Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Offering to The Unknown

“Batara bukan serigalanya.”

Deras gempita badai mengiringi tolehan wajah-wajah penuh keheranan itu pada si elok paras yang tiba-tiba bersuara. Sebelum serapah kekecewaan bergaung, Kasha tanpa acuh meneruskan argumen, “Tepatnya, tidak satupun di antara kita. Sejak awal, peran serigala dan rubah itu tidak pernah ada dalam permainan.”

Dahi Arabella mengerut, “Maksudmu, kita semua adalah domba?”

Anggukan bersambut dari kepala Kasha, “Asumsiku berbasiskan dua hal yaitu ambiguitas aturan dan pola kematian. Pertama, aturan mendeterminasi peranan berdasarkan kartu yang diperoleh. Domba menjalankan misi, serigala memburu domba dan rubah memburu serigala. Kemenangan diperoleh dengan mengeliminasi anti-thesis peranan yang didapatkan. Game Master bahkan berbaik hati menahan senjata kita seolah meminimalisir pertikaian. Namun, di sinilah permasalahannya.”

"Aturan menyebut bahwa rubah dan serigala punya hak untuk mengeliminasi, tapi tidak ada aturan yang membatasi para domba untuk juga bersenjata. Artinya, Game Master sebenarnya tidak peduli dengan peran yang ada, karena setiap dari kita bisa berperan sebagai serigala maupun rubah untuk menumpahkan darah. Lihat, kalian bisa dengan seenaknya mengambil katana, kapak atau sejenisnya dari tumpukan mayat. Namun, tidak ada konsekuensi ekskusi dari Game Master. Juga saat Rogelio berniat membunuh Aruna, dia tidak mendapat penalti atau semacamnya.”

Kasha mengedarkan pandangan, menatapi Arabella, Dominic—bahkan Rogelio yang sedari awal babak telah membawa alat perlindungan diri.

“Lantas kenapa perlu aturan yang rumit jika tujuannya kembali melihat kita saling bunuh?” Dominic menyugar rambutnya, ikut berpikir keras.

Gadis itu menyeringai, “Untuk membatasi persepsi kita dengan ilusi bermain peran. Seperti kata adikmu, Game Master berniat menutupi tujuan asli babak ini dan mengalihkan kita dari upaya keluar hidup-hidup. Dia paham bahwa konsepsi paranoia massal tidak bisa lagi diaplikasikan dan melakukan subtitusi skema berupa pencarian werewolf demi memecah kepercayaan antar penyintas. Sayangnya, kita sudah terlanjur terjebak–”

“Tunggu, kau pikir kami akan percaya kata-katamu?” Sergah Arabella.

Sebagai balasan, Kasha tiada acuh mengeluarkan isi kantong celananya dan membeberkan empat lembar kartu yang nampak lusuh dan bernodakan darah. Padanya, tercetak simbol kepala domba dengan warna hitam.

“Milik Zeralda, Aruna, Jigsaw dan anak buahnya,” ujar sang bandar seraya melempar kartu-kartu itu pada meja, “Jika masih tidak percaya, mari saling menunjukkan kartu masing-masing.”

Gelengan berbalas dari kepala si gadis indigo, “Kau mau mati konyol?”

Dengan percaya diri, Kasha menjawab senarai kebimbangan para penyintas dengan mengambil satu kartu lagi dari kantongnya. Dirinya lemparkan kartu itu ke atas meja – tepat sebelum pekik Dominic mengudara demi menghentikannya. Selaras dengan yang lain, kartu miliknya juga bersimbolkan domba. Detik berjalan lambat saat mereka mengira timah panas akan kembali diletuskan guna melubangi tengkorak gadis bersurai jelaga itu.

Namun, kengerian tersebut tiadalah terbukti.

“Mereka tidak menembak?” Rogelio terperangah, mengitarkan arah pandang ke penjuru ruangan.

“Karena permainan ini sudah tuntas memenuhi peranannya,” jelas Kasha sembari menyilangkan tangan, “Sejak awal, tujuan utama babak ini adalah mengeliminasi peserta yang menjadi pressure point terhadap peserta lain. Orang-orang terdekat dengan ikatan emosi. Rogelio dengan Zeralda, Jigsaw dan bawahannya, Dominic dan Aruna, si jalang ini dan…Floyd.”

Kasha terdiam sejenak sembari mengulumkan bibir, merasakan gamang saat menyebut pemuda yang sempat mencuri hatinya itu.

“Game Master sengaja mengincar orang tersayang kalian untuk mempermainkan emosi dan menekan kalian secara mental. Alasan yang sama mengapa Batara dan aku tidak pernah ditargetkan, karena kami berdua tidak memiliki keterkaitan dengan siapapun.”

Tergelitik terhadap ujung penjelasan, urung amarah Arabella bergantikan bisik tertawaan pada mantan rekan setimnya itu. Padahal sejatinya si Anna Frozen ini juga sempat tertaut secara rasa dengan kekasihnya itu.

“Berarti, tidak masalah kita membuka ini.” Dominic ikut membuka kartunya yang juga bergambar domba. Diikuti Arabella, juga Rogelio. Terakhir, Batara menguakkan kartunya persis di depan wajah Rogelio sebagai bukti dirinya tidak berbohong.

Serapah pelan menyembur dari bibir sang dokter.

“Jadi, kau bilang babak ini sudah selesai, tapi kenapa Game Master tidak muncul dan memberikan pengumuman?” sela Arabella seraya menggerlingkan mata pada kasha. Alih-alih mendapat jawaban darinya, celetukan Dominic setelahnya seketika menyita atensi seluruh tamu.

“…Itu karena Game Master sudah tidak ada lagi di tempatnya.”

“Apa?” sekilas pias tersirat pada wajah Batara.

“Sebenarnya, aku dan Aruna berhasil membuka ruangan rahasia di balik lukisan besar lantai 4,” tutur Dominic sembari berusaha memanggil memori di kepalanya, “Kami menemukan banyak layar monitor tanpa siaran, berkas data seluruh peserta pesta dan anehnya lagi, serentetan file berisikan rekaman suara yang kita semua dengar di sepanjang permainan.”

Rogelio menggeleng, “Jadi, tidak ada Game Master dalam permainan ini?”

“Bukan, itu artinya asumsiku tadi benar,” dengus Batara dingin, “Game Master itu berpartisipasi sebagai peserta dan bersembunyi di antara kita.”

Ruangan luas itu kembali lengang, menyisakan gemerisik angin lewat celah ventilasi.

“Permainan, sembunyi, rekaman…jadi begitu,” terpecah hening bersebab gumam, Kasha tetiba menjentikkan jarinya dengan semangat, “Babak selanjutnya memang tidak akan dimulai karena kita sekarang berada di semacam in between round. Babak perantara. Metode permainan yang sama tapi dengan objektif yang berbeda untuk membuka babak selanjutnya dan Game Master adalah kunci menyelesaikan babak ini.”

Praktis Dominic menautkan kedua alisnya, penasaran.

“Aku pernah mengatakan terkaan ini pada Floyd, bahwa Game Master hanyalah bocah kelewat percaya diri yang semata menyukai kekacauan tanpa memikirkan konsekuensinya. Dia cuma mau melihat kita dipermainkan.” Kenang Kasha berdesiskan sinis, “Menilik perilakunya, sudah pasti dia sedang memoles diri sebagai bintang utamanya. Misi utama dari babak perantara ialah menemukan Game master. Si bocah itu ingin dirinya ditemukan!”

“Bagus, kita akhirnya kembali ke titik awal lagi.” Simpul Batara sambil kembali menyulutkan bara pada ujung rokoknya, “Tapi, jika perdebatan tadi mau dilanjutkan, kita takkan menghasilkan konklusi apapun.”

Kasha balas menolehkan kepala pada si perokok berat itu, “Maka kita harus berpencar lagi untuk menyisir sisa bukti. Saling tuduh tanpa landasan yang kuat akan merugikan kita sebab tiada yang tahu apa pasti yang ada dipikiran Game Master.”

“Itu beresiko,” sergah Dominic, meraih tangan Kasha, “Kau tahu ‘kan apa yang terjadi kalau bergerak sendirian? Kita tidak bisa kehilangan orang lagi.”

Yang dilarang balik menatap ketuanya yang memimikkan gurat serius. Si rambut panjang membuang napas panjang, balas meraih tangan sang Sherlock dan menyeretnya menuju arah pintu, “Kalau begitu, kau akan temani aku kencan malam ini.”

“Ok—apa? T-tungg—“

Belum tuntas ucapan Dominic, Kasha sudah buru-buru mendorong pemuda tinggi itu ke luar ruangan. Sebelum melangkah lebih jauh, gadis berkostum putri itu menoleh datar pada ketiga tamu lain yang belum usai mencerna kesepakatan.

“Kita berkumpul 30 menit lagi dari sekarang. Terserah kalian mau berpasangan dengan siapa, tapi pastikan seseorang untuk berjaga di ruang makan ini. Kumpulkan saja apa yang kalian anggap penting.” Pintanya.

Pintu ruangan segera tertutup, menyisakan tiga penyalin cahaya yang saling melirikkan tatap penuh kewaspadaan.

“Hei,” Arabella menelengkan kepala pada kedua rekannya, “Untuk orang yang baru saja kehilangan gebetannya, bukankah dia terlampau kalem?”

Decak pelan tersuarakan dari bibir gelap Batara, “Itu juga berlaku padamu.”

Si muka mayat yang tengah dikuasai alter-egonya itu cuma membalas dengan ringis tipis.

***

P

unggung Dominic menghantam lemari kayu kala gadis yang ia temani menelikungnya dengan kasar. Belum sempat melawan balik, Kasha menekan lehernya hingga oksigen tersendat mencapai paru-paru. Dalam remang salah satu kamar kosong beraromakan anyir, ditatapnya netra beriris gelap gadis itu lekat-lekat.

“Baiklah, aku menyerah. Kau mau apa?” tanya Dominic sembari memasrahkan harga dirinya dengan mengangkat kedua tangan.

Kasha membuang napas, “Kerja samamu.”

“Lalu, kenapa menghajarku kemari?” protes sang sherlock, “Memangnya apa yang kau sembunyikan dari tamu-tamu lain?”

Si surai panjang menempelkan telunjuk pada bibirnya, meminta untuk menurunkan volume suara. Sebagai balasan, Dominic balas menujuk lengan kasha yang masih menekan lehernya. Di rasa cukup menyakinkan, sang gadis melepaskan kunciannya.

“Maaf, isolasi seperti ini diperlukan,” Kasha melangkah mundur, mengangkat bahunya tanpa dosa, “Ada mata-mata Game Master di antara kita berlima. Membongkar semua analisis di sana akan membuatnya kalap dan menghabisi kita seperti Zeralda dan Aruna.”

“Jadi, soal anak-anak Foster itu bukan kebohongan?”

Kasha menghela napas, mengiyakan,
“Seorang jadi eksekutor dan seorang lagi mengendalikan permainan di balik layar.”

“Dan kau percaya aku bukan salah satu dari mereka?” tanya Dominic sembari merapikan pakaiannya yang kusut.

“Sudah pasti,” Kasha tertawa pelan, “Kau sayang pada adikmu. Mana mungkin ada psikopat berdarah dingin yang punya kedalaman emosi seperti itu.”

Salah tingkah mendapati pujian, Dominic merespon dengan garukan pada kepala yang tiada gatal, “Baiklah, aku akan membantumu, Putri Arandelle. Jadi, siapa bedebah-bedebah yang kau maksud itu?”

Kasha mengigit bibirnya, menolehkan kepala ke sekitaran ruangan kamar dengan curiga. Setelah hela napas kesekian kali, ditariknya kerah jubah Dominic agar mendekat padanya. Dengan setengah berbisik, gadis berotak encer iru memberikan paparan atas variabel-variabel yang sudah ia tengarai. Dari insiden Tuan dan Nyonya Foster, keganjilan Court of Cull, game changer pada babak pertama, dan lain-lainnya. Pada penghujung paparan, disebutnya dua pasang nama yang memancing belalak pada kedua mata Dominic.

Reaksi pertama putra Dawson itu ialah menghantamkan tinjunya pada lemari kayu, lantas tersusul umpatan dalam desisan murka, “Iblis-iblis itu harus membayar dosanya.”

Kasha menyilangkan kedua lengan di depan dada, “Kalau begitu, kau harus menurutiku.”

“Tentu.” Dominic menolehkan wajah, “Apa rencana kita?”

“Pertama, bunuh aku.”

***

“Sendirian? Dimana gadis itu?”
Penghujung masa sesuai kesepakatan menjadi pertanda pertemuan kembali para tamu yang selamat di ruang makan milik keluarga Foster. Dengan tangan hampa, Dominic yang menjadi pertama kali tiba semata mendapati sosok pemuda yang asyik bercandu mesra bersama lintingan tembakaunya di dekat jendela. Tanpa ada niatan menoleh, kedua netra si perokok itu masih terpaku pada tebing curam di luar sana.

“Kami bertengkar,” si sherlock meraba pipi kanannya yang bengkak, “Dia hendak mencari bukti ke ruangan pemujaan di lantai empat. Aku mencegahnya dan pipiku ditampar. Sekarang, dia nekat pergi sendirian.”

“Ruang pemujaan?” Batara menolehkan wajah, terkejut.

Dominic mengangguk, beranjak menduduki kursi, “Ruangan besar berkubah tinggi di lantai empat. Aruna bilang kalau sebagian besar jasad orang-orang penting di pesta ini sudah di gantung pada langit-langitnya, termasuk pasangan Foster. Selain itu, dia bilang kalau Jigsaw dan orang-orangnya sempat menari dan berdoa sembari mengitari mayat-mayat itu. Seolah sedang memuja pada sesuatu.”

“Sinting,” Tanggap Batara seraya membiarkan tiupan sisa respirasinya tersapu angin, “Kukira orang-orang Foster menjadi kannibal karena memang kelainan bawaan, rupanya itu bagian dari ritual sesat.”

“Bukan cuma itu,”gema dari arah pintu masuk berhasil mencuri perhatian kedua pemuda yang tengah berbincang itu. Adalah Rogelio yang kini melangkah masuk disertai Arabella dengan wajah kecapaian di belakangnya.

“Aku kembali ke laboratorium di rubanah penyimpanan wine karena yakin telah melewatkan sesuatu,” Sang Dokter itu meletakkan beberapa bungkus plastik yang sedari tadi di bawanya ke atas meja, “Kami mengambil beberapa alat bedah dan sampel dokumen. Termasuk data orang-orang yang pernah berakhir di meja operasi.”

Jemari Dominic segera cekatan mengeluarkan lembaran-lembaran yang dibungkus plastik itu. Netra beriris cokelat itu segera menyusuri nama-nama yang sebagian pernah dilihatnya berseliweran lewat laman digital dengan status orang hilang.

Tubuhnya kembali bergidik saat membuka lembar berikutnya yang berisikan foto dokumentasi operasi. Organ-organ yang berserakan, potongan kaki dan lengan, juga kulit manusia yang digantung selayaknya jemuran.
Gelegak pemberontakan asam lambung segera menjajaki pangkal kerongkongannya. Dominic hendak muntah.

“Bagian terpentingnya ada di foto ini,” Meski prihatin, Rogelio tetap menarik salah satu potret dari lembar dokumen, “Foto yang pasti diambil sebelum pembedahan dilakukan. Lihat, selain soal kepalanya yang ditutup kain, sekujur badan korban telah dirajah dengan simbol-simbol yang nampak kuno.”

Para tamu itu saling mendekat, tercengang dengan kengerian fakta-fakta yang didapati. Hembusan angin kembali mencuri masuk melewati kaca, mencipta remang pada kuduk mereka. Rinding, gentar dan pupus asa kian beradu menjadi satu hingga memaksa keempatnya kembali termenung pada kursi masing-masing.

“Sebenarnya, Court of Cull ini apa?” Rogelio buka suara, memecah lengang yang menggelayuti mereka.
Sebagai balasan, Dominic menghembuskan napas, “Mungkin, sejenis ritual berkedok permainan. Keluarga Foster dikenal lazim memanen daging dengan menculik atau membelinya dari perdagangan manusia. Namun, jika dikaitkan bahwa mereka memuja sesuatu, sepertinya acara ini mirip panen massal sebagai persembahan pada entitas yang dipercayai.”

“Dan sistemnya seperti ritual Gu dari wilayah Asia,” sahut Batara, bersidekap, “Para peserta diibaratkan serangga-serangga beracun yang dikumpukan di satu wadah untuk saling bunuh. Pada akhirnya, sang pelaku ritual akan memunguti serangga yang bertahan untuk dikorbankan untuk sihir gelap.”

“Tapi, pemilik acara ini sudah mati,” potong Arabella, resah memijiti pangkal hidungnya.

“Tidak, dia masih hidup.” Dominic menggeleng tegas,  “Sejak awal, sepertinya Tuan dan Nyonya Foster bukanlah orang yang menggelar Court of Cull. Andaikan mungkin itu mereka, pastilah seseorang mengambil kendali ritual seperti argumen Batara. Maka, wajar keberadaan pasangan kanibal itu ikut dihapuskan.”

“Oleh si Game master?” terka Rogelio.
Anggukan berbalas dari sang Sherlock, “Anak-anak Foster. Sedari awal, mereka sudah membagi peran dalam ritual ini.

Pertama, tentu saja Game Master sebagai pengatur jalanya permainan. Sedangkan yang kedua adalah seorang eksekutor selaku petugas lapangan guna menjaga ritual agar tetap kondusif dengan menghabisi para peserta yang berbahaya. Dan sekarang, dia sudah berada satu meja dengan kita.”

Peranjat segera terpancar dari raut para peminjam binar lilin yang kini saling melirikkan curiga lewat netra-netra mereka. Ruangan kembali lengang, bersisakan gemuruh guruh yang mendramatisasi situasi.

“Kelihatannya kau sudah mengantongi nama tersangkanya,” tanya Batara sembari menyundutkan sisa rokoknya yang nyaris padam pada asbak.

Dominic balas memasang senyum percaya diri, “Begitulah, tapi sebaiknya kita tunggu sampai Kasha–”

“Tunggu, Bukankah itu Kasha?”
Rogelio yang semula terfokus pada penjelasan pemuda berkostum detektif itu tanpa sengaja menangkap dua sosok yang berada di atas atap sisi seberang mansion. Berpayung gulita, bersorakan kilat, ternampak sosok yang diterkanya sebagai Kasha tengah tersekap dengan wajah tertutup kain dan tangannya yang terikat.

“Kau yakin?” Dominic turut menyahut.
“Lihat! Wujudnya sama seperti gadis itu dengan gaun putrinya!”

Arah telunjuk Rogelio yang terarah ke luar jendela kembali membuat semua orang spontan mengalihkan pandangan. Bagaikan déjà vu, sosok berjubah sekelam langit malam kembali memunculkan diri di belakang Kasha, layaknya malaikat pencabut nyawa. Bersama kecamuk badai bertarikan angin yang menyapukan tirai hujan, mencipta kemelut gelisah bagi mereka yang menyaksikan si gadis kembali dipaksa berdiri pada tubir atap dengan pistol yang menempel di belakang kepala.

Kilat menyambar. Sekali, dua kali, menerangi tiap-tiap pasang netra dari ruang bersantap. Bahkan Arabella yang biasa berseloroh pada gadis yang hendak merebut kekasihnya itu, kini kembali terdiam dengan pias pada wajah. Tersusul kejut yang tidak kalah mengguncang benak Rogelio, pun juga Batara.

Petir sekali lagi menyambar. Semua mata hanya mampu menangkap tubuh Kasha melayang-layang di udara bak seringan bulu. Lepas, luruh, dan lantak menghantam dasar bebatuan tebing yang curam dan kasar.

“Dia mati…” lirih Rogelio, menatap jeri.
Sejenak, pikiran para penyintas itu kembali kacau dalam kebisuan.

“Tetap di tempat! Jangan ada yang berpencar!” tandas Batara demi memecah hening yang mulai tercipta semenjak jatuhnya Kasha. Sekilas, bersama adrenalin yang memantikkan deruan pada napas, terselip gamang dan panik di mata peraih peringkat dua itu.

“Kenapa?”

Kepala Batara tertoleh, membalasi soalan Dominic yang terdengar konyol, “Ini ancaman, nampaknya Game Master hendak segera mengakhiri permainan–”

Tidak, bukan itu.” Potong Sang sherlock seraya menepuki pelan pundak lawan bicaranya, “Kenapa kau terlihat panik begitu, Batara? Apa kematian Kasha di luar rencana yang sudah kalian sepakati?”

“Maksudmu? Rencana apa?” Terpancing emosi, Batara balas setengah membentak, “Kau masih menuduhku sebagai dalangnya?”

Gelengan berbalas dari pemuda berperawakan tinggi itu, “Tidak, kau bukan dalangnya. kau hanya kaki tangan yang bekerja untuknya, serigala berbulu domba yang ditugaskan untuk menusuk kami dari belakang. Sang eksekutor.”

Tudingan Dominic sempurna membelalakkan mata dua tamu lain yang mendengarnya. Lain hal dengan Batara yang mengatupkan rahangnya dengan tatapan nyalang. Jika mau menurutkan kata hati, mungkin saja pemuda itu sudah menyerbu si mulut lancang dan membantingnya ke atas meja.

“Kau punya bukti?” tanya Arabella berusaha mengonfirmasi.

“Sebagai profesional, Batara adalah tipe orang menaruh perhatian detail dalam pekerjaannya. Sedikit saja improvisasi dalam perencanaan akan membuat keterkejutan untuk beradaptasi. Sama halnya saat dia sedikit panik mendapati kekacauan di awal permainan,” tutur Dominic tajam, “Kasha sepertinya bukan target yang dipesan oleh Game Master untuk dibunuh lebih awal. Kematian gadis itu tentu memicu keraguan baginya karena menganggap si dalang kembali berbuat seenaknya.”

“Berhenti berbual, Sherlock. Kau tahu apa soal aku?” Balas Batara sengit.

“Sama tahunya dengan bukti yang ditemukan Rogelio,” si pencitra detektif populer itu melirik ke arah si dokter, “Kepingan yang sama dari pisau lipat yang gompal, kancing jubah yang Zeralda renggut dan sikapmu yang selalu berusaha mendominasi pergerakan kami.”

Seringis geli terbetik dari bibir yang terdakwa, “Bukti hanya akan menjadi sebatas informasi kosong selama kau tidak bisa membuktikannya. Kau bilang aku adalah eksekutornya? Sayang sekali, aku tidak bekerja pada siapapun.”

Tiada sempat Dominic membalas, gemerisik suara suara glitch kembali berkumandang dari pengeras suara yang berada di sudut ruangan. Seluruh atensi kembali teralihkan demi mendapati seseorang yang kembali mengaungkan suaranya kepada para peserta.

“Tidak, kau memang eksekutornya, Batara.”

Semua tamu sontak saling berpandangan dalam keterkejutan, terutama Batara. Kali ini, bukan lagi suara rekaman berfilter robot yang biasa Game Master gunakan. Pemilik suara ini jelas sekali ialah seorang perempuan yang mereka kenali sebelumnya.

“Ini aku, Kasha. Aku belum mati, setidaknya belum. Jika kalian terkejut, ini hanya semata trik tipuan sederhana yang digunakan untuk membuatku seolah-olah mati dengan bantuan badai dan pautan jarak atap dengan ruang makan. Sama halnya dengan sekarang, Dominic membantu meretas jaringan komunikasi mansion di ruang monitor dan berbicara menggunakan perangkat mikrofon portabel yang kami bagi berdua. Jadi, meski berbeda lokasi, komunikasi kita bisa berlangsung secara dua arah.”

Dominic segera menguakkan mikrofon yang dimaksud dari balik kerah kemejanya pada para peserta lain. Bentuknya kotak dengan ukuran mini yang tersambung dalam jaringan infranet Mansion. Berbayang gusar, Batara mengepalkan jemari gemetaran.

“Seperti yang kukatakan pada Dominic, Batara adalah bawahan Game Master yang bertugas mengeliminasi orang-orang yang berpotensi menganggu jalannya permainan. Dimulai dengan pembunuhan Tuan dan Nyonya Foster. Pecahan pisau yang disebutkan Rogelio memang bukti pentingnya, tetapi Batara juga tidak berbohong. Skenario yang terjadi dalam kegelapan pesta penyambutan adalah letusan pistol yang digunakan sebagai decoy bagi para tamu. Lantas, penusukan terjadi dengan cepat pada punggung pasangan kanibal itu. Namun, sisa pecahan pisau di lokasi kejadian adalah bukti bahwa si penusuk bukanlah ahli senjata tajam.”

“Artinya, Batara memang bukan pembunuhnya?” terka Arabella.

“Benar, Batara bertukar peran dengan Game Master dalam insiden awal. Pisau yang disebut pemberian kakeknya itu dipinjamkan untuk menghabisi kedua orang tua si dalang.”
Kesal tengah dipojokkan, si Matrix sontak menyahut, “Lalu apa, Danvers? Itu tidak menjelaskan pembenaran atas tuduhan padaku.”

Hening mengudara sejenak, menyisakan riuh tapak langkah dan engahan napas yang menguar tipis dari pengeras suara.

“Kedua, pembunuhan Zeralda dan Jigsaw. Kali ini, kau menutupi kejahatanmu dengan rapi dengan bantuan Game Master. Istri Rogelio itu mengetahui keberadaan anak-anak Foster lewat buku yang ia temukan di ruang kerja, berikut pula Jigsaw yang berhasil menjejak identitas asli dari orang yang kau layani. Kalian berdua membunuh mereka berdua, meski pasti terluka bila melihat sekeras apa Zeralda menerima penyiksaan dari kalian.”

“Mulanya, kau menutupi memar yang tak semestinya di wajahmu dengan bantuin make up. Kemudian untuk kancing yang hilang, Game Master telah mempersiapkan jubah pengganti. Namun, di sanalah aku menyadari pergantian pakaian yang kau kenakan. Robekan, noda dan koyakannya dibuat memang semirip mungkin, tapi terdapat perbedaan mencolok antara jubah habis pakai dengan yang baru keluar dari penyimpanan. Terakhir, bekas gigitan di tangan kananmu. Kau berusaha menutupinya dengan sarung tangan. Sayangnya, autopsiku pada mulut Zeralda menunjukkan sisa kulit ari yang menempel pada giginya.”

“BATARA!” Rogelio praktis menyambar kerah Batara dengan kasar dan mendorongnya hingga menghantam teralis jendela. Dengan tatapan nyalang, duda itu mendampratkan serapahannya pada sang eksekutor yang semata memasang ekspresi datar.
“Simpan emosimu untuk nanti, Roge. Kita masih punya satu deduksi lagi tentang keterlibatan Batara dalam pembunuhan Floyd.”

Mata Arabella seketika membulat.
“Seperti kalian lihat, aku baru saja mendemonstrasikan eksekusi terhadap Floyd yang dilakukan olah Game master. Sekaligus bagaimana cara dia seharusnya masih selamat meski sudah jatuh ke dasar tebing.”

“F-floyd…Floyd masih hidup?”  seru sang kekasih bersambutkan rampai kelegaan. Namun dari balik panggilan, Kasha tidak acuh pada langutan rindu si muka mayat dan melanjutkan penjelasan.

“Sedari awal babak, Floyd yang kompetitif berniat untuk mengekori kelompok Dominic dan adiknya yang menuju lantai empat. Naasnya, keberadaannya sepertinya diketahui oleh tajamnya insting Aruna dan membuatnya memikirkan skenario untuk menghilang dari permainan sekaligus mengeliminasi saksi mata. Floyd meminta bantuan Batara untuk mempersiapkan panggung eksekusi baginya. Dari mencari jasad sekarat dengan perawakan fisik serupa dengan Floyd dan menciptakan distraksi dengan memancing perselisihan dengan jigsaw.”

“Kemudian, sebagaimana yang kalian lihat, Floyd memanfaatkan ilusi optik bersebab gelapnya malam dan hujan badai. Dia memilih atap sisi timur mansion sebagai panggung eksekusinya dengan asumsi terbatasnya sudut pandang dari ruang kita berkumpul. Selebihnya seperti yang kalian ketahui, ‘Floyd’ palsu itu jatuh dari ketinggian dan memecah belah kita. Alhasil, Batara memiliki kesempatan untuk membunuh Zeralda dan Jigsaw, sekaligus menggiring Rogelio  menemukan Aruna di sana. Aruna yang terpojok akhirnya menjadi sasaran empuk untuk di eksekusi dan di gantung sebagai pajangan aula utama.”

Tersadar akan keganjilan, Rogelio seketika menyerukan tanya, “Tunggu, jadi Game Masternya adalah…”

“Ya, seperti yang sudah disebutkan.”
Jawaban yang dinantikan tiada lagi berasal dari speaker, melainkan lantangan dari luar ruangan. Pintu kayu mendadak didobrak keras, mencipta alihan pandang dari keseluruhan sisa peserta. Dengan rambut yang masih kuyup bersebab imbasan hujan, Kasha yang kini telah berganti setelan berupa kemeja putih memasuki gelanggang penghakiman.

“Dia yang selalu muncul dimana saja, menemui setiap kelompok. Dia yang menambahkan peraturan pada babak pertama berdasarkan saran dariku. Dia yang berkamuflase bersama seorang gadis indigo demi memuluskan penyamarannya. Dia yang seenaknya bercitra sebagai Moriarty meski dengan kostum koboi. Dia adalah salah satu putra Keluarga Foster yang dihilangkan dari dunia dan kembali dengan identitas baru.”

Bibir Kasha mengatup sejenak, selantas mengedarkan tatapan ke seantero sudut yang temaram, “Kau ada di sini ‘kan, Floyd…Bukan, William F. D Foster?”
Lontaran dakwaan telah usai, menyisakan cekam keheningan bersisakan bahanaan topan pada keseluruhan penghuni ruangan. Belum sempat satu di antara mereka bereaksi, sebuah dengkingan keras tetiba memekakkan pendegaran. Derik suara glitch kembali membahana dari speaker. Dominic yang sedikit panik sontak mengotak-atik mikrofon nirkablenya, tetapi seketika sadar bahwa jaringan komunikasi yang tadinya ia retas telah kembali diambil alih.

“Luar biasa, pemaparan analisis yang menakjubkan.”

Kumandang suara kembali mengudara selepas jeda yang tercipta melalui gemerisiknya suara bak televisi rusak. Seolah sengaja dilakukan demi memperoleh kembali atensi, sang pemilik vokal yang jelas sekali berkepribadian narsistik itu tertawa lepas sembari bertepukan tangan untuk mengapresiasi. Kala bingung kembali menerpa seluruh penyintas, jam besar yang berada di dekat perapian tetiba bergeser pelan.

Berbayang samar, lorong yang tersembunyikan dari baliknya kini mengeluarkan sesosok pemuda jangkung dengan setelan jas yang rapi. Senyum lebar tiada lepas dari wajahnya kala kakinya menapaki pualam ruangan bersantap. Tangan kirinya mengenggam sebuah mikrofon nirkabel lain, berikut tangan kanannya teracung pada sosok Kasha yang melayangkan sorot getir.

“Sudah kuduga, kau memang Sherlock yang sebenarnya, Kasha Danvers.”
Senarai gelak kembali membanjiri gendang telinga, sekaligus mencipta sesulut murka pada durja Dominic, berikut juga Rogelio. Batara hanya semata membuang muka, lain hal dengan Arabella yang menampakkan binar pada kedua netranya.

Tanpa perasaan bersalah, pemuda rupawan yang mereka kenal sebagai Moriarty gadungan itu merentangkan kedua tangannya, menyambut seluruh tamunya yang masih bertahan hingga detik ini.

“Selamat datang di babak final dari Court of Cull!”

Floyd Archer – sang Game Master telah datang.

***

Bagian ini ditulis oleh Gilang_Gazi dalam sudut pandang Kasha Danvers.

_____________

Kasha Danvers


Umur: 25 tahun
Profesi: Bandar narkoba
Senjata: Crossbow
MBTI: ISTP
Kostum: Anna (Frozen)
Hobi: kontemplasi

Kostum Kasha








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: