Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. The Silent

Penampang cakrawala tidak pernah mengusik Aruna hingga sebegininya. Namun, gemuruh mendung malam itu bak membisikkan sebuah pertanda. Semua dimulai kala ombak lautan membuas dalam riak yang hampir menyentuh langit. Menakhlikkan angin yang kemudian berembus di sela-sela rambut sebahu Aruna, yang kala itu tengah berpijak di atas balkon menghadap samudra.

Udara dingin menembus jaket parasut berwarna kuning yang ia kenakan. Menggerayangi kulitnya yang pucat dengan kebekuan malam. Membuat gadis itu merasa ... aku ingin mati.

Kakinya melangkah mundur, menjauh dari pagar balkon. Bayangan wajah muram Dominic—kakaknya—yang tetiba melintas memberatkan hati gadis itu.

Sebaiknya aku kembali—

Bruk!

"Ah!"

Badannya yang baru setengah berbalik seketika membeku. Matanya turun memandangi Sig Sauer P226 miliknya yang jatuh di antara sebuah pistol jenis lain dan dua pasang sepatu yang saling berhadapan, tidak menyangka akan ada seseorang yang berdiri di belakang punggungnya.

"Maaf," gumam gadis itu kecil tanpa memandang seseorang di depannya. Cepat-cepat ia membungkuk hendak meraih pistolnya yang terjatuh.

Beriringan dengan Aruna, orang yang gadis itu tabrak juga ikut membungkuk. Tidak menyadari tubuh masing-masing yang terlalu dekat, hingga ketidaksengajaan menarik dua tangan yang tengah terulur untuk saling bersentuhan. Aruna terpaku, kepalanya terangkat dan iris biru-kelabunya langsung berserobok dengan manik kemerahan seorang lelaki yang dari perawakannya berumur tak jauh beda.

Dihujani terang kilat yang melukis langit, firasatnya berkata, malam ini tidak akan berlalu dengan tenang.

Malam itu ... menjadi malam terakhirnya mendambakan kematian.

•••

Kematian itu begitu dekat, sampai Aruna tidak perlu mengharapkannya lagi. Akhir hidup yang ia ingini sekonyong-konyong menghampirinya dengan berlari. Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Mayat si malang Tuan dan Nyonya Foster yang menjadi awal mula. Lalu, semuanya kacau tiba-tiba.

Di lantai atas, Batara, Floyd dan beberapa tamu yang berhasil keluar dari kerusuhan mengendap-endap di antara lorong-lorong sunyi yang menyembunyikan mara. Mencari perlindungan di ambang petaka. Sedang di bawah sini Aruna tidak cukup beruntung. Gelegak kepanikan yang menyebar cepat usai lampu padam lantas saja mencipta gelombang kerusuhan. Tahu-tahu ia sudah terjebak di antara lautan manusia yang saling menyerang.

"Dom!" serunya pada kegelapan aula. Badannya berputar ke sana kemari, menyapu sekitar dengan kalang kabut. "Dominic!"

Debar jantungnya mulai menandak-nandak kala tidak ada yang menyahut seruan gelisahnya selain gema histeris yang membahana dari mana-mana. Telinganya berdenging dihujani puluhan deru tembakan dihiasi dengan derai tangis orang-orang.

"Akh!" Tiba-tiba ia merasakan kerah jaketnya ditarik kuat dari belakang. Menyadari bahwa pelakunya ialah seorang perempuan dengan mata menyalak dan penampilan tak keruan, Aruna lantas melawan.

Menghantamkan dirinya sendiri ke tubuh wanita gila yang menodongkannya ujung tajam pecahan kaca hingga berguling di lantai. Tatkala cengkeraman penyerangnya terlepas, Aruna semerta merangkak di lantai menjauhinya.

"Sialan! Jangan pergi!"

Napasnya tertahan manakala tubuhnya terseret ke belakang. Rupanya wanita dengan tatapan membunuh itu menjerat kakinya. Aruna spontan menggapai-gapai udara. Raut wajah gadis itu diselimuti kepanikan luar biasa.

"Aruna!"

Sebuah suara berat yang terwarnai kepanikan menjeritkan namanya. Beriringan dengan itu, Aruna merasakan sebuah tangan menyambut gapaian putus asanya. "Keith!"

Aruna hampir memekik. Tidak pernah—dalam seumur hidupnya—ia begitu senang menjumpai seseorang. Namun, saat matanya berpandangan dengan lelaki bersurai pirang itu, ia dapat merasakan napasnya berembus lega.

Dibanjiri oleh peluh di sekujur tubuh, napas terengah lelah, dan otot-otot wajah yang menegang, Keith sekuat tenaga menarik Aruna hingga cengkeraman di kakinya terlepas. Wanita gila di belakangnya berseru marah. Pemuda itu tak membuang waktu segera menarik Aruna dalam genggamannya pergi dari sana.

Kaki-kaki mereka melangkah berat melintasi aula yang penuh kasak-kusuk para tamu. Tidak mudah berlari meloloskan diri dari tempat seramai itu. Berulang kali keduanya berserobok dengan tubuh para tamu, bahkan tidak dapat terhitung seberapa sering kaki Aruna tak sengaja menginjak tubuh orang-orang yang bergeletakan di lantai.

Keduanya masih terjebak di tengah-tengah aula kala situasi menjadi terlalu kacau untuk dilalui. Puluhan orang yang saling menyerang memerangkap mereka dalam lingkaran pergulatan. Dua orang pria berbadan besar saling menendang di kiri Aruna. Sepasang pria dan wanita saling mencekik di kanan dirinya.

Keith memutar otak. Matanya bergerak ke sana kemari mencari jalan. Namun, tampaknya tidak ada jalur yang aman untuk dilewati tanpa menarik kegilaan orang-orang ke arah dirinya dan Aruna. Dari perawakannya yang kentara sekali di bawah dua puluh tahun, gerombolan manusia yang tengah digerayangi rasa takut itu tidak akan berpikir dua kali untuk mengeroyok mereka. Jika saja kegelapan tidak melindungi keduanya dari mata haus darah orang-orang.

"Pistolmu bukan cuma mainan 'kan?" tanya lelaki itu tiba-tiba. Sejurus kemudian mengalihkan sebuah pemukul yang ia pungut dari mayat seseorang ke tangan Aruna. "Sebisa mungkin pakai ini untuk bertahan hidup. Tapi jika keadaan mendesak—"

Mata gadis itu membola tatkala Keith—dengan begitu tiba-tiba—jatuh tersungkur ke lantai. Menciptakan suara debuman keras dan lenguhan kesakitan lelaki itu. Salah satu dari pria berbadan besar tadi—yang mengenakan topeng Jigsaw—menendang punggung Keith dengan sepatu bot tebal yang membalut kakinya. Orang yang bergulat dengannya sebelumnya telah terkapar dalam genangan darah di lantai. Pria itu kini mendatangi Keith dengan langkah santai yang mengintimidasi.

"Wah! Ada anak kecil juga di sini." Gumam pria bertopeng Jigsaw itu sembari meregangkan otot-ototnya. Sejurus dengan itu pandangannya beralih ke arah Aruna yang diam membeku.

"Aruna! LARI!" teriak Keith.

Aruna terperanjat. Tidak sengaja menyandung dirinya hingga terjatuh. Beruntung kakinya mau diajak kerjasama untuk kembali bangkit. Sedang Keith meraih nampan yang tergeletak di lantai dan langsung menerjang ke arah Jigsaw, Aruna berlari sekuat tenaga menjauhi marabahaya.

Namun, tentu saja mencari aman di tengah ancaman tidak pernah mudah. Belum lima langkah, tamu lain sudah menerjang ke arahnya. Gadis itu refleks melayangkan pemukul ke arah kepala, membuat tamu itu terkapar. Gemetar, ia termundur kaku. Hingga teriakan seseorang yang datang mendekat membuatnya refleks kembali melayangkan hantaman keras ke arah orang tersebut. Seorang lagi tumbang, seorang lagi datang.

"Berhenti!" pekiknya marah. "Apa kalian sudah gila?!"

Semua orang memang sudah gila.

Seruannya hanya berembus bak angin lalu. Seperti debur kecil ombak yang seketika menghilang dihantam gelombang besar, keributan yang menguasai tempat itu menelan suaranya. Aruna tidak punya pilihan selain mengencangkan kepalan tangannya pada pemukul dan melayangkan benda itu sekuat tenaga.

Semakin banyak tangannya menjatuhkan orang, semakin panik gadis itu dibuatnya. Demikian rasa putus asa yang telah menggenggamnya sejak awal kian menandak-nandak memenuhi relung batin Aruna. Perlahan demi perlahan memecah tenang yang berusaha ia jaga sejak kegaduhan meledak. Lalu, semuanya terasa terlalu menekan. Seolah-olah dunia berkontraksi di tempat itu, dan porak-poranda dibuatnya.

Matanya menyapu arah kiri, menyisir arah kanan. Remang kegelapan yang menguasai tempat itu seolah-olah membutakan kewarasan. Bak Aruna berada di tengah-tengah gelanggang kematian, di mana cahaya senter berlarian dari banyak arah. Menyorot kengerian yang terjadi dalam satu waktu.

Ia tidak melihat adanya harapan.

Keith di ujung sana tengah berjuang mati-matian akan hidupnya. Dominic entah di mana, mungkin sudah terkapar tanpa nyawa. Menatap gamang. Kepasrahan lantas memeluknya erat. Tongkat pemukul yang telah bersimbah darah itu dijatuhkan. Lantas, spontanitas mengambil alih. Ia menarik pistol buatan Jerman keluar dari sabuknya. Yang Aruna inginkan hanyalah ketenangan, ketika tanpa berpikir gadis itu berlari ke area yang jauh lebih lenggang, mengangkat tinggi tangannya ke arah langit-langit dan menembakkan sebuah peluru. Berharap deru nyaringnya dapat mengheningkan suasana.

Hal itu memang mengheningkan. Peluru yang ia tembakkan menghantam tatakan besi lampu gantung yang berada tepat di atasnya, membuat suara ledakannya menjadi dua kali lipat lebih membahana disertai dengan gemuruh dari langit-langit. Kendati demikian, keheningan itu tidak bertahan lama. Tatkala mata orang-orang mulai beralih ke arahnya, puluhan lampu senter yang tadi menyorot liar kini berfokus pada satu titik. Di antara kegelapan, Aruna bak berlian bercahaya. Menjadikannya mangsa yang sempurna.

Maka pecahlah huru-hara itu sekali lagi. Puluhan orang dari berbagai arah berlari ke arahnya dengan macam-macam senjata di tangan. Tentu saja. Aruna adalah mangsa yang mudah. Tidak perlu banyak usaha untuk membunuh seorang gadis remaja. Mereka yang belum mendapatkan korban di tangan akan mati-matian merebutkan nyawanya.

"Gadis itu milikku!"

"Nyawanya bagianku! Menjauh darinya!"

"ARUNA!"

Gadis itu terpaku nanar. Deru napasnya memendek kelelahan. Otaknya dipenuhi kemelut kekalutan. Memandangi orang-orang yang berbondong-bondong hendak mencabut nyawanya, gadis itu menghela napas.

Mungkin ini saatnya.

"Aruna lari!"

Mungkin ini saatnya!

Batin gadis itu menjerit. Berusaha menghalau suara putus asa Keith. Tawa miris keluar dari bibirnya. Pandangannya hilang arah. "Sejak awal aku memang ingin mati. Siapa juga yang sudi hidup di dunia sial begini? Tidak masalah ... ya, tidak mengapa. Dom mungkin sudah mati. Jadi ... jadi ...."

"Aruna!"

Kriett!

Semua orang menahan langkahnya ketika lampu gantung berukuran besar yang terbuat dari banyak berlian putih di atas kepala Aruna tiba-tiba saja berkeriut dan turun beberapa senti. Aruna menengadah. Keheningan berkumandang dalam tegangnya suasana, diliputi dengan debar jantung yang memburu.

Sekali lagi, sunyi itu kembali pecah saat rantai pengait lampu terputus dari tatakannya. Kandelir besar itu terjun bebas. Khalayak ramai yang tadi berlomba-lomba hendak menggapai Aruna, kini tunggang-langgang menjauhinya.

Lepas dari cengkeraman Jigsaw yang teralih, Keith bertindak cepat. Lelaki itu berlari menarik Aruna tepat sebelum lampu kandelir jatuh menghantam lantai marmer. Menciptakan bunyi gemuruh dan pecahan yang nyaring. Kepingan-kepingan berlian dan kaca semerta saja menyelimuti lantai. Menghujani Keith dan Aruna yang jatuh terkapar di lantai. Menciptakan goresan-goresan luka di kulit yang terkena siraman pecahan kaca.

"Keith, ayo." Tidak membuang waktu, keduanya buru-buru bangkit. Memanfaatkan arus orang-orang mereka meninggalkan aula, masuk ke lorong-lorong Mansion yang jauh lebih hening.

Aruna melangkah cepat. Melewati banyak pajangan rusak dan melangkahi banyak genangan darah. Namun, siapa peduli. Tubuhnya sendiri sudah berbalut bercak darah banyak orang. Pun gadis itu gagal mati untuk yang kesekian kalian. Kini, ia harus mencari Dominic. Hanya itu satu-satunya prioritas saat ini.

Setidaknya, hingga Keith menarik lengannya. Memaksa gadis itu berbalik menghadapi wajah kusut lelaki itu.

"Apa?" tanyanya datar.

Sejenak, pemuda itu dibuat terperangah. Dua menit yang lalu, ada kekacauan di mata perempuan yang baru dikenalnya saat mereka berserobok di balkon. Kini, air muka Aruna sepenuhnya berganti menjadi tanpa ekspresi. Meski sarat kelelahan tetap terpancar dari otot-ototnya yang tegang, dahinya yang berkerut dan pelipis yang basah oleh keringat.

"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Keith. Aruna mengangkat sebelah alisnya meminta penjelasan. "Tadi itu ... seolah-olah kau sengaja memancing orang-orang ke arahmu. Seperti ... seperti kau ingin mati."

Aruna membebaskan tangannya dari genggaman Keith. "Apa itu penting sekarang?"

"Apa?"

"Aku harus mencari kakakku." Aruna berbalik dan lanjut berjalan. "Jika kau punya seseorang untuk dicari juga, kau boleh pergi, Dietrich."

Keith mengerutkan alisnya. Tiba-tiba saja, Aruna jadi terasa berjarak. Sejak pertama bertemu dengannya, Keith tahu perempuan itu tidak jauh berbeda dengannya. Tipe-tipe yang senang menyendiri dan berkecamuk dengan buah pikiran. Keith sendiri tidak tahu mengapa hingga saat ini ia melekat dengan gadis itu alih-alih mencari pertahanan sendiri. Namun, sejak obrolan singkat di balkon, Keith menemukan gadis itu adalah sebuah tanda tanya besar. Terlebih, saat ia dengan jelas menangkap gerik gelagatnya yang ganjil.

Keith sepenuhnya yakin, ini pertama kali dirinya bertemu dengan orang yang bertindak-tanduk seolah-olah kacau. Namun ia yakin gadis itu tahu benar apa yang dirinya lakukan. Aruna jelas-jelas mencoba bunuh diri di aula tadi.

"Aku bisa mencari bersamamu," putusnya kemudian. Aruna tidak mengatakan apa-apa.

Sampai keduanya tiba di perempatan lorong, sekonyong-konyong sebuah pedang melesat ke leher Aruna. Berhenti tepat seinci sebelum menggores kulitnya.

"Aruna?"

Mendapati suara yang dikenalinya, Aruna lantas menoleh. Matanya membola begitu mendapati kakaknya dengan wajah panik dan lelah berdiri di sana.

"Sialan! Ke mana saja kau?!" Tak alang Dominic langsung menghujani adiknya dengan pelukan erat. "Aku hampir gila saat kau tiba-tiba menghilang."

"Kau berlebihan," ujar Aruna datar.

Dominic mengulum bibir. Matanya lantas beralih pada Keith yang sejak tadi berdiri memandangi mereka. "Oh, bocah yang tadi. Siapa namamu tadi? Dietrich?"

"Panggil saja Keith."

"Apapun itu," ujarnya cepat. "Terimakasih telah menjaga adikku. Jika kau tidak punya tujuan, kau boleh ikut dengan kami. Tapi, biar kutegaskan satu hal padamu. Aku belum memercayaimu. Jika kau macam-macam pada adikku—"

"Hentikan, Orang Tua," sela Aruna jengah. Ia melangkahi Dom menyusuri lorong di kiri tempat Dom bersembunyi. "Aula sudah macam kuburan terbuka, dan banyak orang gila di sana. Tidak mungkin mencapai pintu depan, tapi kita harus keluar dari sini."

"Jangan ke sana, Gadis Kecil. Di sana juga banyak orang gilanya."

Mendengar kata-kata Dominic, Aruna dengan cepat berbalik dengan wajah mengerut. "Sekali lagi kau memanggilku begitu—"

"Bukankah ini bukan waktunya untuk bertengkar?" sela Keith dingin. Menghentikan argumen-argumen Dawson bersaudara. "Aku memang tidak punya tujuan, tapi aku tidak ikut denganmu untuk menjadi beban. Jadi, tolong kalian berdua juga jangan menjadi beban untukku."

Pemuda itu melenggang dingin ke lorong sebelah kanan, berlawanan arah dengan lorong yang hampir disusuri Aruna.

Dominic menghela napas. "Bukan ke sana juga, Anak Puber."

Lelaki itu merangkul Aruna dan membawanya berjalan lurus menyusuri lorong di depan mereka.

Bergumam rendah. "Di sana juga banyak orang gilanya."

Berputar-putar mengarungi lorong-lorong Mansion, bersembunyi, menyerang dan diserang, mereka akhirnya dapat beristirahat. Dominic menemukan ruang cukup luas dan tersembunyi di bawah tangga dekat dapur, tanpa tedeng aling-aling langsung menjejalkan adiknya ke dalam sana.

Kini, hanya deru napas yang bersambut keheningan menjadi satu-satunya suara. Kelelahan menerpa ketiganya setelah serangkaian peristiwa intens yang datang bertubi-tubi. Ruangan ini cukup jauh tersudut dari aula utama. Letaknya berada di ujung dan di depannya dipenuhi gunungan kardus sayur dan karung-karung gandum. Jika tidak benar-benar teliti, tidak akan ada orang yang mengetahui keberadaan tempat ini.

Untuk alasan itu Dominic—setidaknya—dapat bernapas lega untuk sesaat. Sepuluh menit mengambil napas pria itu langsung bangkit lagi.

"Kau mau ke mana?" cecar Aruna begitu mendapati kakaknya bersiap-siap hendak pergi keluar.

"Memeriksa keadaan, mencari makanan, senjata, apapun yang dapat melindungi kita," jawab Dominic cepat. Usai menyiapkan dua buah pedang dan sebuah senjata api di sabuknya, lelaki itu berlutut di depan Aruna. Tangannya menangkup wajah adiknya yang basah oleh keringat dan bercak darah. "Jangan coba-coba keluar dari tempat ini, jangan membuat suara dan mengundang orang-orang jahat datang, jangan menghilang, jangan mencariku jika aku terlalu lama di luar, jangan mengabaikan kata-kataku. Hmm ... kau dengar itu, Aruna? Jangan membahayakan dirimu sendiri. Mengerti?"

Aruna terdiam sejenak.

"Aku tidak punya pilihan selain mencarimu jika kau tidak kembali—"

"Keith, bisa bantu aku menjaganya?"

Pemuda yang duduk bersila di samping Aruna itu mengangkat dua alisnya pertanda mengiyakan. Dom kembali beralih pada adiknya. "Jika kau tidak ada saat aku kembali, aku bersumpah akan mengikatmu di punggungku."

Mengusap kepala Aruna cepat, lelaki itu lantas bergegas keluar.

Kesunyian kembali merayap usai kepergian Dom. Sudah lelah berkat kerusuhan di aula sebelumnya, serta tak ada yang benar-benar suka membuka suara, keduanya hanya saling diam selama beberapa saat. Di luar, tidak banyak suara-suara yang terdengar selain suara langkah kaki orang berlari yang sesekali datang dan pergi. Aruna dapat mendengar jeritan orang-orang dari aula yang timbul tenggelam. Selebihnya, tidak ad ayang benar-benar berarti.

Adalah Keith yang pertama kali membuka suara setelah beberapa menit Dominic pergi ke luar.

"Kamu kesal karena aku menyelamatkanmu. Iya 'kan?" tanya lelaki itu tiba-tiba.

Aruna cukup terkejut lelaki itu masih memikirkan hal itu. "Tidak juga."

"Jadi, beneran kesal."

Aruna menghela napas. "Aku memang kesal. Tapi, sebenarnya aku cukup senang. Kakakku ternyata masih hidup."

"Kenapa kau ingin mati?" tanya Keith dengan berbisik.

Kendati kerusuhan sudah tidak terdengar, ketegangan itu masih tetap ada. Ancaman akan bahayanya tidak benar-benar hilang. Ditambah dengan peringatan Dominic, keduanya tak memiliki keberanian untuk bersuara keras. Takut mengundang beban-beban merepotkan lainnya.

"Hanya ingin," jawab gadis itu singkat. Matanya menerawang ke langit-langit. "Membayangkan kita mungkin meninggali dunia ini selama 60 tahun, tidakkah itu mengerikan? Semesta ini penuh dengan omong kosong, jika kau teliti dengannya. Manusia menggerakkan roda masing-masing dengan keserakahan dan kemunafikan. Tidakkah itu membuatmu muak? Menjadi bagian dari sistem yang saling menghancurkan. Tidakkah itu artinya—secara tidak langsung—semua manusia menggali kuburan mereka sendiri?"

Keith menganga mendengarnya. "Itu ... pendapat yang luas."

"Kau tahu ...," sambung Aruna, "sejak pertama kali kita menerima undangan itu, kita sudah terperangkap dalam jebakannya seperti lauk di dalam tudung saji."

"Maksudmu, kau sudah tahu semua ini akan terjadi?"

"Bukankah sudah jelas?" Aruna menahan kalimatnya sebelum ia kembali melanjutkan. "Kita adalah ikan-ikan kecil yang melahap umpan dari pemancing misterius. Sejak awal, undangan itu memang janggal dan tidak beres."

"Kalau kau sudah tahu ini akan terjadi, kenapa kau tetap datang?"

Mata Aruna turun. Tanpa ia sadari sebuah senyum terulas halus di bibirnya. "Yang membuat permainan ini menarik adalah ...."

"Adalah?"

Gadis itu terperanjat sendiri. Senyumnya hilang seketika, baru menyadari ia terlalu banyak bicara. Tak melanjutkan kalimatnya, Aruna memilih bangkit.

"Mau ke mana?"

"Melihat keadaan," jawabnya tanpa menoleh.

"Kakakmu bilang jangan keluar."

Gadis itu memberikan Keith tatapan datar. "Aku bukan adik yang suka menurut."

Tanpa menunggu balasan pemuda itu, Aruna melenggang keluar.

Dibandingkan dengan tadi, Mansion benar-benar tenang. Meski hawanya tetap membuat bulu roma berdiri. Di lorong-lorong terdapat banyak bercak darah dan pajangan-pajangan dinding yang jatuh ke lantai. Pecahan kaca, genangan darah dan kertas dinding yang robek seolah menjadi bukti bahwa situasi malam itu benar-benar tidak dapat terdefinisikan. Puluhan pembunuhan terjadi dalam satu waktu. Kengeriannya merayapi udara dalam diam.

"Kita harus cari makan. Kalau tidak salah ingat sebelah sini itu dapur."

Keduanya berbelok ke sebuah ruangan tak berpintu yang cukup luas dan gelap. Baru dua langkah, seberkas cahaya senter langsung menyirami keduanya.

Keith yang tidak menurunkan kewaspadaan sejak ia dan Aruna pergi dari tempat persembunyian semerta merangsek ke depan Aruna. Menodongkan pistol pada siapapun di depan mereka. Sedang Aruna yang nampak tak acuh cukup terlambat membaca keadaan, begitu menyadari apa yang tengah terjadi, ia segera mengikuti Keith menyiagakan pistolnya.

"Apa ini? Ada anak kecil di sini?"

Sebuah suara wanita terdengar dari kegelapan sana. Beriringan dengan cahaya yang semakin mendekat, seorang wanita berpakaian bajak laut muncul.

"Tenanglah," kata wanita itu. "Aku tidak akan menyerang jika kalian juga tidak macam-macam."

"Kami hanya ingin mencari makanan," kata Aruna, lantas menurunkan pistolnya. Keith yang melihat dibuat terkejut. Lelaki itu masih enggan menurunkan kewaspadaannya.

"Hei, bocah. Sebaiknya turunkan senjatamu kalau tidak mau cari masalah." Wanita itu berkata ketus, memandangi Keith dengan sarat tersinggung.

"Keith." Aruna mendorong pelan tangannya untuk menjauh. Mau tidak mau, Keith menurunkan senjatanya. Meski ia tetap memandangi wanita itu tajam.

"Siapa namamu?"

"Aruna."

"Aruna, nama yang cantik. Sayang sekali nasibmu tak cantik."

Gadis itu mengedikkan bahu. Ia berjalan memasuki dapur lebih dalam. Memeriksa laci-laci.

"Nasibmu juga tidak ada bedanya."

Wanita itu mendengus. "Kita semua sama sialnya di sini. Ngomong-ngomong, aku Zeralda, dan Nak, tidak ada apa-apa di situ. Jika kau mencari makanan. Semua sudah diambil oleh laki-laki berpakaian detektif yang serakah dan mudah tersinggung itu."

Mendengarnya, Aruna lantas menutup laci yang sedang dibukanya. Sudah sama Dom, ya.

"Nih."

Zeralda mengoperinya sebuah bungkusan plastik berisi beberapa makanan kaleng dan air mineral. "Anggap itu rasa kasihanku padamu. Bisa-bisanya ada anak kecil di situasi begini."

Aruna berujar datar. "Terimakasih."

•••

Dominic marah besar begitu mendapati Aruna dan Keith tidak ada ketika ia kembali. Lelaki itu sempat mengamuk sebelum akhirnya Keith menenangkannya, karena Aruna terlalu masa bodoh untuk meladeni kakaknya yang cukup cerewet.

Pada akhirnya, Dominic malah ketiduran sendiri selepas tenaganya terkuras habis membawa banyak barang dari luar. Mungkin saja sebab kewaspadaan yang melelahkannya, Keith juga ikut terjatuh dalam lelap.

Aruna duduk di sudut ruangan. Memandangi kedua laki-laki yang mati-matian melindungi dirinya sejak awal kerusuhan terjadi. Ia tahu Dominic mungkin akan benar-benar mencoba mengikatnya jika sekali lagi Aruna pergi dari jangkauan lelaki itu. Namun, tetap saja. Tanpa banyak pertimbangan gadis itu mengendap-endap pergi ke luar.

Di balik kegelapan, Aruna melangkahkan kakinya menyusuri lorong demi lorong Mansion. Perlahan-lahan menjangkau semua area yang menjadi tempat persembunyian tamu-tamu yang tengah terlelap dalam lelah di balik pintu-pintu yang tertutup rapat.

Mengawasi dan mengamati.

Gadis itu naik ke lantai dua. Melewati banyak ruangan yang didiami orang-orang yang mencari aman. Ia berhenti di salah satu ruangan yang pintunya tidak tertutup sempurna. Menampakkan orang-orang yang tengah terlelap damai di dalamnya. Sejenak, gadis itu kembali teringat akan percakapannya dengan Keith beberapa saat lalu.

Kita adalah ikan-ikan kecil yang melahap umpan dari pemancing misterius.

"Kita adalah ikan-ikan kecil yang terperangkap dalam jaring pemancing."

Tidakkah ini sangat menarik? Seorang memancing orang-orang berkumpul di satu tempat, memberikan situasi hidup dan mati. Sekaligus membiaskan hakikat benar dan salah. Semua bergantung pada insting bertahan hidup.

"Tidakkah ini sangat menarik?" Aruna berbisik.

Melalui sela-sela pintu, gadis itu menodongkan senjata pada kepala yang berada tepat di arahnya. Lantas tersenyum tipis.

"Terlebih, ketika pemancing itu ikut berenang di antara ikan-ikan malang." 

Part ini ditulis oleh ZiviaZee dalam sudut pandang karakter Aruna Dawson.

______________

Aruna Dawson.

Umur: 16 tahun
Profesi: Pencuri
Senjata: Sig Sauer P226

MBTI: INTJ
Kostum: Character Game
Hobi: Main Game

Kostum Aruna

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: