20. Pirate Death
Kalut. Dikala hardik yang menyala-nyala menyahut gusar di redam malam, pun bisikan serupa gaung yang tak kunjung reda dari lubuk hati berdawai bersama hujan, serta segala kerewelan dari mulut-mulut mereka sejak terkumpul di ruang makan itu membuat Zeralda ingin memuntahkan lahar panas dari kepalanya yang sudah berasap. Namun, mata tak sengaja menangkap dua sosok di luar jendela mansion yang dipayungi gulita dan disoraki kilat mendadak membungkam rapi kekesalannya.
Alih-alih kalimat sarkas yang keluar seperti biasanya, Zeralda justru berkata dengan kebingungan melanda. "T-tunggu! Bukankah itu Floyd?"
Kostum moriarty yang mencolok menjadi label tersendiri bagi seorang Floyd tidak akan membuat Zeralda salah menebak. Yang paling membuat gurat wajah Zeralda semakin tidak sedap dipandang adalah sosok berjubah sekelam langit malam yang berdiri di belakang Floyd, layaknya malaikat pencabut nyawa yang hadir untuk menghabisi napas Floyd kala itu juga.
Adalah kecamuk malam dengan tarian lancang angin yang menyapu tirai hujan, pun turut membawa kemelut gelisah kala Floyd terlihat dipaksa berdiri di pinggir atap dengan pistol menempel di belakang kepalanya oleh sang jubah hitam. Tiap kali kilat menyambar, semakin dekat pula ia berada di titik kematiannya. Sekali, dua kali, penglihatan mereka yang menyaksikan diterangi kemudian dipadamkan lagi. Bahkan Arabella yang biasanya berseloroh kini terdiam dengan wajah pias dan jemari terkepal kuat.
Hingga saat nyala terakhir menyambang, mata hanya mampu menangkap tubuh seringan bulu yang melayang-layang di udara tanpa kendali apapun. Lepas, luruh, dan lantak. Semudah itu napasnya diakhiri.
"F-floyd ... Floyd!" Lirih Arabella sebelum meneriakkan atau lebih tepatnya meratap tak percaya atas hilangnya denyut dari sang kekasih. Floyd mati. Dia dapat dipastikan mati setelah jatuh dari ketinggian mansion, tubuhnya jelas menghantam bebatuan tebing yang curam dan kasar. Bahkan debam yang terdengar saat dia jatuh adalah pertanda tubuh itu kini telah merah berbalur darah dan organ yang berserak. Hancur.
"S-siapa? Siapa yang mendorongnya?" tanya Jigsaw melangkah maju mendekati jendela untuk memeriksa keadaan tubuh Floyd yang berada di tepian tebing. Pria itu sudah pasti mati, dia bahkan tidak bergerak lagi. Pikiran mereka kacau sejenak, Arabella yang meski tidak menitikkan air mata, tetapi aura muramnya dan tubuh yang gemetar hebat tidak lain karena kejadian itu benar-benar mengguncangnya, dirundung duka dan ketakutan yang membuat Zeralda sempat menanyakan kabar gadis itu. Walaupun berakhir hampa, tidak ada tanggapan.
"Berpencar," tandas Batara memecah hening yang mulai terbentuk sejak jatuhnya Floyd. Kasha yang menolak mengajukan pendapat apapun yang mungkin sama syoknya dengan Arabella, rahangnya mengetat, keterkejutan yang tak luput dari perhatian mereka.
"Aku bersama istriku. Aku hanya berpikir, mungkin sosok berjubah hitam itu adalah dalang dari semua ini. Tidak menutup kemungkinan dia salah satu dari kita yang masih hidup, atau justru orang lain. Aku tidak tahu pasti, tapi ... setelah dibagi peran domba, serigala dan rubah ...." ada jeda yang cukup panjang dari Roge, dia melirik Zeralda yang tersenyum kecil.
"Bisa jadi dia hanya ingin memecah kita agar lebih mudah dihabisi," simpul Zeralda yang membuat Roge mengangguk.
"Tepat! Kau sangat pintar, Darling. Tidakkah kalian berpikir? Apakah kita benar-benar akan selamat setelah memenangkan permainan bodoh ini?" tanya Roge bergantian memandang Batara dan Jigsaw.
"Aku juga berpikir demikian. Tapi selain menemukan dalang, kita juga harus menemukan box pemancar, setidaknya untuk menghentikan gencaran serigala dan memenangkan permainan," usul Batara sembari menghela napas berat.
"Kau benar, dengan begitu bahaya akan sedikit diperkecil saat berpisah, karena bisa jadi di antara kita ada serigala berbulu domba," sahut Jigsaw yang entah mengapa membuat dahi Zeralda mengerut, bagaimana tidak? Pria itu sontak meliriknya dengan pandangan seolah-olah tahu segalanya.
"Baiklah, kalau begitu ... Roge, ayo berpisah," putus Zeralda setelah lama terdiam.
"Ok—hah? Apa? Tidak, Darling, apa maksudmu? B-bagaiman—"
"Roge, walaupun bahaya lebih besar jika kita berpisah. Tapi dengan berpencar, ranah jelajah dapat lebih luas dibanding pergi berkelompok. Mengerti?" Zeralda berusaha meyakinkan Roge, sedangkan Jigsaw yang sudah tidak tahan tinggal di sana telah memulai langkah pertamanya mendahului mereka.
"Darling—oke, baiklah. Aku menyerah, aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi berjanjilah padaku untuk kembali dengan selamat, tidak kekurangan satu apapun. Janji?" Roge mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Zeralda, yang ditanggapi dengan dengusan dingin. Wanita itu bahkan tidak repot-repot mengaitkan jemari Roge, dia justru berjalan melewatinya.
"Kekanak-kanakan," cecar Batara sadis saat lewat di samping Roge, jika dia tak lupa bahwa situasi sedang tegang sekarang, dia mungkin akan segera menyemburkan tawa mengejek. "Lagipula, kau tak waspada jika ternyata istrimu lah yang serigala?"
"Jika dia serigala, maka aku pasangan serigala," jawab Roge tidak mau kalah, sementara sibuk dengan sedikit rasa kecewa karena istrinya tidak mau berjanji padanya, dia tidak menyadari bahwa langkah Zeralda berbalik menuju ke arahnya. Wanita itu menarik tangannya dan meletakkan sesuatu di atasnya agak sembrono.
"Ambil, melihat kau sangat enggan berpisah denganku, mungkin kau lebih membutuhkannya," kata Zeralda sesaat kemudian meninggalkan Roge di belakangnya. "Ayo bergerak."
Batara sempat melirik ke arah Roge dan beralih mencari keberadaan Kasha yang tiba-tiba saja menghilang tanpa suara. "Tunggu ... bukankah ada satu orang lagi?" Tanya Batara menaikkan sebelah alisnya ketika tidak menemukan gadis pendiam itu di manapun.
"Dia sudah pergi, mungkin," sahut Roge seadanya sembari mengangkat bahu. s
Batara akhirnya menjatuhkan pandangan pada Arabella yang masih terpaku sejak tadi. Dia sebenarnya tidak peduli dengan gadis berkatana itu, tapi dia tetap mengajukan pertanyaan padanya. "Hei, bagaimana denganmu? Kau mau berdiam diri di situ saja? Waktu tidak akan sempat menunggu mereka yang lambat."
"Kau keterlaluan Batara, urus saja urusanmu sendiri. Biarkan gadis itu di sini menenangkan dirinya sebentar." Roge meremas foto yang diberikan Zeralda padanya, rasa manis dan asam menyerang hatinya perlahan. Melihat foto yang agak lecek itu membuatnya berspekulasi bahwa istrinya sering membawa foto ini bersamanya, ke manapun.
"Siapa yang kau katakan lambat? Aku akan lebih percaya jika orang itu kau," cibir Arabella menegakkan tubuhnya, dia begitu lihai menghapus pandangan tersesat tadi, seolah yang bersedih barusan bukanlah dirinya. "Bergeraklah cepat, sebelum serigala menerkammu," ujar Arabella kembali sembari menarik senyum sinis, dia melirik ke luar jendela sejenak dan berlalu pergi tanpa aba-aba.
"Gadis yang mudah tersinggung," bisik Batara.
"Aku setuju dengan Nona Arabella, bergeraklah cepat, Tuan Matrix." Roge dan Batara sepakat untuk berpisah jalur, Roge sempat mengutuk karena ketinggalan jejak langkah sang istri, padahal rencananya dia ingin mengikuti wanita itu diam-diam.
***
"Siapa? Siapa sebenarnya orang itu?" Gumam Zeralda mempercepat tiap pijakan kakinya, koridor yang panjang dan redup terkadang membuat langkahnya terkait onggokan mayat-mayat di sana. Arahnya berjalan sekarang tentu bukan untuk menemukan box pemancar yang katanya akan membuat mereka—para domba selamat dari kejaran serigala, omong kosong, sejak awal Zeralda akan lebih mempercayai jika ada yang mengatakan bahwa tidak satu pun dari mereka yang akan keluar hidup-hidup dari sini.
Zeralda akan lebih mempercayai jika semua ini hanya untuk kesenangan sang dalang untuk menghabisi mereka perlahan, bukankah suatu kebahagiaan mutlak bagi psikopat menjijikkan ketika menikmati proses menguliti korban satu persatu dengan teriakan-teriakan menggairahkan yang hampir bagi semua orang terdengar sangat mengerikan itu dibanding memilih menusuk titik jantungnya secara langsung?
Waktu terasa bergulir begitu lambat, koridor yang sepi tak ayal membentuk lapisan keringat di dahi dan punggung Zeralda. Sambil sesekali mengamati waspada, dia tetap juga melanjutkan langkahnya selagi hati menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Matanya menyipit berbahaya ketika melihat sosok aneh berjubah hitam yang berbelok di ujung koridor—menghilang begitu cepat.
"Bukankah itu dia?" bisik Zeralda mengigit bibir bawahnya hingga memutih. Dia memang tengah mencari sang jubah hitam, tapi tidak disangka-sangka dia menemukan sosok tersebut begitu cepat.
Zeralda sempat kehilangan jejak sang jubah hitam, tetapi wanita itu tetap berlari membuntuti dengan mengandalkan instingnya yang cukup kuat. Walaupun dibuat kelimpungan sendiri, karena beberapa kali Zeralda salah arah, dia akhirnya menemukan satu ruangan yang tidak pernah dimasukinya sebelumnya. Ruangan itu berada di lantai tiga mansion Foster.
Sebuah ruangan dengan pintu bercorak hijau lumut, perlahan didorongnya pintu tersebut dan mengamati sekeliling ruangan yang dicahayai lampu di sebuah meja persegi yang menurut tebakannya adalah meja kerja keluarga Foster. Hal ini dikarenakan sebuah bingkai foto yang sama persis dengan sebuah lukisan keluarga Foster yang mereka temukan sebelumnya. Tuan dan Nyonya Foster beserta kedua anak kecil yang terlihat tersenyum ke arah kamera.
Ketika akan mendekati sebuah pintu yang terbuka lebar, sepatunya tanpa sengaja menginjak sesuatu yang sangat familiar. "Topeng? Tunggu ... Bukankah ini milik si Badut itu?" Zeralda mengernyit, dia mengambil topeng yang dikenalinya sebagai milik pria di ruang makan tadi—Jigsaw.
Tiba-tiba suara erangan yang teredam terdengar sangat memilukan datang dari ruangan tempat Zeralda berdiri sekarang, pintu yang terbuka lebar lebih memungkinkan Zeralda untuk mendengar suara pahit itu. "M-mungkinkah?" Meneguk ludah kasar, sialnya juga dia tidak memiliki senjata apapun di tangannya sekarang.
Zeralda mendekati pintu masuk, mencermati situasi yang begitu mencekam ditemani lantunan rintih yang sudah tidak asing lagi di telinganya—suara putus asa di penghujung hayat. Tungkai sedikit melemah, dia bukannya takut melihat seseorang dibunuh, tapi dia enggan menerima fakta mengerikan di balik semua ini.
Ruangan itu sedikit lebih terang dibanding tempat-tempat yang pernah Zeralda datangi. Di hadapannya telah berdiri belasan rak-rak tinggi yang memuat deretan buku dari yang tebal hingga tipis sekalipun. Sofa-sofa dan perapian dengan bara api yang panas menghangatkan gigil yang timbul dari keinginan melarikan diri sesegera mungkin, di atas perapian terdapat pajangan kepala kambing dengan tatapan yang menautkan kekosongan.
Satu langkah, dua langkah, sepelan mungkin sampai ketukan sepatu boots-nya tidak lagi terdengar. Mengikuti rintihan itu, jantungnya ikut menegang menghitung baris-baris rak yang berjejer. Aroma buku-buku disertai karat yang semakin kental acap kali dia selangkah lebih maju, jujur saja mengikis kewarasannya. Manakala sepatu menyentuh bilik terakhir rak, Zeralda tertangkap basah oleh carut marut keheningan yang seketika membilas habis sisa-sisa ratapan tadi.
Cela kecil yang terbentuk dari kekosongan buku di rak membuatnya menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Di sana, sosok berjubah hitam dengan sebilah pisau di tangan kanannya meneteskan darah, membentuk titik putus-putus berpola abstrak di lantai. Di depan sosok itu, terbujur kaku seorang pria dengan mata terbelalak dialiri merah cerah dari sepanjang pelipis hingga membenam leher dan bajunya. Orang yang mati itu dikenali Zeralda sebagai pemilik topeng Jigsaw di ruang makan.
Wanita itu terperanjat ketika jubah hitam menoleh ke samping, memperlihatkan sisi wajah yang langsung teridentifikasi oleh Zeralda. Dalam ketidakpercayaan yang semakin memburamkan jernihnya pikirannya, dia tidak menyadari bayangan hitam mendekati tubuhnya dari arah belakang. Tidak pernah menduga-duga bahwa teriknya neraka hampir mengabukan raganya dalam satu kedipan mata saja.
"Humph!" Teriakan teredam di antara gemelatuk gigi, ngilu yang mencabik-cabik daging menjalar dari pinggang hingga memelintir napas. Mulut terbekap seolah tak cukup nanar bagi Zeralda yang merasakan sebilah besi dingin mengoyaknya, gemetar ingin mengeluarkan rengekan merasakan orang yang mengunci pergerakannya terkekeh kecil.
"Kau tahu terlalu banyak, dan akibat dari mereka yang melampaui batas sudah sepantasnya mati. Bagaimana menurutmu, Zeralda?" Suara ini ... suara yang berbisik begitu dekat di telinganya, lagi-lagi dia mengenalinya dengan jelas. Dia akhirnya tahu dalang dibalik permainan busuk ini, tapi mengapa? Mengapa harus dengan keadaan yang sangat tidak menguntungkan seperti sekarang? "Tenang saja, aku tidak akan membiarkanmu mati secepat itu. Ayo bermain sebentar."
"Ah!" Tanpa pikir panjang, Zeralda mengigit membabi buta tangan orang yang membekapnya dengan keras sampai tercecap anyir di lidahnya. Desisan dan tarikan napas kesakitan Zeralda kala pisau yang menancap di pinggangnya dicabut bersamaan dengan terlepasnya kekangan di tubuh yang justru disusul ambruknya Zeralda ke lantai.
Zeralda yang berlutut mencoba bangkit dan meraih buku-buku tebal di rak dan menghamburkannya langsung menuju orang tersebut. Sembari mengatur napasnya yang terengah-engah nan menusuk di luar nalarnya, dia berusaha keras merangkak menjauh. Tujuannya adalah vas bunga di meja dekat sofa.
"Kau takkan bisa lari," ujar santai sang jubah hitam yang menyadarkan dirinya di dinding terdekat jasad Jigsaw diletakkan sambil memutar-mutar pisau di tangannya. Dia hanya menyaksikan Zeralda susah payah menyeret langkahnya yang gontai dengan luka menganga di pinggangnya.
"Aku sudah menduga dia akan sulit ditangani." Orang yang sebelumnya dilempari Zeralda dengan buku, kini menarik kasar salah satu kaki Zeralda yang masih berusaha berdiri. Dia tidak segan mencekik leher wanita itu yang masih meronta, lalu memaksanya bangkit dan mendorong tubuhnya hingga membentur rak.
Brak!
Seketika rak yang bertabrakan dengan tubuh Zeralda kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa jasad Jigsaw yang berada di bawahnya. Remuk tulangnya tidak seberapa dibandingkan kebencian yang melonjak di hati Zeralda, jika memang benar dia mati di sini, maka kematiannya harus berguna. Dia tidak ingin mati sia-sia.
Tangan Zeralda meraba-raba buku di sekelilingnya gemetar, membuka lembar demi lembar buku dengan pening menghinggapi. Mencari deret huruf yang bisa membantunya menyusun sebuah kata sebagai bukti jika dia mati nanti. Dia berharap ... dia berharap mereka menemukannya.
"Oh? Apa yang kau cari di buku ini? Mencoba menyusun namaku di sini? Perlu kubantu?" Tanya sang jubah hitam merampas buku di tangan Zeralda.
"K-kalian—hah ... iblis! Kalian s-seharusnya d-di neraka!" Ujar Zeralda terbata-bata, tiap kata yang keluar dari mulutnya menarik luka di pinggangnya. Sangat menyakitkan.
"Menarik, kalau begitu bagaimana jika kau ikut kami ke neraka saja?" Tanya jubah hitam bermain-main.
Sementara rekannya berjongkok dan meremas dagu Zeralda, dia berkata, "Kau sangat cerdik, tapi harus kukatakan usahamu sia-sia."
Plakk!
Tamparan kuat yang kian membuat pandangan Zeralda menjadi berkunang-kunang, dengan sisa tekad dan tenaganya, dia melayangkan satu tendangan tepat di dada dan memukuli wajah orang tersebut dengan buku tebal di sampingnya. Meski dia kembali terlempar di antara tumpukan buku, Zeralda akhirnya bisa tersenyum puas, setidaknya tujuannya tercapai.
Setidaknya kematiannya tidak akan sia-sia ... setidaknya dia meninggalkan bukti dengan memasukkan kancing kemeja orang itu yang sempat diraihnya saat tubuhnya terplanting. Dia memasukkan kancing ke dalam mulutnya tanpa disadari oleh siapapun, sampai bilah dingin yang menghentikan pompa dan menembus jantungnya menyapu bersih sudut bibirnya yang sempat terangkat.
***
Part ini ditulis oleh RuceMorgan dalam sudut pandang karakter Zeralda La Rue.
______________
Zeralda La Rue
Nama: Zeralda La Rue
Umur: 26 Tahun
Profesi: Penipu
Senjata: Shotgun
MBTI: ESTJ
Hobi: Mengomeli Roge
Kostum Zeralda
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro