14. The Girl's Barf is Love Too
Dia yang memiliki raga tengah sukar bernapas.
"Agar fenomenal, terkadang kisah romansa membutuhkan sedikit pemberontakan."
Berakhir pada titik, ternampak bibir sang pencitra antagonis dari karya detektif legendaris itu melaksanakan kepentingannya terhadap si pemberontak yang seolah teringatkan keteduhan naluri indukan. Mulut yang selama ini berisik dan senantiasa melantunkan bujuk rayu terhadap kalangan dara, kini heninglah sudah. Laksana terseret arus senyap aliran sungai yang terbendung di bawah bentala.
Alih-alih kembali melawan, gadis yang terdominasi ikut tersesak dalam ketumpatan.
Bernaung lindap yang nyaris menyamunkan binar dari netra, dirinya hanya terbungkam kala kepemilikan atas bibir mungil itu kembali diakuisisi lewat pagutan mesra secara sepihak. Lidah itu mestilah tercecap amis, begitupun hidung yang dipenuhi aroma besi nan pengap. Seiring nalar yang diasumsikan tengah menumpul, daksa rapuhnya segera melimbung hingga nyaris ambruk tiada kalang selain rengkuhan manja si pemuda di hadapan.
Laknat. Hina. Jijik.
Terpantik muak, desis umpatan membuncah diperantarai benak. Seberkas sesal menyeruak bersebab pilihannya untuk melarikan kaki kemari. Dalam diam, dia mengidentifikasi dirinya tiada beda dengan penonton yang menyaksikan pertunjukan drama di saluran televisi.
Sayangnya, dia tak memiliki remote untuk memegang kendali.
"Jadi, silakan berontak semaumu, tetapi cintaku tetaplah sama."
Bisikan halus mengudara pada ujung kalimat pasca bibir keduanya terceraikan. Seraya melintangkan bibir dengan teduh, Moriarty gadungan itu lembut mengusap torehan jejak liur pada ujung mulut si pujaan hati. "Karena selain dirimu, aku tidak lagi membutuhkan apapun. Bahkan termasuk gadis itu juga."
Daksa ramping itu sontak menengang. Jemari lentiknya mencengkram bebatuan, sukar menerima omong kosong yang barusan mengetuki gendang telinga.
"Dasar bajingan." Serapah pelan Arabella dengan tatapan jengah, "Kau kira aku masih akan terperdaya oleh bujuk rayu? Bahkan semua perlakuanmu pada putri fiksi itu jauh lebih meyakinkan ketimbang bualan barusan."
Alis si pemuda terangkat, penasaran perihal muasal tudingan yang diterimanya.
Selepas gelak sinis, gadis berkostum pemburu itu menyeringai, "Akui saja, kau lebih menyukai jalang sepertinya, bukan? figur dengan rupa kaku, sok terlihat cerdas, tapi sejatinya polos dan rakus akan atensi. Pion yang sangat cocok dipermainkan...."
Seringis geli terbetik dari sudut bibir. Bersama bahu yang sedikit terguncang, dirinya tergelitik atas kedunguan yang dicercakan kekasih pujaannya itu secara frontal. Pion katanya? Bahkan nilai diri ini di matanya lebih layak disandingkan dengan benteng, menteri bahkan ratu.
"...tidaklah sama sepertiku yang berpotensi menjadi femme fatale bagimu."
Istilah pion lebih cocok untuk sundal pemalas sepertimu. Imbuhnya pada ujung benak.
"Rupanya ada yang cemburu," Floyd tergelak demi mendapati muram pada durja sang gadis, "Aku kian penasaran, kau sekarang sungguhan Ara atau Eve sudah mengambil alih kendali lagi? Sekat di antara kalian terlihat makin ambigu."
Arabella berdecak sebal, terlihat enggan memikirkan tentang Eve dan suara-suaranya yang tetiba melenyap dari belakang tengkorak. Seolah si identitas kedua sengaja membiarkannya terperangkap dalam kondisi respirokal bersama pemuda yang nyaris nir-moral.
"Yah, lupakan saja soal itu," Moriarty gadungan itu mendekatkan bibirnya pada telinga si pengindera keenam tersebut, selantas berbisik dengan sensual, "Toh, yang kumau bukanlah sekedar sebagian dirimu. Pecintamu ini butuh pesona gadisnya secara utuh, entah dia sungguhan berbahaya hingga bisa membunuhku atau malah sebaliknya. Yang kuinginkan sekarang hanya Arabella Lievy seorang."
Meski hanya terdengar lamat-lamat, ujung kalimat barusan terbilang cukup untuk membuat dirinya terbungkam. Hanya dalam sekian detik, dirasakannya guncangan imajiner itu kembali mendera. Gemuruh katastropik yang selalu saja menghadirkan risakan emosi dan pemasungan pada nihilitas diri.
"Jika benar kau hanya membutuhkan kami, lalu Kasha itu kau anggap apa?" tukas Arabella dengan nada tinggi, mendorong si pemuda hingga nyaris terhuyung mundur.
Dirinya merapatkan tubuh ke sebalik dinding, menyemai harap atas jawaban yang bisa memerdekakan diri atas jajahan kegelisahan dalam dada. Detik demi detik berjalan lambat dengan keheningan yang bergelayut pada langit-langit basement. Setidaknya, sampai seberkas tawa kecil menghancurkan kebekuan tersebut.
"Kasha hanyalah peliharaan saja, dear."
Pada penghujung kalimat, dia hanya dapat mengunyahi kebisuan.
"Gadis itu serupa anjing kecil manis yang melangutkan kasih di tengah lara. Seperti katamu, dia terlalu polos hingga mudah sekali diiming-imingi pengharapan semu. Terkekang oleh kepatuhan buta dan membiarkanku bermain di atasnya."
Keseluruhan kuduk menggelinjang dalam remang yang gamang. Gelagap kepanikan segera mendera seisi kepala, memicu berbagai ketakutan yang mengaburkan pandangan. Berikut juga pergolakan asam lambung yang mendadak terlontar hingga pangkal kerongkongannya.
"Meski dia sebenarnya cukup berguna. Semisal menerka perubahan aturan dari game master sampai memicu kerusuhan yang menewaskan si tua bangka peringkat kelima tanpa perlu membuatku turun tangan." Floyd menghela napas pelan, "Sayang sekali, dia bisa ditumbalkan kapan saja untuk poin tambahan."
Daksa jenjang itu buru-buru tersentak. Perutnya mengejang, memaksakan bibir berona merah itu saling gigit demi menahan ringis sakit. Cairan yang semula tertahan di keronkongan segera mendobrak balik hingga memenuhi rongga mulutnya. Alih-alih berlari, dia malah mendekap paksa mulutnya walau sembutan asam berbau pekat telah meleleh pada sudut bibir.
"Memangnya kenapa?" bibir Arabella merekahkan senyum ganjil.
Pemuda berpenampilan koboi jejadian itu menelengkan kepala, sejenak berpikir, "Karena aku ingin tiket keluar dari permainan ini hanya untuk kita berdua saja, Ara. Walaupun aku masih berkeinginan untuk memelihara Kasha di rumah baru yang akan kita beli dari uang hadiah, tetapi tidak masalah. Toh, masih banyak anjing-anjing kesepian di luar sana yang butuh asuhan."
Kali ini, Kasha benar-benar muntah.
Gadis bersurai gelap itu berhasil membanjiri telapak tangannya sendiri dengan muntahan. Bersama iringan suara menyedihkan yang tertahan, matanya yang basah mendapati cairan keruh kekuningan luruh jatuh ke lantai melewati jemarinya. Aroma anyir seketika menyeruak, memaksa gelombang isi lambung kembali menghujani jubahnya.
Tidak, tidak. Ini bohong!
Dera mual perlahan mereda saat tiada lagi yang perut gadis itu bisa keluarkan selain cairan keruh yang pahit. Kasha hanya bisa tersimpuh lemah dengan ceceran olahan cernaannya sendiri. Kepalanya terdongak, menyaksikan bintik-bintik bercahaya yang mengabur dalam pandangan. Ujung pelupuk matanya membasah, tak kuasa menghentikan sebongkah kegelisahan yang merekasa dalam rongga dada.
Floyd pasti hanya bersandiwara saja kan? Mustahil aku akan dibuang....
Upaya berdalih demi menghibur diri dalam benak seketika pupus bersama gelak jumawa pada momen berikutnya. Tanpa perlu menyalin cahaya, kedua netra Kasha dapat menyaksikan cara kedua sejoli itu menggemakan tawa dengan begitu lepas. Selayaknya tiada beban setelah membeberkan makar yang ditujukan pada rekan setimnya sendiri.
"Nah, sayang. Kalau begitu, bisa kita singkirkan dia saat babak ini berakhir?" lenguhan manja tersemat pada ujung kalimat, disusul dengan jemari lentik Arabella – dengan kesadaran Eve yang membelai lengan lelaki idamannya itu, "Boleh, ya?"
Tanpa perlu menanti jawaban Floyd, langkah senyap telah membawa si bandar muda menyelinap pergi dari balik bayang-bayang. Dalam ketakutan, diterkanya bahwa kedua pasangan ini nampak lebih gila dari dugaannya.
Kasha harus lari, kabur sejauh mungkin.
***
Kasha mengurungkan niatnya untuk lari.
"Kau sendirian? kemana si muka codet itu?"
Peperangan memang sempat meletus dalam kepalanya. Bagian paling rasional dalam kepalanya memperingatkan untuk bergegas pergi dari ruang bawah tanah dan menjauhi Floyd yang hanya mengekploitasi dirinya. Lantas bersembunyi hingga babak pertama usai sembari berharap si peringkat satu ataupun Batara bisa menghabisi nyawa sepasang kekasih itu.
Namun, sisi rapuhnya yang kekanakan justru mengumpati impulsivitas pemikiran tersebut. Disebutnya sungguh gegabah jika dirinya percaya begitu saja atas celotehan Floyd. Kemudian, munculah serentetan dalih pembenaran bahwa sang ketua hanya berusaha menyenangkan gadisnya semata.
"Oh, si Bara? dia memilih kelayapan ketimbang meneruskan minum," Floyd melambaikan tangan, mempersilahkan si tuan putri untuk duduk di sampingnya, "Mau sake? Kebetulan masih ada sedikit sisa."
Maka, di sinilah Kasha dan rasa penasarannya. Terdominasi atas ego untuk bertemu dengan sang moriarty yang tengah duduk termenung di pinggiran sungai gelap. Berharap menemukan jawaban yang diinginkannya dari mulut sang pujaan.
"Jadi, apa yang kalian berdua bincangkan?" Kasha memulai percakapan selepas menyesap sake yang tertuang pada cawan minumnya. Kedua arah pandangnya terlempar lurus pada temaramnya ruang bawah tanah yang sunyi.
"Hanya obrolan antar pria yang butuh kelenaan sejenak." Sebagai balasan, Floyd hanya mengangkat bahu, "Apalagi sedikit berat baginya setelah dikhianati rekan-rekannya."
"Kau tidak mengajaknya bergabung?"
Seusap tangan mengelus lembut puncak rambut Kasha. Wajah dara muda itu terdongak, mendapati si pemuda yang tersalin kilap sepucuk api dari suluh lentera. Terdapat semburat seringai jahil yang terhalang jemari telunjuk yang membujur di tengahnya, "Rahasia."
Selama sekian detik, Kedua manik mata mereka saling temu hingga menimbulkan kehangatan ganjil pada pipi pucat sang gadis. Kasha beringsut mundur, ragu bisa bersitatap lebih lama lagi dengan pemakai kostum koboi itu. Apalagi bilamana degup jantungnya sedemikian berisik hingga nyaris membuatnya lupa cara berespirasi.
Akan tetapi bila diperhatikan lagi, Kasha tersadar bahwa mau sebanyak apapun cahaya yang jatuh di wajah rupawan itu, tiada yang bisa menerka siapa dia sebenarnya. Bagai ada tabir gelap yang tercipta setelah semua percakapan yang ia curi dengar. Sosok Floyd yang dikenalnya mulai terlihat asing.
Dan untuk alasan yang sulit dijelaskan, Kasha mulai merasakan takut akan hal itu.
"Pun sebaiknya kau tidak perlu banyak tahu, tuan putri. Ini hak prerogratifku sebagai ketua," Floyd menyeringai jahil, melemparkan kedipan mata pada rekannya.
"Terserah saja, Moriarty." Sebagai balasan, Kasha mendengus dan mendorong bahu sang ketua supaya menjaga jarak dengannya. "Toh, aku hanya menyayangkan minimnya kapasitas tempur kelompok kita bila si peringkat kedua itu enggan bergabung."
Floyd menaikkan alisnya, penasaran.
"Tangan kiriku masih terluka dan si indigo tantrum itu tidak banyak membantu selain dengan rengekannya. Situasi kita sangat dirugikan jika terus bergantung padamu," Gadis itu melintangkan seringai sinis, "Frankly speaking, jika si topeng Jigsaw itu tidak undur diri, kau pasti sudah tinggal nama sejak tadi."
Floyd tergelak, abai dengan ujung kalimat berusan, "Kau benar-benar tidak bisa akur dengan Ara, ya?"
"Dan kau terlalu memanjakan gadismu itu," tukas Kasha dengan tatapan jengah.
"Ara adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Sudah pasti aku akan melebihkannya ketimbang siapapun," Sang lawan bicara bertopang dagu, memayunkan bibir bersebab kecewa atas reaksi ketus barusan, "Memangnya kau tidak punya keluarga?"
"Aku cuma punya satu adik laki-laki," gadis bersurai panjang itu meluruskan kaki, teringat akan Rave yang bilang hendak liburan entah kemana, "tetapi aku masih waras dengan tidak mengencani anggota keluarga sendiri."
Suasana menjadi lengang sejenak, menyisakan gemericik tetesan air dari langit-langit.
"Gadis itu adalah segalanya bagiku, Kasha. Pada momen terburuk dalam hidup, hanya dia yang mau hadir menemaniku. Bersamanya, aku bisa mendapati kenangan riang, duka dan bahagia yang sulit dilupakan...." Floyd mengguratkan ekspresi teduh, tertawa kecil.
Lagi-lagi, jalang itu, Kasha mengigit ujung bibir.
".... Demi Ara, aku bersedia mengorbankan segalanya."
"Tidak!"
Kepala sang moriarty tertoleh, mendapati raut cemberut pada rekannya yang baru saja berteriak itu. Dalam hela napas yang tak tentu, Kasha melempar cawan sakenya sembarangan dan menenggelamkan wajah tirusnya pada bahu si pemuda. Jemari lentiknya tanpa sadar meremas kemeja putih yang membungkus daksa jangkung itu.
Kendati sempat terkaget, Floyd buru-buru mengendalikan diri. Pemuda itu memilih diam sembari menantikan tingkah ganjil si pencitra karakter putri Disney itu selanjutnya.
"Jujurlah, kau tidak sungguhan menaruh hati padanya, bukan?" bisik Kasha penuh dalih, "Gadis itu pasti cuma satu dari sekian banyak anjing yang kau perdaya dengan pesona fana, juga angan hampa. Semua ketertarikanmu padanya hanya keterpesonaan yang temporer bersebab kejemuanmu akan hidup."
Terkikik kecil, Floyd membalas, "Bagaimana jika aku benar tulus mencintai Ara?"
"Tidak, jangan!" Kasha dalam egonya malah mengeratkan dekapan. Samar-samar, dapat didengarnya detak jantung, juga berikut dada yang naik turun ketika bernapas, "Lelaki sepertimu layak mendapat ganti yang jauh lebih baik darinya."
Gadis bermahkotakan surai panjang itu mengigit bibir. Tersadar bahwa reaksi pujaannya hanya bungkam, dirinya membulatkan tekad untuk mengambil putusan yang nekat.
"Aku mencintaimu, Floyd."
Wajah Kasha terdongak, netranya tepat memandangi wajah rupawan pemuda yang sepantaran dengannya itu. Wajah serupa yang menghiburnya dengan sesuatu yang berbeda. Lebih dari sekadar karangan bunga maupun cokelat. 'Mawar' pertamanya ialah sinergitas paduan kejenakaan dan rengkuhan hangat yang memabukkan. Dua hal yang berhasil melabuhkan dirinya pada putusan untuk memuja segala hal tentang si Moriarty.
"Pandangi aku sekali saja, gadis di sampingmu ini mencintaimu dengan tulus. Tidak sepertinya...."
Ia sadar betul impak ketidakstabilan mentalnya sejak dulu sehingga berpikir menjadi sapiosexual dan menobatkan pasangannya sebagai nahkoda atas otaknya yang sudah banyak meluruh. Mentalnya sudah cukup terombang-ambing dan ia mulai menyerah dengan semua responsibilitasnya.
"Jadi, buat apa kau mengejar cinta yang mustahil bersemi pada si jalang itu?" Kasha menutup pintanya. Bibirnya kini bungkam, sedangkan hatinya ramai menyemai harap.
Dirinya kian dilunglaikan obsesi untuk memiliki ruang bernama Floyd Archer itu.
Sesuai terkaan, pemuda itu tidaklah terkejut, pula tidak menertawakan selayaknya biasa, "Tahu apa kau soal diriku?"
"Hanya sebatas yang terjadi beberapa jam belakangan. Perihal dirimu yang kekanakan, seenaknya sendiri, dan sukar dimengerti," balas gadis itu sembari membelaikan jemari pada dada bidang sang pemuda, "Meski tidak banyak yang ditahu, tetapi diri ini berkeinginan menggali personamu lebih dalam. Hidupmu, masa lalu dan luka-luka itu."
"Sungguh?" Seringai tipis tersungging dari wajah Floyd, "Walaupun ternyata aku memang sebrengsek yang kau katakan?"
"Kalau begitu, tipeku adalah lelaki yang brengsek."
Pemuda berkostum koboi itu terdiam sembari meneguk sisa minum hasil fermentasi itu. Sedangkan Kasha mengigiti bagian dalm pipinya, menantikan jawaban. Keduanya saling diam, membiarkan hening bergelayut pada langit-langit lembab. Setidaknya sampai sebersit tawa tipis mengudara dari bibir pemuda itu.
"Aku sangat menghargai perasaanmu, tuan putri."
Floyd menggeser tubuhnya demi saling hadap dengan Kasha. Perlahan, jemarinya ia letakkan pada pundak sang gadis dengan lembut. Mata keduanya saling mengunci kala bersitatap.
"Kasha, kau telah melebihi ekspektasiku. Kau telah membuktikan bahwa dirimu teramat berbeda dengan gadis-gadis yang pernah kujumpai selama ini," Floyd berucap tenang, membelai paras cantik kawan berbincangnya, "Tetapi, sayang sekali aku tidak mencintaimu."
Pada detik itu juga, jantung sang bandar muda bagaikan merosot jatuh.
"Kau menguping pembicaraan kami bukan? Aku melihatmu, anjing kecil manis yang mencoba bersembunyi dari balik temaram. Benar! Aku hanya memanfaatkanmu, dan dengan bodohnya kau tertipu ... hatimu benar-benar polos."
Bohong, ini semua bohong.
Floyd seketika tergelak mendapati Kasha yang mematung dengan paras kosong. Dia pun mengambil beberapa helai rambut hitam si gadis dan diciumnya pelan, "Aku mencintai Ara, dia merupakan bagian kecil dari jiwaku, aku hanya akan setia kepadanya meski dia tak memintanya."
Setelah semua kegilaan yang terlewati....
"Aku tidak percaya kau bisa jatuh dalam pengaruhku, sungguh malang."
... segala yang kukorbankan, berakhir sisa-sia?
"Seperti yang kukatakan, kau hanyalah anjing peliharaanku."
Kasha seakan terlempar ke dunia asing. Segalanya terlihat menggelap dalam lantangan tawa angkuh pemuda yang menawan hatinya. Kekacauan kembali bertunas dalam kepala. Gelombang putus asa datang dalam sekejap dan membuatnya kembali merasa ketakutan seolah ditimpakan badai besar.
Tentang dirinya yang lagi-lagi tidak memperoleh penerimaan.
Dalam risakan trauma lama, daksanya perlahan linglung bersama nalar yang tiada rampung. Katastropik dalam kepalanya kian menjadi hingga membajak rasionalitas dalam jalinan sinapsis pada otak. Pada penghujung hela, secuil kesimpulan gila segera mengambil alih pikirannya.
"Berarti, aku cukup menjadi anjingnya Floyd saja 'kan?"
Tawa sang Moriarty padam seketika. Berbekal keheranan, dahinya mengerut. Enggan memercayai balasan dari gadis yang barusan ia tipu mentah-mentah.
"Asal terus menjadi anjing, kita masih bisa terus bersama," Wajah Kasha terdongak, menampilkan rekahan seringai yang ganjil. Kedua tangannya meraih ujung jubah Floyd dan mengenggamnya erat, "Apa aku salah?"
Floyd menyugar rambutnya, sementara bibirnya menyuarakan tanya akan keseriusan pilihan rekannya itu. Sebagai balasan, Si gadis mengangguk. Dirinya telah bersepakat menyerah untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
"Walaupun sebagai anjingku, kau rela melakukan apapun yang kuperintahkan?"
Tanpa perlu menyakinkan dua kali, lidah Kasha terjulur keluar dari bibir mungilnya. Bersikap seolah dia telah bertransformasi menjadi ciptaan lain.
Pemuda berkostum koboi itu beranjak bangkit dari duduk, mengelus dagunya. Berusaha mencerna tindakan tidak masuk akal dari bawahan yang ia anggap paling rasional itu. Butuh sekian detik hingga kernyih tipis tersungging dari bibirnya.
"Kasha, beri salam." Ujarnya seraya menjulurkan telapak tangan pada peliharaanya yang masih duduk bersimpuh di lantai.
Tanpa ragu, Kasha dengan mimik antusias segera meletakkan jemarinya pada telapak tangan sang 'majikan'.
Floyd menjentikkan jarinya, makin tertarik, "Sekarang, menggonggong!"
"Woof! Woof!" balas si gadis, diikuti juluran lidah dan telengan miring pada kepala – menanti arahan berikutnya.
"Good Girl," pemuda itu tersenyum lebar, membelai lembut rambut lepek Kasha dengan menyelipkan tiap ruas jemari pada helaian mahkota indah itu, "Now, you don't have to think about a thing again, Kasha. Trust me."
Si anjing yang dimaksud segera mengangguk. Abai dengan ujung kalimat, dirinya duluan tenggelam dalam ketidaksanggupan menyembunyikan girang akan pujian.
Ya, memang beginilah yang seharusnya. Serunya dalam benak.
Moriarty gadungan itu kembali berjongkok dihadapannya sembari melintangnya senyum tipis. Kedua manik mata mereka kembali saling temu selama beberapa saat hingga menerbitkan semu kemerahan pada pipi sang gadis.
"Dan ini, hadiah atas kepatuhanmu." Floyd mengangkat lembut dagu Kasha dan melayangkan ciuman pada bibir merah tanpa polesan itu.
Lain halnya dengan Arabella, Kasha tidak melawan. Dinikmatinya tiap hela momen intim yang telah ternantikan. Dia biarkan Floyd mengambil alih kendali atas kewarasan yang telah tercampakkan. Bibir pemuda itu terasa lembut, juga hangat. Sekaligus sedikit tercecap pahit dan asam berkat basuhan sake pada rongga mulutnya.
Sayangnya, buaian cumbu mesra keduanya tidak berlangsung lama.
Selang sekian detik, Floyd buru-buru melepaskan ciumannya. Tepat setelah menyadari lesakan beraroma anyir tetiba meleleh keluar dari mulut Kasha. Sadar akan cairan asing yang ikut membanjiri mulut, pemuda itu segera beringsut mundur dan meludahkannya ke lantai dengan jijik.
"Muntahan...?" Serunya heran.
Belum sempat menilai situasi, sebuah pukulan keras menghantam telak batang hidungnya. Tubuh Floyd seketika terjengkang tanpa persiapan. Diusapnya cairan hangat yang menganak sungai di atas bibir. Baru saja wajahnya terangkat, sapuan tendangan milik Kasha tengah mengincar bagian kepala.
"Bagaimana rasa muntahanku, bangsat?"
Dengan cekatan, Floyd segera berguling ke samping. Akan tetapi, Kasha yang tengah kalap tak memberikannya jeda untuk bertahan. Begitu kaki kanannya menumpu lantai, gadis itu kembali menyepakkan tendangan belakang pada bagian dada musuhnya. Sialnya, si peringkat ketiga itu berhasil menangkap tendangan tersebut dan balik menghajar tumpuan si gadis hingga kehilangan keseimbangan.
Tubuh Kasha segera terbanting keras ke lantai. Napas sang gadis tersengal, berusaha tetap bertahan. Namun, selayang tendangan meluncur deras dari arah samping. Kasha terpaksa menyambutnya dengan tangan kirinya yang masih menyisakan luka bakar. Bersambut dengan erangan sakit yang membuncah, gadis itu seketika terpelanting jauh ke belakang.
Sadar bahwa jarak mereka telah melebar, Floyd segera mencabut revolvernya dan mengarahkan moncong senjata itu pada mangsanya. Sadar dalam bahaya, Kasha dengan lincah berkelit tepat setelah peluru pertama ditembakkan. Tak mau membuang masa, bandar muda itu meraih crossbow yang telah ia sembunyikan di sebalik bebatuan dan balas menodongkan busur silang itu pada musuhnya.
Floyd terdiam, batal menarik pelatuk revolvernya. Begitupun Kasha.
Detik demi detik berjalan lamban. Keduanya terbungkam dalam bidikan, menanti sembari berhitung dengan keadaan. Tidak ada satu diantara mereka yang berani mulai membuka serangan terlebih dahulu.
"Well, kau benar-benar mengejutkanku, tuan putri," Sang moriarty menyeletuk selepas kesenyapan, mengusap bercak darah pada mulutnya, "Mengincarku dalam posisi yang lemah, kau sungguh anjing yang licik."
Kasha balas menatap tajam, "Dasar bajingan! Harusnya aku tak pernah mempercayaimu sedari awal!"
"Hei, salah siapa kau sampai jatuh cinta padaku?" cibir Floyd sembari mengaungkan kekeh penuh ejek.
"Padahal aku mencintaimu! Aku bersungguh-sungguh membuka hatiku agar bisa mengenalmu lebih jauh! Tapi kenapa? Apa yang yang salah dariku di matamu, Floyd? Apa?" gadis itu berseru lantang, meminta jawaban dari pemuda yang sempat ia damba.
Namun, Floyd hanya membalasnya melalui ekspresi dinginnya. Enggan menjawab,
Kasha perlahan tergugu. Jemarinya gemetar bersebab bahu yang terguncang. Matanya sedikit bengak dengan kerjapan aneh dan setiap kerjap diselingi kilau basah yang tertimpa pijar lampu. Seolah ada badai yang belum kunjung reda mengguncang bagian dalam kepalanya, sedangkan ia bersikeras itu bukanlah masalah.
"Tidak dihargai, dilupakan dan sukar diterima siapapun, bukankah itu yang selama ini kau rasakan?" Floyd menghela napas pendek, "kesalahan terbesarmu adalah kau mengekspresikan deritamu di tempat yang salah bersama orang yang salah juga."
Kasha melepas crossbow yang digenggamnya. Dia biarkan busur silang itu jatuh ke lantai. Dia tidak mau lagi melawan Floyd. Bukan bersebab takut, melainkan karena dirinya tak sanggup mengacungkan senjatanya pada pemuda itu.
Setelah semua yang terjadi, rupanya dia masih menyimpan rasa suka pada Floyd.
"Selamat malam, Kasha Danvers." Moriarty gadungan itu menyeringai puas, bersiap meletuskan tembakan penghabisan. "Berbanggalah karena dirimu masih berguna bagiku sebagai poin tambahan."
"Tunggu, apa-apaan ini?!"
Tepat sebelum revolver itu menyalak, seberkas interupsi keras menyela dari belakang Floyd. Pemuda itu urung menembak, perhatiannya tersita. Adalah Arabella yang entah bagaimana muncul dari balik kegelapan. Dengan ekspresi bingung, gadis indigo itu terkesiap mendapati kekasihnya dan gadis sialan itu tengah saling berhadapan.
"Hanya sedikit pemberontakan, dear." Floyd mendengus, "Ini akan berakhir cepat."
Kasha merekahkan seringai demi momen ini. Jemarinya cepat meraih benda berbentuk tabung kecil yang sedari tadi disimpannya dalam kantong jubah. Sebuah hadiah kecil yang ditinggalkan jigsaw dan kelompoknya selepas pertempuran pertama.
Sebuah flashbang.
"Floyd, Awas!" Arabella berteriak.
Sudah terlambat. Setelah melepas pin pemicunya, Kasha langsung melempar granat kejut itu ke arah mereka berdua. Hanya butuh sekian detik hingga hamburan cahaya panas mengaburkan seluruh pandangan. Sebuah ledakan segera merenggut indra penglihatan dua sejoli itu untuk sementara waktu.
Pada saat yang sama, Kasha berhasil melarikan diri.
***
Berada dalam titik disorientasi, Kasha hanya dalam berjalan limbung menyusuri lorong lantai satu yang nyaris lengang. Setelah lolos dari dua orang gila itu, gadis itu hanya mendapati hampa dalam dada. Tidak ada senang, apalagi sedih.
Kasha kini hanya merasa kosong.
Dalam senyap, dara muda itu kembali teringat akan hidupnya yang payah. Tentang ingatan lampau yang samar dan masa kini yang kehilangan binar. Dia kini merasa tak lebih dari manusia cacat. Rusak. Eksitensinya hanya sebatas anomali dan partisipasinya dalam hidup hanya sebatas stagnasi yang menanti diakhiri.
Dengan keadaan seperti ini, kenapa dirinya masih harus menginginkan sesuatu lagi?
Kasha kembali menyeringai lebar, lantas tertawa keras sampai bahunya terguncang.
Buat apa dia bersusah-susah hidup? Toh, bila dirinya mati, takkan ada satupun dari orang terdekatnya yang menangisinya. Sosoknya nanti akan berakhir sebagai sebaris nama yang terukir pada sebongkah nisan. Terlupakan.
Jadi, untuk apa sampah sepertinya harus terus ada?
Dirinya sudah tidak punya dalih lagi untuk terus bernyawa. Nyawa yang terkandung dalam raga itu tiada ada artinya lagi. Pada akhir kata, Kasha sedikit menyesal harus kabur dari Floyd. Bukankah juga indah bila dirinya bisa mati di tangan seseorang yang ia cinta?
Kasha terjatuh.
Kala daksanya melimbung, sebongkah vas bunga menghantam pelipisnya. Gadis itu sempurna tersungkur dan mendapati sebuah perangkap besi tengah menjepit kakinya. Pada sudut mata, dilihatnya pula seorang tamu wanita muda yang nampak ketakutan.
Wanita itu menindih tubuhnya. Kemudian, mencekik leher gadis bersurai panjang itu dengan kedua tangan sembari bibirnya mengumamkan sesuatu. Kasha tidak yakin apa yang keluar dari mulut wanita itu, tapi mungkin saja itu permintaan maaf.
Bersama suplai oksigen yang kian menipis pada paru-paru, netra kasha mendapati pemandangan lorong yang kian mengambang. Dunia seperti jungkir balik. Realitas di sekitar terasa memadat, menggelap dan memenuhinya.
Bukankah ini yang seharusnya kuinginkan? Bisiknya dalam hati.
Pada penghujung sadar yang kian pudar, dia melihat tubuh wanita muda itu tumbang bersimbah darah. Lantas, seorang pria berjubah cokelat muncul di hadapan sembari mengatakan sesuatu dengan gurat panik.
Kasha akhirnya pingsan.
***
Part ini ditulis Gilang_Gazi oleh dalam sudut pandang karakter Kasha Danvers.
______________
Kasha Danvers.
Umur: 25 tahun
Profesi: Bandar narkoba
Senjata: Crossbow
MBTI: ISTP
Kostum: Anna (Frozen)
Hobi: kontemplasi
Kostum Kasha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro