Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. The Dead Pool


Pasti ada jalan keluar dari tempat ini. Kendati dinding-dindingnya menjelma jeruji baja yang memerangkap manusia lengkap bersama malaikat mautnya, tetapi pasti selalu ada celah sekecil dan sesamar apapun itu. Seperti brankas besi yang nyatanya memiliki seribu cara untuk diakali, permainan Court of Cull tentu tak jauh berbeda.

Aruna telah memikirkan segalanya. Selagi melakukan pembangkangan terhadap Dominic, gadis itu telah mengamati banyak hal. Dominic mungkin berpikir bahwa Aruna bertindak bodoh. Berjalan-jalan mengundang maut demi mengakhiri kebosanan hidupnya. Namun keinginannya untuk mati sudah ia pendam dalam-dalam sejak bertemu kembali dengan kakaknya lepas kerusuhan pertama.

Menjaga kewarasannya rapat-rapat, gadis itu memastikan tangannya tetap bersih. Pada saat-saat terhening kakinya menyusuri sekitaran mansion, mengamati dan mencari informasi. Butuh kewarasan dan kesadaran tinggi untuk melakukan itu, yang berarti Aruna tidak boleh membunuh sebelum benar-benar memahami.

Memutar segel pengaman pistol, kali ini, Aruna sudah siap menumpahkan darah dengan tangannya sendiri.

"Jadi, bagaimana cara kita keluar dari sini?" Keith yang pertama angkat bicara setelah keheningan menyambangi ketiganya.

Dominic belum memberikan aba-aba apapun, meski pria itu berkata kali ini ia akan bergerak dengan bekerja sama, tidak ada yang ditinggalkan ataupun meninggalkan. Mungkin masih bimbang dengan keputusannya sendiri, barangkali hal itu yang akan membawa petaka pada mereka.

Menyadari kakaknya mulai masuk pada tahap penyesalan, Aruna tidak memberikan kesempatan pada Dominic untuk berpikir ulang. Gadis itu maju menghadap keduanya. Berkata, "Kita harus bergerak sekarang."

"Dan rencana apa yang ada di dalam kepala mungil-mu itu?" Dominic ikut berdiri dan bergabung dalam rembukan.

Aruna bergumam sejenak. "Aku sudah mengamati. Aliran listrik mansion ini padam, tapi speaker, layar poin CCTV dan sirene masih menyala."

"Sumber listrik utamanya pasti sudah dipadamkan," timpal Keith, "kemungkinan semuanya berfungsi dengan generator."

Aruna melirik ke arah matanya. Mengangguk setuju. "Tempat ini dikelilingi laut, pasti generator air. Tempatnya, kalau tidak di luar, ada di bawah bangunan."

"Basemen!" Dominic mengacungkan jarinya. Wajahnya penuh pemahaman seolah baru menyadari sesuatu. "Aku sudah menyusuri seluruh lantai satu sampai tiga, tidak ada apapun di sini selain orang-orang gila yang saling bunuh. Master permainan ini mungkin saja bersembunyi di sana."

"Kalau ada tempat di mana orang yang mendalangi ini semua membangun markas, pasti di tempat di mana dia bisa mengontrol segalanya. Basemen bukan tebakan buruk," sahut Keith.

Dominic mengambil pedang yang ia baringkan di dinding. Segera setelahnya, lelaki itu memutuskan, "Kita harus ke sana."

"Bukan," sela Aruna. Lantas dua pasang mata segera menghujamnya dengan pandangan bertanya.

"Apa maksudmu bukan?"

"Orang yang merencanakan ini pasti sudah memprediksi hal seperti ini. Lambat laun, orang-orang akan berusaha mencari jawaban, dan karena tempat ini berada di tengah laut, ruang bawah tanah akan jadi jawaban umum. Basemen ibaratnya seperti pemancing untuk menarik orang-orang seperti kita mencari tahu ke sana. Namun ketika kita masuk ke dalamnya, bisa jadi tempat itu punya jebakan, atau malah tidak ada apa-apa. Basemen terlalu riskan untuk dijadikan markas.

"Tempat itu mungkin penemuan brilian, sumber listrik dan segalanya akan berada di sana. Akan tetapi, pasti ada tempat lain bagi sang dalang memainkan tali bonekanya. Tempat yang tidak terjamah dan tidak terpikirkan oleh orang-orang. Tempat yang mungkin menyimpan rekaman-rekaman CCTV." Aruna melirik ke sudut koridor. "Pasti ada ruang kendali tempat orang itu mengamati kita, dan itu tentu bukan di basemen."

"Jadi di mana?"

"Ada yang sudah pernah ke lantai empat?"

"Tidak ada lantai empat, Aruna," balas Dominic. "Tangganya berhenti di lantai tiga."

"Tangga utama, ya," bantah Aruna cepat. Tanpa menunggu Dominic dan Keith, ia berjalan menyusuri koridor menuju tangga ke lantai tiga. Mendapati pergerakan tiba-tiba Aruna, kedua lelaki itu dilanda kebingungan. Namun tak punya pilihan selain mengikuti di belakang. "Aku menemukan tangga rahasia di lantai tiga. Tempatnya tersembunyi, pintu masuknya ditutupi lukisan besar. Lantai itu pasti tempat si brengsek bersarang."

Dominic masih tidak mengerti apa yang sebenarnya Aruna rencanakan. Pikiran gadis itu sulit ditebak. Masih diliputi kekhawatiran dan tidak yakin akan langkah yang akan mereka ambil, Dominic melangkah panjang mencegat adiknya.

"Tunggu dulu, Dik. Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan? Dari mana kau tahu ada tangga rahasia?"

Aruna menatap kakaknya di mata. Tangannya mengepal menahan gejolak emosi yang mulai tersulut. Kekhawatiran Dominic terkadang begitu mengganggunya.

"Selagi kau jadi malaikat maut gila seperti orang-orang, aku yang masih waras mencari segala cara untuk menghentikan semua ini. Tidak penting bagaimana cara aku menemukan tangga itu. Sekarang, dengarkan saja aku. Kita tidak akan mencari dalangnya. Orang yang ada di balik ini mungkin berada di antara kita, berpura-pura menjadi pemain selagi menikmati pesta mayat buatannya.

"Kita tidak perlu menemukan dalangnya. Sebagai gantinya, kita temukan tempat persembunyiannya. Kalau kita berhasil menemukan tempat itu dan menemukan monitor CCTV, kita akan tahu pergerakan semua orang, termasuk pergerakan, identitas dan segala hal tentang sang Master dan orang yang membantunya. Saat kita berhasil menemukan si brengsek itu, jadilah malaikat maut sekali lagi dan keluarkan aku dari sini."

Lepas mengakhiri kalimatnya, Aruna melenggang melewati Dominic. Buru-buru menaiki undakan tangga sebelum kakaknya mulai melakukan segala cara untuk menahannya. Kendati demikian, langkah tergesa-gesanya tentu tidak akan mencegah Dominic cukup lama. Tepat di undakan tangga terakhir, begitu kakinya sempurna menjamah lantai tiga, tangannya langsung ditarik kuat oleh Dominic yang kini dahinya mulai berkerut marah.

"Aruna Isabelle Dawson!" bentak lelaki itu mulai habis kesabaran. "Idemu bagus, tapi bukan berarti kamu bisa bertindak gegabah. Apa kau lupa ada lusinan pembunuh yang berkeliaran di tempat ini?!"

"Hampir empat jam sejak kita terjebak di sini, jumlah orang yang bertahan sudah tidak ada setengahnya. Kalau kau ingin bergerak, sekarang adalah waktu yang tepat, Dominic Dawson!"

"Hei! Tidak semudah itu anak kecil! Lagipula, sejak kapan kau yang menjadi pemimpin?"

Aruna menyentak kasar genggaman tangan Dominic di pergelangan tangannya. Berseru, "Aku lebih pintar darimu!"

Keith—di belakang keduanya—bergantian membagi pandang pada dua saudara yang hobi memilih waktu terburuk untuk bertengkar. Dengusan kasar yang keluar dari hidungnya mengutarakan kejengahan pada dua orang itu. Dalam sudut terdalam di jiwanya, lelaki itu mulai menyesali keputusannya ikut dengan mereka.

Meski lidahnya sudah gatal untuk memuntahkan sinisme yang rasanya sudah di ujung lidah, kali ini Keith—untuk ke sekian kalinya—harus menarik napas dalam-dalam dan membiarkan semuanya lepas begitu saja. Bukan sebab pemakluman yang kini mulai berbatas tipis dengan kesabaran, melainkan karena apa yang datang setelah Aruna mengatakan kalimat terakhirnya memaksa ketiganya untuk menampar diri masing-masing dan menyadari bahwa malam pembunuhan itu belum usai.

Lesatan panah yang datang secara tiba-tiba ke depan wajah Aruna memacu detak jantung ketiganya sampai pada taraf Aruna bisa merasakan tulang rusuknya digempur dari dalam dengan cara yang brutal. Seorang perempuan di ujung koridor timur tidak punya cukup kemampuan untuk menembak tepat ke kepala Aruna, tetapi tembakan melesetnya berhasil menggores pipi dan ujung telinga gadis itu.

Lepas bunyi hentak dinding tertusuk ujung panah menggema di udara, ada kebekuan sesaat yang menghentikan napas setiap orang. Dalam waktu singkat itu, rasa sakit menyemburat dari sisi kanan wajahnya bersamaan dengan menetesnya darah merah ke pipi dan garis rahang.

Aruna meringis. Menyadarkan Dominic akan situasi yang dengan cepat memanas. Kendati demikian, lelaki itu tetap tidak mau meninggalkan kemenangan terakhir akan perdebatan mereka berada di tangan adiknya. Membalas perkataan Aruna, lelaki itu berdesis, "Sial! Kau benar."

Kemudian mengatakan kalimat pamungkasnya. "Tapi aku lebih kuat darimu!"

Menggenggam tangan adiknya, Dominic—hampir terasa seperti menyeret—melarikan mereka berdua diikuti Keith menyusuri lorong yang berhadapan dengan tangga. Segerombolan orang di lorong kiri sana tentu dengan cepat mengejar. Dalam pelarian, di antara gema langkah yang saling mengejar, sayup-sayup terdengar salah satu dari mereka berkata, "Gadis itu bernilai sepuluh. Aku akan mendapatkannya."

Sialan! Mentang-mentang aku yang paling muda.

"Akh!" seruan Keith di belakang menghentikan langkah Dominic. Ada panah yang bersarang di bahu kirinya. Noda merah pekat semerta-merta menyemburat membasahi baju Keith. Wajahnya yang sudah pucat kini kian dibayangi kemuramam. Seolah-olah kehidupan direnggut perlahan dari raga lelaki itu.

"Sial!"

Dominic hampir kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Adiknya hampir kehilangan matanya, kini bocah remaja yang dijaganya terpanah di bahu. Luka itu tentu tidak akan membunuh Keith, meski wajahnya meneriakkan kematian dengan begitu nyaring. Hanya saja dengan Keith terluka, Dominic harus mengerahkan tenaga ekstra untuk melindungi keduanya.

"Belok sini!" Ia memapah Keith di bahunya dan membiarkan Aruna berjalan di depan. Pemanah wanita di belakang merundung mereka dengan hujanan panah. Dominic melebarkan bahu mengorbankan diri untuk menjadi tameng, dan melindungi diri sendiri dengan strategi rajin berbelok. Lelaki itu tidak memikirkan arahnya. Meskipun saat ini ia buta akan bagian mansion mana dirinya berada, setidaknya cara itu berhasil membuat pemanah dengan kemampuan payah itu kehabisan banyak amunisi.

"Hadapi aku, Brengsek!"

Langkah memburu yang datang dari balik punggungnya menjadi peringatan bagi Dominic. Melepaskan Keith, lelaki itu berbalik dengan gesit mengacungkan pedangnya ke depan. Menjadi tameng dari cross-bow yang hampir menghantam tengkuknya.

"Aruna! Keith! Lari!"

"Gadis itu milikku! Nyawamu juga."

Amarah memuncak di kepalanya. Dominic mendorong si pemanah hingga tubuhnya tersungkur ke belakang. Menghantam gerombolan orang yang memadat di belakangnya.

"Lari!"

Didesak oleh nada panik Dominic, Aruna tidak bisa mengendalikan impulsivitasnya dan berlari bersama Keith. Setengah dari gerombolan itu mengikutinya, setengah lagi melawan Dominic. Tidak ada jalan kembali. Meski relung batinnya digempur kekhawatiran, berhenti atau berbalik kembali bukan pilihan bijak. Ia tahu batasan dirinya. Aruna bukan seorang petarung dan Keith terluka. Cara terbaik untuk bertahan hidup adalah melarikan diri.

Atau membunuh.

Langkah kaki gadis itu berhenti di pertigaan koridor. Napasnya memburu dan hampir tersekat di ujung tenggorokan. Meraih pistol di saku sabuknya, Aruna menyadari bahwa selama ini tangannya bersih. Ia sudah bersumpah untuk siap mengotorinya apapun yang terjadi sebelum mengambil langkah pertama.

"Apa? Kau mau melawan sekarang?" tanya Keith memandangi pistol yang digenggam gadis itu. Ia tidak menunggu jawaban, Keith langsung mengeluarkan senjatanya sendiri.

Tangan kiri lelaki itu kebas. Panahnya masih menancap di bahu. Sepenuhnya mengandalkan tangan kanan, Keith melepaskan satu tembakan. Daya tembaknya mengguncang tubuh lelaki itu hingga terhuyung ke dinding. Keakuratan tembakannya jauh lebih payah dari pemanah wanita sebelumnya. Tentu saja, itu hanya tembakan asal yang dilancarkan dengan satu tangan. Namun suara menggema di sepanjang koridor berhasil memberikan teror yang segera mengheningkan suasana.

Keberuntungan yang langka, tidak satupun orang-orang yang mengejar mereka memegang pistol. Itu membuat keadaan menjadi berbalik.

"Mundur." Suara berat Keith terdengar memberi peringatan. Keseriusan di dalamnya berhasil menciutkan mereka.

Setidaknya sebelum seseorang menginterupsi.

"Ada yang sedang syuting Romeo dan Juliet rupanya."

Suara itu datang dari arah depan. Di hadapan Aruna, seorang pria berbadan besar yang mengenakan topeng Jigsaw berdiri dengan sarat intimidasi yang besar. Tangan Aruna terulur spontan menunjukkan mulut senjata yang ia pegang. Namun tak lama kemudian ia menyadari bahwa Jigsaw juga memegang dua revolver di tangannya.

"Keith, lurus, belok kanan, lukisan Yunani," tuturnya dengan napas berat. "Sekarang."

Keduanya berlari ke lorong kanan. Menetapkan langkah selebar dan secepat yang mereka bisa. Di saat yang bersamaan, tembakan bertubi-tubi lepas dari dua revolver Jigsaw. Membunuh beberapa orang di belakang mereka. Namun tidak cukup membunuh semuanya.

Empat orang pria, dua wanita dan Jigsaw mengejar di belakang mereka. Bahana langkah yang menghentak bersahutan dari belakang sana tak pelak menggetarkan ujung-ujung jarinya. Ketakutan, kepanikan, menjalarinya sepanjang badan. Kakinya terasa lemas saat ia dan Keith berhasil berbelok. Tepat di ujung koridor, sebuah lukisan dewa Yunani bertahta selebar dinding. Keduanya lantas menyelinap ke baliknya.

Sebuah tangga rahasia itu sungguhan ada. Mengejutkan Keith untuk sesaat sebelum derap langkah di luar mulai menghampiri daun telinganya. Tangga itu mengantarkan mereka pada sebuah pintu jati di ujungnya. Tidak terkunci. Aruna dan Keith tanpa banyak berpikir langsung memasukinya.

Lantai empat mansion tidak seperti lantai lain. Di balik pintu, mereka sudah di sambut cabang lorong-lorong yang entah akan mengarah ke mana. Penerangan tempat itu begitu temaram dan cenderung gelap. Tidak seperti lantai di bawah, lampunya berwarna biru gelap.

Bruk!

Pintu di belakang mereka didobrak oleh tubuh besar Jigsaw hingga engselnya bagian bawahnya peretel. Di belakangnya, gerombolan orang yang sudah macam pasukan algojo itu menatap Aruna dan Keith dengan tombak besi, potongan kayu, tongkat pemukul dan berbagai macam senjata di tangan. Kebengisan hadir di wajah-wajah itu.

Seorang wanita berpakaian compang-camping dari gerombolan itu maju dan mendorong kepala Aruna ke dinding. Suara debumannya terdengar memilukan. Pandangan Aruna semerta berbayang kala rasa pening mulai menandak-nandak di seluruh keningnya. Gadis itu jatuh terhuyung ke mulut lorong kiri. Telapaknya menekan lantai berusaha menyeret dirinya menjauh dari si penyerang. Namun hal itu nampaknya tidak berbuah hasil sebab belum dua kali seretan, kakinya sudah digenggam erat oleh wanita di belakang.

Aruna menahan napasnya. Selagi tubuhnya di tarik berlawanan kehendak, tangannya kalang kabut meraba sabuk. Tatkala gagang pistol tergenggam, ia lantas mengeluarkan benda itu dan menarik pemicu.

Ledakan peluru melantang di sepanjang lorong. Tembakannya mengenai bagian pinggang si penyerang. Semerta saja dibuat limbung.

Aruna tidak punya waktu untuk panik dan ledakan kegilaan yang sudah lama bergumul di relung jiwanya. Gadis itu bergegas bangkit meski dengan terhuyung dan harus menabrak dinding, melarikan diri dari sana dengan sisa kekuatan yang ia miliki.

"Sial," gumam Keith saat menyadari bahwa ia tidak bisa menyusul Aruna. Jigsaw dan segerombolan pria di belakangnya pasti akan langsung mencoba memenggal kepalanya. Situasi yang sulit itu akhirnya mengantarkannya pada keputusan sulit yang selama ini ia hindari, memisahkan diri. Lelaki itu terpaksa berlari di lorong yang berbeda.

Jigsaw dan segerombolan pria langsung mengejarnya. Sedang seorang wanita berkostum Tinkerbell berlari menyasar Aruna.

Terseok-seok kaki Keith melangkah mencoba mencipta jarak dari segerombolan orang di belakang. Yang datang mengantarkan mautnya dengan begitu senang hati, seolah dirinya memiliki dosa sebesar samudera pada mereka yang mencoba mengayunkan sabit sang Maut.

Tangannya berkeringat. Ketakutan itu menderanya bukan main-main. Napasnya terasa sulit kala jantungnya berdegup porak-poranda. Lebih-lebih lagi guyuran darah dari luka di bahunya membuat lengannya kian mati rasa.

"Pergi, Brengsek!" serunya, hampir di ambang keputusasaan. Namun Jigsaw dan gerombolan itu semakin girang mengincarnya. Tertawa-tawa, mempermainkan Keith.

"Mati, sialan!"

Keith menembakkan tiga peluru bertubi-tubi. Tidak ada satupun yang mengenai lawan. Keberuntungan tidak berpihak padanya. Lelaki itu meringis getir. Sekuat tenaga melebarkan langkahnya hingga ia keluar dari lorong dan sampai di sebuah bukaan seperti aula.

Kakinya tersandung sebuah lilin yang bertengger di lantai. Belum menyerah, ia pun merangkak menyeret dirinya untuk bangkit kembali.

Sekali lagi, keberuntungan itu tidak berpihak padanya.

Setengah bangkit, tubuhnya ditendang oleh Jigsaw hingga merebah di tengah-tengah ruang. Di atas podium pendek berbentuk lingkaran yang dikelilingi banyak lilin dan sesajian.

Napasnya memburu, lelaki itu bangkit dan kembali mengacungkan pistolnya. Aku tidak boleh mati.

Jangan sampai mati

•••

Tangan Aruna terbaring di atas keningnya yang berkedut menyakitkan. Dalam keadaan nyawanya bisa saja sudah berada di ujung tombak begini, begitu sulit memaksakan dirinya berlari lebih cepat. Seluruh tangan dan kakinya meretek bukan main. Aruna bahkan ragu bahwa ia benar-benar melangkah.

Mata gadis itu menjeling ke belakang. Wanita yang mengikutinya akan berada tepat di belakangnya hanya dalam lima langkah tambahan. Ia pun cepat-cepat memperhatikan sekitar. Mendapati sebuah pot bunga bertengger cantik di meja pajangan tepat di depannya, gadis itu cepat-cepat meraihnya. Sejurus kemudian tubuhnya segera berbalik. Layangan pot bunga itu menghantam tepat ke kepala si peri raksasa. Menciptakan luka sobek besar di keningnya.

"Brengsek! Anak sial!" Dengan masih terhuyung, Tinkerbell mencoba mengangkat tongkat pemukul yang ia genggam. Mengayunkannya ke depan yang membuat Aruna lantas berkelit mundur. Segera ia mensejajarkan moncong pistolnya ke kepala wanita itu.

"Mundur."

Alih-alih ciut, Tinkerbell justru mengulas senyum miring menyebalkan. Matanya memandang Aruna dengan sarat meremehkan.

"Kenapa? Kau mau menembakku? Coba saja kalau berani."

Aruna mengokang senjatanya sebagai isyarat bahwa ia tidak bermain-main. Tidak kali ini. "Mundur atau kuledakkan isi kepalamu."

Wanita itu tertawa kecil. "Aku sudah memperhatikanmu. Kau tidak bisa membunuh 'kan? Itu sebabnya kau melarikan diri sejauh ini. Itu juga alasannya kau menembak si Jalang tadi di pinggang dan bukan di dada. Kau tidak cukup berani melakukannya, mengambil nyawa seseorang."

Tak mampu dielakkan, penuturan itu tidaklah salah. Aruna memahaminya dengan jelas. Semua yang dikatakan olehnya bak tamparan fakta yang menyadarkan Aruna bahwa—meski gadis itu memaksakannya—ia sama sekali tidak siap untuk ini. Menjelaskan seutuh-utuhnya bahwa Aruna tak lebih melainkan seorang pengecut.

Rahang gadis itu mengeras. Jika ada saat-saat Aruna merasa tidak bisa bergerak, inilah saatnya. Seluruh kepala dan badannya terasa kebas. Tenggorokannya kering dan giginya bergemeletak kuat. Ia telah menyaksikan banyak pembunuhan. Namun melakukannya sendiri adalah lain cerita.

"Saat melihat papan skor, kelompokku heran kenapa ada seseorang yang tidak memiliki satupun poin, tetapi masih bertahan hidup. Saat melihat dirimu, kami langsung tahu kalau Aruna Dawson adalah kau. Gadis kecil yang kelihatan paling lemah dan rapuh. Aku tidak tahu bagaimana caramu bertahan sampai sekarang. Namun sepertinya kau licik juga. Kau membiarkan tanganmu bersih dan memanfaatkan dua lelaki yang bersamamu untuk melakukan segalanya. Kau benar-benar parasit."

Perlahan, kakinya melangkah mundur. Hatinya berdenyut digerogoti fakta yang tak mampu ia elak. Semuanya terasa benar meski Aruna tak pernah memaksudkannya. Sekonyong-konyong rasa bersalah itu berderap ke dalam mindanya bagaikan nanah di antara luka.

"Kau harus dibunuh."

Mengencangkan genggamannya pada pistolnya sendiri, Aruna memejamkan mata. Lantas terbunuhlah wanita yang ada di hadapannya dalam sekali tembak. Sekali tarikan napas dan kokangan senjata. Peluru pistolnya bersarang tepat di kepalanya. Beriringan dengan jatuhnya tubuh wanita itu menjadi seonggok raga tak bernyawa, Aruna pun ikut limbung ke belakang.

Dadanya naik dan turun bersama dengan dera napas tak teratur. Sekujur badannya dilanda gemetar. Giginya bergemeletuk seperti terkena radang dingin. Keringat dingin jatuh di sepanjang pelipis dan kening gadis itu selagi ia mundur hingga punggungnya menyentuh dinding.

Aruna terdiam. Gamang.

Tak berapa lama ia jatuhkan pistolnya, lantas mengusap wajah kasar. Kedua tangannya menampar keras permukaan pipinya.

"Tidak apa-apa." Seraya memeluk dirinya sendiri, ia berbisik lirih. Meringkuk memandang titik imajiner di bawah siraman cahaya biru temaram lorong itu, berselimut kesunyian malam di mana maut merajalela. "Tidak apa-apa."

Semua akan baik-baik saja.

Semua tidak baik-baik saja.

Nyatanya, kali itu bukanlah terakhir kalinya ia membunuh seseorang malam ini. Usai menguatkan diri dan menyusuri lorong demi mencari Keith yang terpisah dengannya, Aruna harus merengkuh luka nan pahitnya kehilangan untuk pertama kalinya. Sebab kedatangannya telah terlambat. Di sebuah bukaan, ujung dari lorong-lorong, ruangan berbentuk melingkar di mana sebuah altar beserta bunga-bunga, lilin dan sajian pemujaan berada, ia menemukan Keith berada di atas podium lingkaran tepat di tengah-tengah ruangan. Memperjuangkan nyawanya dengan tangan kosong.

Jigsaw dan orang-orang yang mengelilinginya Menodongkannya ujung-ujung tombak seraya tertawa-tawa melihat kengerian dalam wajah lelaki itu. Mata keduanya sempat bertemu. Keith membelalakkan mata kala melihatnya. Lelaki itu memberikan isyarat dengan tangannya seraya berkata tanpa suara. "Jangan ke sini."

Aruna sudah terlambat. Belum sempat ia menyelamatkan lelaki itu, Jigsaw menembak bahunya. Lelaki lainnya menusukkan tombak pada perutnya, yang lainnya pada dadanya, lalu pada punggungnya. Keith memuntahkan darah. Di sisa-sisa terakhir napasnya, lelaki itu bersusah payah mengangkat wajah mencoba memandangnya.

Sudut-sudut bibirnya bergerak. Membentuk satu patah kata tanpa suara. "Lari."

Aruna tercekat. Aruna ingin berteriak. Namun ia merasa telah kehilangan suaranya. Aruna ingin menerjang orang-orang biadab itu, tetapi tubuhnya membeku bak ada tangan-tangan tak kasat mata yang menahan kakinya.

Ruangan itu berlangit-langit tinggi, berbentuk seperti kubah dengan kaca yang langsung meneruskan cahaya keperakan rembulan ke dalam. Jatuh tepat menerangi Jasad Keith hingga Aruna mampu melihat kengerian dalam mata lelaki itu. Di atas jasadnya, kubah itu menggantung banyak sekali jasad-jasad manusia. Termasuk jasad Tuan dan Nyonya Foster yang kini menghias bak lampu gantung. Menjadikan tempat itu bagaikan kolam kematian.

Empat orang yang membunuhnya melakukan tarian perayaan mengelilingi jasad lelaki malang itu seraya bernyanyi dengan lirik-lirik yang mengatakan bahwa mereka akan memburu Aruna sebagai incaran terakhir. Hadiah utama yang akan diberikan kepada pemenang terakhir. Sedangkan Jigsaw menembak bertubi-tubi pada langit-langit seraya berteriak puas.

Aruna hampir kehilangan napasnya sendiri manakala pemandangan mengerikan itu tersuguh di depannya. Tangannya menutup mulut rapat-rapat, mencegah teriakan lolos dari bibirnya yang bergetar hebat. Ia yang berdiri di mulut lorong segera mundur perlahan, kembali berlindung dalam kegelapan lorong yang tidak terjamah sinar rembulan.

Menarik napas dalam-dalam, Aruna menodongkan kembali senjatanya ke depan. Aruna bukan seorang petarung meski pada akhirnya ia menjatuhkan diri sebagai seorang pembunuh. Aruna tak lain ialah seorang pengecut, tapi ia juga adalah seorang penembak handal. Menargetkan empat kepala yang bergerak bukan sebuah masalah, kendati tangannya terus bergetar digerayangi ketakutan. Hanya inilah yang bisa ia lakukan untuk membalaskan dendam Keith.

"Maafkan aku, Keith," lirihnya pahit. Melepaskan sebuah peluru yang langsung melesat tepat ke kepala seorang pria di depan sana. Tarian dan nyanyian mereka lantas berhenti sekejap kemudian. Gurat kesenangan berganti menjadi kerut kepanikan.

"Siapa itu?!"

Sebuah peluru lagi lepas darinya, maka ledaklah segala huru-hara ketakutan yang menyergap tiba-tiba.

"Sialan! Ada yang mengincar kita dari balik kegelapan!"

Air mata gadis itupun luruh. Segalanya begitu menyembilu, menusuk hatinya yang tersaruk duka nan pilu. Hingga tak kuasa ia meringis, mengulum bibir menahan terisak akan pahitnya luka itu.

"Maafkan aku."

Sebuah peluru lagi.

"Maaf."

"Sialan! Siapa kau!" Jigsaw berseru ke sepenjuru ruangan. Kesal tidak bisa melihat penembak jitu yang bersembunyi di balik bayangan gelap lantai itu.

Aruna menembakkan peluru. Namun tampaknya Jigsaw lebih gesit. Ia menembak lagi. Jigsaw berlindung di balik patung-patung di samping ruangan. Aruna menembak lagi, kali ini, Jigsaw berhasil menemukan lokasinya.

"Di sana kau, Brengsek!"

Segera saja Jigsaw berlari kencang menerjang ke arahnya. Aruna melepaskan pistolnya dan meraih tongkat pemukul milik salah satu pembunuh Keith yang kini tergeletak di lantai. Gadis itu ikut menerjang. Sekuat tenaga, secepat yang ia bisa, sebelum Jigsaw dapat melakukan apa-apa, gadis itu mengayunkan tongkat pemukul itu dan melayangkannya ke kepala Jigsaw. Bunyi debumannya terdengar kencang. Sejurus kemudian, Lelaki besar itu jatuh tersungkur ke lantai.

Aruna berteriak. Ia memukul sekali lagi. Lalu sekali lagi, dan sekali lagi.

"Kau membunuh orangku," bisik gadis itu. Melayangkan satu pukulan lain ke tubuh Jigsaw. "Kau membunuh pionku."

Jigsaw yang masih belum hilang kesadaran mencoba bangkit. "Si-sialan kau—"

Satu pukulan lagi.

"KAU MERUSAK SEGALANYA, BAJINGAN!"

Satu pukulan lagi, dan tubuh lelaki itu pun ambruk ke lantai dengan memar-memar parah di bahu dan punggungnya.

Aruna menengadahkam kepalanya ke atas, memejamkan mata. Menarik napasnya yang terasa berat. Terengah. Gadis itu membuang tongkat pemukul dan mengambil kembali pistolnya. Menodongkannya ke kepala Jigsaw yang terkapar tak sadarkan diri. Ia tahu Jigsaw belum mati.

"Aruna!"

Suara Dominic yang bergema dari kedalaman lorong mengejutkan gadis itu. Ia menarik kembali pistolnya, urung membunuh Jigsaw. Ia tidak ingin membunuh seseorang di depan kakaknya.

Aruna melangkahkan kakinya di atas kubangan darah, di antara mayat-mayat yang geletak. Masuk dalam siraman cahaya perak, menuju Keith yang raganya kini hanya sebatas raga. Pemiliknya telah direnggut oleh tombak-tombak kematian yang begitu tak tahu malu menusuk jantung lelaki itu. Merenggut jiwanya dengan begitu semena-mena.

Berdiri di hadapannya, tangannya terangkat mengelus pelan pipi Keith yang hangat tubuhnya masih tertinggal.

"Harusnya kau tidak mati," bisik gadis itu getir. Namun, sejurus kemudian raut wajahnya berubah dingin. "Harusnya tidak begini. Bukan begini rencananya."

"Aruna!"

Dominic muncul dari salah satu lorong. Wajahnya kalut berselimut lelah, bajunya kusut berbalut darah. Lelaki itu tercengang mendapati mayat-mayat dan simbah darah yang memenuhi lantai. Namun lebih daripada itu, ia begitu terkejut mendapati Keith tersuguh di depannya. Mati mengenaskan. Sedang adiknya berdiri di dekat sana. Menatapnya diam dengan tatapan mata yang menggaungkan kebengisan. Hal yang tidak pernah ia lihat pada mata Aruna.

Menunjuk mayat-mayat yang bergeletakam di lantai, lelaki itu bertanya sangsi. "Ka-kau yang membunuh mereka semua?" 

Part ini ditulis oleh ZiviaZee dalam sudut pandang karakter Aruna Dawson.

______________

Aruna Dawson.

Umur: 16 tahun
Profesi: Pencuri
Senjata: Sig Sauer P226
MBTI: INTJ
Kostum: Character Game
Hobi: Main Game

Kostum Aruna

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: