18. Keep The Wolves at Bay
Suara dari speaker kembali terdengar; memerintah, dan mempermainkan.
Dominic melirik Kasha—gadis yang beberapa waktu lalu kebetulan ia selamatkan dari kematian. Mereka baru saja selesai memeriksa ruangan terakhir di lantai dua—memastikan tidak ada lagi yang sedang mengincar. Sementara Aruna menunggu di tempat aman—setidaknya untuk saat ini—agar dapat menenangkan diri.
"Apa ini yang namanya jodoh?" celetuk Dominic ketika mereka di perjalanan kembali ke tempat Aruna. Kasha hanya diam, menatap punggung tegap lelaki yang berjalan lebih dulu itu.
"Padahal kita sempat mengobrol saat pesta belum 'meriah', kan?"
Tidak ada jawaban, dan Dominic juga tidak butuh jawaban itu. Ia hanya sedang mencoba mengalihkan pikiran buruk tentang adiknya sendiri. Setelah memergoki Aruna di tengah gelimpangan mayat dengan tatapan mengerikan, mereka sama-sama tidak mengatakan apa pun. Keterdiaman Aruna menjadi akhir perdebatan yang sempat terhenti.
"Aruna?"
Ruangan yang seharusnya tempat Aruna menunggu telah kosong. Dominic mengembuskan napas dan mengusap kasar wajahnya. "Jangan lagi!" desisnya seraya memukul daun pintu hingga, bunyi debam keras menggema ke penjuru koridor. "Aku benar-benar tidak mengerti!"
"Sebaiknya kita ke ruang makan. Jika adikmu pintar dan tidak sekadar anak nakal yang tak bisa diatur, dia pasti juga ke sana!" ujar Kasha pelan.
"Pastinya lebih pintar darimu!" lirih Dominic sinis seraya beranjak pergi menuju tempat yang diperintahkan.
Kasha mendengarnya dan tersinggung, tapi malas berdebat. Anggap saja laki-laki itu hanya sedang sensitif karena ulah adik kecilnya yang nakal. Lagi pula, suasana hatinya juga sedang buruk mengingat apa yang akan terjadi nanti, bertemu kembali dengan laki-laki itu.
... dan benar saja, mereka bertemu. Dengan Aruna, juga Floyd.
Ruang makan itu menjadi ruangan dengan kondisi paling baik. Berbanding terbalik dengan tempat lain yang dipenuhi darah serta mayat bergelimpangan. Ada satu meja besar dan panjang di tengah ruangan, dikelilingi kursi kayu berwarna emas. Di dekat meja terdapat brankas besar setinggi kulkas satu pintu yang terbuka tanpa ada isinya.
Aruna bergegas ke arah Dominic dan berdiri di sebelahnya. Sementara Floyd tampak menjadi orang paling bersemangat di ruangan itu. Matanya melirik ke arah Kasha dan gadis itu refleks mundur, memalingkan wajah. Dominic maju selangkah seolah menghadang Floyd ketika mendekat.
"Apa ini kejutan ulang tahunku? Tapi ini bukan tanggal yang tepat," ujar Floyd memecah keheningan. "Bukankah ini takdir? Orang-orang yang kukenal kini sedang berkumpul di satu tempat."
"Kenapa kau bisa bersama adikku?" sinis Dominic—enggan menanggapi ucapan omong kosong pria itu. Tangannya meremas gagang pedang dengan erat, menahan emosi yang telah menumpuk.
"Benar. Itu salah satu kejutannya!" Floyd melirik Aruna sekilas, lalu kembali menatap Dominic seraya tersenyum timpang. "Pantas saja wajah gadis kecil itu familiar. Rupanya adikmu."
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak dekat-dekat dengannya?" tukas Dominic, bukan pada Floyd melainkan Aruna yang memalingkan wajah dengan raut kesal.
"Aku tidak dekat-dekat. Aku tahu cara membuat jarak!"
"Lihat ini, tuan putri yang berkhianat sudah punya tempat lain untuk sembunyi rupanya," celetuk Arabella yang ikut mendekat guna berhadapan langsung dengan Kasha. "Kau ... memang tipikal yang suka menempel di samping pria tampan, ya?" tangannya mengamit lengan Floyd, memamerkan pada semua orang betapa mesranya mereka.
Kasha sama sekali tak mengacuhkan Arabella yang tersenyum menyebalkan, pun enggan menatap balik. Tangan yang terlipat di dada meremas erat lengannya sendiri, menyalurkan kegelisahan dan rasa gentar yang menghujam tubuhnya. Semua karena lelaki itu—Floyd. Bahkan emosi tidak dapat meluap hanya karena tatapan dan kebisuan yang dilayangkan padanya.
Derap langkah beberapa orang menggema di sepanjang koridor, membuat perhatian mereka teralihkan. Seseorang baru saja datang dan membuka pintu ruang makan. Dia Batara, masuk sendirian dengan santai entah dari mana.
"Apa kita sedang reunian?" ujarnya setelah membuang puntung rokok yang masih tersisa setengah, menginjaknya sampai padam. Bersamaan dengan itu Jigsaw juga masuk diikuti dua laki-laki bertato sebatang badan di belakangnya. Semua yang ada di ruangan itu sontak waspada.
"Santai saja. Permainan mencuri poinnya sudah berakhir, kan!" ucap Jigsaw seraya bersandar di dinding tidak jauh dari pintu. Luka dan bercak darah di tubuhnya terlihat jelas dari obor yang menggantung di beberapa titik.
"Jika dipikir-pikir benar juga. Ini seperti reuni karena ajaibnya kita semua sudah saling mengenal!" seloroh Floyd lalu tertawa. Namun, yang lain memilih bungkam dengan raut tegang. Mereka merasakannya, tidak ada hal lucu apa pun yang dapat memancing tawa di saat seperti ini.
"Karena permainan berburunya sedang jeda, sudah saatnya untuk gencatan senjata," Batara kembali berucap. "Kita semua berada di posisi yang sama, ada baiknya untuk bersatu dan mencari pelakunya, lalu keluar dari sini. Bagaimana?" usulnya.
"Kau benar, kita harus bersatu dan menangkap psikopat yang ada di balik semua ini!" seru Zeralda. Sementara Rogelio yang awalnya enggan membentuk aliansi hanya dapat pasrah mengiyakan kehendak sang istri, sebab jika dipikir lagi itu memang pilihan terbaik saat ini. Jigsaw beserta dua orang yang mengikutinya juga mengangguk setuju.
"Aku setuju." Floyd ikut bersuara.
"Bagaimana dengan kalian?" Batara melirik Dominic yang sedari tadi hanya diam terpaku dengan tatapan jengah.
"Baiklah."
"Bagus. Tapi kita butuh satu pemimpin terpercaya di sini!"
Semuanya terdiam sejenak, raut lelah tercetak jelas pada wajah dan tubuh yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja; berdebu, lebam, terluka, serta darah yang telah mengering melekat di tubuh menjelaskan betapa mengerikan waktu yang hanya beberapa jam mereka lalui di mansion tersebut.
"Karena kalian semua sudah mengenalku, aku akan menjadi pemimpinnya dan membawa kita keluar dari sini!" ucap Floyd cepat.
"Karena sudah mengenalmu beberapa jam, aku jadi semakin yakin untuk tidak membiarkanmu memimpin," timpal Dominic. "Kau mungkin memang akan membawa kita keluar, tapi sebagai mayat."
Floyd tersenyum timpang. Tidak marah atas sarkas yang dilontarkan. "Kuberitahu satu hal, sejak awal aku memiliki tim di permainan ini, tidak ada satu pun yang mati. Bisa kau tanyakan pada mereka!"
Raut Dominic berubah semakin kaku, begitu juga Aruna yang tersentak di sampingnya. Meskipun baru beberapa jam mengenal Keith, tapi kematiannya memberikan dampak bagi mereka. Entah sejak kapan, kepompok kecil bermasalah itu menjalin sebuah ikatan dan perkataan Floyd menampar dengan sangat keras.
Kasha yang sudah tahu apa yang telah terjadi pada salah satu anggota mereka hanya diam. Kalau bisa ia ingin segera meninggalkan ruangan saat ini juga sebelum perut yang mulai bergejolak hendak naik ke tenggorokan.
"Karena semua hanya diam, berarti sepakat, kan?" kata Floyd lagi, menepuk-nepuk pundak Dominic dengan santai, mengabaikan tatapan marah lelaki itu. "Mohon kerja samanya, Sherlockey!"
Dominic mendelik tajam, menepis kasar tangan koboi gadungan itu. "Aku tidak sudi diperintah oleh siapa pun terutama kau!"
"Aku ikut dia." Batara berjalan ke arah mereka dan berdiri di pihak Dominic, menantang Floyd.
"Jika begini, kita tetap akan terpecah!" celetuk Rogelio yang sedari tadi hanya mengamati di bagian ujung meja panjang bersama istrinya "Dan jika kalian bertanya siapa yang akan aku ikuti, aku pilih Floyd."
"Dan aku akan mengikuti pemimpin yang kuat!" tambah Jigsaw memanasi.
Senyuman Floyd mengembang kala suasana semakin panas. Dia mengeluarkan dua revolver kesayangannya. Menyisakan satu peluru dan memutar silindernya. "Agar adil, bagaimana kalau kita buat sebuah permainan untuk menentukannya?"
"Russian roulette?" gumam Aruna. Ia menahan lengan kemeja Dominic, mengisyaratkan agar tidak terpancing. Namun, terlambat karena kakaknya itu langsung menyetujui.
"Bagus. Kita-"
"Tunggu!" potong Aruna seraya menarik mundur Dominic. "Hold your horse! Kau mau mati dan meninggalkanku begitu saja, hah?"
"Jangan selalu menganggap remeh aku!" tatapan Dominic kala mengatakan itu mau tak mau membungkam Aruna. Selama ini, meskipun suka mengomel kakaknya itu tidak pernah benar-benar marah, tapi kali ini berbeda. Dia ... sudah di ambang batas kesabaran.
"Bodoh!"
Dominic kembali berdiri di hadapan Floyd, menantang. "Jadi, siapa duluan?"
"Sepertinya kau sangat percaya diri. Bagaimana kalau kita permudah, jika kau berhasil selamat dari dua ronde, kau yang akan memimpin!"
"Deal!"
Floyd melemparkan satu revolver pada Dominic, lalu dengan cepat menodongkan pistol itu ke keningnya sendiri dan Klik—menekan pelatuknya dengan santai. Semua yang ada di sana langsung tercekat, apalagi Kasha dan Arabella yang sukses berkeringat dingin. Pria berkostum koboi yang sudah lusuh itu mengisyaratkan agar Dominic juga melakukan ronde pertama. Menggunakan revolver kedua yang ia berikan.
Aruna menahan tangan Dominic yang bergerak mengangkat pistol dan menodongkannya ke ujung pelipis. Kakaknya itu keras kepala dan memiliki harga diri yang terlampau tinggi untuk sekadar menolak tantangan tidak berguna itu. Hingga terkadang sering gegabah dan bertindak bodoh.
Ketika pelatuknya ditarik dan berbunyi klik, Aruna terpejam menahan napas. Tangannya bergetar meremas lengan Dominic. Napasnya sempat tertahan hingga kakaknya itu berkata, "Ronde kedua!"
Mereka saling bertukar pistol dan Floyd kembali melakukan hal yang sama, kali ini tidak semengejutkan sebelumnya, tapi semua yang menunggu pelatuk itu ditarik ikut menahan napas. Jika di awal beruntung, itu artinya kesempatan untuk melubangi kepala sendiri akan jadi jauh lebih besar. Tidak mau menunggu giliran, Dominic ikut melakukannya. Dengan begini permainan sialan ini akan berakhir cepat. Dia sudah sangat muak melihat sikap Floyd yang sedari tadi seperti begitu menikmati.
Mereka sama-sama menarik pelatuk dan Aruna langsung terduduk lemas. Dominic benar-benar menantang peruntungannya.
"Ini sangat disayangkan. Tapi aku menikmatinya, Sherlockey!" Floyd mengulurkan tangan untuk berjabat, tapi diabaikan. Dominic lebih memilih melemparkan revolver itu kembali pada pemiliknya.
Suara nyaring dari speaker mengalihkan perhatian mereka. Suasana berubah sunyi dan makin mencekam. Masing-masing dari mereka sudah tidak sabar untuk menyeret orang dibalik suara itu dan mengulitinya.
"Terima kasih dan selamat untuk para calon pemenang yang telah berkumpul. Kalian adalah orang-orang terpilih yang akan diberikan keistimewaan untuk melanjutkan ke permainan utama kami. Sebelum permainan kedua kita mulai, silakan kumpulkan semua senjata kalian ke dalam berangkas!"
Mereka saling berpandangan, tidak berniat menuruti perintah itu. Terutama Dominic, dia yang paling tidak suka diperintah oleh siapa pun, bahkan rela mempertaruhkan nyawa agar tidak berada dibawah kepemimpinan Floyd. Mana mungkin sekarang mau menyerahkan senjatanya begitu saja. Saat ini mereka sedang bertahan hidup dari pembunuh yang tidak terlihat, senjata adalah modal utama untuk itu.
"Kau pikir kami akan memberikannya?" geram satu dari lelaki bertato yang berdiri tak jauh dari Jigsaw.
Dor!
Tanpa ada peringatan, tembakan datang entah dari mana, menumbangkannya dengan kepala berlubang. Mereka terpaku sejenak dengan aura dingin yang merayap dari telapak kaki. Terutama Jigsaw yang nyaris saja—jika meleset—ke kepalanyalah peluru itu bersarang.
Mereka menoleh ke asal tembakan. Dari dinding, di lukisan kuda hitam di dinding paling ujung. Dominic menarik Aruna ke belakang punggungnya, menghalangi moncong pistol yang tersembul di bagian mata kuda di lukisan itu.
"Kami telah memasang perangkap yang dapat menembak siapa pun dari jarak jauh. Jika kalian tidak menuruti aturan permainan ini, perangkap itu akan aktif dan melubangi kepala kalian semua." Suara dari speaker kembali berkumandang.
"Brengsek!" umpat Dominic. Dia benar-benar sudah muak dengan semua ini. Dia maju lebih dulu, membawa pistol Aruna serta pedangnya dan memasukkannya ke dalam brankas. Floyd mengikuti kemudian, begitu pun yang lain melakukan hal yang sama.
"Jika sudah, tutup brankasnya dan kita mulai penjelasan permainan kedua!"
Semuanya berdiri di depan speaker yang terpasang di sudut arah jam dua, mendengarkan penjelasan. Untuk kali ini akan ada misi yang membutuhkan kerja sama semua peserta.
Mereka disuruh mengambil kotak hitam di laci meja di bawah lukisan kuda. Di dalamnya terdapat kertas bergambar lingkaran dengan tiga warna; hitam untuk 'domba', oranye 'rubah', dan merah 'serigala'.
Serigala dan domba, itulah permainan kedua. Akan ada yang menjadi domba untuk menyelesaikan misi yaitu, menyalakan empat pemancar yang tersebar agar dapat keluar dari tempat itu serta membawa hadiah uang yang telah disediakan di gerbang mansion. Lalu ada satu yang akan berperan sebagai serigala dan rubah.
Serigala bertugas membunuh domba untuk menggagalkan misi mereka. Jika beruntung membunuh rubah, dia dinyatakan menang dan dapat keluar saat itu juga. Namun, apabila serigala ketahuan oleh rubah dan terbunuh, atau semua pemancar berhasil diselesaikan, maka serigala akan dieksekusi.
Kemudian apabila rubah berhasil membunuh serigala, maka permainan usai dan dimenangkan oleh rubah serta domba yang selamat meskipun misi tidak terselesaikan. Akan tetapi, jika rubah melakukan kesalahan tiga kali dalam artian membunuh tiga domba tak bersalah, ia akan dieksekusi saat itu juga dan permainan berakhir tanpa seorang pun pemenang.
... dan itu artinya mati.
Secara bergantian, mereka disuruh mengambil kertas di dalam kotak, melihatnya sekilas lalu menyembunyikannya agar tidak terlihat oleh yang lain. Usai mendapat peran masing-masing, mereka berdiri membuat sebuah lingkaran, saling mengamati dan menyelidik siapa yang menjadi rubah dan serigala.
"Permainan dimulai sepuluh menit lagi. Hidupkan semua pemancar dan larilah dari serigala yang kelaparan!" penjelasan untuk permainan kedua berakhir dan ketegangan semakin terasa. Sekarang, tidak ada yang dapat dipercaya di antara mereka.
"Bagaimana kalau kita saling menunjukkan peran?" seru lelaki bertato yang sedari tadi mengekori Jigsaw.
"Serigala tidak akan mengaku!" timpal Zeralda.
"Kau serigalanya?" tuding Aruna.
Zeralda tersenyum sekilas. "Mulutmu terlalu busuk, Nak!"
"Aku hanya bertanya karena sepertinya kau sangat takut dengan rencana itu."
"Sangat ingin tahu, heh? Aku jadi berpikir kalau kau rubahnya, bukankah seharusnya lebih berhati-hati? Serigala tidak akan menyisakan daging segar sepertimu, anak manis."
"Jika aku rubah, sejak detik ini kau akan menjadi orang teratas dalam kecurigaanku."
"Hentikan!" tegur Dominic.
"Dengar bocah-bocah!" sela lelaki bertato sekali lagi. "Hanya ada satu serigala di antara kita. Jadi, siapa yang tidak menunjukkan kertasnya, kita hanya perlu membu-" ucapan lelaki itu terpotong kala letusan terdengar dan ia tersungkur ke lantai.
Semua kembali diam. Menelan ludah. Tanpa ada yang mengatakan apa pun, mereka tahu bahwa mencurangi atau mengambil jalan pintas dalam permainan hanya akan berakhir mati.
Suara dari speaker kembali berkumandang, "Waktu sepuluh menit telah berakhir. Bermainlah dengan adil dan selamat bersenang-senang. Good luck!" Lalu hening. Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk mencari jalan pintas. Mau tidak mau, permainan harus dimulai.
*****
"Kita mulai pencarian di lantai ini dulu!" seru Dominic. "Tetap waspada pada siapa pun, tidak ada yang dapat dipercaya di antara kita. Dan untuk rubah, tetap berpikir sebelum bertindak, jangan asal bunuh atau ketahuan!"
Pergi bersama adalah cara terbaik saat ini, beruntungnya tidak ada waktu yang ditentukan untuk menyelesaikan misi. Walau jadinya terasa aneh, seperti ada yang mengganjal dan mengganggu pikiran Dominic. Ah, benar. Tujuan utama permainan ini tetaplah pembunuhan. Tidak peduli berapa lama waktu akan berlalu, pembunuhan akan terus terjadi, sebab 'serigala sebenarnya' sangat menikmati permainan.
"Agar cepat, aku akan mengecek bagian atas sendiri!" ujar Floyd tiba-tiba. Semua orang—kecuali Arabella—menatapnya curiga dan dia langsung menambahkan, "setidaknya jika aku sendiri, tidak akan ada serigala yang membunuhku ataupun sebaliknya, bukan?"
"Memang akan lebih mudah jika kita berpencar. Kalau begitu aku akan memeriksa lantai tiga. Dan Aruna, kau tetaplah di sini, jangan berpencar!" Meski enggan, Dominic harus mengakui kalau mereka tidak boleh menyia-nyiakan waktu.
"Aku ikut denganmu!" ujar Aruna, menunjuk Floyd.
"Tidak. Kau tetap di sini!" sergah Dominic. Apa adiknya itu sedang marajuk? Jangan lagi, dia benar-benar sudah lelah. "Kumohon, sekali ini saja!" pintanya selembut mungkin. Aruna mendengkus dan memalingkan wajah. Tidak mengiyakan permintaan kakaknya, tapi juga tak jadi mengikuti Floyd. Pada akhirnya mereka kembali berpencar.
Dominic tidak habis pikir dengan Aruna. Apa dia sudah hilang akal hingga mudahnya meminta pergi bersama Floyd—pria paling dicurigainya saat ini, psikopat yang menyukai permainan maut. Namun, apa pun rencana gadis itu, untuk kali ini mereka hanya dapat berpencar sendiri-sendiri, itu pun tidak ada yang boleh dibiarkan menjadi kelompok kecil. Serigala hanya satu dan dia tidak memiliki senjata. Jadi, setidaknya dapat dilawan jika bersama-sama.
Seharusnya begitu, tapi perasaan Dominic masih tidak tenang. Di lantai dua ia mengamati Floyd yang berjalan sendiri menyusuri lorong. Yakin jika tidak diikuti, barulah ia menaiki tangga sekali lagi.
Pikiran lain menggelayutinya. Lantai empat. Seperti yang Aruna katakan sebelumnya, ada tangga rahasia di balik lukisan besar di lantai tiga. Mungkin saja gadis itu benar. Tidak ada salahnya mencoba. Meskipun enggan mengakui tapi Dominic tahu kalau Aruna itu cerdas dan tidak pernah asal bicara.
Lukisan pemandangan gunung musim gugur yang dimaksud Aruna ada di ujung koridor, tingginya mungkin lebih dari satu meter. Mengamatinya seksama tidak ada tombol atau tuas apa pun di sekitar lukisan. Tangannya menyentuh bingkai emas berukiran bunga itu mencoba menggeser tapi tidak bisa. Jemarinya menyelip ke bagian samping, kiri dan kanan hingga menyentuh sesuatu yang aneh.
"Ini dia." Dominic menekannya dan terjadi getaran kecil untuk beberapa saat. Ada renggangan di pinggir sebelah kanan lukisan. Ia menariknya dan benar saja. Ada tangga menuju lantai atas.
Tidak ada pencahayaan di tangga sehingga Dominic harus pelan dan berpegang pada dinding dingin berdebu. Di ujung tangga terdapat pintu kayu besar yang syukurnya tidak terkunci. Cahaya remang langsung menyergap kala pintu perlahan dibuka dan ia mengintip ke dalam. Tidak ada siapa-siapa.
Dia bergegas masuk dan melihat sekeliling. Dari semua peralatan yang ada, sudah dipastikan itu benar-benar ruang monitor yang selama ini mereka cari, tapi di mana dalangnya? Tidak ada pintu lain di sana. Hanya ruangan dengan puluhan monitor berjejer di hadapannya. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang menampilkan rekaman, hanya siaran bersemut tak berguna. Bukankah ini aneh? CCTV-nya rusak tapi mereka seolah tahu semua yang dilakukan.
Di bagian paling sudut terdapat sebuah komputer. Dominic mendekat dan bersyukur masih beroperasi dengan baik. Jaringan internet juga bisa dipakai. Sekarang dia merasa menemukan sebuah oasis. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah semua data mengenai keluarga Foster. Sebelum datang ke sini, ia hanya melihat sekilas tentang betapa mengerikannya mereka, tapi rupanya belum seberapa dibanding apa yang terjadi sekarang.
Hanya saja, bukankah aneh jika Kepala Keluarga Foster malah menjadi pertunjukkan pembuka? Apa mungkin mereka punya musuh? Tapi kenapa harus mengundang orang lain untuk dijebak, padahal sebagian besar tamu tidak ada kaitannya dengan keluarga itu.
Semakin dalam Dominic menyelami tentang Foster, semakin banyak hal yang terlihat. Hingga menemukan sebuah nama yang terasa familier. "Arabella Lievy? Gadis yang terus menempeli psikopat itu?"
Tidak banyak hal yang tercatat tentang Arabella, kecuali sebuah fakta kalau dia adalah anak seorang mafia yang pernah berjaya beberapa tahun lalu, sekaligus menjadi pewaris utama perusahaan perhiasan terkenal yang bangkrut mendadak sebab seluruh keturunannya habis terbunuh dalam semalam.
"Dan anak itu masih hidup hingga sekarang?" Dominic bersandar ke kursi hitam yang didudukinya. "Mereka memang tidak memiliki hubungan baik dengan Foster, tapi juga tidak buruk. Mungkinkah ...."
Gadis itu sedang balas dendam?
Bisa saja Arabella adalah dalangnya, tapi tidakkah dia sudah terlampau gila hingga berani membuat kekacauan seperti ini? Namun, tidak ada kepastian kalau memang Foster yang melakukannya. Bisa saja gadis itu diundang karena memang sudah mengenal Foster sebelumnya. Atau ada orang lain yang memiliki dendam yang sama? Floyd. Mereka pasangan paling mesra di sini, bukan?
Rupanya tahu satu hal, hanya memancing seribu kejanggalan lainnya.
Selagi mencoba menghubungkan benang merah dari sedikit informasi itu, sudut mata Dominic teralihkan pada ikon paling mencolok di monitor. Ketika membukanya, software tersebut memperlihatkan sebuah rekaman suara yang terdiri dari beberapa file. Ia memasang headphone hitam yang tergantung untuk mendengarkannya dan sontak mengerutkan dahi. Sudut bibirnya terangkat—mengulas senyum, kontras dengan bulir keringat dingin yang menetes dari pelipisnya.
"Jadi benar. Begitu rupanya!"
Semua rekaman itu berisi perintah yang mereka dengar sedari awal kekacauan terjadi. Berarti tidak ada yang mengawasi mereka dari kejauhan melainkan benar-benar ikut berkeliaran di arena permainan. Bluetooth di komputer itu sedang tersambung dengan sebuah perangkat. Maka kemungkinan besarnya sang serigala dapat mengendalikan rekaman dalam software tersebut dari jarak jauh hingga, dapat disiarkan melalui speaker hanya dengan sekali tekan.
Ada 'serigala sebenarnya' yang sedang menyamar sebagai anak domba.
Part ini ditulis oleh Serenade33 dalam sudut pandang karakter Dominic Dawson.
______________
Dominic Dawson
Usia: 24 Tahun
Profesi: Hacker
Senjata: Pedang
Kostum: Sherlock Holmes
Foto Kostum
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro