22. The Final Problem
"Punya pemantik?"
Kehadirannya berhasil memantik kejut hingga berimbaskan sedakan napas pada sang pemilik mulut yang tengah syahdu menyesapi lintingan rokok. Kepala pemuda itu tertoleh bersama kerutan pada dahi, tertegun bersebab dilontari tanya oleh sosok yang tiadalah niatan baginya untuk diakrabi. Senarai kecanggungan tetiba menggelayuti kedua pelaku kriminal tersebut.
Enggan mengulang soalan, sang penanya mendengus pelan. Selantas menunjuk gulungan tembakau yang juga terapit di antara bibir mungilnya.
"Kecanduan nikotin juga?" sang pemakai kostum matrix itu berusaha tenang, sembari menguakkan pemantik api besi bercorak hitam doff-nya dari saku jubah.
Jemarinya yang kini terbungkus sarung tangan hitam gesit menarik roda pemantik, diikuti tekanan pada tombol gas. Percik-percik cahaya tercipta dalam sepersekian detik setelahnya, tersusul letupan pijar panas berona kejinggaan yang menyalinkan kilap tipis pada sepasang durja tanpa rasa itu.
Batara mengarahkan pemantiknya pada lawan bicara, mempersilahkan.
Bersambut seringai tipis, insan berparas elok itu mendekat diri pada nyala api. Perlahan ujung rokoknya yang semula berwarna gelap kini membara.
Sang gadis menyesap racikan rerempahan itu dengan perlahan, semula terbatuk, lantas berhasil meniupkan hasil respirasinya dengan anggun ke udara. Kendati masih berbinarkan pendar suluh yang kian pudar pada ujung koridor, netranya masih mendapati tebaran asap pada langit-langit.
"Kandelir baru itu indah juga", batinnya kala kembali menyapa gelaran artistik yang tengah dipertontonkan guna memancing gempita kepanikan baru bagi para penyintas lain di tengah lautan mayat aula mansion.
"Berhenti berlagak, kau jelas bukan perokok," cecar Batara memecah lamunan si gadis.
Pemuda jangkung itu waspada mengambil jarak sambil menopangkan bahu pada salah satu pilar, "Artinya, ada yang kau mau dariku 'kan?"
Tanpa peduli, Kasha hanya balas mengangkat bahu, "Kebetulan saja aku sedang butuh pelampiasan setelah muak melihat seratusan orang mati dalam lima jam terakhir. Di sini tidak ada penyimpang akal seperti kokain, LSD, juga mustahil berbuat senonoh. Jadi, apa salahnya mencoba candu yang baru?"
Terpancing geli, desis ringis buncah dari bibir anak turunan Chandrakanta itu.
"Setiap dari kita berhak punya respon tersendiri dalam menyikapi tragedi," si gadis bersurai gelap bak jelaga tak acuh, lebih tertarik menyaksikan keriuhan dari atas lantai dua, "Tidak semua orang terbiasa melihat mayat. Lain halnya dengan pembunuh kawakan sepertimu."
Gurat kaku bertorehkan rajah milik si pemuda bergantikan muram, tertohok akan tudingan halus yang mengetuki gendang telinganya. Sepasang netra bermanik birunya menyorot tajam pada dara muda yang masih santai menghisapi rokok.
"Aku ini profesional. Orang-orang sepertiku punya kode etik dan mekanisme tersendiri dalam pekerjaan. Kami tidak semena-mena memayatkan manusia, selain mendapat imbalan yang pantas."
"Begitu? Namun, kenapa kau tidak membuat dirimu berguna saat Rogelio mengautopsi Zeralda selayaknya profesional dalam pembunuhan?" Kasha menolehkan wajah, mencibirkan bibir dengan masam, "Bukan malah pergi seenaknya setelah menggotong jasadnya."
"Kau melihatnya?"
"Hanya aku yang menemani lelaki malang itu," sang pencitra putri Disney itu bersidekap, menyandarkan pinggang pada birai kayu. Iris kelabunya berbalik tilik pada tampilan si pembunuh bayaran lekat-lekat.
"Anggap itu caraku berbela sungkawa," Batara beringsut risih, kembali meniupkan kepulan nikotin, "Lantas, ada petunjuk yang didapat?"
Kasha sesaat bungkam, teralihkan atas ringkikan Dominic yang tengah lunglai bersama gumpalan kengerian yang mendera kepala. Bisu sesaat bergantikan jeritan tertahan kala tetesan cairan kental tetiba menghujani tengadahan tampang rupawannya.
Ternampak pula sang dokter bedah yang kelimpungan menilai keadaan, diikuti si gadis indigo yang patah-patah menunjuk benda yang bergelantungan pada langit-langit ruangan.
"Tidak banyak, selain fakta bahwa penyebab kematiannya adalah kehabisan darah. Terdapat dua luka tusukan benda tajam pada pinggang dan dada sebelah kiri. Juga indikasi adanya penyiksaan berupa retakan tengkorak belakang, pergeseran rahang, sekaligus memar pada sekujur badan," Ujar Kasha datar sembari memainkan batang rokoknya yang tinggal separuh, "Juga asumsi bahwa si pembunuh ialah seorang maniak penyiksaan ...."
Kini, terdengar pekikan Dominic demi memohonkan tangga atau apapun yang bisa menggapai benda yang dituju.
"...sekaligus eksentrik dalam kesenian," Sela Batara sembari mengangkat dagunya, menunjuk 'kandelir' yang baru terpasang di tengah aula.
Si penganut sapiosexual mengangguk pelan, mengiyakan. Para pemilik netra pastilah menyaksikannya, tentang mahakarya sinting yang dipajang terbalik pada permukaan interior. Bermandikan likuid merah dengan seruak aroma anyir, hasil pancaran luka yang direkahkan paksa secara abstrak.
Alihan rupanya tiada beda bak sang malaikat yang tengah rebah kala jatuh dari surga. Kedua tangannya tergelayut lepas, matanya terbuka lebar bersama mulut yang menganga. Tervisualisasikan bahwa jasad itu tengah siap melaknatkan derita serupa pada sekumpulan pendosa yang masih bertahan.
"Tragis sekali," Batara berdecak pelan, dihinggapi jemu atas semua kebiadaban yang telah disaksikannya, "Terpojokkan, dilumat mentalnya, dan mayatnya dijadikan pajangan."
Tubuh yang digantung terbalik itu ialah Aruna Dawson.
"Dia dibunuh terlebih dahulu, lalu dimutilasi," seloroh Kasha seraya memandangi Dominic yang berhasil menurunkan jasad Aruna yang nyaris kehilangan bentuk dengan bantuan Rogelio.
Bersama hardikan guntur yang masih menyahutkan gusar atas kalutnya duka, Dominic tengah menjelmakan identitas selayaknya anjing liar berlangutkan kasih dalam kubangan lara. Luruh. Hancur. Pemuda itu semata mengisakkan tangis pelan, merengkuh raga ringkih yang tulang lehernya telah patah itu. Tak kuasa digerus kenyataan pahit bermuasalkan impulsivitas penghakiman sepihak terhadap saudarinya.
Aruna tidak bersalah. Adik kecilnya tidak pernah terlibat apapun.
Aruna hanyalah korban.
"Maaf...maafkan aku," ratap Dominic. Perlahan, dielusnya wajah Aruna yang semata menyisakan siratan sengsara sebelum ruhnya tercerabut, "Harusnya aku tidak meninggalkanmu, harusnya aku mendengarkanmu, semestinya...kakak selalu percaya padamu..."
Putra sulung keluarga Dawson itu tenggelam dalam gerungan getir.
Hanyut, porak poranda dalam sesal katastropik mental. Ternampak tragis bagi para tamu lain hingga terikut ragu untuk menginterupsi ritus duka citanya.
Sang Sherlock tengah merana berbalurkan darah dalam payungan temaram.
"Jika kau minta pendapatku soal identitas dalangnya, maka curigailah keberadaan anak-anak Keluarga Foster di antara kita." Batara menjatuhkan sisa puntung rokoknya dan menginjaknya, "Cuma mereka tersangka paling memungkinkan untuk menggelar pembantaian di mansion keluarga sendiri."
Kasha menoleh, berupaya mengekspresikan peranjat atas fakta tersebut.
"Memang mengejutkan, pasangan kanibal itu ternyata jeli merahasiakannya dari media luar. Meski terlalu bodoh sampai ditumbalkan dalam akal bulus darah dagingnya sendiri." Ujar pemuda itu tiada acuh, beranjak menuruni tangga - enggan berlama-lama meladeni si gadis yang tak kalah menyedihkan.
"Darimana datangnya asumsi itu?" balas Kasha.
"Insting dan deduksi seorang profesional, sisanya pikir saja sendiri." tukas Batara dingin sembari terus menjauh.
Sekarang, dirinya terprioritaskan untuk menampakkan gestur simpatik atas kematian si bocah - sebelum mendapati cercaan merepotkan.
"Sayang sekali," Kasha mendesahkan kekecewaan, "Padahal sebaiknya kau tidak gegabah. Seperti yang terjadi pada jubah mahalmu."
Bersama langkah yang terhenti, daksa tinggi besar Batara menegang demi mendapati ujung kalimat barusan. Semula terundung bimbang, selantas menyadari tinggalan jejak kecil yang dilalaikan. Belum sempat sorot tajamnya mengejar si lawan bicara, tepukan lembut dari sosok yang dicari telah mendarat pada bahu kanan.
"Jangan buru-buru," bisik Kasha sembari mendahuluinya turun, "Malam masih panjang."
***
"Kalian sudah puas?"
Sengketa kembali menghujungkan lima sosok penilik remang itu dalam tumpatnya nuansa muram ruang bersantap. Sunyi sejenak, dunia mereka semata dilanda nyenyat, tersisakan dentum degupan jantung pada dada masing-masing. Petir tetiba berkilat, kembali menerangi durja si lelaki muda yang bibirnya tiada urung melantangkan murka.
"Setelah menyudutkan adikku, menudingnya tanpa bukti dan sekarang apa akibatnya? Aruna Mati! Dan itu semua karena kalian! Kalian puas?!"
Bungkam. Tiada seorangpun yang berniat membalaskan jawab atas tudingan Dominic.
"Jawab!" Bersama oktaf yang melonjak, netra beriris terang pemuda itu nyalang menatapi keempat lawan bicaranya, "Mana beribu argumen yang pandai sekali kalian lontarkan saat menghakiminya tadi?"
Kesiur angin sesekali menyelinap masuk lewat celah kaca yang pecah, mencipta atmoster tak mengenakkan di antara gelayut kebisuan. Setidaknya sampai penduduk bangku pada penghujung meja mengangkat kepalanya bersama mulut yang terbuka. Dari sana, lidah yang berujung kelu membaitkan segumam kata penuh ragu.
"Maaf."
Terpantik buncah amarah, Dominic sontak menerjang pada si penutur kata. Dia cengkram kerah yang dikenakan dan membanting tubuh tegap berbalut kostum putih itu kelantai. Tanpa perlawanan, ialah Rogelio yang hanya mampu berpasrah dengan tatapan bersalah.
"Jika bukan karena provokasimu, Aruna takkan mati seperti itu! Kau harusnya malu pada bangkai istrimu karena merenggut nyawa bocah tak berdosa."
"Setelah menyalahkan kami, kau mau bicara moralitas?" Muak dengan situasi, Arabella menyela bertawakan sinis dari arah jendela, "Sebagai kakak, bukannya kau yang bertanggung jawab menjaga adikmu itu baik-baik? Dia mati karena kau juga yang membiarkannya berkeliaran 'kan? Artinya, dia juga mati karenamu loh."
"Diam kau, lacur!" Dominic balas menyerapah si gadis indigo, "Sebaiknya tutup mulutmu dan doakan saja kekasihmu supaya betah dilalap jahanam."
Gadis muda dengan kepribadian ambang itu mengatupkan bibirnya bersebab terlukanya harga diri. Pitam kian memuncak kala jemari lentiknya tanpa ragu mencabut katana berbilah gelap dari pinggang dan mengacungkannya pada si detektif. Siap mengancamkan pertumpahan darah berikutnya. Tiga pasang netra lain sontak waspada terhadap perseteruan di tengah ruangan. Bersiap akan skenario buruk yang mungkin terjadi.
Di lain pihak, Dominic justru reflek mencabut pedangnya, "Jadi akhirnya kau menunjukkan wajah aslimu, game master? Pewaris utama Keluarga Lievy, sekaligus satu-satunya yang selamat dari pembantaian dari Foster bertahun-tahun silam. Sekarang, kau kembali dengan balas dendammu dan menyeret binasa semua orang demi menebus luka lama, begitu?"
"Jangan sok tahu," desis Arabella, "Jika aku pelakunya, bagaimana kau menjelaskan caraku mendapat banyak akses di mansion pribadi milik musuhku?"
Sadar telah melemparkan tuduhan tanpa landasan, putra Dawson itu mengelak bersembunyikan dengus kesal, "Pintar mengelak seperti pacarmu ya?"
"Oh tentu, aku menggaulinya saban hari."
"Kau-"
"Bisakah kalian diam?"
Gelegar suara yang memantul dari sudut ruangan itu lekas memecah perseteruan. Kala semua atensi telah tertuju padanya, dirinya kini menggaungkan tapak kaki demi menyibak gelap. Bersalinkan kemilap lilin, pemilik raut intimidatif itu menusukkan sorot dinginnya pada masing-masing penyintas dalam lindapnya ruangan.
"Mau bicara baik-baik atau kita langsung saja saling bunuh?" Ancam Batara sembari memandangi Dominic dan Arabella bergantian, "Aku jamin kalian akan mati tanpa rasa sakit."
Tepat sebelum emosi Dominic kembali menggelegak, Kasha yang semula hanya menyimak pertengkaran segera menginterupsi dengan berbalik tanya, "Apa yang kau bawa?"
Sebagai jawaban, Batara sekilas balas melirik pada si rambut panjang, lantas melemparkan buku bersampul tebal yang dibawanya ke atas meja makan, "Jawaban yang kita cari. Kuambil dari ruang kerja Tuan Foster."
"Album foto?" Rogelio yang telah bangkit dari rebah membuka lembaran awal buku bersampul hijau tersebut. Padanya, pria itu mendapati potret formal sebuah keluarga.
Terlihat seorang pria paruh baya bersetelan formal dengan wajah tirus dan senyum tipis, bersanding padanya wanita bergaun gelap yang tengah duduk anggun, juga bersisian sepasang anak berusia kurang dari sepuluh tahun dengan dandanan seiras dan wajah yang berguratkan pucat pada kamera.
Pada bagian bawah foto, terbubuh empat baris nama. Tuan dan Nyonya Foster, beserta kedua anaknya yang tidak pernah dimunculkan pada publik. Tersebut pula tanggal dan guratan tinta yang membuat dahi sang dokter dan para tamu yang berkumpul di sekitar meja terkernyit keheranan.
'Edward C. S Foster - Annelian Y. N Foster - William F. D Foster - Vanya L. K Foster.'
"Kita mesti menyelidiki orang yang sudah mati?" Dominic menautkan kedua alisnya, tidak mengerti. Bagi orang yang kerap terjun di sisi bawah internet, dia tahu pasti kabar urban tentang tentang Keluarga Foster yang mengganut endokanibalism dengan memakan keturunannya sendiri.
"Pasangan Kanibal itu sudah mati, tapi sepertinya tidak bagi mereka," timpal Kasha, sembari menyusurkan jemarinya pada potret yang telah menguning,
"William dan Vanya, anak-anak Foster. Tidak ada yang tahu pasti status dan keberadaan mereka sekarang. Mungkin saja mereka sungguhan sudah ditumbalkan seperti rumor. Namun, peluangnya tidaklah nol jika mereka sebenarnya cuma disembunyikan dan bergerak dari balik layar."
"Lalu, bagaimana caramu menemukan mereka, anak anjing?" cibir Arabella dengan lintangan seringai sinis.
"Tidak perlu dicari, satu di antaranya sudah bersama kita."
Tiada sempat Kasha balas mencibir, sahutan Batara duluan memercik keterkejutan di tengah perembukan. Bersama selinting rokok yang kembali membara pada sudut bibir, si Matrix itu merautkan roman jumawa atas serangkaian was-was berbalut curiga dari ekspresi para tamu. Rogelio menjadi penanya pertama yang menuntut penjelasan.
Batara tersenyum samar, "William F. D Foster, si anak sulung yang rupanya ikut bermain dan berhasil mempermainkan semua undangan. Tidak cukup pintar, tapi mengakalinya dengan kedok drama keluarga yang mengharukan. Benar begitu, Dominic Dawson?"
Tak terima tertuduh, Dominic balas melotot tajam.
"William F. Dominic Foster, cocok sekali namamu mengisi inisialnya," Batara terkekeh pelan, menghembuskan asap rokoknya ke udara, "Court of Cull semula adalah agenda kedua orang tuamu untuk memanen daging manusia. Namun, karena tidak sejalan, kau membunuh mereka demi mengambil alih permainan demi kepuasanmu. Menghindari kecurigaan, kau bersandiwara bersama gadis yang diberi identitas sebagai Aruna Dawson. Sebagai ahli peretasan, kau sengaja mempersiapkan adik palsumu itu sebagai tumbal dengan membuat poinnya selalu 0. Begitu tugasnya selesai, kau biarkan bocah itu mati seperti yang juga kau skenariokan pada bocah lain yang bernama Keith."
"Apa? Omong kos-"
"Lalu soal si humor gelap, dia korban pertama di babak ini. Dari semua peserta, hanya kau yang paling bermasalah dengannya sejak awal. Kenapa, William? Apa dia menganggu jalannya permainanmu? Atau supaya kau bisa mendominasi jabatan ketua?" cecar Batara, seraya menolehkan pandangan pada tamu undangan di ruangan, mencari persetujuan.
Berbekal dengusan, Dominic balas menimpali, "Hanya karena inisial, kau seenaknya menuduhku? Lihat, ada huruf F. Mungkin saja itu singkatan untuk William Floyd D. Foster." Decak disuarakan Arabella, tersinggung mendiang pacarnya kembali dibawa-bawa.
"Terserah kalian," sambung si Matrix itu demi menutup dakwaanya, "Kuperingatkan, Dominic adalah pemain yang paling diuntungkan sekarang."
"Akan tetapi, jika sekedar mencocokkan nama, tuduhanmu terlalu lemah." celetuk Kasha dengan jengah.
"Ya, selain itu kau sepertinya lupa satu bukti penting." Imbuh Rogelio. Tanpa ragu, Dokter jangkung berambut hitam ikal itu merogoh sakunya dan melempar bungkusan plastik yang disimpannya sejak awal acara ke meja.
"Ingat pecahan ini? Pecahan dari pisau yang kau gunakan untuk menghabisi tuan rumah. Asal kau tahu, aku adalah orang yang memeriksa tubuh mereka, jadi mataku tidak bisa dibohongi. Berdasarkan pada diameter luka, juga setelah memegang sendiri pisaumu di dapur dan betapa familiarnya darlingku dengan dentingan jatuhnya, aku yakin itu kau, Batara. Kau pembunuhnya!"Damprat pria yang baru saja menduda itu dengan tatapan membeliak.
"Jaga mulutmu!" bentak Batara dengan geram, "Kalau aku pembunuhnya, apa alasanku? Motifku? Selain itu, apa untungnya aku menggelar pembantaian massal? Aku ini dari keluarga terhormat Chandrakanta, mana sudi menjadi anak keluarga kanibal."
Terkikik kecil, Rogelio melanjutkan tutur, "Aku bukan menuduhmu sebagai dalangnya, tapi serigala. Sejak awal, aku mestinya sadar alasanmu berada di ujung belokan dekat ruangan Zeralda dan Jigsaw terbunuh. Itu karena kau barusan dari sana 'kan? Kau bajingan yang membunuh istriku! Cara menusuk yang sama, bekas pukulan dan juga ini!"
Selemparan benda mungil berbentuk bundar membentur dahi Batara. Pemuda itu bergeming, menatapi sebuah kancing gelap yang kini tergeletak di dekat sepatu botnya.
"Kancing jubahmu yang Zeralda sembunyikan di bawah lidahnya." Tandas Rogelio disertai seluruh tatap yang terarah pada sang lawan bicara.
Hening sejenak mengudara, setidaknya hingga sebersit gelak tipis menguar dari bibir gelap putra Chandrakanta itu.
Menganggapnya ejekan, panas hati mengantarkan Rogelio untuk merenggut kerah jubah si Matrix. Dari dekat, ditatapinya netra biru kejora yang semata menyiratkan ketiadaan makna itu.
"Kau jadi menyebalkan seperti istrimu." Batara seketika balas mencengkram pergelangan Rogelio, "Kau bilang aku serigalanya, padahal kau sendiri berada di dekatku saat menyaksikan eksekusi Floyd."
Erangan sakit membuncah dari mulut si dokter kala cengkraman telah bergantikan pelintiran kasar. Dengan tenang, Batara mengambil kancing yang tergeletak di lantai dan memasukannya kembali ke kantong baju mantan rekannya itu.
"Ini bukan milikku, lihat saja sendiri." Kedua tangan Batara terentang, menunjukkan kepada kepada semua yang hadir betapa cacat logika berpikir yang dituduhkan padanya.
"Omong kosong!" maki Rogelio setelah mendapati jumlah kancing pada jubah gelap itu masihlah utuh, "Kau pasti serigalanya! Kau lebih dari punya alasan untuk membunuh istriku!"
"Namun tidak pada Floyd atau adik palsu si William ini." Tandas Batara demi mengakhiri perdebatan.
Berharap dukungan, mata Rogelio berkejaran menatapi para tamu di sekelilingnya. Arabella memilih membuang muka, enggan menanggapi. Dominic hanya mengetatkan rahang, larut dalam emosi dan pikirannya sendiri. Adapun kala sepasang manik beririskan warna coklat itu menatapinya dengan memelas, Kasha hanya meresponnya dengan buangan muka.
"Maaf, Roge. Batara memang bukan serigalanya."
***
Bagian ini ditulis oleh Gilang_Gazi dalam sudut pandang Kasha Danvers.
____________
Kasha Danvers
Umur: 25 tahun
Profesi: Bandar narkoba
Senjata: Crossbow
MBTI: ISTP
Kostum: Anna (Frozen)
Hobi: kontemplasi
Kostum Kasha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro