Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. All Things We Lost

Rogelio tidak bisa menemukan apapun. Nampaknya keputusan untuk berpencar tidak benar-benar efektif untuk menemukan siapapun di balik permainan terkutuk ini. Lelaki itu mulai menyesal berpisah dari istrinya, karena yang ia temukan di sepanjang lorong dan ruangan yang ia susuri hanya bekas-bekas kengerian.

"Sial!" bisiknya geram. Mulai muak dengan bau amis darah dan mayat-mayat yang bergeletakan di berbagai tempat. Ia ingin keluar dari neraka ini, membawa serta Zeralda dan pergi jauh-jauh dari pulau terkutuk yang memerangkap mereka.

Seandainya bisa, seandainya ada cara, hatinya berbisik pahit. Hatinya kian lama kian panas. Sesal melahapnya bulat-bulat sebab fakta yang tak bisa ia elak, tidak ada jalan keluar. Dalang permainan ini kelewat cerdik. Kini peserta hanya bersisa sembilan dan seorang telah mati. Semua orang yang bertahan pastinya telah tahu, siapapun dalangnya, ia ada di antara mereka.

"Persetan dengan dalang, sebaiknya aku mencari Zeralda," putusnya kemudian.

Rogelio baru hendak berjalan menuju tangga tatkala matanya secara tak sengaja menangkap seseorang tengah mengendap di balik dinding lorong. Rogelio dapat mengenalinya dari pakaian yang dikenakan pria itu.

"Sedang apa kau?"

Batara terlonjak, hampir membuat dirinya tersungkur kalau saja kaki pria itu tidak refleks menahan tubuhnya yang oleng. Mata Rogelio memicing penuh curiga. Semerta saja benaknya disusupi perasaan janggal terlebih setelah melihat lagak ganjil pria itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" cecarnya lagi. Namun Batara justru memelototinya. Seraya menatap tajam, Batara menaruh telunjuk di depan bibirnya sebagai isyarat diam.

Lantas pria itu berbisik, "Aku mendengar sesuatu dari ruangan itu."

Ujung mata pria itu kemudian mendelik ke arah ruangan berpintu hijau di balik dinding lorong tempat lelaki itu mengendap-endap mencurigakan. Rogelio menjulurkan lehernya ke arah lorong. Hening. Ia tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi Batara tetap tidak melemaskan raut wajahnya. Pria itu bahkan berkeringat dingin.

Suara debuman terdengar membahana secara tiba-tiba. Keduanya serentak terperanjat akan ketegangan. Rogelio buru-buru menarik kepalanya dan menahan napas. Kini ia juga merasakan jantungnya berdegup kencang. Tetiba saja sunyi yang merayapi sepanjang lorong itu jadi terasa begitu mengancam.

"Menurutmu siapa?" bisiknya pada Batara.

"Pasti dalangnya. Entah siapa yang sedang dibunuhnya. Kita harus menangkapnya."

Rogelio dan Batara melangkahkan kaki mendekati ruangan itu. Mereka menjaga pijakan sepelan mungkin. Ini adalah kesempatan emas. Siapapun yang berada di ruangan itu adalah kunci bagi keduanya dan semua peserta yang tersisa untuk bisa keluar dari sana. Rogelio merasakan jantungnya berdebar kian kencang hampir membuat napasnya memgombak tak terkendali. Namun ia harus tetap tenang atau orang di dalam sana akan menyadari keberadaannya dan kabur sebelum ia dan Batara berhasil mengetahui identitasnya.

"Sial."

Keduanya mematung begitu mendengar umpatan yang bergema dari ruangan berpintu hijau itu. Rogelio hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Namun melihat ekspresi Batara yang juga sama terkejutnya membuat lelaki itu begitu yakin bahwa apa yang didengarnya tidak salah.

"Suara anak perempuan?"

"Mungkin salah dengar." Batara berkata skeptis, yang hampir disetujui oleh Rogelio. Ia tidak ingin mempercayai nyawanya baru saja dipermainkan oleh seorang anak perempuan. Ide itu terdengar begitu gila dan mustahil. Namun setelah semua yang terjadi, Batara tidak bisa tidak mempertimbangkannya. Kalau dipikir-pikir lagi, semua yang menerima undangan itu adalah penjahat kelas kakap dari berbagai usia di seluruh dunia.

Bukan tidak mungkin juga, sih.

Seseorang di dalam menghela napas tatkala ia bergumam, "Akhirnya mati juga dia, Zeralda ...."

Nama yang baru saja tersebut membuat mata Batara membola, tetapi Rogelio merasa jantungnya baru saja berhenti berdetak. Semerta adrenalin berpacu hebat di dalam tubuhnya dan otot-otot kakinya bergerak sendiri membawa ia ke ambang pintu.

Dan jatuh lelaki itu di atas lututnya. Runtuh segala harap yang pernah digenggamnya. Rebas dalam sekali pandang. Di mana kengerian yang tersuguh di hadapan dirinya baru saja menamparnya dengan begitu kejam. Rogelio ingin menyangkal dirinya sendiri, tetapi rebahan tubuh naas istrinya dalam benaman merah darah membungkamnya tanpa penyangkalan. Memakunya dalam gamang dan duka.

"Aruna?" Batara yang menyusul di belakangnya membuatnya tersadar bahwa ada orang lain di dalam sana.

Aruna, orang terakhir yang akan Rogelio dan Batara curigai. Aruna hanya gadis kecil. Satu-satunya anak remaja di antara mereka dan Rogelio yakin dia paling lemah, terlepas dari bagaimana cara gadis itu bisa bertahan hingga saat ini. Namun di sinilah ia, berdiri tak jauh di samping tubuh istrinya yang tak lagi bernyawa. Menggenggam sebilah pisau dengan tangan dan tubuh yang penuh bercak darah.

"Kau!"

Kepala Rogelio serasa disambar petir. Darahnya mendidih hingga ke ujung kepala. Dengan cepat lelaki itu maju dan menangkap tangan Aruna yang menggenggam pisau. Ada bercak darah dan bekas gigitan yang dalam di sana. Matanya kemudian beralih pada tubuh Zeralda.

"Apa?! Kau pikir aku yang membunuh mereka?" ujar gadis itu tajam.

Kata-katanya membuat Rogelio dan Batara menyadari bahwa Zeralda bukan satu-satunya mayat yang ada di sana. Di sudut ruang Jigsaw tergeletak, sudah tidak bernyawa. Badannya tertimpa lemari dan darah menggenang di sekitarnya.

"Sayang, oh, tidak ... istriku, Darling," gerung Rogelio pahit. "Tidak, tidak, kenapa jadi begini ...."

Tangannya gemetar hebat tatkala jemarinya menyentuh Wajah istrinya yang kian memucat. Matanya masih terbuka namun tidak ada kilap kehidupan yang senantiasa memancar darinya. Mata itu kini hampa. Redup tak lagi punya nyawa. Mata istrinya yang selalu memancarkan aura kuat, wanitanya yang kuat. Kini yang tersisa tak lain hanyalah berkas kengerian yang tercetak di ekspresi terakhirnya. Seakan memberi tahu Rogelio bahwa Zeralda pernah begitu tersiksa sebelum menghembuskan napas panjang.

Zeralda yang malang. Wanitanya yang malang.

"Uh, Darling uhh ...." Tangan Rogelio bergetar mengambil sebuah foto kecil yang terlipat di sakunya. Menyapukan jemarinya di permukaannya, mengusap wajah Zeralda yang terlihat begitu hidup di dalam sana, tapi tidak lagi.

Memeluk istrinya yang mati, terisak ia, hancur ia. Tenggelam dalam rebas air mata, juga gelap murka. Perlahan, matanya yang basah naik ke arah Aruna yang juga menatapnya dengan tatapan dingin. Mata yang baru Rogelio sadari bahwa di baliknya gadis itu juga menyimpan kegilaan.

•••

Perih menjalari kulit kepalanya kala rambutnya ditarik kuat oleh lelaki yang kini tengah kalut dalam kemurkaannya sendiri. Aruna mengerti, Rogelio tengah berduka. Namun menyalahkannya atas kematian istrinya adalah sebuah kebodohan. Sayangnya, Rogelio yang kepalang kalut tidak bisa dihentikan, bahkan oleh Batara yang terlalu terkejut dengan semua yang baru saja terjadi.

Rogelio menyeretnya ke ruang perkumpulan. Wajah lelaki itu merah padam, matanya menyalang tajam. Membuat Kasha dan Arabella terkejut begitu mendapati lelaki itu datang dengan kehebohan.

"Aku menemukan dalangnya!" seru Rogelio ke sepenjuru ruangan.

Tubuh Aruna dilemparnya ke tengah-tengah mereka. Gadis itu mengerang sakit. Matanya lantas menatap tajam Rogelio yang kini menggila. Sebelum Rogelio bisa kembali menyerangnya, Aruna segera berdiri dan menodongkan pistol yang ia ambil di bekas-bekas kerusuhan sebab pistolnya sendiri disita di awal permainan. Semua yang ada di ruangan itu lantas bersiaga.

"Jangan mendekat, atau kutembak." Aruna memperingatkan.

"Kenapa tidak pakai pisau? Seperti kau membunuh istriku!" geram Rogelio. Giginya bergemeletuk melihat Aruna yang seakan tak punya rasa bersalah.

"Ada apa ini?" tanya Kasha.

"Dia membunuh istriku!" tuding lelaki itu. "Kau tahu? Serigala dan domba. Permainan sialan itu. Itu yang sedang terjadi di sini. Dia membunuh istriku. Dia serigala. Dia dalangnya. Kalau tidak, untuk apa dia membunuh istriku dan Jigsaw."

"Dia bohong." Aruna segera menampik. Pistolnya masih siaga. Menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya yang kini menatapnya penuh penilaian.

"Tutup mulutmu, Anak Iblis!"

"Apa kau melihatnya? Kau melihatku membunuhnya? Tidak 'kan? Hentikan omong kosongmu sekarang juga. Kau hanya membuat dirimu terlihat bodoh."

"Dia? Dalangnya?" Kasha berujar skeptis. "Apa kau yakin? Dia tampaknya terlalu muda untuk melakukan hal segila itu. Maksudku, anak kecil itu bisa apa?"

"Ya, dia bisa apa?" timpal Ara. Memandangi Aruna dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau mau bilang kalau kita semua sedang dipermainkan oleh anak SMA? Jangan bercanda. Aku tidak akan sebodoh itu sampai terjebak di permainan bocah."

"Permainan bocah yang kau bilang itu telah merenggut nyawa banyak orang! Termasuk pacarmu dan Zeralda. Apa kalian tidak merasakannya? Kita semua sedang ditipu. Anak itu benar-benar gila, dan kita terlalu bodoh untuk membaca permainannya. Dia ... membuat kita meremehkan apa yang seharusnya tidak kita entengkan."

Aruna mendengus tak percaya. "Omong kosong macam apa itu—"

"Aku bilang tutup mulutmu, Sialan!"

Rogelio sudah gila. Amarahnya membutakan lelaki itu hingga tak tanggung-tanggung. Tanpa pertimbangan apapun lelaki itu melayangkan kursi kayu di dekatnya ke arah tangannya. Hal itu membuat pistolnya terlempar jauh. Menyadari posisinya mulai tersudut tanpa perlindungan, bulu kuduknya langsung berdiri. Adrenalin memacunya untuk berpikir cepat. Cepat-cepat gadis itu menyapu segala arah. Pandangannya langsung berhenti pada Arabella yang berdiri tak jauh darinya. Spontan Aruna menghadang katana yang menenteng di sabuk gadis itu dan melayangkan ujung bilahnya ke leher Rogelio. Tampaknya gadis itu juga mencuri senjata dari mayat lain.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!"

Tangan Aruna bergerak gesit memindahkan ancaman ujung tajam katana ke leher Arabella yang hendak mendekatinya. Memaksa gadis itu untuk tidak menghapus jarak yang ada.

"Jalang kecil ini ... kembalikan atau kau akan kucincang hidup-hidup!"

"Jangan mendekat," katanya dingin. Masih berusaha setenang mungkin. "Jangan berpikir kalian bisa melukaiku hanya karena aku yang termuda."

"Ya, jangan berpikir kalian bisa melukai adikku."

Suara Dominic yang sarat akan ancaman mengejutkan semua orang yang ada di sana. Tidak ada yang mendengar lelaki itu datang. Tahu-tahu ia sudah ada di antara mereka, mengacungkan kedua pedangnya pada Rogelio dan Arabella.

"Apa-apaan ini?" Masih bersiaga, lelaki itu berpindah membelakangi adiknya. Menjadi tameng perlindungan.

"Harusnya kau tanyakan itu pada adikmu, Sialan! Gadis itu membunuh istriku dan Jigsaw."

"Apa?"

"Aku tidak membunuh mereka," bantah Aruna cepat.

"Kau membunuhnya!" gerung Rogelio. "Kalau tidak, sedang apa kau di ruangan itu? Hanya kau yang ada di sana dan kau memegang pisaunya."

"Pisau itu sudah ada di sana saat aku datang. Aku hanya mencabutnya dari badan istrimu. Kau pikir aku setega itu membunuh orang yang pernah memberiku makan?! Kalau aku ingin membunuhnya, aku tidak akan memberikan kalian peringatan soal Floyd. Nah, orang itu satu-satunya yang tidak ada di sini. Mungkin dia sedang bersih-bersih mengelapi darah istrimu setelah mencabik-cabiknya."

"Jaga mulutmu, Sialan!" Arabella berseru panas. Tangannya mengepal selagi matanya menyalang ke arah Aruna.

"Kenapa?" Dominic buka suara. "Kau tidak terima kalau Floyd jauh lebih mencurigakan daripada adikku? Jujur saja, semua yang di sini sepakat kalau si Brengsek itu jauh lebih masuk akal, bukan?"

Mata Dominic berpaling ke arah Kasha, meminta persetujuan. Namun Kasha justru menurunkan pandangannya ke bawah. Gadis itu mengulum bibirnya ragu sebelum membalas, "Dominic, aku rasa kita tidak bisa mencurigai Floyd."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Karena dia sudah mati," tandas Rogelio.

Aruna dan Dominic membulatkan mata tak percaya.

"Tidak mungkin." Aruna menggelengkan kepala, menolak mempercayainya.

"Ya, teruslah berakting, Jalang. Aku tahu kau yang paling tahu soal ini."

Kepala Dominic mulai memanas mendengar segala tuduhan tak berdasar yang dilayangkan ke arah adiknya. Dengan berbalut amarah tangannya menekan ujung pedang ke leher Rogelio. Ini adalah peringatan bahwa Dominic tidak akan segan-segan.

"Sebaiknya hati-hati dengan apa yang kau katakan selagi kau tidak punya bukti."

Rogelio tertawa sinis. "Buktinya sudah terpapar di hadapan kita semua."

Semua orang yang mendengarnya melebarkan mata.

"Kau punya bukti?" tanya Kasha mencoba memastikan.

"Tidak langsung, tapi coba pikirkan, sungguh aneh ada anak remaja yang bisa bertahan sampai sejauh ini tanpa satu luka pun."

Dominic menjatuhkan pedangnya dan menyambar kerah Rogelio kasar. "Itu karena aku yang melindunginya!"

"Dan karena dia sangat gila! Gadis mana yang bisa memukuli orang sebesar Jigsaw sampai babak belur? Dia bahkan membunuhnya!" Rogelio balas mendorong Dominic menjauh darinya. "Sebelum ini, Jigsaw pernah mengatakan bahwa dia adalah dalangnya. Aku yakin dia cukup pintar untuk melakukan itu. Dia menemukan lantai empat katamu, atau dia bisa saja berpura-pura menemukannya. Lalu menggiring orang-orang untuk saling bunuh di sana. Untuk kesenangan gilanya."

"Itu tidak membuktikan apapun—"

"Bukan hanya itu!" seru Rogelio. "Nama adikmu itu Aruna 'kan? Apa kau tidak pernah lihat papan skor sampai tidak menyadari keanehannya?"

Semua lantas memandang layar monitor yang tergantung di atas langit-langit. Monitor itu memperlihatkan nama-nama yang bertahan dan jumlah skor mereka selama permainan.

"Skornya nol," gumam Batara.

"Benar sekali. Apakah kalian tidak merasa aneh? Seorang anak yang bertahan, tidak mungkin seberuntung itu tanpa pernah membunuh satu orang pun di sini. Aku yakin dia memanipulasinya agar dia kelihatan lemah, dan benar saja. Tidak ada satupun dari kita yang pernah mempertimbangkannya sebagai serigala itu, bukan? Tidak kecuali istriku dan Jigsaw, dan sekarang mereka mati."

Kata-kata Rogelio membuat Dominic terdiam. Benar. Aruna bukan tidak pernah menumpahkan darah di tangannya. Lelaki itu bahkan melihatnya sendiri, bekas-bekas pesta pembunuhan yang terjadi di lantai empat. Di mana hanya adiknya yang masih berdiri. Namun sebanyak apapun nyawa yang telah direnggut Aruna, skornya tidak pernah berubah. Kenyataan itu membuat Dominic bergidik. Mau tidak mau benaknya dibanjiri banyak prasangka.

Matanya memandang Aruna lekat-lekat. Ekspresinya tidak banyak berubah. Tidak menunjukkan ketakutan atau panik. Kendati demikian Dominic dapat membaca kewaspadaan yang menyelimuti wajah Aruna. Lelaki itu lantas menggeleng kuat. Merasa bersalah karena sempat tergoyahkan oleh omong kosong Rogelio.

"Kau bilang Zeralda dibunuh dengan pisau? Sayang sekali, Aruna bukan pengguna pisau. Dia bahkan bukan petarung jarang dekat. Dia seorang penembak. Mungkin kau harus cari tahu dulu sebelum menuduh orang sembarangan!" tutur Dominic tajam.

"Benar juga," sahut Kasha. "Seorang penembak jarang bisa unggul di pertarungan jarak dekat. Dan lagi, kau menuduhnya menghadapi dua orang dengan sebilah pisau. Entahlah, Roge. Kurasa kita belum bisa menyebutnya benar-benar seorang dalang."

"Atau gadis itu cukup pintar untuk tidak menggunakan senjatanya sendiri," bantah Arabella. "Kalau aku jadi dalang, aku tentu tidak akan menggunakan katanaku untuk membunuh. Lagipula, siapa tahu dia punya kaki tangan."

Arabella menyilang tangan. Matanya mendelik tajam ke arah Dominic. "Atau justru kau kaki tangannya."

"Apa?"

"Masuk akal saja. Aruna tidak mungkin melakukan semua ini seorang diri. Kau bilang kau kakaknya 'kan? Mungkin serigalanya ada dua. Dari semua peserta yang tersisa, cuma kalian, aku dan Rogelio yang punya hubungan dengan peserta lain. Aku dan Rogelio sudah kehilangan pasangan kami. Tapi kalian dengan begitu solid dan heroik selalu selamat dan bersama-sama.

"Sejujurnya, aku setuju dengan Rogelio. Aruna lah yang paling diuntungkan posisinya saat ini. Dia yang termuda dan skornya selalu nol. Membuat kami selalu merasa dia yang terlemah dan tidak berguna. Tapi dia orang pertama yang menemukan lantai rahasia. Dia bisa berdalih karena dia punya seorang kakak yang hebat yang melindunginya setiap saat. Tapi, jujur saja, setiap kali kelompokku berpapasan denganmu, tidak pernah ada Aruna di sana. Kalian bergerak sendiri-sendiri dan menurutmu, apa yang bisa meyakinkan kami kalau kalian tidak sedang bersandiwara dalam drama mengharukan seperti kisah dua bersaudara yang saling melindungi?"

Dominic mendengus. "Itu tetap tidak bisa membuktikan apapun. Kalian bisa membuat cerita khayalan sesuka kalian, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa kami dalangnya."

Tawa kecil terdengar dari bibir Rogelio. Menarik perhatian semua orang.

"Kau melupakan satu hal, Dominic," kata lelaki itu, "Hanya kau dan adikmu yang tidak ada saat Floyd didorong dari tebing."

Dorr!

Suara tembakan menggelegar di sepenjuru ruangan. Menyela keributan yang tengah panas-panasnya. Dominic dan yang lain menaruh pandang ke arah Aruna yang rupanya menjadi orang yang melepaskan peluru. Tangannya masih teracung ke arah Langit-langit, moncong pistolnya masih berasap. Wajah gadis itu dingin. Namun dalam kilat di matanya begitu kentara gelegak amarah yang meledak-ledak di dalam kepalanya.

"Yang kudengar sejak tadi tak lain hanyalah omong kosong yang mencerminkan kebodohan kalian semua. Kita terperangkap dan kita semua bodoh! Siapapun dalangnya, pasti sedang menikmati pertunjukan yang kita sajikan.

"Tidakkah kalian berpikir bahwa ini yang dia inginkan? Membuat kita terpecah belah dan saling menuduh. Membuat kita lupa kalau tujuan utama kita adalah mencari jalan keluar dari sini."

Arabella maju selangkah menantangnya. "Kalau kau belum sadar, itulah yang sedang kita lakukan, Bodoh. Mencari dalangnya adalah satu-satunya jalan keluar dari—"

"Itu yang mereka inginkan!" Aruna memotong. "Mereka ingin kita percaya kita bahwa itu satu-satunya jawaban. Agar kita berpartisipasi dalam permainan sialan ini dan menghibur mereka. Ya, aku rasa mereka berhasil. Lihat saja yang sedang terjadi. Semua orang menuduh tanpa bukti. Benar-benar tontonan yang menarik."

"Ha! Jangan lupa tidak ada yang bisa membuktikan bahwa kau tidak bersalah."

"Tidak ada juga yang bisa membuktikan bahwa aku bersalah!" Kata-katanya membuat Rogelio membungkam mulutnya rapat. Aruna memandangi satu persatu orang yang ada di sana. Menyerukan peringatan tersirat dalam kilat amarah di matanya sebelum ia menandaskan perdebatan itu dengan sebuah kalimat. "Silahkan menuduhku sesuka kalian, tapi buktikan kalau aku benar-benar dalangnya."

•••

Helaan napasnya membentuk uap embun di permukaan kaca jendela besar ruang makan. Hujan mulai turun lagi dan udara semakin dingin. Setelah perdebatan sengit itu, semua peserta yang tersisa setuju untuk menahan segala tuduhan sampai ada yang benar-benar bisa membawakan bukti konkrit. Ruangan itu kini hening, meski semua orang berkumpul di sana.

Rogelio dan Batara membawa mayat Jigsaw dan Zeralda ke ruangan untuk di periksa. Kasha berdiam diri di meja makan sembari mengurut hidungnya. Arabella terpaku pada kaca tempat ia menyaksikan akhir tragis kekasihnya. Sementara Dominic dan Aruna mengasingkan diri mereka di sofa di ujung ruangan yang berhadapan dengan jendela. Masing-masing sibuk dalam pikirannya sendiri. Tidak ada yang tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk keluar dari sana.

Sekakmat.

Aruna menghela napas lagi. Meskipun berhasil bertahan hingga saat ini, ia merasa kalah. Semua orang yang ada di sana sudah kalah telak. Aruna paham benar apa yang sedang dalang permainan itu coba lakukan, sebab ia sendiri adalah seorang pecinta permainan. Sejak awal, fase demi fase yang terjadi malam ini membuatnya semakin sadar bahwa mereka hanya semakin dekat dengan kekalahan. Dimulai dari pembunuhan, pembantaian, permainan poin, permainan serigala dan domba sampai kemudian tuduhan-tuduhan liar yang mulai tercipta, Aruna sadar benar bahwa mereka sedang bergerak sesuai dengan apa yang dalangnya inginkan.

Dan ia merasa semakin marah sebab sampai saat ini ia belum berhasil meretas sistem yang dibuat sang dalang.

"Aruna."

Suara Dominic yang terdengar begitu letih mendistraksi lamunannya. Gadis itu menoleh ke arah kakaknya yang tengah bersandar malas pada sofa tunggal. Air mukanya benar-benar kalut. Semerta saja Aruna merasa kerutan-kerutan halus di wajah Dominic terlihat lebih kentara.

"Ya?"

Dominic bangkit. Dengan lesu ia menghamburkan dirinya pada tubuh adiknya. Memeluk Aruna dengan begitu erat seolah-olah tidak ada hari esok untuk melakukannya lagi. Seolah-olah itu adalah pelukan terakhir mereka.

Aruna sejatinya tidak pernah suka dipeluk. Dapat terhitung jari seberapa sering ia membiarkan Dominic memeluknya. Namun dalam lekap tubuh keduanya, Dominic memberikannya rasa hangat yang menyirnakan dingin yang menusuknya. Dalam dekap eratnya, Dominic memberikannya rasa aman dan nyaman yang tidak Aruna rasakan selama beberapa jam terakhir. Dan ia mendapati tubuhnya melemas, melebur dalam tautan sayang Dominic yang nyatanya ia rindukan.

Aruna baru menyadari bahwa sejak tadi tubuhnya selalu menegang, dan ia benar-benar membutuhkan pelukan itu.

"Kau tidak apa-apa?"

Aruna mengangguk kecil saat mereka mulai saling melepaskan diri. Dominic mengusap wajahnya, menepikan helai-helai rambutnya, mencoba menghapus sebisanya bercak-bercak darah yang menghiasi wajah dan kulit tangan Aruna. Lelaki itu lantas melihat sekitar, memastikan tidak ada yang memperhatikan sebelum secara diam-diam ia membawa Aruna melipir ke lorong samping yang terhubung dengan ruang makan.

"Kau sungguh tidak apa-apa?" tanyanya sekali lagi.

"Ya, aku baik-baik saja." Aruna mengamati raut wajah kakaknya. Dominic terlihat begitu gelisah, lebih dari pada saat mereka berdebat tadi. "Dom, ada apa?"

"Ehh ...." Dominic tergugu-gugu.

Sikap tak biasa kakaknya membuat Aruna menegang lagi. "Ada apa? Apa ada masalah?"

"Tidak! Hanya ... Aruna, mungkin kau bisa jujur padaku sekarang."

"Apa?"

"Apa ... apa kau dalangnya?"

Gelegar halilintar menyambar langit. Namun suaranya tidak lebih keras dari apa yang tengah memorakporandakan sanubari gadis itu. Aruna tidak pernah menyangka, tidak sekalipun pernah terbesit dalam pikirannya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari lidah Dominic. Dari pintu bibir kakaknya sendiri yang selama ini selalu mati-matian membela dan mempertahankan dirinya.

Namun, rupanya yang terjadi justru sebuah ironi. Ketika satu kalimat itu dipertanyakan, Aruna terpaku dalam gamang lagi resah. Rasa tidak percaya, kecewa, mendadak riuh mengumbar. Seperti ada sengat listrik yang menjangkiti ujung-ujung jarinya, Aruna dibuat gemetar lagi penuh ketakutan.

Betapa teganya.

Aruna tidak mampu berkata-kata. Lidahnya kelu menyaksikan Dominic yang nampak hilang arah, tetapi lelaki itu dengan begitu sadar melayangkan padanya tuduhan yang teramat keji.

"Apa kau bercanda?!" Tanpa sadar Aruna meninggikan suaranya. Membuat Dominic kelimpungan takut ada yang mendengar mereka.

"Sstt ... Aku, aku tidak akan marah. Setelah semua yang terjadi, kurasa aku bisa mengerti."

"Teganya kau ...." Aruna menggelengkan kepala tidak percaya. "Teganya kau, Dominic. Kakakku sendiri—"

"Aruna, Ayolah!" Dominic mengusap wajahnya kasar. "Maksudku, kau selalu ... kau selalu menghilang. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan malam ini. Aku bahkan tidak pernah benar-benar melindungimu. Kau juga—kau juga selalu suka permainan bukan? Setiap hari kau selalu di kamarmu bermain di depan komputer. Kau juga pernah bilang kalau kau ingin mencoba menciptakan permainan. Rogelio benar. Kau cukup cerdas untuk merancang semua ini. Tidak! Kau memang sangat cerdas. K-kau juga suka kematian. Kau ... kau selalu bilang ingin mati. Kau ingin melihat orang-orang mati karena menurutmu kehidupan itu memuakkan. Jadi—apa, a-apa ini caramu mewujudkannya—"

"Dominic!"

"Kau! Ka-kau juga aneh hari ini. Biasanya kau tidak suka keluar kamar meski hanya untuk makan, tapi kau rela datang jauh-jauh kemari hanya karena ada undangan aneh." Dominic menarik napasnya dalam-dalam. Tangannya terulur ke atas bahu Aruna. Menatap adiknya dengan tatapan dalam. "Aruna, aku akan bertanya sekali lagi. Apa kau dalangnya?"

Alih-alih menjawab, Aruna terdiam. Seribu bahasa mendadak asing di lidahnya. Aruna kehilangan cara untuk berkata-kata. Baik perihal kekecewaan ataupun ketakutan dan kemarahan. Semua redam di ujung lidahnya yang membeku. Semua bergumpal di relung benaknya yang mulai parut. Tersayat-sayat akan tatapan Dominic yang kini rasanya begitu asing. Segala kasih, rasa aman dan perlindungan yang sempat ia rasakan dilibas begitu saja dalam satu pertanyaan.

Gadis itu melangkah mundur. Perlahan. Melepaskan dirinya dari Dominic yang mulai berkaca-kaca.

"Aku sudah kalah," lirihnya.

"Aruna." Dominic hampir terisak.

"Aku sudah kalah," kata gadis itu lagi. "Aku telah kehilanganmu."

"Kau belum kehilanganku. Aku ... aku bisa mengerti—"

"Selamat tinggal, Dominic," potong gadis itu pahit. "Entah kita akan selamat atau tidak, kau juga telah kehilanganku."

Sampai di sana, kata-kata terakhirnya. Aruna berbalik pergi meninggalkan Dominic yang kalut. Menyusuri gelap lorong itu dengan penuh luka dan duka. Aruna tidak pernah menangis, bahkan ketika ia melihat pembunuhan untuk pertama kalinya. Akan tetapi, kini air matanya tidak mampu ia tahan. Rebas nan deras. Berhamburan di sepanjang pipinya yang penuh coreng-moreng. Coreng noda yang diletakkan oleh kakaknya sendiri dengan begitu keji.

Noda itu menghancurkan hatinya begitu dalam. Amat sangat dalam. Dan Dominic akan begitu menyesalinya. Sebab tepat setelah dia membiarkan adiknya melangkah pergi darinya, tepat saat itu juga lelaki itu telah melepas tali perlindungan yang ia ikat erat-erat.

Aruna begitu rapuh. Terlalu rapuh hingga remasan kecil dapat menghancurkannya hingga berkeping-keping. Dominic melakukan kesalahan. Aruna semakin rapuh sebab tali yang melindunginya kini telah luruh dari tubuhnya. Nyawanya begitu rentan sebab keinginannya untuk bertahan hidup telah runtuh sepenuhnya.

Dalang permainan pun menarik kesempatan. Dari balik layar hitam, bagaikan seorang dewa, kembali menarik korban. Satu lagi nyawa yang berhasil diincar. Tanpa terkatakan maupun tersaksikan.

Aruna, gadis nan malang yang hancur hatinya. Tidak sempat melawan ketika seseorang menyerangnya dari belakang. Tahu-tahu, tali sudah mengekang lehernya. Tubuhnya terangkat tinggi-tinggi ketika tali itu ditarik ke atas. Mencekiknya, menggilas nyawanya. Hingga pada akhirnya ajal itu datang. Kematian yang sudah lama dinanti, meski sempat ia elak sebelumnya. Kini sang Maut memeluknya erat. Menggantikan dekap kakaknya yang sudah lama hilang.

Sebab Dominic tidak pernah datang untuk menyelamatkannya.

Sebab Aruna telah telah kehilangan Dominic, dan sang Maut pun turut menggenapkan semua yang hilang.

Malam ini, Dominic juga telah kehilangan dirinya.

Part ini ditulis oleh  ZiviaZee dalam sudut pandang karakter Aruna Dawson.

______________

Aruna Dawson.

Umur: 16 tahun
Profesi: Pencuri
Senjata: Sig Sauer P226

MBTI: INTJ
Kostum: Character Game
Hobi: Main Game

Kostum Aruna

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: