Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Scarlet Eyes

"Ich hasse dich, Papa."

Empat kata itu Keith rapalkan terus-menerus bagaikan mantra, yang sayangnya tak punya kuasa untuk mengubah keadaan. Pesta yang sejak awal sudah merupakan mimpi buruk baginya kini sukses menjadi bencana besar. Jeritan panjang di tengah acara seolah telah melenyapkan logika dan hati nurani semua tamu undangan.

Di sekeliling lelaki itu, hanya ada sekumpulan spesies bernama manusia telah menjadi liar layaknya serigala yang tak pernah makan berhari-hari. Pengumuman tentang permainan saling membunuh yang menggema beberapa menit sebelumnya berhasil memengaruhi setiap sel-sel saraf mereka. Hingga tanpa pikir panjang memburu sebagian tamu lain berlari seraya menjerit panik dengan suara serak.

Keith pun seakan telah kehilangan enam puluh persen kegeniusannya gara-gara insiden tak terduga ini. Ketika terdengar pekikan melengking dari dalam mansion, pemuda itu lekas kembali masuk didorong rasa penasaran. Mencoba berjalan melewati kerumunan yang memadati satu titik, tetapi gagal.

Pasangan pemilih mansion, Tuan dan Nyonya Foster, telah terbunuh. Itulah yang dia dengar dari percakapan orang-orang di sekitarnya. Informasi sekecil itu sungguh tidak ada gunanya jika dibandingkan dengan apa yang harus dia alami selanjutnya.

"Berjuanglah menjadi yang terbaik dan berdiri di puncak!"

Gema pengeras suara itu perlahan ditelan keheningan, kemudian berganti dengan suara-suara kencang yang saling tumpang tindih. Bagai hewan buas yang mengeluarkan cakarnya, para tamu undangan lekas mengeluarkan senjata masing-masing. Melirik dengan mata berkilat ke arah orang-orang di dekat mereka.

Tidak. Bukan kilatan marah, benci, atau semacamnya. Melainkan kilat ketakutan. Sang akhir begitu dekat, hingga yang tersisa dalam benak hanyalah hasrat untuk tetap bertahan. Kekhawatiran akan hilangnya hak atas masa depan. Saat ini, siapa saja rela menjadi asisten malaikat maut, asalkan diberi kesempatan.

Mereka ingin tetap hidup, sesederhana itu.

Keith yang sibuk oleh pikirannya sendiri untuk beberapa saat terlambat memahami situasi. Saat tersadar, dirinya sudah terseret sampai ke tengah-tengah aula oleh sebuah kelompok yang mencoba menyelamatkan diri. Kelompok yang merasa tak mampu mengimbangi hasrat membunuh dari tamu lain yang tengah menggila.

Bau amis darah mulai tercium pekat di mana-mana. Keith yang sejak awal tak tahan dengan kerumunan dalam jumlah besar mulai merasa sesak. Dengan kepala pusing ia berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. Kewaspadaan pemuda itu menurun drastis. Ia bahkan tak bisa menjaga keseimbangan ketika tak sengaja bersenggolan dengan seseorang terhempas ke arahnya.

Tubuhnya membentur lantai cukup keras. Dengan penglihatan buram, ia melihat sebuah kapak tengah menyasar kepala. Keith lekas mengumpulkan sisa-sisa tenaga, segera berbalik badan lalu bangkit sebelum terinjak.

Pria berkostum monster Frankenstein yang membawa kapak tadi seakan memilih melupakan Keith. Dia menyerang dengan membabi buta. Kapak diayunkannya sembarang sampai mengenai seorang tamu yang lengah tepat di bagian leher, membiarkan dua lainnya berteriak kesakitan di lantai kala lengan mereka terputus dari tempat seharusnya.

Keith terbelalak. Ini tidak seperti permainan di komputer. Jika kalah, tidak akan ada menu new game.

Dua tembakan dilepaskan pemuda itu usai membuang ragu. Satu meleset, ia tidak peduli. Yang penting satu lagi berhasil mengenai si monster Frankenstein hingga terkapar di atas mayat korban dari serangan kapak barusan.

Cipratan darah yang mengenai wajahnya masih terasa hangat. Tangan yang menggenggam pistol di balik jubah hitamnya sedikit gemetar.

"Terlepas dari semua itu, kita hanyalah bagian tak berguna dari masyarakat."

Kalimat gadis bersurai gelap yang ia temui di balkon tiba-tiba terngiang, walau sang pemilih suara kini raganya entah terseret ke mana.

"Aku memang tak berguna. Hanya pembunuh yang tak punya harapan."

***

Setiap kali terbayang wajah orang yang menyebabkan dia terlibat dalam kekacauan ini, Keith rasanya ingin membenturkan kepala ke tembok. Ia benar-benar muak. Ketika ratusan orang penghuni sisi gelap internet saling menumpahkan darah di mansion yang bising oleh suara ombak, pria itu mungkin kini sedang duduk. Ditemani secangkir kopi, memikirkan hukum mana lagi yang akan dilanggarnya untuk meningkatkan profit.

Undangan menghadiri pesta ini sesungguhnya ditujukan bukan untuk Keith – yang sesekali keluar masuk darkweb hanya untuk keperluan riset. Melainkan kepada Karl Dietrich, pemilik perusahaan senjata ilegal yang kebetulan adalah ayah kandungnya. Sosok yang telah mendesaknya memenuhi undangan.

Sama seperti ketika dia menyerahkan seluruh masa mudanya untuk menciptakan puluhan desain senjata dengan teknologi paling mutakhir, kali ini ia tak punya pilihan selain menggantikan posisi sang ayah.

Pria yang Keith panggil Papa itu selalu menyembunyikan kelicikannya di balik tampang bijaksana. Karl punya sejuta cara untuk membuat orang lain bekerja demi tujuannya, lalu menyingkirkannya ketika sudah tak berguna. Seakan-akan cukup dengan sebuah jentikan jari, dia bisa membunuh orang itu tanpa mengotori tangannya. Bahkan meski itu adalah istrinya sendiri.

Sehingga, menolak hanyalah jalan pintas bagi Keith untuk menemui malaikat maut.

Harus diakui, ide soal permainan saling membunuh ini benar-benar buruk. Entahlah, sudah segila apa para pihak penyelenggara. Kalau meminjam istilah dari Aruna, mereka benar-benar tidak ada bedanya dengan ikan-ikan kecil yang melahap umpan dari pemancing misterius.

Namun, sayang sekali. Selain kematian, sepertinya tidak ada cara lain untuk bisa terbebas dari kegilaan ini. Bahkan, tidur pun tak bisa menjadi penggantinya. Di tengah malam, ketika laki-laki itu baru dapat terlelap, seruan-seruan cemas tiba-tiba saja muncul.

"Hei, Keith. Cepat bangun!" Suara Dom terdengar keras berkali-kali, merusak ketenangan tidurnya. "Kau jangan berpura-pura mati di saat seperti ini," ujar pria berkostum Sherlock Holmes itu sembari mengguncang-guncangkan bahu Keith.

Keith mengerang pelan. "Lima menit lagi," ujarnya malas setelah gagal membuka kelopak mata yang terasa lengket. Wajar saja. Terhitung dari sejak ia terlelap, ini masih kurang dari tiga puluh menit. Sangat jauh dari kata cukup.

"Jangan bercanda! Bantu aku mencari Aruna. Anak itu menghilang lagi," papar Dom singkat dengan raut wajah yang sekilas mulai menunjukkan rasa frustrasi.

Pemuda itu menguap lebar hingga matanya berair, memaksa dirinya untuk duduk. "Tunggu saja. Paling-paling dia pergi ke toilet. Sebentar lagi pasti kembali." Jika kemarin hanya irisnya yang berwarna merah, sekarang hampir seluruh bola matanya ikut berwarna merah.

Mencari Aruna? Menemukan senjata rahasianya yang–sepertinya–terjatuh di aula saja dia sedang tak ada minat.

Dom mengusap wajah yang terasa kebas, menghela napas panjang. Adik perempuan yang keras kepala dan tidak mau diatur, serta pemuda pemalas yang entah kenapa bisa tidur nyenyak di tengah kekacauan. Mengapa anggota timnya tidak ada yang beres? "Pergi ke toilet di situasi begini sama saja dengan pergi ke alam sana." Sekali lagi dia mendengar penolakan, Dom bersumpah akan mencekiknya sampai insaf.

Namun, demi mendengar kata "pergi ke alam sana", Keith lekas berdiri tanpa perlu disuruh dua kali. Memeriksa pistol yang tersembunyi di balik jubah hitamnya. Meski tenaga belum pulih, ia berjalan menuju pintu keluar di mana Dom berdiri menunggu.

"Kita berpencar. Aku ke arah sana, kau cari ke arah selatan." Keith mengangguk patuh. Usai melihat Dom berjalan menuju arah yang dimaksud, dia lekas mengendap dengan pistol dalam posisi siaga.

Beruntungnya koridor benar-benar tampak lengang. Sehingga, Keith hanya perlu berhati-hati melewati mayat yang bergelimpangan, bukannya berhadapan langsung dengan orang gila yang akan membuatnya menjadi salah satu mayat di sana.

Beberapa jam telah berlalu. Mungkin seperempat, sepertiga, atau malah setengah dari tamu undangan sudah tereliminasi. Seharusnya menemukan gadis dengan pakaian berwarna mencolok tidak begitu sulit.

Aruna, gadis yang lebih muda beberapa tahun darinya itu sebelumnya bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang gadis tertutup yang cukup lihai dalam menggunakan senjata hasil produksi negara kelahirannya. Hanya gadis dengan tatapan misterius yang lebih memilih menghabiskan waktu di balkon selama berlangsungnya pesta. Ya, siapa yang akan menyangka seorang Keith yang tak pernah tertarik untuk berpacaran akan merasa terikat dengan Aruna begitu cepat.

Terlepas dari ketertarikannya yang tak wajar terhadap senjata, Keith melihat hal lain dari gadis itu. Aruna melihat dunia dengan cara yang berbeda, menunjukkan sudut pandang yang selama ini tak terpikirkan olehnya.

Cara berpikir yang entah mengapa malah mengingatkan ia pada hantu masa lalunya.

Keith tak tahu masalah apa yang senantiasa menggerayangi kepala Aruna. Namun, ia tak bisa menafikan kenyataan bahwa ada sebagian dari dirinya yang menjerit setiap kali Aruna mencoba mengakhiri hidup di hadapannya. Menangis histeris seperti anak berumur empat tahun yang untuk pertama kalinya mencium bau mesiu, melihat cipratan darah.

"Aku tak pantas ada di sini. Tidak ada yang menginginkanku untuk hidup."

Pemuda itu terkesiap. Suara itu terdengar begitu nyata. Serupa dengan bayang-bayang seorang wanita yang muncul secara tiba-tiba, berdiri membelakangi cahaya bulan purnama dengan moncong pistol menempel di pelipis. Wanita yang telah dimanipuasi Karl hingga memilih bunuh diri.

"Mama?!"

Kepalanya berdenyut nyeri. Keith meringis menahan sakit. Hantu masa lalu itu tidak hanya menyakiti mental, tetapi juga fisiknya. Seakan semua itu baru terjadi kemarin sore.

"Aku tak pantas jadi mamamu, Keith!"

Dor!

Beruntung Keith masih sempat mundur selangkah. Menghindari tembakan dari dunia nyata yang mencoba mengincar pelipisnya. Namun, tanpa diduga. Dari balik punggungnya, muncul seorang pria dengan senyum licik tergambar. Mengunci gerakan Keith dengan kedua tangan kekarnya.

"Ups, maafkan aku, Sayang. Tembakanku meleset." Seorang wanita berambut bob yang menjadi asal timah panas tadi menurunkan senjatanya.

Keith berdecih. Muak rasanya ia melihat wanita bersuara cempreng yang hampir saja menjadi pembunuh, tetapi masih memasang tampang polos. Dia berusaha keras melepaskan diri. Namun, yang terjadi malah seluruh persendiannya yang terasa nyeri. Bagaimanapun, dia yang telah kehilangan tenaga karena banyak hal bukanlah tandingan bagi pria ini.

"Tidak apa-apa, Sayang. Ayo arahkan yang benar supaya anak ini tidak kesakitan," balasnya sembari mengeratkan kuncian, yang malah membuat rintihan Keith terdengar semakin keras.

Sial! Kalau tahu ini yang akan terjadi, dia lebih memilih diomeli Dom sampai besok pagi daripada harus membuang waktu istirahat yang seharusnya bisa mengembalikan tenaga dan fokusnya.

Wanita itu terkikik geli. "Baiklah. Kita akan jadi pemenangnya, kan?" Dia kembali mengangkat benda di tangan. Moncong pistol tersebut tepat menghadap kepala Keith, sama seperti seringai memuakkan penggunanya.

Keith menutup mata rapat-rapat. Baiklah, mati sepertinya bukan pilihan yang buruk.

Dor!

Dor!

Suara tembakan terdengar keras. Anehnya, tidak satu pun yang menggores kulit pemuda beriris kemerahan itu. Yang terjadi justru cengkeraman di kedua tangannya yang melemah.

"Keparat!"

Keith sontak membuka mata lebar-lebar. Wanita berambut bob yang semula ingin membunuhnya telah tumbang, menampakkan lelaki berpakaian koboi yang dengan santai meniup asap yang keluar dari revolver miliknya. Ia tersenyum miring, kemudian balik kanan tanpa merasa perlu mengatakan apa-apa.

Merasa sosok penembak yang telah melemahkan kewaspadaannya, pria yang sepertinya adalah kekasih dari wanita itu lekas mengejar dengan pisau mengkilat. Keith yang ditinggalkan begitu saja lekas mengambil pistolnya yang terjatuh di lantai, lantas melepaskan tembakan yang tepat mengenai kepala pria tersebut. Membuatnya tumbang seketika.

"Ternyata kau lumayan juga." Sosok berkostum koboi itu menoleh setelah puas memandangi papan skor yang muncul di hadapannya usai membunuh wanita berambut bob. Ia menatap Keith dengan senyum penuh arti.

Keith melipat dahi. "Dia hampir membunuh Anda, Tuan." Kalau memang dia sebodoh itu, bagaimana mungkin dia menjadi orang yang menduduki peringkat tiga besar. Sungguh mencurigakan.

"Aku sengaja. Karena sepertinya kau butuh tambahan poin." Pria itu mengedikkan bahu.

Koboi yang satu ini memang susah dimengerti jalan pikirannya. Karena itu, Keith mencoba tidak terlalu ambil pusing. Ia berjalan mendekati tubuh orang yang baru saja dibunuhnya. "Dia punya senjata sendiri. Kenapa dia tidak langsung membunuhku dengan itu? Ada-ada saja," gumamnya pada diri sendiri.

"Tempat ini memang gila," sahut laki-laki di hadapannya yang ternyata mendengar kalimat itu. "Oh, ya. Perkenalkan, aku Floyd Archer."

Ia menatap lekat-lekat, menjawab singkat, "Keith Dietrich."

Dahi pia bernama Floyd itu seketika terlipat. "Di– apa?" Sungguh sebuah respons natural yang berkali-kali Keith dapatkan dari orang asing.

"Lupakan."

"Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan Vampir saja. Senang bertemu denganmu." Ia tersenyum lebar, mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Keith. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Bukankah jauh lebih baik kalau kau mencari tempat berlindung, menyusun strategi untuk memenangkan permainan. Daripada berkeliaran tanpa arah di antara orang-orang gila ini."

Keith terdiam, menimbang-nimbang. Bagaimanapun, Floyd tidak bisa dipercaya begitu saja. Haruskah ia menyembunyikan yang sebenarnya? Akan tetapi, kalaupun harus berbohong, apa yang akan ia katakan agar tidak malah memicu kecurigaan.

"Aku ingin mencari–"

"Apakah sebuah pulpen berwarna perak yang bisa menembakkan bius?" Floyd dengan cepat memotong ucapan Keith.

Pemuda itu terheran. Dilihat dari sisi manapun, ucapan barusan tidak bisa dianggap sebagai kebetulan. Deskripsi yang diberikan pria koboi ini terlalu spesifik menggambarkan senjata rahasianya yang menghilang entah di mana. "Bisa ulangi?"

Bukannya menjelaskan lebih detail seperti yang diinginkan Keith, lelaki itu malah tertawa ringan. "Ahaha, lupakan saja. Benda itu hanya ada dalam imajinasi. Padahal kalau benar-benar ada, pasti akan sangat berguna di situasi begini," ujarnya tanpa berpikir panjang. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa. Semoga harimu menyenangkan, Tuan Vampir."

"Tolong kembalikan, Tuan." Keith berkata dengan nada datar sebelum Floyd melangkah lebih jauh. "Anda menemukan benda itu di suatu tempat, bukan?"

"Astaga, ternyata kau jauh lebih cerdas dari yang kukira." Floyd menghentikan langkahnya di tengah genangan darah. Tersenyum puas seraya mengeluarkan benda yang dimaksud dari dalam saku, lalu melemparkannya ke arah Keith. "Aku tidak sengaja menemukannya terjatuh di koridor dekat aula. Ujungnya tampak aneh. Jadi, aku mencoba mengarahkannya ke salah satu targetku dan menekan bagian ini. Ternyata dia benar-benar pingsan. Ini sungguh luar biasa," ia menjelaskan panjang lebar tanpa diminta.

Keith sibuk mengamati alatnya. Tidak ada kerusakan fatal, kecuali goresan di bagian luar yang tidak terlalu berarti. Ia tidak terlalu memerhatikan, kecuali kalimat terakhir. "Anda jangan berlebihan. Ini masih dalam tahap pengembangan."

"Wah, jadi kau adalah penciptanya?" Floyd menatap dengan raut muka tak percaya. "Kau benar-benar genius. Bagaimana kalau kau masuk ke dalam timku? Kau sepertinya punya potensi yang besar. Kita pasti akan memenangkan permainan ini dengan mudah jika bekerja sama."

Tawaran kerja sama? Itu memang tidak terdengar sebagai sesuatu yang buruk. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkannya. Dia harus segera menemukan Aruna sebelum terlambat.

"Maaf, aku sudah punya pacar," jawab pemuda itu asal. "Sekarang aku harus kembali supaya tidak kena marah." Untuk ucapannya yang kedua, Keith tidak berbohong. Jika dia tidak segera kembali membawa Aruna, kemarahan Dom menantinya.

Mendengarnya, Floyd sekilas menampakkan ekspresi kecewa. "Ah, begitu ya. Sayang sekali." Akan tetapi hanya dalam hitungan detik, wajahnya kembali tampak cerah. "Kalau begitu, sampai jumpa. Pacarku juga pasti mengamuk kalau aku terus berkeliaran di sini." Ia melambaikan tangan, berjalan santai ke arah yang berlawanan.

Mengembuskan napas panjang, Keith melanjutkan pencariannya yang sempat terhenti. Menyusuri koridor remang-remang, melewati genangan darah. Menahan mual sembari mencoba mengabaikan satu dua tatapan horor dari mata yang membelalak kala bertemu dengan maut.

Lama-kelamaan, tubuh yang bergelimpangan di koridor semakin banyak. Anehnya, tidak semua dari mereka sudah benar-benar mati. Beberapa masih terdengar merintih menahan sakit. Mengangkat tangan yang bergetar, meminta tolong.

Langkah Keith sontak terhenti. Ia tetap membeku meski otaknya memberi perintah yang berbeda.

Tidak, bukan karena takut melihat kondisi para tamu yang sudah tak bernyawa. Melainkan karena sosok familiar yang bergeming putus asa di tengah-tengah lorong. Sementara tak jauh darinya berdiri seorang laki-laki bertubuh besar mengangkat pemukul baseball tinggi-tinggi, lantas tanpa ragu mengayunkannya.

Keith Bodoh, cepat lakukan sesuatu!

Matanya berkunang-kunang. Namun, ia tetap berusaha menyerang dengan pistolnya. Akibatnya, tembakannya meleset dan malah mengenai pemukul baseball tersebut hingga terjatuh ke lantai. Padahal jarak mereka hanya beberapa meter.

Pria itu mendelik, berbalik menyerang Keith sebelum sempat menghindar. Memiting pemuda itu sampai kesulitan bernapas.

Aruna yang terkejut lekas mengeluarkan senjatanya, memastikan target agar tidak mengenai Keith. Ia tak menyadari jika di belakangnya seorang perempuan dengan pisau mengkilat siap melubangi lehernya.

Keith mencoba berteriak, tetapi yang keluar hanyalah suara parau.

"Aruna ... lari!"

Part ini ditulis oleh IchiHikaru dalam sudut pandang karakter Keith Dietrich

______________

"Ich hasse dich, Papa," dalam bahasa Jerman artinya "Aku membencimu, Ayah."

______________

Keith Dietrich

Umur: 19 tahun

Profesi: Mahasiswa, pembuat senjata

Senjata: Pistol dan pulpen yang bisa menembakkan bius

MBTI: INTP

Hobi: Melakukan riset

Kostum Keith

(Keith nggak pernah secara spesifik jelasin ini sebenarnya kostum apa. Tapi semua orang selalu mikir dia cosplay jadi vampir karena warna matanya).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: