguk pelan, mengambil langkah lambat untuk masuk ke dalam.
Baru saja Traya membuka pintu, suara tamparan yang sangat keras terdengar. Spontan Bangkit menoleh. Seperti biasa Handoko menampar Kabut dengan kekuatan penuh seolah sudah menyiapkan momen ini dari lama.
"Gila kamu, ya! Ternyata kamu buat ulah lagi selain banting piring itu. Nggak ada otaknya!" maki Handoko.
Untuk sekian kalinya Bangkit menjadi saksi tindak kekerasan itu. Bangkit memperhatikan Kabut, tampak tenang seperti yang biasa dilakukan perempuan itu sejak lama. Bangkit bergegas menghampiri.
"Pa, tolong jangan pakai kekerasan," pinta Bangkit.
"Tutup mulut kamu!" omel Handoko. "Kalau kamu bisa lebih keras dulu saat masih menikah sama Kabut, dia nggak akan terus berulah. Kamu terlalu memanjakan dia akhirnya dia jadi berandalan begini."
"Harusnya Papa senang, dong, anaknya berandalan padahal bapaknya jenderal," balas Kabut dengan berpura-pura tertawa.
"Anak ini, ya!"
Ketika Handoko hendak menampar kembali, Bangkit menahan tangan Handoko. Meskipun berhasil menghalau, seperti yang sudah-sudah, Handoko melampiaskannya pada Bangkit dengan menampar wajah Bangkit sekeras-kerasnya.
Kabut terkejut saat menyadari pipi Bangkit terluka. Ayahnya yang senang memukul itu memakai cincin berbatu besar. Cincin itu sering menjadi alat menyakitkan saat mampir di wajah dan bisa menggores pipi yang halus.
"Papa!" Kabut berteriak. "Papa mikir nggak, sih, Bangkit ini bukan anak Papa, kenapa ditampar? Papa tampar aja Kabut sepuasnya, jangan Bangkit kena melulu. Dia bukan menantu Papa lagi. Seharusnya Papa malu udah nampar anak orang sembarangan."
"Kalau begitu jangan selalu dibelain Bangkit. Kalau kamu merasa salah, maju sini." Handoko menatap lebih tajam seolah siap menghunus Kabut sampai dasar bumi.
"Pa," Bangkit menarik mundur Kabut ketika hendak maju. Dia berdiri dengan tegap, menahan tangan Kabut supaya tidak mendekati Handoko. "Saya tahu Kabut buat masalah, tapi mukul nggak menyelesaikan apa pun. Kalau memang Papa mau meluapkan kekesalan Papa dengan cara menampar, saya nggak masalah ditampar Papa, tolong jangan luapkan sama Kabut. Anak perempuan nggak seharusnya diperlakukan seperti ini."
Kata-kata itu membuat Kabut ingin menangis. Ayahnya selalu menampar, ibunya pun sama. Kakak-kakaknya tidak ada yang membela, terlalu takut dengan ayah mereka. Semua sepupunya pun tidak ada yang berani melawan. Di antara semua pengecut itu, ada satu orang yang selalu menolongnya. Iya, Bangkit. Mantannya itu rela kesakitan hanya untuk menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Baik dulu maupun sekarang.
"Hah ... sialan!" Handoko kesal dan menendang tempat sampah sampai jatuh dan menggelinding. "Kalau kamu nggak mau Bangkit gantiin kamu, bersikaplah selayaknya perempuan. Jangan berulah, Kabut. Lain kali kamu berulah, Papa pukul Bangkit. Jadi pikirkan lagi tindakan kamu, jangan malu-maluin keluarga." Kemudian, tanpa peringatan, dia menarik dan mencengkeram kerah kemeja Bangkit penuh ancaman. "Kamu urus dia baik-baik. Kalau berulah, kamu tahu sendiri akibatnya, Bangkit."
Handoko menarik tangannya, lalu beranjak pergi dari sana. Kedua kakak Kabut ikut pergi, begitu pula ibunya. Hanya tersisa Traya dan dua sepupu lainnya. Mereka membereskan tempat sampah yang ditinggalkan Handoko begitu saja.
"Are you okay? Pipi kamu sakit nggak?" Bangkit bertanya segera setelah berbalik badan sambil memeriksa pipi Kabut. "Syukurlah nggak merah. Seandainya sakit kamu bilang, ya."
"Bangkit," Kabut mengabaikan kekhawatiran itu. Dia menatap tajam sang mantan. "Sekali lagi lo belain, gue nggak mau tinggal bareng lo. Gue nggak akan kasih kesempatan untuk saling mengenal, gue akan benci lo juga seumur hidup. Gue serius."
Bangkit tercengang mendengarnya. "Aku cuma nggak mau kamu terluka, Kabut."
"Iya, tapi lo yang luka!" Suara Kabut naik beberapa oktaf. Sejak tadi dia sudah menahan kekesalan akan kelakuan sang ayah. "Lo harusnya ngaca pipi lo berdarah! Lihat, tuh, kemeja lo lecak gara-gara bokap gue."
Kesal yang tertahan membuat Kabut terpaksa memukul dada Bangkit, sekeras-kerasnya, berulang kali. Lambat laun pukulan itu melemah. Kening Kabut bersandar pada dada Bangkit. Tangannya yang sempat terayun, bertahan di dada Bangkit, berusaha untuk memukul lagi. Sayangnya, tenaga habis.
"Bangkit, please ... don't...." Kata-kata Kabut tertahan. Suaranya bergetar. Tangannya pun ikut gemetar.
Bangkit menurunkan tangan Kabut, merengkuhnya dalam pelukan lembut. Dia mengusap kepala Kabut, mengusap punggungnya, dan berbisik pelan. "It's okay, I don't mind at all. Kamu nggak perlu mikirin aku, yang penting kamu baik-baik aja."
Dan seperti inilah akhirnya Kabut merasa sulit. Setiap kali Kabut berusaha mendorong Bangkit, laki-laki itu malah semakin menariknya, mendekapnya, dan memeluknya. Seolah Bangkit tahu bahwa Kabut butuh sandaran.
❤❤
Akibat kejadian di rumah sakit, Kabut tidak jadi menjenguk neneknya dan memilih pulang. Setibanya di rumah Kabut langsung mengobati luka di pipi Bangkit dan menutupnya dengan hansaplast.
Kabut menatap wajah mantannya yang entah mengapa justru terlihat seperti bad boy. Kemeja lecak dan pipi diplester. Tinggal ditambah bibir pecah akibat berantem supaya semakin menguar aura bad boy-nya. Tunggu, tunggu. Kenapa masih sempat-sempatnya membayangkan wajah bad boy tokoh fiksi khayalannya di saat seperti ini? Memang, deh, Kabut selalu punya pemikiran di luar perkiraan BMKG.
"Lo butuh sesuatu nggak? Cokelat atau es krim mungkin? Biar gue ambilin," tanya Kabut.
"Nggak, kamu istirahat aja," balas Bangkit.
Kabut menaiki tempat tidur Bangkit, merebahkan tubuhnya pada sisi kosong sang mantan. "Gue temenin, deh, sampai lo tidur sebagai rasa terima kasih gue."
"Terserah kamu aja."
Bangkit ikut merebahkan tubuhnya di samping Kabut. Menatap langit-langit di atas sana sebentar, lalu menoleh ke samping. Kabut sudah memejamkan mata. "Good night, Kabut."
Kabut membuka kelopak mata, menoleh ke samping mendapati sang mantan sudah memejamkan mata. "Bangkit?"
"Ya?"
"Kira-kira kalau waktu itu kita punya anak, Papa bisa lebih baik sama gue? I mean, gue udah kasih dia cucu, pasti nggak bakal kasar lagi, kan?"
Bangkit membuka kelopak mata mendengar pertanyaan itu. Dia menoleh, melihat sang mantan menatapnya. "Bisa iya, bisa nggak. Nggak ada yang bisa prediksi."
"Ah, gue jadi penasaran. Apa beneran bikin anak, ya?" Kabut mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa aba-aba menduduki perut Bangkit. "Ayo, kita punya anak."
Bangkit pikir masalah anak ini sudah berlalu begitu saja, ternyata belum selesai. "Jangan aneh-aneh. Turun sekarang."
"Kenapa? Lo udah nggak terangsang lagi?"
"Nggak ada pengulangan. Lebih baik kamu turun sekarang daripada ngamuk besok pagi."
Kabut menatap dalam-dalam sang mantan. Dia sengaja menyentuh dada mantannya dengan tambahan usapan nakal nan menggoda. "Lo nggak mungkin udah mati rasa, kan? Masih nafsu sama perempuan, kan?" Selanjutnya, dia mengusap leher Bangkit, beralih mengusap leher belakang laki-laki itu, masih dengan tatapan penasaran.
"Cara kamu cari tahu aku terangsang atau nggak selalu unik, ya." Bangkit menahan kedua tangan Kabut. "Kamu tahu sendiri, kan, aku bukan tipe penyabar. Jadi tahan diri kamu sebelum kamu ngomel sendiri."
"Huh! Nggak asyik!" cibir Kabut.
Kabut menarik tangannya, bergerak mundur tanpa turun hingga bokong berhenti pada satu titik. Tempat di mana Kabut menyadari bahwa mantan suaminya masih terangsang dengan setiap sentuhan nakalnya. Tentu saja benda itu masih sama, tegangnya sama, kerasnya sama.
"Gu-gue mau balik ke kamar aja," ucapnya panik.
Ketika Kabut hendak turun, Bangkit lebih dulu membalik posisi mereka. Jika tadi Bangkit digoda-goda, sekarang Kabut berada dalam kungkungan Bangkit, dan tentu saja cukup mendebarkan. Bangkit menjadikan lengannya sebagai tumpuan agar tidak menindih Kabut.
"Nggak jadi mau punya anak, hm?" goda Bangkit dengan seringaian nakalnya.
Kabut diam memandangi Bangkit. Ya, Tuhan! Satu-satunya cara untuk melihat sisi ekspresif Bangkit hanyalah di ranjang atau tepatnya saat bercinta. Kalau hari-hari biasanya mah boro-boro. Dingin macam kulkas, jutek macam perempuan datang bulan. Melihat Bangkit menggodanya seperti ini, tidak mungkin dia menolak, kan? Kabut bukan takut bercinta, dia takut tidak mau cuma sekali.
Namun, melihat Bangkit tertawa dan mencubit pipinya, Kabut tahu laki-laki itu tidak mau melanjutkan.
"Lebih baik kamu tidur. Aku juga mu tidur."
Kabut menurunkan pandangan pada bagian intim sang mantan. "Lo mau tidur? Yakin? Dengan keadaan begitu?"
"Nanti juga reda sendiri. Udah, deh, kamu tidur aja."
"Bangkit," Kabut menahan lengan Bangkit saat laki-laki itu akan menarik diri. "I don't mind..."
Wajah bingung Bangkit berubah menjadi kaget saat Kabut melingkarkan tangan pada leher Bangkit dan menariknya hingga bibir saling bertemu. Kabut tidak mencium mesra, hanya sebentar untuk menjelaskan bahwa ciuman singkat itu memiliki banyak arti.
"Kabut," Bangkit mengusap wajahnya. Sebelum kegilaan semakin menguasai diri, dia perlu menegaskan satu hal, diucapkan dengan suara yang berat. "You better not run away tomorrow."
Kata-kata itu menjadi yang terakhir sebelum ciuman lainnya dilakukan. Berbeda dari ciuman Kabut sebelumnya yang sebatas mengetes, ciuman yang diberikan Bangkit bukan mengetes lagi. Sudah pada tahap antara melepas rindu dan tidak mampu menahan diri.
Kabut membalas ciuman itu tanpa menolak. Menerima sentuhan nakal yang mulai menjelajahi setiap inci tubuhnya. Setiap kulit mereka menempel, hasrat kian bertambah, seakan memaksa mereka untuk melakukan lebih banyak sentuhan-sentuhan nakal.
Malam ini akan lebih panjang dari biasanya. Lebih banyak hal yang perlu dilakukan.
❤❤
Jangan lupa vote dan komen kalian🥰🥰🥰
Follow IG: anothermissjo
Btw gaes, aku udah nulis ye di deskripsi ini 18+🙏 kalian pasti tau, beberapa novelku tuh dewasa wkwkwk jadi kalo ini dewasa ya emang dewasa🙏
Btw versi detailnya aku taro di Karya Karsa aja ya besok. Aku masukin sebagai additional part🤣🤣🤣🤣 maap gaes🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro