Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. London Bridge is Falling Down

"London Bridge is falling down ...."

Alunan nyanyian terdengar menyaingi hembusan angin malam. Hujan berjatuhan deras, petir berkilat hebat membelah cakrawala-mengguncang arena pertempuran-Mansion Foster yang sudah dipenuhi genangan darah. Mayat terkapar di mana-mana, organ berceceran serta tubuh termutilasi terlempar ke segala penjuru koridor. Puluhan obor menari menyambut kunjungan angin, beberapa di antaranya padam menunggu waktu.

"Falling down ... falling down ...."

Floyd bersenandung pelan di tengah kegelapan, kedua kaki panjangnya melangkah gundah, melewati puluhan mayat yang meninggal dalam pertarungan pelik pada babak sebelumnya. Darah mewarnai lantai bermaterial marmer. Isi kepala pria itu kacau, dilanda depresi.

Penampilannya berantakkan, bekas lebam tinju masih menganga pada wajah yang tampan. Bibirnya kering, kancing pada kemeja tercabut hingga memperlihatkan dada yang bidang. Rambut coklat tua dan jubah biru pekat miliknya tertiup angin malam.

Tangan kanan Floyd memegang sebatang rokok yang menyala, sementara bagian kiri menggenggam kartu permainan bergambar domba-membuktikan posisinya saat ini memerankan anak domba tersesat-mencari jalan keluar sebelum ditangkap serigala.

"London Bridge is falling down ... My Fair Lady ...."

Setelah lagu London Bridge is Falling Down berakhir-tepat pada persimpangan koridor lantai tiga-Floyd kembali menghisap rokok, terdiam sejenak lalu menghembuskan asapnya ke udara kemudian membuang lintingan tembakau kering ke lantai kemudian menginjaknya sebelum berakhir meninju dinding hingga tangan kanannya yang dipenuhi perban mengeluarkan darah.

Napasnya terengah-engah, matanya sayu tak bertenaga, dia dengan kasar meremas kartu domba tersebut lalu membuangnya emosi. Floyd berteriak marah, ditinju berulang kali dinding itu hingga retak.

"Kenapa! Kenapa! Kenapa!" Dia berucap pelan lalu semakin lama membentak, nyaris berteriak. "Kenapa tidak ada yang mempercayaiku?!"

Floyd tampak putus asa. Rasa takut dan sedih bercampur menjadi satu. Terkekeh frustasi, kini kepalanya dibuat pusing. "Tatapan itu ...," ucapnya terhenti sejenak, tercekat membayangkan pandangan para tamu sewaktu mereka berkumpul di ruang makan. "Tatapan intimidasi yang menyuruhku untuk mati! Mereka berencana menuduhku! Apa salahku? Aku hanya salah satu dari mereka yang ingin bertahan hidup!"

Dia menutup telinga, menggeleng kuat ketika puluhan suara para tamu di kepalanya bersahutan- menyuruhnya untuk mati.

"Tidak!" Floyd melotot takut seraya mendekap mulut dengan tangannya yang dipenuhi darah, lalu tertawa garing. "Aku tidak boleh mati! Jika para tamu bodoh itu tidak mempercayaiku maka tinggalkan mereka. Ya! Benar! Aku lari saja, toh menurut dugaanku ... Master Game hanya memanipulasi keadaan, pada dasarnya dia hanya membunuh, tidak membiarkan siapapun menang," ungkapnya tidak sabaran. "Jika ingin menang maka harus memakai otak mencari jalan keluar, bisa jadi semua ini jebakan."

Sayangnya ekspektasi tidak sesuai realita, situasi semakin dibuat runyam. Terlunta-lunta selama menyusuri koridor, Floyd sejujurnya tidak memiliki tujuan yang jelas. Dia mencoba menghindari kerumunan karena takut-seperti pengecut-mencoba mencari jalan keluarnya sendiri. Gagal sudah rencananya membentuk semacam kelompok untuk bertahan hidup, tak ada yang tahu kehendak Master Game. Prediksinya hancur berkeping-keping. Mau tidak mau, dia harus kabur.

Masa bodoh dengan Russian Roulette yang ia mainkan bersama Dominic, pada dasarnya revolver miliknya itu sudah rusak dan tidak lagi berfungsi. Floyd hanyalah penipu, terbiasa mendekap dalam perdagangan manusia membuatnya kebal di bidang menghasut. Kekasihnya-Arabella tidak ia tinggal, setelah mencari celah untuk kabur, Floyd tentu saja langsung menjemputnya kembali.

Apapun yang terjadi, Floyd akan memenangkan permainan meski harus bermain belakang dengan membodohi Master Game.

"Tidak peduli siapa serigala, rubah atau domba! Aku akan memilih peranku sendiri ... menjadi musang. Apapun yang terjadi, Floyd Archer harus memenangkan permainan dan menjadi peserta yang selamat." Floyd bergumam kemudian tersenyum sinting.

Jika dua anak buah Jigsaw mati tertembak gara-gara melawan Master Game maka Floyd harus melarikan diri secepat mungkin melewati tempat yang tidak bisa dijangkau oleh kamera maupun senapan. Hanya saja selama pura-pura berkeliling, laki-laki tampan bermata biru itu tidak bisa meloloskan diri, seakan-akan semua ruang dirancang sempurna tanpa menyisakan celah.

Tidak terasa langkahnya kian menjauh menuju kegelapan, mengabaikan suara badai yang menerjang di luar mansion, hingga tiba-tiba ... Floyd mendapati bayangan di balik sekat. Sesosok pria muncul, berjalan pelan, langkahnya berat hingga setiap bunyi menguncang ketakutan.

Floyd bersembunyi. Keringat dingin membasahi wajahnya yang tampan. Kini dia benar-benar terancam, Floyd Archer bukanlah sosok pemberani seperti yang dipikirkan orang-orang melainkan penipu ulung dengan skill manipulator. Manusia jika dihadapkan pada suatu musibah tentu secara alamiah mencoba mempertahankan diri, beradaptasi hingga melukai orang lain. Hanya saja babak ini pengecualian-semakin sulit-tidak cocok untuknya bertahan dengan sebatas memanipulasi dan mangayunkan senjata.

"Sherlockey? Sedang apa dia? Setelah menang Russian Roulette, mungkinkah ia mencoba peruntungannya bermain detektif-detektifan?" gumamnya seraya mengintip di kejauhan. Menunggu cukup lama, Floyd sadar ada yang janggal. Pria berkostum Sherlock Holmes itu melangkah keluar dari tempat misterius-ruang di balik dinding-wilayah yang bisa dikatakan belum dijamah oleh tamu manapun. "J-Jangan bilang-"

Prang!

Betapa cerobohnya, tangan Floyd tanpa sengaja menyenggol vas bunga di meja sudut hingga membuatnya hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring membahana-membuat Dominic terkejut-mengecek sumber suara.

"Fuck!" Floyd mengumpat-setengah berbisik- spontan merapatkan tubuhnya ke dinding setelah mendapati Dominic berjalan mendekat. Wajahnya memucat, situasi sudah tidak lagi menyenangkan seperti babak sebelumnya. Sekarang permainan ini berubah semakin mengerikan, membuatnya merinding. Siapapun di antara mereka yang hidup adalah pembunuh, sang serigala.

Jadi, jika Floyd sedikit saja salah mengambil langkah, maka hidupnya bisa berakhir konyol-menjadi salah satu mayat yang bertebaran di mansion.

"Siapa di sana?!" Dominic menaikkan suara-mencoba waspada.

Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya orang bodoh yang menjawab pertanyaan Sherlock Holmes. Moriarty seharusnya memberinya lebih banyak teka-teki, menjauhi interaksi. Tanpa berpikir panjang, Floyd bergegas melarikan diri sejauh mungkin dari Dominic-menuju koridor paling gelap-tanpa penerangan.

Floyd berlari menyaingi kecepatan angin, melangkah tanpa tujuan. Insting yang mengalir dalam nadinya mengatakan seseorang sedang memantau dan mengikutinya. Entah sugesti atau fakta, namun ia sadar suara langkah kaki kian mendekat. Floyd tidak membawa senjata mengingat perannya hanya sebatas domba, sebagai gantinya dia terus-menerus berlari, bahkan nyaris tersandung mayat yang terkapar dalam pekatnya kegelapan koridor tanpa obor. Petir sesekali berkilat mengeluarkan cahaya, menjadi satu-satunya penerang bak flash kamera.

Sejauh mata memandang, Floyd menemukan cahaya berwarna merah redup. Lantas dia mendekat, cukup perlahan namun pasti hingga menyadari bahwa sesuatu yang ditemukannya merupakan box pemancar. Sekali lagi Floyd unggul dalam permainan, wajah lelahnya kembali dipenuhi harapan, meski jantungnya masih berdegup kencang.

Namun sayang kebahagiannya itu tidak berlangsung lama ... seseorang memukulnya dari belakang-menyeret paksa tubuhnya di tengah kegelapan pekat. Semua terjadi secara mendadak, kesadaran Floyd menghilang hingga matanya terpejam putus asa.

***

Sepuluh lilin yang diletakkan pada meja panjang, menerangi suramnya ruang makan berukuran mewah milik Keluarga Foster. Jendela-jendela besar tanpa tirai membentang setinggi empat meter di depan mata. Badai melanda, petir menggelegar-sering kali mengularkan kilatan flash-sehingga siapapun bisa melihat situasi yang terpampang di luar jendela menghadap tebing yang curam.

Bisa disimpulkan kediaman mewah ini memutari jurang yang bahkan dari balik jendela mampu memperkirakan betapa berbahayanya jika seseorang tanpa sengaja terjatuh ke dasar tebing, nyaris mendekati lautan.

Hembusan angin sesekali mencuri masuk melewati celah kaca yang pecah, menciptakan atsmosfer minimnya bertahan hidup. Merinding, takut dan putus asa bercampur menjadi satu seperti asap rokok milik Batara yang menyatu dengan udara. Laki-laki itu terdiam di pojokan ruangan, menikmati pemandangan badai yang membentang.

Suami istri Garza turut memeriksa keadaan, memandang was-was ke arah jendela. Sementara Jigsaw berjalan mondar-mandir memikirkan rencana. Kasha yang sebelumnya pergi, kini kembali dengan wajah datar. Arabella terdiam mencoba mengamati situasi sekitar di kursi makan, Aruna dan Dominic belum kembali, terlebih lagi Floyd yang memang sedari awal selalu dituduh berperan sebagai bajingan turut menghilang.

"Tidak terbesit di pikiran kalian 'kah untuk berpencar?" Jigsaw memecah keheningan. Sorot tajamnya bersembunyi di balik topeng, penampilannya kusut sehabis menyelamatkan diri di babak pertama. "Jika berkumpul terus, tidak akan ada yang menang atau kalah-"

"Diam, topeng badut! Kenapa tidak kau saja yang memisahkan diri mencari box pemancar?" Zeralda menimpali. "Atau jangan-jangan kau serigalanya? Itu sebabnya menyuruh kami berpencar-"

"Tutup mulutmu, jalang!" Jigsaw menaikkan oktaf nadanya, nyaris mendatangi Zeralda namun dicegat oleh Rogelio.

"Hei-hei!" Rogelio membentak Jigsaw seraya menarik tangan sang istri-manjauhi sosok penggapai peringkat satu. Lantas dia berbalik menunjuk ke wajah Jigsaw, memberi ancaman. "Jangan berani-berani melukai istriku! Jika jarimu sampai menyentuh sehelai rambutnya saja ... maka aku tak akan segan-segan melenyapkanmu! Camkan itu!"

"Kau-"

"Bisakah kalian diam?" Batara membuang lintingan rokok ke lantai lalu menginjaknya. Semua orang beralih memandang putra Keluarga Chandrakanta. Hening menyisakan badai, terdengar suara langkah kaki panjang Batara, menggema hingga membuat siapapun terdiam. Dia yang semula menyimak mengabaikan pertengkaran ... kini berjalan menuju ketiga orang sengketa dengan pembawaan tegas dan mengintimidasi. Tatapannya menusuk, dingin bagaikan sebongkahan es.

"Manusia terdiri dari kesempurnaan namun ternoda pada dua unsur gelap ... ketakutan dan ambisi." Batara melanjutkan seraya menatap Jigsaw, Rogelio dan Zeralda secara bergantian. "Dua unsur itu jika menjadi satu bisa mengancam kesadaran. Entah membahayakan diri sendiri atau orang lain."

"Apa maksudmu?" Jigsaw membalas tatapan Batara dengan angkuh.

"Maksudku ...." Batara tersenyum samar. "Manusia bisa berubah lemah maupun buruk jika dia takut dan berambisi," jawabnya. "Seperti dirimu."

Mendengar kalimat Batara, Jigsaw seketika mengalihkan pandangan, mendadak gelisah terlebih lagi semua mata memandangnya sebagai terdakwa. "Apa-apaan kau-"

"T-tunggu! Bukankah itu Floyd?"

Zeralda yang sebelumnya berfokus ke Batara tanpa sengaja menangkap sosok lain di luar jendela-Floyd-yang semula baik-baik saja kini berdiri di atas atap mansion dengan mata tertutup kain, kedua tangannya terikat, serta tubuh yang lemah. Badai menerjang kala itu, petir mengeluarkan kilatan cahaya-memberikan petunjuk keberadaan sosok Floyd yang berdiri tersekap di atas sana.

"Kau yakin, Darling?" Rogelio turut menyahut.

"Iya, Roge! Lihat saja ke sana! Wujudnya seperti Floyd apalagi kostum Moriarty eksentriknya itu!"

Sesaat Zeralda mengatakan demikian sembari menunjuk sosok di luar jendela, semua orang spontan memandang-mengikuti arah telunjuk yang diberikan istri Rogelio. Perasaan tidak percaya menyelimuti keadaan, jantung berdegup kencang seakan-akan menyaksikan parade kematian. Arabella memucat, dia beranjak berdiri lalu menerobos kerumunan. Matanya membola menyadari kekasihnya disekap tak berdaya di puncak atap bersama sesosok berjubah hitam. Lebih mengerikannya, orang itu menodongkan senjata di belakang kepala Floyd yang berdiri mendekati ujung ketinggian.

Petir menggelegar memperlihatkan kilatannya berulang-kali, waktu tampak melambat, setiap detik melambangkan detakkan jantung dan nyawa seseorang untuk bertahan hidup.

Deg!

Sunyi, dunia dilanda keheningan, menyisakan suara detak jantung pada dada masing-masing. Petir berkilat lagi, memperlihatkan Floyd nyaris terjatuh sebelum kegelapan kembali melanda.

Deg!

Hingga sekali lagi cahaya petir kembali menyorot ... Floyd terdorong-melayang di udara-bersama hujan, jatuh seperti bait yang tertulis dalam lirik London Bridge is Falling Down. Bersamaan dengan itu terdengar teriakan sebelum suara deburan keras menghantam karang dasar tebing, meluluhlantakkan harapan.

Floyd Archer, dinyatakan tewas terjatuh. Pergi menyisakan pertanyaan dan misteri yang belum terungkap.

Part ini ditulis oleh Ralorra dalam sudut pandang karakter Floyd Archer.

______________

Floyd Archer

Umur: 25 tahun
Profesi: Terlibat dalam perdagangan manusia
Senjata: Pengguna dua revolver
MBTI: ENTP
Kostum: Koboy, Prof. Moriarty
Hobi: Menggoda seseorang

Foto Kostum

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: