3. Trust Issues
Batara tak henti-henti mengumpat dalam benaknya, merasa menyesal menghadiri sebuah undangan pesta Halloween yang ia ekspektasikan akan menjadi seru. Selama mengumpat pun kedua jenjang kaki serta jemarinya yang memegang sebuah senter juga senantiasa bergerak terus-menerus untuk berlari menjauh dari lautan manusia yang saling membunuh, dan tentu ia yakin bahwa lantai dasar mansion pasti telah banjir akan darah-darah segar yang mengalir.
Derap langkah tergesa-gesa dari pria berkulit setengah pucat itu membuat beberapa helai anak rambut gelombang kecokelatannya menghalangi sorot kedua manik matanya, sehingga ia harus rajin menyibakkan itu semua dengan jemari yang lain. "Cuti pekerjaanku sia-sia," keluh Batara sekali lagi di dalam batin. Rasa tegang serta takut yang mengacak-acak suasana hatinya itu membuat ia tetap harus menaiki anak tangga yang akan mengantarkannya ke lantai dua.
Ia menyusuri koridor lantai dua yang menurutnya cukup luas bak rumah bangsawan dengan napas yang terengah, mengedarkan pandangan ke sekitar koridor yang terasa senyap baginya. Namun, benaknya merasa bahwa kesenyapan itu menyimpan misteri-misteri berkecamuk yang akan memeluknya diam-diam. Jadi, Batara harus waspada. Senter bobrok yang sempat mati-hidup itu kini normal kembali, dan benar dugaan tentang misteri yang baru saja ia rasakan. Senter itu menyorot sebuah pemandangan di mana ada beberapa mayat juga telah tergeletak tak berdaya di lantai itu, genangan darah setengah mengering yang disusul aroma anyir tak karuan, serta senjata-senjata—bahkan benda rusak yang tertinggal berserakan di sana.
Tubuhnya sontak melemah menatap apa yang disuguhkan oleh lantai dua itu. "Undangan Dark Web sialan, tidak seharusnya aku menyetujui tanpa berpikir dua kali," sesal Batara mulai berjalan pelan mencoba menghindari mayat-mayat serta genangan darah.
Sejak peristiwa kurang baik di dalam mansion, pria itu masih menyesali perbuatan yang ia lakukan, di mana Batara pernah menyetujui undangan misterius yang muncul pada Dark Web milik rekan kerjanya sebagai seorang hacker yang membantunya dalam mencuri serta mengetahui informasi-informasi mengenai korban selanjutnya. Mengingat pekerjaan Batara adalah seorang pembunuh bayaran, ia juga membutuhkan partner yang pandai dalam hal berbau teknologi untuk mengelabuhi mangsanya.
Masih dalam rasa penyesalan, Batara tetap bersikukuh menyusuri koridor luas itu sembari meringis terganggu. Merasakan atmosfer mansion yang kian mengacau. Suara tangisan, teriakan kesakitan dan ketakutan, serta derap langkah dari kejauhan yang tak henti-hentinya timbul dari lantai dasar. Semua hal itu terdengar saling sahut-menyahut, membuat rasa fokus yang sempat Batara tanam dalam dirinya sesekali goyah.
Pada akhir penantiannya ia pun memilih sebuah ruangan yang paling pojok dari koridor lantai dua tersebut, Batara berpikir bahwa sepertinya aman bersembunyi di dalam ruangan itu. Namun pikirannya seketika mengabur ketika senter yang sengaja ia sorot pada daun pintu bercat putih tulang itu terlihat lusuh kotor, bahkan seperti terdapat beberapa cipratan darah kecil yang menempel di sana.
"Mahakarya siapa ini?" Batara bergumam setelah menatap cipratan. Meski degupan jantungnya kembali tak stabil sebab gelisah, namun ia tetap nekat membuka asal pintu itu dan segera menutupnya.
"Rogelio? Apakah itu kau?" Batara seperti disambut oleh suara seorang wanita yang berbunyi tepat setelah pintu tertutup. Suaranya khas seperti seseorang yang sedang khawatir, dan jelas saja suara itu membuat Batara terkejut bagai disambar petir. Ia seketika siap siaga menyiapkan pistol bermodel desert eagle-nya.
"S-Siapa di sana? Keluarlah!" Batara memberanikan diri untuk mengucapkan kalimat perintah meski suaranya terdengar setengah bergetar.
Batara kembali mengedarkan pandangan serta senter ke seluruh penjuru ruangan gelap yang ia masuki, mencoba menelisik sumber suara yang sempat terdengar. Ia menatap ke sekeliling, dan nyatanya ruangan itu adalah kamar tidur yang cukup mewah. Kasur berukuran king size, beberapa perabot mahal, meja rias, serta lemari baju yang besar. Semua perabotan memiliki ciri khas dari ukiran-ukiran kayu yang elegan.
Pria itu mengambil langkah perlahan, kewaspadaan selalu ditanamkan pada dirinya meski setiap langkah yang ia ambil terasa ragu-ragu. Hingga sebuah suara gesekan kecil yang muncul di belakang bahu membuat Batara sontak berbalik badan. Benar dugaannya terdapat seseorang di dalam ruangan itu, senter yang sengaja Batara arahkan membuat wanita di hadapannya tersebut menyipitkan kedua kelopak manik matanya.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya wanita itu bernada datar, sama seperti Batara ia juga siaga dengan shotgunnya meski pupil matanya masih mengecil sebab silau cahaya dari senter yang Batara bawa, wanita itu juga sesekali mengernyitkan dahinya.
"Lantas bagaimana denganmu?" Batara juga melontarkan pertanyaan yang sama terhadap wanita yang mulai merasa panas sebab cahaya yang terus-menerus menghujani wajah serta matanya.
"Itu bukan urusanmu, orang asing. Bahkan aku dahulu yang menemukan ruangan ini, kau seharusnya sadar," balasnya sedikit menggeser senter Batara dengan ujung shotgunnya, mencoba menyingkirkan cahaya yang membuatnya mulai pening.
"Oh, atau mungkin kau adalah seorang pembunuh dari Mr dan Mrs Foster? Oleh sebab itu kau berlarian tak tahu arah, khawatir bila ditemukan?" sambung wanita itu dengan pertanyaan yang membuat kedua manik mata Batara membulat serta kedua alisnya mengerut, ia tentu tak terima dengan ucapan yang disampaikan oleh wanita asing tersebut.
"Berani-beraninya kau menyebutku seperti itu! Aku juga sama sepertimu. Aku kebingungan, aku khawatir, aku berusaha menghindar dari orang-orang beringas yang saling membunuh demi hadiah itu!" Kegeraman setengah menggebu-gebu yang ditunjukkan Batara membuat wanita itu justru tertawa kecil, terdengar seperti mengejek.
"Lucu, bahkan kau baru saja bertemu denganku, kau sudah asal menebak saja apa yang kurasakan. Memangnya kau peramal?" sarkas wanita itu menampakkan seringainya, dan Batara mulai merasa muak. Ia justru memasukkan pistolnya ke dalam saku celana dengan perasaan gusar dan meletakkan senter ke atas meja dalam keadaan cahaya yang berada di atas agar ruangan tersebut menjadi meremang.
"Dengarkan aku, aku merasa kita berdua memang dalam keadaan yang sulit. Aku bahkan tak mengerti apa yang terjadi, semua kekacauan tak terduga ini membuatku bimbang bukan main,"
"Jadi jika kau tidak merasa demikian, justru kau yang seharusnya diwaspadai."
Batara menjelaskan panjang lebar apa yang ia rasakan semenjak peristiwa listrik mati yang ada di dalam mansion. Hal itu membuat wanita yang ada di hadapannya terdiam, energi yang ia berikan untuk menggenggam shotgunnya itu mulai sedikit melemah. Ia terlamun sejenak memikirkan apa yang Batara ucapkan sembari tetap menatap pria itu sinis, hingga bunyi klik dari sebuah pemantik api membuat lamunannya terpecah.
Di tengah perdebatan itu, adiksi nikotin Batara kembali meluap-luap. Indera pengecapnya terasa hambar, seperti ingin menikmati sesuatu. Benar, sesuatu yang Batara maksud adalah rokok. Kini ia tampak tengah menyalakan rokoknya, sumbu tembakau gulung yang semula berwarna gelap juga kini menjadi memerah sebab bara api kecil yang dihasilkan oleh pemantik api besi bercorak hitam doff-nya, dan mulut Batara pun seketika mengeluarkan asap rokok yang sempat ia sesap. Asap-asap itu terlihat menguar menyebar ke penjuru ruangan meski dalam keadaan gelap.
"Merokok? Di situasi seperti ini?" batin wanita itu terheran-heran, masih memusatkan shotgun ke arah Batara dengan tatapan yang sama.
"Aku Batara Chandrakanta."
"Siapa namamu dan siapa Rogelio?" pertanyaan yang Batara berikan hanya dibalas oleh kesunyian, dan lagi-lagi pria itu harus berusaha membuat wanita yang ada di hadapannya percaya terhadapnya bahwa ia bukanlah ancaman.
"Aku bisa jamin, aku takkan menyakiti kau dan siapapun yang kau sebut tadi," tambah Batara mencoba santai dengan bersandar pada dipan ranjang megah tersebut walau hatinya setengah dongkol, merasa bahwa wanita itu sedikit keras kepala baginya. Tak lupa ia berikan tatapan dalam untuk wanita itu, kedua manik mata yang terkenal akan warna biru safirnya tersebut kini nampak tengah berubah menjadi biru gelap yang lebih pekat.
Dalam tatapan keanehannya terhadap Batara, ia masih belum bisa memercayai eksistensi pria merokok itu sepenuhnya. Hingga wanita itu akhirnya terpaksa menurunkan shotgun sembari menghela napas pelan. "Zeralda. Zeralda La Rue, Rogelio adalah suamiku."
"Ah menarik, Zeralda. Pasutri yang menghadiri pesta," balas Batara cepat setelah menghembuskan asap rokok untuk yang kesekian kalinya, lalu ia sambung dengan senyuman kecil.
Zeralda menaikkan salah satu garis alisnya, merasa heran mengenai balasan Batara. "Tidak ada yang menarik sejak listrik padam Batara," ketus Zeralda masih bersama dengan sifat dinginnya.
"Kau benar, aku memang hanya ingin memuji dinamika hubungan kalian. Aku juga yakin bahwa kau sebenarnya khawatir, kau pasti bertanya-tanya di mana Rogelio berada," ucap Batara dengan percaya diri. Meski ia hanya asal mengucapkan hal itu, nyatanya ucapan itu membuat Zeralda terdiam seribu bahasa. Sebab apa yang Batara utarakan pasal perasaannya selama kekacauan berlangsung hingga selama ia bersembunyi di dalam ruangan itu adalah sebuah fakta nyata yang tak mau ia akui.
"Tak perlu risau dengan terdiam seperti itu Zeralda, aku bisa membantumu untuk mencarinya. Kita juga bisa menjadi sebuah tim untuk saling melindungi jika kau mau," celetuk Batara di keheningan yang sempat menyelimuti mereka berdua, tepat setelah rokoknya habis. Batara cukup peka lewat mimik wajah Zeralda.
"Apa keuntungan yang ku dapat?" tanya Zeralda sembari melipat kedua tangannya setelah dirinya meletakkan shotgun di meja rias, ia masih menghiasi kedua manik matanya dengan sorot pandang sinis terhadap Batara.
Batara terkekeh sekilas dengan pertanyaan Zeralda, ia tahu bahwa lagi-lagi Zeralda seperti tengah meremehkan tawarannya. "Keuntungan itu bisa dirasakan seiring waktu, Zeralda. Apa ekspektasimu terhadapku? Aku memang bukan orang sakti. Tapi jika kita memang berhasil menemukan keberadaan suamimu dalam keadaan sehat walafiat, maka aku bisa menjamin bahwa itulah keuntungannya."
***
"Jujur saja, sebenarnya aku belum bisa memercayaimu."
Sebuah kalimat akhirnya keluar dari mulut Zeralda setelah sekian lama ia dan Batara menyusuri koridor gelap gulita yang terdapat pada lantai dua Mansion tersebut. Batara dengan tipikal yang tak peduli akan penilaian orang terhadapnya hanya mendengus pelan sewaktu mendengar ucapan Zeralda, namun ia tetap mencoba tenang dalam menyikapi rasa skeptis yang ditunjukkan oleh wanita itu.
"Tak masalah, aku juga kurang percaya denganmu. Tapi melihat fisikmu yang mendominasi seperti ini, setidaknya kita terjaga." Mendengar jawaban Batara, dahi wanita itu seketika berkerut. Entah ia ingin tertawa sebab nyatanya ia lemah, atau marah sebab hanya merasa dimanfaatkan saja.
"Ah, jadi kau hanya memanfaatkan aku saja ya, lemah?" tanya Zeralda terang-terangan sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar, senantiasa dengan shotgun yang ia siapkan. Dari sana Zeralda mulai tak sudi lagi untuk coba-coba menatap paras Batara, paras anak muda tengil yang bukan levelnya.
"Ralda, bukan itu maks—"
"Jangan coba-coba memanggilku dengan nama panggilan aneh itu lagi! Atau kepala licikmu akan kosong melompong sebab shotgun ini," interupsi Zeralda marah tepat setelah Batara salah memanggil namanya sembari memusatkan shotgunnya lagi ke arah pelipis kiri Batara. Pria itu menghela napas, dan ia berpikir bahwa ia harus rajin-rajin bersabar selama berada di sekitar Zeralda.
"Zeralda, bukan itu maksudnya! Aku melihat dari sisi timbal balik yang kita lakukan di sini, aku membantu menemukan suamimu, dan kau juga bisa mencoba melindungi dirimu sendiri dan diriku selama kita mencari suamimu,"
"Ingat Zeralda, kita adalah tim! Aku bukan ingin memanfaatkanmu. Please, kita sedang berada di situasi genting!" jelas Batara panjang lebar menatap Zeralda tajam, sedikit geram dengan sifat Zeralda yang keras kepala.
"Aku tidak peduli! Intinya—"
Keduanya yang sempat bertatap melakukan perdebatan itu kini berhenti sebab sebuah suara yang terdengar mendekat ke arah mereka, suara gesekan antara sebuah besi dan ubin yang membuat indera pendengaran mereka sedikit geli.
"Siapa itu?" bisik Batara dengan manik matanya yang membulat, Zeralda yang masih sedikit tersulut emosi hanya menaikkan kedua bahunya.
Mau tak mau keduanya mulai mengambil tindakan, Batara dan Zeralda saling menyiapkan senjata mereka dan memberanikan diri melangkah perlahan ke sumber suara. Hingga langkahan mereka terhenti sewaktu mereka menatap seorang pria bertubuh besar yang membawa sebuah kapak serta senter keluar dari koridor lain, pria itu terlihat membelakangi mereka berdua. Begitupun sorot pandang Zeralda yang juga menemukan seorang wanita yang tengah berjalan sempoyongan ke arah pria bertubuh besar tersebut.
"B-Batara, nampaknya pria itu ..." Zeralda berbisik, tubuhnya bergemetar ketakutan yang lalu disambung dengan menutup mulutnya sendiri, merasa tak sanggup mengatakan apa yang ia ekspektasikan. Awalnya Batara tak memahami apa yang Zeralda maksud, namun lambat-laun seiring dengan pria yang mulai mengangkat kapaknya menuju ke arah wanita yang masih berjalan sempoyongan itu, Batara akhirnya paham.
"Y-you're right Zeralda. Pria itu menginginkan tambahan poin dengan membunuhnya," ucap Batara setengah berbisik cemas yang disambung dengan sebuah tembakan dari pistol.
DOR!
Pelurunya tidak meleset sama sekali—sesuai dengan ekspektasinya, yaitu mengenai kepala bagian belakang dari pria berkapak tersebut meski jemarinya sempat bergetar sekilas ketika ia menggenggam pistol.
"BATARA!" Zeralda terperanjat tepat setelah suara tembakan itu muncul menggelegar, teriakannya terdengar tak mempan bagi Batara yang telah berlari menjauh menuju ke arah tubuh pria yang tergeletak tak berdaya.
"If you try to raise your axe once again to her, you will not sleep well even in hell!" gumam Batara penuh amarah setelah pria itu mencoba menarik kerah busana sang pria berkapak, ia menatap pria itu tajam dan kembali meletakkan tubuh pria berkapak dengan membantingnya kasar ke atas lantai. Emosi Batara kian berkecamuk tak karuan, hingga emosi itu menyetir akal sehat Batara dengan kegilaan—jemarinya meraih kapak yang sempat tergeletak dan segera memenggal kepala si pria berkapak tersebut.
Perbuatannya barusan membuat ia yang selalu menghindari genangan darah kini menjadi teman dari darah itu sendiri. Awalnya Batara sedikit menyesal, namun setelah lirikkan manik matanya menemukan seorang wanita yang ternyata menatap aksinya sedari tadi, ia pun langsung berjongkok. Khawatir jika wanita itu merasa ketakutan akan eksistensinya.
"Hey, are you okay?" tanya Batara pelan ikut menyejajarkan tubuhnya, memastikan keadaan wanita yang kini tengah terduduk meringkuk ketakutan sembari menutup wajahnya.
"T-tolong, jangan s-sakiti aku," lirih wanita itu terbata-bata. Jemarinya lalu berpindah menjadi mengusap kulit dahinya perlahan, mencoba sedikit memberikan pijatan dan berharap bahwa rasa sakit kepala yang ia rasakan sedari tadi akan hilang.
"Batara, apakah dia baik-baik saja?" Zeralda juga menyusul dengan pertanyaan, dadanya nampak kembang-kempis masih merasa cemas.
"Entahlah, dari gestur tubuh kurasa kepalanya sakit," balas Batara dengan mimik wajahnya setengah khawatir. "Tidak, tidak. Sungguh, aku takkan menyakitimu. Apakah kau tersesat? Atau bagaimana? Kami bisa membantumu jika kau ada teman yang bersamamu di sini," sambung Batara mencoba menenangkan wanita yang masih meringkuk tersebut.
"Batara, k-kau memenggalnya?!" ucap Zeralda setengah memekik setelah kedua manik matanya menatap sebuah kepala si pria berkapak yang berhasil putus dari lehernya, membuat gelagat Batara berubah menjadi sedikit gelisah bercampur kebingungan.
"Zeralda, aku—"
"Arabella!"
Lantai kedua dari mansion itu begitu besar hingga teriakan seseorang terdengar begitu menggema, ditambah dengan derap langkahan kaki yang terdengar tergesa-gesa, membuat Batara dan Zeralda terkejut mendengarnya. Bahkan benak mereka masing-masing bertanya-tanya siapa Arabella.
"Siapa kalian berdua?!" bentak seorang pria sembari mendekat ke arah Batara, pria itu segera menjauhkan jarak tubuh Batara dengan mendorongnya kasar dari hadapan wanita yang terduduk tersebut.
"Floyd, a-aku takut," lirih Arabella setengah ketakutan, si wanita sempoyongan yang kini telah dibantu berdiri dan berada di pelukan seseorang yang ia sebut dengan nama Floyd.
"Shhh ... jangan takut Ara, Aku di sini." Floyd mencoba menenangkan Arabella yang telah berada di pelukannya.
Derap langkah seorang wanita lain yang tampak membawa lentera sebagai bantuan pencahayaannya juga terdengar datang mendekat ke arah Floyd, raut wajahnya nampak ikut khawatir dengan apa yang terjadi. "Aku mendengar suara tembakan, siapa yang melakukannya, Floyd?" tanya wanita itu dengan napas sedikit terengah.
Tanpa mengutarakan sebait kata, Floyd yang menahan emosi hanya mengisyaratkan lewat satu gelengan kepalanya yang di mana menjurus ke sebuah layar papan digital pencetak skor yang memang tersebar di beberapa sudut ruangan mansion. Papan skor tersebut menunjukkan bahwa malah Batara yang menambahkan poin di dalam game Court Of Cull, poinnya kini mencapai angka ganjil yaitu dua puluh lima jiwa. Terlebih lagi, nyatanya Batara adalah seseorang yang berhasil menduduki peringkat kedua dalam skor itu.
"Itu ulah mereka, Kasha. Mereka sepertinya hendak panen poin dengan mencelakai Arabella," ucap Floyd dengan tatapan setengah tajam ke arah Batara serta Zeralda.
"Maksudnya?! Bersyukurlah Batara telah menolongnya!" Zeralda menginterupsi dengan nada amarah sewaktu mendengar jawaban Floyd yang menurutnya tidak sesuai fakta.
"Watch your mouth, stranger. Kami tidak panen poin melainkan menolongnya. Jika tidak ada kami di sini, mungkin kepalanya sudah hilang," tambah Batara setelah ia berdiri sebab sempat didorong oleh Floyd, Kasha yang curiga mulai membuka suara menilai jawaban Batara.
"Benarkah?" kedua manik mata Kasha mengoreksi tubuh Batara dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ia melipat kedua lengannya setelah jemarinya meletakkan lentera ke atas lantai marmer, merasa tak yakin dengan ucapan pembelaan dari pria itu. "Bisa jadi itu hanya akal-akalanmu saja, terlebih lagi kau terlihat tidak memiliki bukti yang kuat untuk melindungi Arabella selain melakukan hal sebaliknya."
Acara saling tuduh itu membuat hati Zeralda tergerak ingin memberikan pelajaran—setidaknya beberapa pukulan untuk Kasha serta Floyd agar mereka jera, namun aksi itu segera Batara batalkan dengan menghadang pergerakan Zeralda menggunakan lengannya sembari memberikan isyarat lewat gelengan kepalanya.
"Kami serius melihat dirinya berjalan sempoyongan karena kepalanya yang sakit, dan pria besar ini memang hendak membunuhnya dengan kapak, sebab itu ku luncurkan peluruku. Kalian semua harusnya berterima kasih," Batara kembali mencoba meyakinkan Kasha dan Floyd dengan perasaan tenang walau ia menyimpan rasa sedikit dendam. Namun penjelasan tersebut justru ditertawakan oleh Floyd, bahkan semua yang ada di sekitar pria itu merasa kebingungan dengan motif dari tawanya.
"Tunggu," gumam Floyd sejenak, jemarinya segera meraih senter yang sempat pria berkapak itu bawa dan menyoroti paras Batara dengan benda itu.
Floyd kembali tertawa kecil setelah menatap Batara dengan cahaya yang lebih terang. "Ayolah, berterima kasih dengan wajah preman ini?" ucap Floyd mempertanyakan pada Batara apakah ucapan terima kasih adalah hal yang perlu untuknya.
Batara terdiam, emosinya pun mulai meluap ketika ia mendengar kata 'preman' yang diucapkan Floyd, ia seperti merasa direndahkan olehnya. Pria itu kembali memberikan cahaya ke sekujur tubuh Batara yang masih setia mengenakan pakaian cosplay Halloween-nya, yaitu karakter Neo dari film The Matrix. "Siapa namamu tadi ... Bara?"
Batara berdecak pelan, kemudian membalas pertanyaan Floyd dengan ekspresi dinginnya. "Batara."
"Ah! Iya itu, Barata—eh maksudku Batara," celetuk Floyd dan tiba-tiba cahaya senter kembali menyorot ke arah wajah Batara. "Lihat, aku jadi penasaran dengan lukamu yang satu ini, kau sedang mencoba merobek bola mata kirimu ya?" Floyd menggeleng prihatin. Lantas ia tertawa sendiri karena leluconnya, padahal semua orang terdiam dan hanya menatapnya aneh. Di samping itu, hal yang diucapkan Floyd memanglah benar, Batara memiliki sebuah luka bergaris vertikal yang cukup panjang di area manik mata bagian kirinya.
Suasana menjadi hening. Sadar bahwa tidak ada yang tertawa, Floyd pun berdehem. "Kenapa? Ada yang salah?"
"Leluconmu tidak lucu, Floyd." Kasha menjawab sembari menyikut lengan atas Floyd, sedangkan Arabella melepas pelukannya dari Floyd dan memukul perut kekasihnya pelan, ia juga heran dengan humor gelap Floyd yang terkadang muncul di waktu yang tidak tepat.
"Apakah pertunjukkan komedinya telah usai, Tuan Floyd?" tanya Batara masih dengan perasaan tenang, meski hatinya berkobar panas bak bara api.
Floyd kembali tertawa untuk yang kesekian kalinya. "Jangan terlalu tegang, kau tak perlu memanggilku tuan," ucapan itu adalah kalimat terakhir di mana ekspresi jahilnya berubah menjadi normal dan serius kembali.
"Intinya aku tak mau ribut di tengah kacaunya mansion ini. Jadi, jika kalian nampak masih mencurigakan di mata kami, lihat saja nanti. Hidupmu tidak akan tenang seperti sekarang ini, Bara—Batara dan kau si cantik pembawa shotgun," ancam Floyd pada Batara serta Zeralda meski Floyd masih sempat salah menyebut nama Batara. Perasaan setengah gusar yang muncul dari dua kubu masing-masing membuat mereka akhirnya sama-sama meninggalkan tempat kejadian.
"Ngomong-ngomong, skor mu bagus! Lanjutkan ya Bara!" Nada ancaman kembali berubah menjadi sorakkan penyemangat yang diucapkan oleh Floyd untuk Batara, suara riang itu terdengar setengah sayup sebab Floyd dan timnya semakin menjauh dari tempat kejadian.
"NAMAKU BATARA!" balas Batara berteriak geram membenarkan namanya yang berulang kali salah diucapkan oleh Floyd.
***
Batara dan Zeralda masih terdiam selama melangkahkan jenjang kaki mereka, bergelut dengan pikiran mereka masing-masing. Mungkin kejadian yang mereka dapati beberapa saat yang lalu adalah konsekuensi mereka dalam menolong seseorang di tengah-tengah peristiwa yang kurang baik—di mana melakukan saling bunuh adalah hal yang lazim di situ. Batara pun mencoba menghilangkan beban pikiran berlebihnya dengan kembali merogoh saku celananya, lalu meraih sebatang rokok dari kotak penyimpanan berbahan dasar alumunium itu untuk disesap.
"Secinta itukah kau dengan rokok?" celetuk Zeralda selepas menatap asap rokok yang kembali menguar untuk kesekian kalinya.
Batara tersenyum kecil mendengar celetukan Zeralda, ia sesap kembali rokoknya dan menghembuskan asapnya. "Sebenarnya sudah lama aku mencoba untuk berhenti. Tapi aku adalah seseorang yang sering cemas, dan hanya rokok yang bisa menenangkanku," balasan pelan Batara membuat kepala Zeralda sontak beralih menatap pada pria yang masih asik menyesap rokoknya.
"Kau bisa cemas?" pertanyaan sarkas itu membuat Batara menghela napasnya pasrah, hari ini pertemuannya dengan beberapa orang cukup sangat melelahkan baginya.
"Hey Jack Sparrow, aku ini masih seorang manusia," balas Batara jengah menatap Zeralda yang ia sebut sebagai Jack Sparrow, karakter bajak laut ikonik yang ada di film Pirates of The Caribbean. Mengingat wanita itu memang memakai kostum serupa dengan detail-detailnya yang rumit, lengkap bersama topi yang masih bertengger di atas kepalanya.
Zeralda hanya tertawa kecil mendengar ucapan Batara, yang lantas disusul oleh tawa Batara sendiri. Diri mereka merasa terhibur dengan lelucon kecil meski mereka berada di tengah-tengah kekacauan.
"Aku ... masih tak habis pikir kalau kau memenggal kepalanya." Zeralda menambahkan kalimatnya setelah ia tertawa, wanita itu memang masih tak percaya dengan kenekatan yang dilakukan Batara.
"Well, itulah bukti bahwa aku tak lemah dalam menyikapi masalah. Apalagi ketika menangani Floyd si pria dengan humor gelapnya itu," tambah Batara tetap melangkahkan kakinya, Zeralda hanya berdecak pelan mendengar rasa percaya diri yang ditunjukkan Batara.
"Ya ... sebenarnya masih terlihat lemah, sebab kau menghadangku tadi." Kekesalan Zeralda membuat Batara menggelengkan kepalanya tanda heran. "Itu bukan lemah, Zeralda. Itu mencari aman, mereka ada tiga sedangkan kita hanya dua. Kau ini yang benar saja, mentang-mentang punya tubuh kuat."
Bukannya menjawab, Zeralda justru mengalihkan topik pembicaraan. "Zeral saja, kalau disebut panjang terdengar aneh."
Batara kembali terkekeh kecil mendengar ucapan Zeralda, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan mereka dalam mencari suami dari Zeralda, yaitu Rogelio.
Part ini ditulis oleh chaoticimpulse dalam sudut pandang karakter Batara Chandrakanta.
______________
Batara Chandrakanta.
Umur: 24 tahun
Profesi: Pembunuh Bayaran
Senjata: Pistol Desert Eagle dan Pisau Lipat
MBTI: INTJ
Kostum: Agent, Neo The Matrix
Hobi: Merokok
Kostum Batara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro