Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. About Me, Him, Her, and Me

Arabella tidak akan membahayakan nyawanya begitu saja untuk melihat Floyd, kekasihnya, membawa perempuan lain lagi di depan matanya. Tidak terhitung berapa kali -entah sengaja atau tidak- anak itu menggoda gadis-gadis muda yang ditemuinya. Kalau saja situasinya tidak seperti ini, Ara akan mewajarkan kelakuannya seperti biasa. Tapi, sekarang situasinya berbeda. Mereka ada di antara hidup dan mati, dan pria bajingan itu bisa-bisanya masih membawa perempuan lain di situasi seperti ini. Dan lihatlah, Arabella hanya bisa terduduk lemas dengan energi terkuras akibat pertarungan sengitnya kepada beberapa orang gila yang berusaha membunuhnya di mansion ini. Meskipun dua senjata yang dipakainya- panah dan katana-itu adalah senjata bagus, tapi tetap saja, Ara tidak memiliki cukup keterampilan dalam bertarung dalam tempo lama, memaksanya harus bersembunyi di sini. Sistem poin di game Court of Cull ini membuatnya gila. Bagaimana dia yang notabene seorang indigo yang tidak berkaitan sama sekali dengan kekuatan fisik dipaksa untuk bertarung tanpa henti? Perempuan itu harus menggunakan kekuatan indigonya dan bertarung tiap menit!

Setidaknya, Arabella harus mengucapkan terima kasih kepada keluarga Foster karena senjata milik keluarga ini sudah menyelamatkannya. Ia kemudian melirik panah dan katana putih yang ditemukannya di ruang keluarga mansion. Katana itu sudah berwarna merah darah seutuhnya. Perempuan itu tidak pernah menyangka, bahwa hiasan katana yang dia kira duplikat itu ternyata senjata asli, setiap ujung sisinya tajam dan sangat membantu Arabella mencincang musuhnya dengan cepat. Keluarga Foster memang benar-benar pionir, Arabella bisa mencetak banyak poin dengan senjata mereka

"Siapa wanita itu?" bayangan perempuan tiba-tiba muncul di depan mata Ara, membuyarkan lamunannya. Bayangan perempuan itu, sangat mirip dengannya. "Kenapa kau membiarkan jalang itu dekat-dekat dengan Floyd?" Nada bayangan perempuan itu meninggi. Ara hanya bisa menghela nafasnya kasar.

"Kenapa kau tidak melakukan apapun?"

Arabella hanya menggeleng lemah di depan 'teman' imajinasinya.

"I didn't have enough energy for that shit."

"Bukannya kau sangat mencintai Floyd? Kenapa begitu--"

"Aku hampir mati, Eve!" Arabella meninggikan suara dalam bisikannya. "Lalu kau menyuruhku untuk melabrak perempuan itu? Yang benar saja?! Aku kehabisan energi!"

"Jangan mendramatisir. Kau masih bisa berdiri. Lakukan saja."

Arabella mendengus, meskipun kelelahan, ia menuruti perkataan Eve untuk menghampiri Floyd. Dengan nafas yang masih terputus-putus, ia memeluk Floyd dari belakang, yang seketika memutus percakapan di antara mereka berdua.

"Ke mana saja kau?"

"Arabella... ada apa? Beristirahatlah dulu. Kau sepertinya lelah."

"Floyd sayang, dia siapa? Kenapa dia mirip Anna dari Frozen?" ia bertanya, mengabaikan permintaan Floyd dan dengansengaja meletakkan kepala dan telapak tangannya yang sudah tergores luka itu di dada bidang milik Floyd. Manik biru itu sama sekali tidak memalingkan pandangan di depannya. "Oh, dia Kasha Danvers. Aku menemukanya ketika dia hampir mati dibunuh pegulat. Aku membawa dia, karena mungkin saja dia berguna untuk membantu kita. Aku berhasil menemukan anggota baru yang hebat untuk tim kita," Floyd membawa tangan kanan Ara ke pipinya, dan mengecupnya lembut "Lihatlah, kau terluka."

"Oh, benarkah?" Ara tersenyum anggun. "Floyd sayang, tolong lepaskan pelukanmu. Aku ingin melihat 'anggota baru' kita." Mereka berdua kini berhadapan satu sama lain."Selamat datang di tim kami, Kasha, namaku Arabella Lievy, panggil saja Arabella. Aku indigo. " Perempuan dua puluh tahun itu menyodorkan tangannya pada Kasha, yang hanya dibalas dengan raut muka sinis yang jelas menempel pada muka anak itu. Dengan konotasi kasar, Kasha membalas, "Aku tidak tahu Floyd punya selera buruk. Apa kau kekasihnya?"

"Apa? Bukankah sudah jelas? kami daritadi sudah memamerkan kemesraan di depanmu. loh." Ara menaikkan alisnya. "Jika kau berbicara tentang penampilan, lihatlah bagaimana penampilanmu sendiri saat ini, sayangku. Oh, satu lagi. kita sudah bertunangan, Kasha. Aku dan Floyd akan menikah. Jadi, sepertinya tidak etis saja mengatakan tunanganku memiliki selera buruk." Arabella menekankan setiap perkataannya itu, dan menunjukkan cincin di jari manisnya.

Kasha hanya bisa menatap marah. Emosinya benar-benar dibuat meluap oleh perempuan yang lebih muda darinya itu. Lebih menyebalkan lagi, Pernyataan Arabella memang benar. Penampilan Kasha jauh lebih acak-acakan dari Arabella yang hanya tergores sedikit di pergelangan tangan dan beberapa bagian tubuhnya.

"Floyd, bagaimana kamu bisa menemukan anak ini?" Arabella menoleh ke arah Floyd. "Apa kau yakin dia akan berguna? Maksudku, lihatlah, dia terluka. Dan juga, dia hampir mati, kan?"

"Bagaimana bisa kau tahu bahwa dia hampir mati, Ara?" Floyd menaikkan alisnya, lalu tertawa kecil mengetahui fakta bahwa yang dikatakan Arabella memang terbukti adanya.

"Bajunya saja sudah terkoyak seperti itu." Arabella tersenyu,

"Hei, jaga ucapanmu! Aku lebih mampu dari yang kau kira!"

"Kalau begitu, setidaknya buktikan, bahwa kau berguna." Arabella memegang pipi Kasha dengan erat.

"Lepas!"

"Wah, para gadis ini sudah akrab rupaya," Floyd memecahkan keributan di antara mereka berdua. "Kasha, kau setidaknya harus diam di sini dulu. Rawat lukamu itu, sebelum kita pergi lagi." Floyd kemudian menggandeng tangan Arabella, mengajaknya untuk keluar.

"Floyd, kau mau kemana?" Kasha meninggikan suaranya.

"Doing our couple 'things'."

***


Malam ini, hujan dengan gemuruh petir yang keras menghiasi mansion keluarga Foster, menambah kesuraman dan kengerian tempat ini. Arabella menatap dirinya di cermin kamar mandi. Anak itu, ia sudah kehilangan jiwa kehidupannya empat tahun lalu. Semenjak kejadian 'itu' , kejadian yang membuat Floyd berubah menjadi seseorang yang berbeda, dengan Floyd yang dia kenal. Ara mengusap wajahnya menggunakan air dengan keras.

Kasha-anak itu, dia kasihan padanya. Dia terjerat dalam dekapan Floyd. Just like the other girls. Arabella menggigit kukunya. Dia harus memberitahu Kasha secepat mungkin tanpa Floyd ketahui. Kasha harus segera enyah.

"Kau mau menolong anak itu? Kau yakin?" Eve muncul kembali di hadapan Arabella.

" Bukannya kau mencintai Floyd sampai jadi gila?"

Ara hanya bisa terdiam ketika Eve mengatakan hal itu kepadanya

"Dengar, kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita berdua sama, termasuk dalam memiliki perasaan kepada orang yang sama juga. Aku tahu semua yang kau pikirkan." Eve memegang pipi Arabella.

"Tapi ingatlah siapa yang lebih dominan akan tubuh ini, Eve. Kau hanya manifestasiku saja." Arabella menepis tangan Eve.

"Kenapa kau tiba-tiba begini? Apa kau takut aku akan menggagalkan rencanamu itu? Apa kau takut aku akan mengakuisisi tubuhmu perlahan?"Eve tersenyum tipis dalam bayangannya.

Ara yang sudah akan pergi, langsung membalikkan badannya. "Apa yang kau-"

"Kau adalah aku. Dan aku adalah kau." Eve langsung menghilang, meninggalkan Ara dalam kebingungan. Eve, dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Hasil manifestasinya itu juga berbahaya. Ara harus segera mengurus 2 orang sialan itu secepatnya.

Ara kemudian berjalan menuju balkon, tempat di mana Floyd dengan santainya menghisap rokok di tengah kekacauan yang sedang terjadi. Floyd, dia berbahaya. Perempuan itu menghela nafasnya sembari bergetar, lalu pergi memeluk Floyd dari belakang. Yang dipeluk hanya mengeluarkan nafas teratur sembari tersenyum tipis.

"Dari mana saja kamu?"

"Floyd." Arabella mengabaikan pertanyaan Floyd barusan.

"Hm?"

"Berjanjilah kau tidak meninggalkanku."

"Aku berjanji," Floyd berbalik, kemudian memeluk sembari mengecup pipi Arabella. "Aku sudah mengatakannya tadi."

"Soal Kasha." Arabella menarik diri dari pelukan Floyd.

"Kau cemburu?"

Arabella hanya mempautkan bibirnya.

"Iya."

"Aku hanya mencintaimu, sayang. Jangan cemburu seperti itu."

"Ah!" Arabella tiba-tiba merintih, kepalanya serasa berputar-putar. Sialan, dia akan mendapatkan pengelihatan baru.

"Kau memang pantas mati, Floyd!"

Seorang perempuan? Kenapa dia menodongkan senjatanya kepada Floyd?

Ah, rupanya dia. Arabella sudah bisa menduganya.

"FLOYD! BAJINGAN KAU!"

Dan pandangan itu memudar.

"Arabella, kau tidak apa-apa?"

"Mhm. Iya."

Apapun yang terjadi, Arabella tidak boleh mengatakan ini pada Floyd. Floyd tidak boleh tahu. Jangan sampai rencananya-

"FLOYD! KAU AKAN MATI DI TANGAN JALANG ITU!" Arabella mengeluarkan suaranya dengan lantang, suaranya memekik di tengah kegelapan malam.

Bangsat. Apa yang baru saja ia katakan? Arabella-ia sama sekali tidak mengatakan itu! Atau mungkin, yang mengatakannya adalah... Eve?

"Floyd, aku akan kehilanganmu. Aku tidak mau itu! Floyd, kau akan terbunuh oleh wanita jalang itu! Aku tidak mau-"

Eve bajingan! Kenapa dia mengambil alih tubuhnya? Sejak kapan dia bisa melakukannya tanpa seizin anak itu?

"GRRRRAH! AH!" Arabella mencekik lehernya sendiri.

Eve harus keluar dari tubuhnya sekarang juga!

"Arabella!"

"Uhuk-uhuk, Ah!" Arabella terjatuh, dan langsung ditangkap oleh Floyd. Kepalanya berputar tujuh keliling. Dia berusaha menggerakkan jemarinya untuk memastikan bahwa Eve sudah tidak memiliki kontrol pada tubuhnya

"Arabella, kau tidak apa-apa?" Floyd membantu Arabella berdiri

Arabella menggeleng. Nafasnya memburu akibat hantaman energi dan emosinya yang meluap-luap kepada Eve.

"Tidak apa-apa. Hanya saja, energiku tersedot terlalu banyak saat melakukan pengelihatan tadi."

"Apa yang kau katakan? Ada apa, kau melihat pengelihatan baru?"

Eve bajingan, sialan. Sumpah serapah terus keluar dari dalam batin Arabella. Kini, dia harus memutar otak lagi untuk menyusun rencana baru.

"I-iya, Floyd. Aku mendapatkan pengelihatan baru." Arabella hanya bisa mengangguk lemah kepada Floyd yang menatapnya khawatir.

"Ceritakan itu nanti." Floyd membawa Arabella, menuntunnya duduk di sofa. "Jangan khawatir. Apapun gambaran yang kau lihat... aku akan melindunginya."

Arabella terdiam. Tidak menghiraukan sumpah manis Floyd yang sudah bosan didengarnya itu. Dia hanya tertegun sekaligus ketakutan mengetahui fakta bahwa Eve sudah berhasil memasuki raganya tanpa seizinnya. Eve sudah gila.

"Ara-"

"Jangan pergi, Floyd."

Ya, benar. Seperti ini dulu saja, ikuti alurnya.

"Jika kita berjauhan, aku bisa mati." Ia meremas baju yang tengah dikenakan kekasihnya. "Aku serius. Lindungi aku, Floyd."

Arabella tidak berbohong. Dia bisa mati sungguhan. Eve akan menghancurkan semua rencana yang sudah dia tata dengan rapi jika Floyd berada terlalu jauh darinya. Tidak bisa, tidak bisa seperti ini. Semua harus berjalan sesuai rencananya.

"Akan kupastikan kau aman, Ara. Tidak kuizinkan para karakter sampingan itu menyentuh bahkan sehelai rambutmu." Floyd mengecup tangan Arabella, lalu memeluk tubuh ringkihnya itu. "Tidak akan, Ara."

"Eum, Floyd, haruskah kita keluar?"

Arabella melepaskan pelukan Floyd yang mengerat itu.

"Aku pergi duluan saja, Floyd." Arabella mengeratkan katananya. Ia bersumpah, energinya sudah terkuras habis. Tetapi mau bagaimanapun Arabella harus tetap maju, agar dia bisa hidup.

"Kau.. yakin?"

"Iya. Siapkan dulu peluru dalam pistolmu untuk pertarungan berikutnya."

Di samping pintu, Arabella sudah disambut dengan Kasha yang langsung tampak salah tingkah karena berniat membuka kenop pintu balkon yang ada di depannya. Ia menaikkan alisnya.

"Kasha-"

"Aku baru akan pergi dan mencari kalian ketika kau tiba-tiba keluar dari sini," Kasha memalingkan pandangannya. " Di mana Floyd? Aku harus pergi sekarang. Aku tidak tahan melihat kalian berdua melakukan perbuatan tidak senonoh di tengah-tengah pertumpahan darah begini."

"Katakan saja padaku jika kau ada perlu, Kasha." Arabella mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Dia harus memberitahu Kasha.

"Kasha,"

"Ada apa sekarang? Ke mana sifat angkuhmu beberapa jam lalu itu?"

"Berhati-hatilah, dan lari. Larilah sejauh mungkin kau bisa dari kita berdua."

Yang dimintai pergi hanya bisa mengangkat alisnya.

"Apa kau secara tidak langsung memintaku pergi dari Floyd?"

"Kasha, aku serius-"

"Wah, ini gila. Tiba-tiba aku tidak ingin meninggalkan kalian berdua," Kasha mendesis, kemudian berjalan ke arah Arabella dan menarik kostumnya. "Jadi begitu. Kau mau mengusirku? Coba saja, kalau kau bisa. Kita lihat, siapa yang akan Floyd pilih nanti, dia akan memilihmu," Kasha menunjuk ujung hidung Arabella. "Atau aku,"

"Ada apa ini? You two fighting over me?" kemunculan Floyd yang tiba-tiba seketika membuat rahang Ara menegang.

Kasha tolol. Kenapa dia tidak mau mengerti?

"Mau apa kau, Kasha?"

"O-oh," Kasha menatap Floyd. Pipinya langsung memerah begitu melihat lelaki itu. "Aku berpikir akan pergi duluan," Kasha menggaruk lehernya.


"Kenapa begitu? Aku kan sudah bilang, kita ini tim, Kasha." Floyd mengangkat satu alisnya.


Kenapa kau masih megikuti mereka berdua?Apa untungnya kau berada di sini?

Dalam hati, Kasha merutuki dirinya sendiri yang dengan mudahnya terpengaruh tipu daya Floyd dan provokasi Arabella. Kasha merasa dia sama sekali tidak memiliki untung berada di tim yang dua diantara tiga orangnya saling memadu kasih dan terus lengket bagaikan lem pembasmi hama itu. Berada di tim ini hanya berbuah sakit hati saja. Kasha bahkan tidak mengenali mereka selain nama lengkap saja. Asal-usul mereka, latar belakang keluarga mereka-bagaimana bisa Kasha 'menyerahkan nyawanya' dengan mudah seperti ini?

Kasha kemudian melirik perempuan berkulit kuning langsat yang ada di depannya itu. Kalau boleh jujur, Arabella memiliki aura yang sama sekali tidak bisa ia baca. Sejujurnya, Floyd juga seperti itu. Namun untuk Arabella-anak itu bisa terlihat tenang dan santai, kemudian berubah panik dan khawatir dalam waktu yang bersamaan. Ia seperti dua orang yang berbeda dalam satu waktu. Arabella memang cantik, pantas saja Floyd keranjingan padanya. Namun, di manik mata birunya itu, ia seperti menyembunyikan sesuatu.

Sesuatu yang gelap dan mengerikan.

Kasha kemudian menggelengkan kepalanya, merasa merinding ketika dia berada dekat dengan perempuan ini. Pikiran-pikiran mencurigakan Kasha tentang Arabella ditepisnya segera, dengan membawa pemikiran baru bahwa memang semua aura indigo seperti itu, aneh dan menyeramkan.

Ketiganya berjalan dengan diam, tenggelam dalam masing-masing lamunan di koridor gelap nan mencekam ini, sebelum rentetan tembakan beruntun mengejutkan mereka.

"BERLINDUNG SEMUANYA!"

Floyd dan Kasha dengan cepat menghindar dari tembakan itu. Arabella yang tenggelam dalam lamunannya ketika refleks berlari dan menghindar seketika tersadar, bahwa ia terpisah dari mereka berdua.

"OH AYOLAH! AKU KELELAHAN!" Arabella mengucek kepalanya frustasi. Mentalnya yang sudah gila itu menjadi semakin gila saja ketika berada di tempat ini. Anak itu kemudian menghembuskan nafasnya marah. Dengan terpaksa, ia berjalan sendiri, menyusuri koridor gelap yang hanya bersinarkan cahaya rembulan itu sendirian. Sekujur tubuhnya tiba-tiba merasa bergidik.

Ini terlalu tenang, ada sesuatu yang tidak beres di sini.

Arabella berlari kencang, dan langsung menghindar ke arah kanan, ketika sebuah kapak tepat melayang ke arah kiri.

"Hyah!" Anak itu langsung menghindari tonjokan keras dari pria besar di depannya, dan mengayunkan katana putih keluarga Foster itu.

"Kau harus terus berada di samping Floyd, agar dia tidak mengambil alih tubuhmu sepenuhnya. Floyd yang cepat memahami perubahan sikapmu itu bisa saja cepat tahu bahwa Eve yang mengambil alih. Dan Eve tidak bisa semena-mena dengan tubuhmu."

"Ayah!"

"Huh?" kilatan pandangan itu seketika membuat ayunan katana Arabella meleset. Perempuan itu memegangi kepalanya, Apa yang terjadi? Kenapa sakit kepalanya muncul lagi?

"Mereka yang sudah membunuh keluargamu."

"Aku mencintainya!"

"Jangan terlalu banyak menggunakan 'dia' dalam perkelahian. Kau sama saja memberikan jiwamu untuk dimakan. Aku tahu, Arabella adalah orang yang lemah. Suatu kejanggalan bila dia bisa bertarung dalam waktu singkat."

"Dia gila, dia berbicara sendiri."

"Perempuan sepertimu terlalu lemah untuk menjadi pewaris tunggal."

"Halo, aku Eve. Kita akan berteman mulai sekarang."

"Eve..."

"Eve-"

"Nak. Siapa itu... Eve?"

"AAAAARGH!"

Arabella terduduk lemas. Kepalanya semakin nyeri. Pria berbadan besar itu menyeringai, dan mulai mengayunkan kapaknya.

"Akhirnya. AKHIRNYA AKU PUNYA MANGSA!"

"Coba saja," perempuan itu masih memegangi kepalanya. Dengan perlahan, ia menatap pria itu dan tersenyum. "Bunuh aku, kalau kau bisa."

"BAJINGAN! KAU MERENDAHKANKU?!"

Ayunan kapak itu mengarah semakin cepat ke arah Arabella. Perempuan itu hanya bisa menutup matanya, pasrah dengan semua ini. Persetan dengan rencananya, persetan dengan 'perjanjian' yang pernah dia buat.

"Arabella bajingan! Kau mau apa?!"

"Aku yang asli, Eve."

"Kau melanggar janji kita!"

"Dan kau pikir aku peduli?"

"Arabella!"

"Yang kau lakukan barusan, kau akan mengambil alih ragaku, kan?" Arabella tersenyum.

"Biarlah kapak itu yang menentukan, siapa di antara kita yang memiliki kuasa penuh atas tubuh ini."

DOR!

Arabella membuka matanya.

DOR! DOR!

Rentetan tembakan keluar dari sebuah pistol dengan pemilik lelaki yang tidak dia kenali. Seluruh badannya bergetar ketika menyadari bahwa ia hampir saja menyerah dan membunuh dirinya sendiri, lagi.

Bayangan pria itu semakin mendekat kepadanya.

"Tolong, jangan sakiti aku."

"Hei, kau tidak apa-apa?"

"ARABELLA!" Sebuah suara pria lainnya menggaung di koridor mansion.

Ara hanya bisa mengangguk lemah, sebelum matanya tertutup sepenuhnya.

***


Arabella terbangun di sebuah ruangan serba putih.

"Di mana aku?"

"BAJINGAN!"

Tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi Ara, menjadikan kulit kuning langsat itu berwarna merah seketika.

"Kau! Apa yang kau lakukan kepada kita berdua?" Eve mencengkeram leher Arabella.

"Ahk! A-aku yang a-asli!" Arabella memegang erat tangan Eve yang kini bisa diraihnya itu.

"Kau ini bajingan yang keras kepala, rupanya." Eve menyeringai. "Kau mengatakan bahwa kau adalah pemilik asli tubuhmu? Baiklah. Sekarang lihat." Eve melepaskan cengkeraman di leher Arabella dan memindahkan cengkeraman itu di pipi, memaksa Arabella untuk melihat sesuatu yang ada di layar yang entah darimana datangnya itu. "Lihat, apa yang bisa aku lakukan padamu."

"Floyd--"

"Ara!"

Bukan, dia bukan Ara. Floyd, sadarlah! Tubuh Arabella menggelinjang dengan keras. Membuat Floyd-bahkan Kasha ikut panik melihatnya

"Floyd, ke mana saja kau?! Kau meninggalkanku lagi! Kau-aku kira kau sudah mati!" Ia mulai terbangun, matanya nyalang, menatap Floyd lekat-lekat.

"Ara, tenanglah. Aku baik-baik saja, Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja." Floyd mengecup puncak kepala Arabella. "Semua akan baik baik saja, dear. Aku takkan mengingkari janji."

"Berjanjilah, sayangku. Jangan meninggalkan aku lagi seperti ini!" Suara Ara semakin meninggi dan terdengar seperti desahan sekarang, sengaja membuat perempuan asing yang ada di depan mereka semakin panas membara hatinya. "Kumohon, jangan jauh-jauh dariku." Arabella-atau sekarang Eve-saat ini menolehkan pandangannya secara penuh ke arah wanita itu.

"Kenapa gadis itu harus ada di antara kita?" ia menunjuk Kasha. "Barangkali dia menarik bagimu. Selain memesona, ia juga cerdas dan cekatan." Eve mengeluarkan nada sinisnya. Dengan seduktif, ia membelai dada bidang Floyd. "Hanya dengan kegilaanmu dan pengelihatanku. Jadi, mengapa dia tidak dibuang saja?"

"Buang dia, Floyd. Dia tidak berguna."

"EVE! PERGI KAU DARI TUBUHKU!" Suara Arabella bergaung dengan keras di telinga Eve.

"Excuse me?" Kasha, yang merasa dia tidak melakukan kesalahan apapun terhadap Arabella kemudian meninggikan suaranya.

"Buang, Floyd... singkirkan dia..."

"Hei, kau piker kemampuan prekognisimu itu hebat?" Kasha bangkit dari duduknya. "Padahal jika ketombe yang kau sebut otak itu sedikit saja dipakai, mustahil dirimu nyaris terpenggal!"

Eve sudah siap melontarkan kata balasan, ketika Arabella dengan paksa jiwanya, membuatnya keluar dari raga sang pemilik.

***


"Ah..." Arabella membuka matanya. Tubuhnya sudah berada di ruangan yang remang-remang, dengan badannya tidur di atas ranjang.

"Arabella, sayangku." Floyd langsung berangsur mendekati Arabellla, membantunya duduk di ranjangnya.

"Di mana- di mana Kasha?"

"Dia pergi, mencarikan obat untukmu."

"Ah." Arabella mendesah lagi. Seluruh netranya masih berkunag-kunang.

"Kau tadi mengigau. Kau membuat Kasha marah besar tadi." Floyd menceritakan semua kejadian yang membuat darah Kasha mendidih.

'Eve, she really fucking did it.' Arabella membatin, kemudian mendengus.

"Memangnya, apa yang kukatakan?" Arabella berusaha menarik nafasnya yang tiba-tiba sesak.

"Kau meminta anak itu untuk pergi."

"Oh," Arabella mengangguk. "Aku harus meminta maaf padanya begitu dia kembali."

"Arabella," Floyd menatap Arabella lekat-lekat. "Kau jadi sangat aneh seharian ini."

Rahang Arabella seketika menegang.

"Maafkan aku. Aku harus bertarung dan menggunakan kekuatan indigoku. Aku juga bertemu banyak roh yang mati penasaran. Mereka- mereka terus menghantuiku-"

"Lupakan soal itu," Floyd memotongperkataan Arabella. "Aku lebih tertarik kepada topik soal pengelihatanmu tadi.Ceritakanlah, siapa yang akan membunuhku?"

Part ini ditulis oleh dalam sudut pandang karakter Arabella Lievy.

______________

Arabella Lievy

Umur: 20 Tahun
MBTI: INTP/ENTJ
Status: Pasangan Floyd

Kostum Arabella.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: