2. Hide and Murdering
Mansion Foster bagaikan kapal pecah, hancur seakan dilanda pusaran angin, kilatan petir menghiasi cakrawala menandakan badai akan tiba. Suara deburan ombak bersaing dengan meletusnya tembakkan shotgun. Para tamu beradu nyawa, membunuh seusai mendapati pengumuman yang berkumandang di speaker ... mereka akan keluar hidup-hidup jika berhasil membunuh paling banyak di antara tamu lain. Pekikkan menggema, genangan darah memenuhi lantai, puluhan tubuh berjatuhan menghiasi pesta kostum Halloween.
Sementara itu seorang gadis bersurai hitam legam, mengenakan kostum Anna Frozen berlari tergesa-gesa menyusuri koridor mansion bak labirin maut. Kaki lusuhnya beberapa kali menginjak genangan darah, wajahnya pucat, keringat bercucuran, dikejar oleh seseorang—pria pegulat berkepala botak—sialnya membawa golok. Dadanya sesak, ketakutan tercetak menghiasi wajah nan manis.
"Kemari kau gadis manis!" ucap pegulat itu lantang, meremehkan lawan mainnya. "Berhentilah melarikan diri! Percuma saja dengan kakimu yang terluka ... lebih baik kau mati cepat agar poin membunuhku bertambah!"
Gadis itu-Kasha-menggigil ketakutan, ditambah hembusan angin dingin yang menerobos masuk melalui jendela-jendela besar mansion, serta aura mencengkam dari segala arah, ia pun sadar bahwa memilih mati sebenarnya bukan keputusan yang buruk untuk terbebas dari rasa takut. Kasha tidak akan selemah itu, meski kekuatannya sebagai bandar narkoba tidak berimbang dengan seorang mantan pegulat, terlebih lagi kakinya terluka karena tergores golok ... Kasha berusaha menyelamatkan diri dengan peralatan seadanya, kini benda yang dipunya hanyalah pistol satu peluru.
Ketika dirasa ada celah, Kasha pun menembakkan satu pelurunya ke jantung si pegulat. Semua terjadi dalam waktu cepat hingga membuat tamu gila itu tersungkur ke lantai, menimbulkan suara jatuh dan getaran kecil pada tempat ia berpijak. Naas masih ada gerakan, pegulat belum benar-benar tewas. Kasha merutuki dirinya sendiri karena satu pelurunya tidak berhasil membuat target mati di tempat.
"Sial, tembakkanku meleset!" Kasha berpikir cepat, mengambil senapan—milik korban lain—yang tergeletak tak jauh dari sang pegulat dan hendak menembaknya. "Mati kau keparat-"
"Ampuni aku! Biarkan pria tua ini hidup! Aku masih memiliki istri dan anak ... biarkan aku hidup. Kumohon, jangan bunuh aku." Pegulat itu meminta ampun, tubuhnya setengah sekarat. Wajahnya pucat pasi mendapati senapan yang dipegang Kasha sudah siap membidik. Untung Kasha menghentikannya sejenak.
"Untuk apa mengampuni seorang penjahat? Semua tamu di sini juga sama-sama kriminal bukan? Apa untungnya mengampunimu?" Kasha bersedekap dada, dia pun sengaja menginjak pelan kepala si pegulat, sebagai bahan ledekan.
"Kumohon, sekali ini saja-"
Kasha menghela napas. "Baiklah, aku mengampunimu. Kuharap wajahmu tidak muncul lagi di hadapanku," ucapnya sembari berbalik pergi, sayang keputusan itu bukanlah jalan yang harus dipilih, tamu pegulat yang diampuni sang gadis justru kembali beranjak bangun seraya menyeringai dan melukai kaki Kasha hingga lebih pincang dari sebelumnya. Gadis cantik itu terjatuh, senapannya terlempar, dia merutuki keputusannya membiarkan seorang penjahat lain hidup. "Sialan!"
"Sayang sekali, padahal hatimu sangat baik. Tapi ... kau begitu bodoh, tertipu dengan wajah lemah seorang penjahat." Si pegulat beranjak berdiri sembari menenteng golok besar yang dipenuhi darah, ia menatap rendah Kasha yang berusaha merangkak menjauh. "Lemah sekali, selamat tinggal-"
Bersamaan dengan melayangnya golok ke tubuh Kasha, suara tembakkan revolver terdengar. Gadis itu menoleh mendapati lengan kiri sang musuh berdarah tertancap peluru—spontan membuat golok terlempar sedikit ke sebelah Kasha—nyaris mengenai tubuhnya. Usut punya usut seorang pria misterius berkostum koboi modern dengan topi tinggi bak pesulap era victorian duduk mengangkat satu kaki di tepi jendela besar. Bulan purnama membiaskan cahaya temaramnya memperlihatkan rambut coklat karamel serta jubah pekat tertiup hembusan angin malam, senyuman jahil menghiasi wajahnya yang tampan.
Orang itu membawa dua revolver, yang satunya disimpan di saku celana sementara sisanya ada di tangan kiri. Tangan kanannya yang dipenuhi perban memegang rokok, diisap puntung itu lalu menghembuskannya ke udara-membentuk asap putih menyerupai hati—merambat lembut tertiup sepoi angin laut hingga mengenai wajah Kasha.
Si pegulat marah, bahkan Kasha yang merangkak pun dilupakan dalam sekejap. "Huh? Siapa kamu! Mau cari mati dengan seorang Yakuza?"
"Hah ... Yakuza? Siapa itu Yakuza? Apa namamu?" Si pria berbaju koboi terkekeh lalu menggaruk-garuk telinga dengan moncong revolver miliknya.
"Koboi Keparat! Aku tidak sedang berurusan dengan sampah! Lebih baik pergi sebelum nyawamu menghilang."
Pria misterius itu menghela napas. Diisap lagi rokok terakhir lalu membuang asapnya ke udara. "Oh ... apa matamu sekarang juga terkena epilepsi? Sudah jelas kostum yang tengah kupakai adalah Koboi Moriarty. Kenapa orang-orang selalu salah paham?" Dia mengatakannya dengan intonasi bernada. "Bahkan sebelumnya ada pria berkostum Sherlock Holmes yang menepis bantuanku, ckck ... tidak menyenangkan."
Yakuza itu tertawa tertahan, perlahan terdengar semakin keras memenuhi penjuru koridor yang sudah dipenuhi tumpukkan mayat. "Kukira penjahat elit, ternyata cecunguk pemula. Benar-benar menguras waktu berhargaku," ucapnya sembari mengambil golok yang terjatuh kemudian dengan sigap menghadang lawan bicaranya.
Naas gerakannya mudah terbaca, sang koboi Moriarty dengan sigap mengeluarkan kedua revolvernya—menembak target secara bertubi-tubi pada area tangan dan kaki-terkekeh mendapati peluru mengenai sasaran. "Dasar karakter sampingan, kalahnya cepat sekali. Membuatku bosan," celetuknya meremehkan. Dia sengaja membuang rokok ke paha si pegulat lalu menginjaknya agar api yang menyala padam.
Tamu itu belum benar-benar mati, lebih tepatnya berada pada kondisi sakratulmaut. "Arrggh!" Dia memekik, tubuhnya kesakitan. Tahu bahwa hidupnya dipertaruhkan, Yakuza menggeleng takut.
Si koboi pun terkekeh lalu meletakkan kaki di dada sang Yakuza. Sepatu booth-nya menekan semakin ke dalam hingga target nyaris sesak napas. "Jangan khawatir ... keputusan dia hidup atau tidak kuserahkan kepadamu, Nona," ujarnya santai, dia tersenyum-menoleh kepada Kasha.
Kasha terkesiap. Kakinya masih melemah dan belum bisa beranjak berdiri dengan normal. Sorot matanya sempat terperangkap ke dalam pusaran kekaguman pada iris biru bak samudra milik pria itu. "Kenapa aku? Kau 'kan yang menangkapnya?"
"Beri saja keputusan, bukankah sebelumnya dia menyakitimu?" balasnya dengan santai, masih memegang kedua revolver—mengarahkan benda itu tepat pada kepala si pegulat.
"K-Kumohon ampuni aku-"
"Bunuh saja dia." Kasha menjawab cepat, wajah datarnya memperlihatkan senyuman kecil. "Manusia keparat sepertinya harus mati."
Pria berkostum koboi itu terdiam tertegun memandangi Kasha. Kemudian keheningan berubah menjadi tawa kecil dari si pemilik revolver. Dia terkekeh lalu tersenyum jahil kepada Kasha. "Kau sadis juga ya?"
Kasha menatap tajam. "Untuk apa membiarkan musuh hidup? Jika sudah diberi satu kesempatan dia menggonggong kepada manusia, maka lebih baik mati."
Mendengar jawaban Kasha, pria revolver itu tertawa menanggapi. Dia pun berdehem. "Hah ... aku berubah pikiran, yang menentukan keputusan Yakuza ini hidup adalah aku. Aku kasihan kepadanya ...." Dia mengatakannya dengan nada yang dibuat sendu sembari memandangi wajah si pegulat.
Mendapat pencerahan, sang pegulat tampak lega walaupun sesak napas karena kondisnya yang terbilang kritis."T-Terima kasih telah membiarkanku hidup-"
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
"Ah!" Si pemilik revolver berujar pelan bersamaan dengan asap yang menyembul keluar dari senjatanya. "Siapa bilang membiarkanmu hidup? Aku juga membutuhkan poin untuk memenangkan permainan Court of Cull payah ini, heh."
Dalam dua kali tembakkan kedua revolver berhasil mengeluarkan empat peluru pada kepala si pegulat. Semua terjadi dalam sekejap, Kasha menganga melihat aksi penembakkan terjadi di depan mata. Dia pun menoleh memandangi sang koboi, pria itu terkekeh sembari meniup asap yang keluar dari moncong revolver. Tidak berlangsung lama seluruh papan digital pencetak skor memunculkan nama 'Floyd Archer' naik ke peringkat ketiga dengan jumlah membunuh sebanyak sembilan belas jiwa.
Kasha menganga lalu menyoroti punggung gagah milik pria bernama Floyd. Jubah koboi biru tuanya terkibas, tertiup angin malam, laki-laki eksentrik itu memasukkan kedua revolver kembali ke dalam saku celana. Floyd pun menoleh ke belakang, melirik Kasha. Seharusnya kini gadis itu takut, namun alih-alih merangkak pergi dia justru terdiam di sana—tersipu mendapati Floyd berjalan ke arahnya.
"Terima kasih." Kasha rupanya mengagumi pria kejam yang baru saja mencoba untuk menolongnya.
Floyd terkekeh. "Kau tidak takut kepadaku? Bisa saja aku membunuhmu bukan?"
"Jika mau membunuhku seharusnya lakukan itu dari tadi." Kasha menjawab cepat. Dia berusaha berpikir rasional.
Floyd mengelus dagunya sendiri, tampak berpikir. "Hmm? Kau menarik juga," pujinya seraya berjongkok di hadapan Kasha. Kini mereka berdua saling berhadapan. Floyd tersenyum ceria. "Mau bergabung ke timku? Sepertinya kemampuanmu bisa diandalkan."
"Gadis ini sekilas terlihat tidak berguna. Ya, kurasa. Namun aku berubah pikiran, dia memiliki tekat kuat dan sepertinya mampu membantu dalam menganalisa situasi. Jika kubujuk dia untuk masuk ke dalam tim-ku ... akan sangat menguntungkan. Tentu rencanaku untuk memenangkan permainan Court of Cull berlangsung mudah." Floyd membatin.
Kasha merenungkannya sejenak.
"Jaminannya, kau akan aman dari para karakter sampingan seperti Yakuza tadi. Bagaimana? Lagi pula kau sudah melihat prestasiku tadi di papan skor bukan? Aku ... Floyd Archer, terbiasa terlibat dalam perdagangan manusia. Bertahan hidup, aku ahlinya."
Kasha masih berpikir.
Floyd terkekeh lalu merobek bagian kecil jubahnya untuk menutupi luka pada kaki Kasha. Aksi tidak terduga itu membuat Kasha terkesiap, Floyd melakukannya dengan pelan, tahu cara memperlakukan seorang gadis. "Tidak perlu memikirkannya lebih dalam." Floyd tersenyum santai. "Jika kau tidak mau, aku tidak memaksa sih-"
"Baiklah, aku terima tawaranmu." Kasha menjawab cepat setelah pria berkostum koboi Moriarty itu selesai mengobati kakinya.
Floyd menopang dagu—masih dalam posisi berjongkok di depan Kasha. Dia memiringkan kepalanya ke kiri lalu tersenyum menanggapi. "Selamat bergabung!" Floyd tersenyum ceria. "Keputusan yang bagus, Nona Anna Frozen? "
"Kasha Danvers, namaku Kasha."
"Nama yang indah." Floyd memuji dengan senyumannya. "Semoga kedepannya kita bisa saling membantu, Kasha."
"Hanya saja kakiku-" Belum sempat Kasha berbicara lebih banyak, Floyd secara tiba-tiba mengangkat tubuh Kasha—membawa ke dalam gendongannya—ala pengantin. Aksi itu membuat wajah si gadis memerah di saat pipinya tanpa sengaja bersender pada dada bidang pria asing. Bahkan telinganya mampu menangkap suara jantung Floyd yang berdetak teratur. "A-apa yang kau lakukan?!"
"Aku membantumu pergi dari tempat ini. Kakimu terluka 'kan?" Floyd menoleh memandangi Kasha, dia terkekeh mendapati wajah si gadis memerah.
"Ngomong-ngomong aku harus memanggilmu apa?" gadis itu bertanya secara tiba-tiba ketika berjalan menyusuri koridor sepi.
Floyd tertawa kecil, menoleh ke Kasha sejenak sebelum kembali memfokuskan pandangannnya ke depan. "Floyd Archer. Kau bisa memanggilku Floyd." Dia berujar tenang lalu kembali memandangi Kasha, ia mengedipkan satu matanya—mencoba menggoda. "Tetapi aku akan sangat senang bila disebut sebagai Moriarty tampan."
***
"Cukup, aku bisa berjalan dengan kakiku sendiri." Kasha membuyarkan keheningan. Untung koridor yang tengah mereka lewati tidak seberbahaya sebelumnya. Meski sempat dikejar beberapa tamu lain, Floyd dan Kasha berhasil menghindari serangan dengan sistem petak umpet. Begitulah nama yang diberikan Floyd untuk mengelabuhi musuh. Mereka akan bermain sembunyi-sembunyi, menunggu waktu yang pas untuk musuh agar tidak berada dalam sikap waspada. Ketika target telah siap diserang maka Floyd akan keluar dari persembunyian—menyerang mereka hingga mampus. Untuk kondisi sekarang, ia belum melibatkan Kasha dikarenakan tubuh gadis itu masih dalam masa pemulihan, namun untuk mengantisipasi agar musuh tidak menyerang Kasha, maka Floyd menyarankannya bersembunyi—mengamati situasi sekitar. Terbukti berhasil, mereka lolos melewati koridor yang semula dijaga oleh sekumpulan tamu gila. "Dan kedepannya jangan libatkan aku ke dalam permainan petak umpetmu."
Floyd terkekeh santai. "Sayang sekali di waktu lain kau akan memimpin permainan petak umpet."
"Oh, aku tidak terlalu menantikan itu. Ngomong-ngomong bisakah kau menurunkan aku?"
"Baik-baik, Anna Frozen-ups, Kasha. Sungguh kau tidak butuh tumpangan lagi?" Floyd tertawa kecil seraya menurunkan Kasha. Anehnya gadis itu pulih dengan cepat, ia mampu berjalan meski sedikit goyah. Yang pasti, Kasha adalah tipikal gadis kuat yang bisa berpijak dengan kakinya sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain. Itu-lah yang diperlukan Floyd saat ini untuk membangun tim, dia membutuhkan anggota yang sama kuatnya untuk menerjang musuh.
Kasha mendecih sinis.
Floyd terdiam sebentar. "Kuharap kau tidak terkena cacar darah."
"Cacar darah?" Kasha mengulangi perkataan Floyd. Entah kenapa sedari tadi ia sungguh tidak mengerti arah pembicaraan Floyd. Seakan-akan membuat Kasha bingung dengan kata-kata kiasan dan istilah baru.
Floyd tidak lagi berbicara, tanpa senyuman-meninggalkan keheningan, desiran angin dan kilatan petir di luar jendela besar. Mimik wajahnya berubah tegang, Kasha bahkan tak menyadari pria itu sedari tadi telah bersikap waspada pada sesuatu di belakang sang gadis. Floyd kemudian menempelkan jari telunjuknya ke mulut—menyiratkan untuk diam. Dia pun segera berbalik dan mengajaknya untuk pergi dari sana. "Itu kode. Apapun yang terjadi jangan melihat ke belakang, maju saja ke depan. Jangan melihat ke belakang, oke?"
Kasha menoleh sebentar—melirik Floyd—berusaha tidak melihat belakang mengikuti saran sang ketua. Keringat dingin bercucuran, situasi tampak mengerikan, Kasha bahkan tidak tahu mengapa ia dan Floyd harus berjalan maju tanpa menoleh ke belakang. "Ada apa?"
Floyd tidak mengatakan apa-apa, bahkan kini ia menggandeng tangan Kasha agar mereka segera pergi melewati koridor.
"Floyd-"
Kasha berhenti berujar ketika suara langkah kaki berat terdengar dari arah belakang. Sedikit jauh, namun mencekam. Kasha gugup, ditambah Floyd tidak mengatakan sepatah katapun. Segeralah mereka bersembunyi ke dalam loker yang untungnya didesain lebar—muat untuk digunakan dua orang bersembunyi.
Kasha dan Floyd mengecek situasi sekitar dari celah udara pintu loker. Cukup lama menunggu, suara langkah kaki berat itu berjalan semakin mendekat. Meninggalkan ketakutan tiada dasar. Kasha mendapati bayangan besar terdiam tak jauh dari loker mereka. Lalu bayangan itu bergerak maju hingga memperlihatkan seorang pria bertubuh besar membawa kapak sementara tangan satunya menenteng kepala wanita melewati loker. Tubuhnya dipenuhi bercak darah seperti cacar air, namun bukanlah penyakit melainkan sekumpulan bercak dari darah yang ia ciptakan—hasil memburu.
Aroma anyir menguar hingga menerobos masuk ke dalam loker. Kasha nyaris muntah namun berusaha ditahannya demi keselamatan. Sementara Floyd memasang wajah tegang, situasi jauh dari kata aman. Mereka sudah muak dengan semuanya, tak terhitung berapa lama lagi para tamu saling membunuh. Mencoba mencetak angka tertinggi untuk keselamatan masing-masing. Takut, manusia memang takut mati.
Sadar situasi sudah aman, Floyd berdehem, mencoba mencairkan suasana, meski ada perasaan was-was menganjal. "Itu dinamakan cacar darah. Yah bukan penyakit, tetapi apa yang para tamu lakukan ... bagiku seperti terkena cacar darah. Kurasa kau akan terkena penyakit itu sama seperti mereka, cepat atau lambat hingga lupa bahwa bercak darah orang lain menempel pada kulitmu-"
"Aku akan menyembuhkan cacar darah yang kau maksudkan." Kasha bersikukuh. "Karena untuk menyembuhkan itu aku harus menghilangkan penjahat yang terkena bercak darah agar tidak menular."
Floyd terdiam sejenak—menoleh kepada Kasha. Dia terkekeh. "Sadar atau tidak sadar, kita berdua sedang dalam gejala cacar darah."
Kasha tersenyum tipis. "Iya, tetapi aku imun terhadap penyakit yang kau maksud."
"Menarik ... baiklah Anna Frozen, haruskah kita berdiam saja di loker ini?" Floyd terkekeh seraya mengedipkan satu matanya. "Mau berkencan ke markasku?"
***
Entah sudah berapa kali Kasha melirik punggung tegap Floyd dari belakang. Sedikit ada perasaan dalam lubuk hatinya untuk bersandar pada pria itu. Kasha mengagumi Floyd dari jumpa pertama mereka. Dan ia yakin, sang Moriarty selalu kesepian di bawah remang-remang kegelapan fana. Banyak pertanyaan yang ingin diungkapkan Kasha, rasa penasaran menggebu, menyaingi ketakutan akan kematian dalam permainan Court of Cull. Kasha menaruh harapan besar, ia akan mengikuti Floyd—sama seperti yang pria itu lakukan untuknya.
Begitulah yang Kasha pikirkan namun pupuslah harapannya ketika mereka berdua tiba di tempat tujuan-markas mereka. Floyd membuka pintu lebar-lebar lalu bersamaan dengan itu seorang wanita muda nan cantik berambut hitam legam yang sengaja dikuncir kuda, menerjang—memeluk Floyd secara tiba-tiba. Dia sangat menawan, mengenakan baju putih sedikit terbuka pada bagian atas disertai celana panjang hitam ala pengelana alam bebas, tak lupa pedang serta panah yang selalu ia pasang pada sisi pinggang atau punggung. Dia tersenyum tenang sembari menelusupkan wajahnya pada dada bidang Floyd.
Floyd tertegun sejenak lalu dia tersenyum teduh, menyambut pelukan si wanita. "Ada apa Ara?" tanyanya pelan. "Astaga ... baru sebentar aku pergi, kau sudah begitu posesif."
Wanita itu—Arabella—tersenyum anggun, mengadahkan kepalanya ke atas, memandangi Floyd yang tengah dipeluknya. "Dari mana saja kamu? Dan siapa gadis dengan kostum Anna Frozen itu?"
Floyd tersenyum sejenak, lalu mencium kening Arabella. "Dia Kasha, aku menemukan anggota baru yang hebat untuk tim kita."
"Oh ... benarkah?" Arabella tersenyum tenang lalu melepaskan pelukannya dari Floyd yang sedikit sulit karena pria itu masih ingin memeluknya. Arabella mendatangi Kasha yang terdiam kaku, seakan-akan habis terkena tamparan keras. Mereka berdua kini saling berhadapan, Kasha dengan wajah dinginnya dan Arabella bersama ekspresi tenang namun menusuk. "Selamat datang di tim kami, Kasha. Aku Arabella Livy, kekasih sah Floyd. Semoga kita bisa bekerjasama."
Kasha masih terdiam, lantas menyeringai tipis pada Arabella. "Kau kekasihnya? Maaf, aku hanya tak menyangka kalau selera Floyd adalah gadis yang mukanya seperti mayat."
Arabella terkekeh. "Siapa kau? Kita baru bertemu dan lihatlah cara gadis ini berbicara. Oh! Kau belum tahu kelebihanku? Baiklah, aku seorang indigo, apapun yang terjadi aku bisa mendapatkan penerawangan samar akan kematian atau bahaya dalam waktu dekat. Kurasa itu bisa membuatmu terkesan."
Floyd yang sedari tadi terdiam di belakang mereka berdua segera mencairkan suasana—merangkul kedua nona muda itu secara bersamaan. "Wah-wah para gadis rupanya cepat sekali akrab ya? Ayo kawan, kita masuk ke dalam markas, aku yakin kaki kalian pasti sudah kesemutan," ujarnya sembari memasang senyuman ceria.
***
Gemuruh petir terdengar bersama hembusan angin malam, sesekali kilatannya terlihat di depan mata Floyd. Pria itu berada di balkon markas, duduk berleha-leha seraya mengangkat satu kaki. Dia mengisap rokok kemudian membuang asapnya ke udara, terbawa desiran angin hingga mengenai wajah Arabella yang entah sejak kapan sudah menunggu di belakang. Hanya mereka berdua-pada balkon yang sepi, Kasha berada di dalam ruangan—memulihkan cedera kaki.
"Floyd, ada sesuatu yang ingin kukatakan." Arabella berucap, memecah keheningan. Meski posisinya kini sebagai kekasih sekaligus partner Floyd, dia tetaplah seorang bawahan dalam tim. Floyd tipikal orang yang memilih rekan tim berjumlah sedikit dan berkualitas ketimbang banyak namun tidak berguna. Mereka hanya terdiri dari tiga orang, Floyd sebagai ketua, Arabella dengan kemampuan menerawangnya lalu anggota baru—Kasha—yang kemungkinan pandai dalam menganalisis segala situasi.
Floyd masih berada pada posisi yang sama, melirik kekasihnya sebentar. Dia tersenyum santai. "Hmm? Katakan saja, Ara. Kekasihmu yang tampan ini siap mendengarkan."
"Siapa gadis itu? Di mana kau menemukannya? Dan kenapa ia begitu meremehkanku?!" Arabella berujar tenang, tetapi tegas dan dipenuhi penekanan. Siapapun bisa menebak sosok yang paling dominan di antara kedua sejoli ini. Arabella, gadis itu sangat destruktif dan posesif, dia tergila-gila dengan Floyd-pasangannya sendiri. Meski Floyd Archer juga tipikal yang mendominasi, ia masih berada di taraf normal. Tenang, sedominan-dominannya Arabella, ia hanya menunjukkan sisi lembutnya kepada Floyd.
"Aku menemukannya hampir terbunuh oleh Yakuza di koridor ruang tamu, sisi selatan mansion." Floyd terkekeh kecil lalu beranjak bangun, berdiri menghadap pemandangan lautan lepas di seberang sana. "Dia gadis yang menarik, hmm. Tidak kusangka ada orang dengan pola pikir berbeda sepertinya-"
Belum sempat Floyd melanjutkan kalimatnya, Arabella sudah dengan cepat memeluk kekasihnya dari belakang—membenamkan wajah pada punggung tegap Floyd. "Aku cemburu. Jangan sekali-sekali memuji gadis lain."
Floyd tertawa kecil lalu membalikkan tubuhnya menghadap Arabella. Rambut coklat karamelnya tertiup angin malam, sementara mata biru itu memandangi iris indah milik sang kekasih, begitu lembut. Dia pun tersenyum teduh lalu merapikan rambut Arabella yang berantakan tertiup hembusan angin dengan cara menyelipkannya ke sisi telinga. "Sudah kubilang, Ara. Aku hanya akan mencintaimu. Ingat? Kita adalah satu," ujarnya berbisik pelan. Lalu mengedipkan satu matanya. "Sebagai pasangan kekasih."
Arabella tersenyum anggun lalu mendekati dada bidang Floyd. Dia pun mencoba memainkan kancing baju kekasihnya. "Benarkah, sayang? Hah ... aku lega," ucapnya sembari memeluk Floyd sekali lagi. "Kau tidak boleh dekat-dekat dengan gadis aneh itu ya!"
Floyd tertawa lagi. "Hentikan rasa cemburumu, sayang. Jika begini terus aku tidak bisa bekerja membangun tim."
Arabella menegang. Begitu tiba-tiba. Floyd sadar akan perubahan sang kekasih.
"Ada apa Ara?"
"Aku mendapatkan penglihatan baru." Arabella sempat terdiam beberapa saat. Lalu dalam sekejap kepalanya mendadak pening, nyaris jatuh jika Floyd tidak segera menangkapnya. Kepalanya seakan-akan berputar, bahkan wajah tampan kekasihnya berubah samar seperti pusaran air. Di dalam pikirannya ia mendapatkan penglihatan tentang Arabella sendiri, ya benar! Ia melihat dirinya seakan-akan diserang oleh sesuatu, bahaya yang mampu mengancam nyawa. Sekelebat gambaran itu terputar bagaikan kaset rusak, dibarengi kilatan petir dan desiran angin malam, Arabella nyaris pingsan karena ketakutan. Lalu wajah Floyd kembali muncul di depannya, ia sudah berada di fokus normal.
Penerawangannya berakhir begitu saja, tidak jelas siapa yang melakukan, Arabella tampak tegang. Kakinya melemah, untung dia memegang tangan kokoh kekasihnya itu untuk menahan keseimbangan tubuh.
"Ceritakan itu nanti." Floyd menuntun Arabella masuk ke dalam ruangan dan membantunya duduk di sofa, ia tersenyum tanpa beban. "Jangan khawatir, aku akan melindungimu. Apapun gambaran yang kau lihat ... aku akan menghalanginya."
Arabella terdiam. Napasnya masih bergerak naik turun dalam tempo cepat.
"Ara-"
"Jangan pergi, Floyd." Arabella meremas kuat baju yang tengah dikenakan kekasihnya. "Jika kita berjauhan aku akan mati."
Floyd terkejut mendengar apa yang Arabella katakan. "Tenang, sayang. Siapa yang berani membuhmu? Bahkan menyebut nama seorang Arabella dengan sembarangan, aku akan menghajarnya."
"Aku serius." Arabella kini menelungkupkan kedua tangannya pada wajah sang kekasih. Dia bergetar takut, Arabella tidak dalam kondisi baik. "Lindungi aku, Floyd."
Floyd menghela napas sejenak lalu tersenyum teduh, mengambil tangan kanan Arabella, diremas lembut lalu menciumnya pelan. "Akan kupastikan kau aman, Ara. Tidak kuizinkan para karakter sampingan itu menyentuh sehelai rambutmu ...." ucapannya terhenti sembari memejamkan kedua mata lalu membukanya lagi, memperlihatkan mata berwarna biru bak samudra yang seakan-akan memancarkan ketenangan. "Tidak akan, Ara."
Part ini ditulis oleh Ralorra dalam sudut pandang karakter Floyd Archer.
______________
Floyd Archer
Umur: 25 tahun
Profesi: Terlibat dalam perdagangan manusia
Senjata: Pengguna dua revolver
MBTI: ENTP
Kostum: Koboi, Prof. Moriarty
Hobi: Menggoda seseorang
Kostum Floyd
(Tapi emang mirip sih karakternya, itu versi Floyd ala game)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro