12. Malicious
Suara desiran ombak yang awalnya menyelimuti mansion kini lambat laun semakin tenggelam tak terdengar, bahkan Batara merasa bahwa ia seperti ditelan mentah-mentah oleh ombak itu sendiri. Tersesak, tersiksa, sulit bernapas dengan tenang. Langkahnya nampak setengah terseok-seok menyusuri koridor terbawah mansion, selangkah demi selangkah pun tak membuatnya lupa akan umpatan yang selalu penuh dalam batinnya. Rogelio Garza sempat terlambat menolongnya hingga pergelangan kaki bagian betis kanan Batara tertusuk oleh katana cukup dalam, hal itu yang membuatnya terbungkam menahan rasa sakit setelah meraup poin.
Tak peduli akan eksistensi pasutri—Rogelio serta Zeralda yang membuntutinya dari belakang, Batara tetap melanjutkan langkahnya asal. Pria itu paham benar bahwa semakin ia bergerak, darah yang bersumber dari tusukan akan semakin mengalir terbuang sia-sia. Napas Batara sesekali tersengal tiap ia merasakan nyeri hebat pada bagian betisnya.
"Batara, kurasa kita harus tetap kembali ke area dapur untuk mengobati luka dalammu." Setelah sepersekian lama Rogelio berpikir untuk menyusun kata-kata, akhirnya kalimat tersebut berhasil ia loloskan. Siapa yang tidak merinding melihat Batara terdiam seperti itu? Bahkan Zeralda sendiri bergidik ngeri menatap pria yang masih setia dengan darah merah segar di jemarinya.
Perkelahian sengit antara mereka dengan sekelompok assassin pembawa katana sempat terjadi dan membuat mereka harus menjauh sementara dari tempat persembunyian awal. Sekumpulan assassin itu berjumlah cukup banyak hingga ketiganya hampir kewalahan, dan luka dalam Batara adalah saksi bengisnya sekumpulan yang menyerbu mereka. Rogelio yang merasa sedikit bersalah nekat untuk menyarankan apa yang ia ucap barusan karena hanya tempat itulah persedian seperti makanan, minuman, obat-obatan serta kebutuhan lain sangatlah memadai.
Batara lantas memberhentikan pergerakannya, mengalihkan pandangan dan memberi tatapan setengah tajam ke arah Zeralda serta Rogelio. "Apakah kau bisa menjamin bahwa tempat itu masih aman?" tanya Batara dengan ekspresi dingin, walaupun dua orang yang berada di hadapannya itu mengerti bahwa Batara masih saja menahan rasa sakit.
"Itulah sebabnya kau membentuk tim, Batara. Rasa aman tercipta jika kita saling menjaga." Balasan Zeralda membuat Batara menghela nafasnya gusar, pria itu putar tubuhnya ke belakang hingga ia benar-benar menghadap ke arah anggota timnya. "Seburuk-buruknya diriku menjadi pembunuh, aku akan tetap merasa bersalah jika salah satu dari kalian mati di tangan mereka yang haus akan poin."
Kalimat yang Batara ucap membuat keduanya terbungkam sejenak, bahkan mereka sendiri tidak memikirkan apa benar-buruknya dari arena Court of Cull yang tentu saja penuh akan dosa serta kesalahan. Namun Zeralda tak mau kalah, batinnya sedikit tertawa setelah mendengar pernyataan Batara barusan. Rasa skeptisnya bahkan menguat, ucapan menyentuh itu segera ia tepis dengan maksud yang sama—menyarankan untuk kembali ke tempat semula. "Buat apa bersalah, Batara? Berada di permainan ini saja sudah kuanggap salah besar. Daripada kita berdebat dan membuang waktu, baiknya kita langsung saja kembali."
Tak peduli dengan respon apa yang akan Batara berikan, kedua jenjang kaki Zeralda mantap melangkah melewati pria itu untuk kembali menuju ke dapur. Rogelio yang menatap istrinya berjalan menjauh darinya itu hanya menggelengkan kepala pelan, ia tahu bahwa Zeralda sangat menggoda bahkan hanya dari bagaimana ia memijakkan kedua kakinya dengan percaya diri. Tetapi sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Rogelio merasa bahwa istrinya tengah frustasi akan sesuatu, nampak dari perubahan ekspresi wajah ketika ia berbicara dengan Batara.
"Maafkan perkataan Zeralda. Kemari, aku akan membantumu." Rogelio memecah keheningan dengan memberi bantuan untuk Batara, pria itu pasrah dan segera menerima bantuan Rogelio.
"That's fine. Thank you, Rogelio." Batara terdiam sejenak hingga sebuah ide membuatnya kembali mengatakan sesuatu untuk Rogelio selama mereka berjalan menyusuri koridor untuk menuju ke tujuan. "Aku salut padamu, bagaimana kau bisa tahan dari ocehan-ocehan Zeralda?" Pertanyaan Batara membuat Rogelio terkekeh, diikuti dengan senyum kecil Batara yang juga heran pasal pertanyaannya sendiri.
"Masalah kepercayaan, aku percaya ocehannya itu akan berbuah baik padaku. Meski ocehan itu terkadang memang membuatku kesal," balas Rogelio sembari tersenyum, masih membayangkan betapa indahnya paras sang istri ditengah ia mengoceh atau berdebat pada Rogelio di masa-masa lampau sebelum pesta buruk ini terjadi. Batara kembali terkekeh ketika melirik wajah Rogelio yang cukup jelas jika dirinya tengah terdiam melamunkan sesuatu.
"Kalau langkah kita semakin memelan, mungkin aku akan kehabisan darah dan tak bisa melindungi kau serta istrimu yang tercinta," celetuk Batara membuat Rogelio setengah terkejut, ia baru sadar bahwa langkahnya melambat sewaktu melamun memikirkan Zeralda. Bahkan Zeralda sendiri telah berjalan mundur sejenak untuk menatap kedua pria yang masih saja berada di belakangnya.
"Serius, kalian terlalu pelan! Bisa cepat sedikit tidak?!" pekik Zeralda membuat keduanya kembali melangkah dengan tempo sedikit cepat. Keduanya seketika terkekeh kecil, mereka bagai es batu yang mencair sebab suasana lucu meskipun mereka tahu bahwa waktu terus berputar dan musuh akan semakin menyergap siapa yang lambat.
***
Area dapur terasa bagaikan ajang pelepas lara dan emosi. Segila-gilanya Rogelio menjadi seorang dokter, kali ini ia tetap memfokuskan dirinya pada jahitan yang kini tengah ia geluti. Peluh tak hanya membasahi dahinya—seluruh tubuh Rogelio hampir basah kuyup sebab keringat itu sendiri, pertanda ia benar-benar serius menangani luka dalam Batara. Batin Roge juga sesekali mengeluh sebab pencahayaan yang sangat minim, sedangkan Zeralda meringis kengerian menatap jarum yang terus-menerus menusuk kulit serta daging betis Batara. Jangan diragukan lagi, meski Batara selalu menganggap dirinya sendiri adalah seseorang yang tangguh, nyatanya pria itu tetap mengeluarkan pekikkan nyaring setiap nyeri hebat yang timbul dari tusukan jarum.
"Darling, bisakah kau mencari gunting lain? Semua gunting medis ini berkarat, aku tak mau ambil resiko," ucap Rogelio sembari menyingkirkan beberapa peralatan medis dari dalam kotak penyimpanan, berniat mencari benda tajam seperti gunting yang bersih tak berselimut karat.
"Aku bersumpah, tidak ada perlatan medis lagi selain kotak itu. Tapi aku serius, kau harus segera tuntaskan jahitan itu, Roge. Teriakkan Batara benar-benar memekakkan telingaku." Zeralda justru mengomel tentang pekikkan Batara, membuat pria itu mendengus kesal. "Coba sedetik saja kau menjadi diriku, Ralda."
Panggilan keramat itu seakan muncul dengan sengaja lewat bibir Batara, Rogelio jelas terkejut ketika nama panggilan yang tak disukai istrinya hadir tanpa permisi. "Bara, jika kau terus menggangguku, mungkin akan kusuruh suamiku untuk merobek jahitan ini kembali," balas Zeralda menatap tajam ke arah Batara.
Percakapan singkat antara Zeralda dan Batara yang saling menusuk itu sempat membuat rasa kecemburuan Rogelio kembali menyeruak masuk ke dalam dirinya, namun segera pria itu tepis dengan permintaan yang sempat ia ajukan pada istrinya. "Hey, sudahlah jangan berdebat! Aku benar-benar membutuhkan gunting atau sesuatu yang tajam untuk memotong benang nylon ini!" Kegeraman Rogelio membuat keduanya terdiam. Batara yang tak mau ambil pusing itu akhirnya menyelinapkan jemarinya masuk ke dalam saku dalam dari jubah The Matrix yang selalu ia pakai.
"This sharp thing is all I have," ucap Batara sembari memunculkan pisau lipat yang selalu ia bawa kemanapun, bentuk dari pisau yang Batara genggam cukup membuat siapa saja yang menatapnya terpukau. Ukiran-ukiran rumit, bahkan memiliki gagang bak tubuh burung hantu, serta mata dari burung tersebut berguna untuk mengeluarkan mata pisau dari lipatannya.
Kedua manik mata Zeralda masih enggan beralih pada pisau itu, bukan karena terpukau namun ia masih merasa bahwa pisau tersebut belum sempurna seperti pisau lipat pada umumnya, tetapi ia tak tahu bagian mana yang menurutnya rumpang.
"Setidaknya pisau ini tidak berkarat, terima kasih Matrix," balas Rogelio cepat dan segera meraih pisau tersebut tanpa memikirkan apa yang seperti dipikirkan oleh Zeralda, pria itu mengiris sisa-sisa benang jalinan nylon yang telah rampung tersebut dan membuangnya ke sembarang arah. Rogelio yang kini telah mengeringkan peluh di dahi dengan jubah dokter lengan panjangnya adalah pertanda bahwa tugasnya sebagai dokter darurat bagi Batara telah usai. Ketiganya menghela napas lega mengetahui luka dalam Batara telah tertutup, meski Batara sendiri masih merasa lemas sebab efek dari pekikkannya untuk menahan rasa sakit sedari tadi.
Ketika jemari Rogelio tak sengaja menjatuhkan pisau lipat Batara, suara pisau jatuh yang sama pada saat awal pesta tersebut membuat Zeralda kembali terbayang di kepalanya. Jantung wanita itu seakan berpacu kencang setelah ini, manik matanya pun juga memberikan tatapan aneh terhadap pisau yang sempat Rogelio jatuhkan. Zeralda benar-benar merasakan sesuatu yang janggal dari pisau itu, terlebih lagi Batara.
"Darling? Kenapa melamun?" Pertanyaan Rogelio membuat Zeralda sadar dari lamunannya, ia segera menetralkan ekspresi wajah dan menatap sang suami bersama senyum kecilnya "Aku tak apa-apa, lebih baik kita makan sesuatu dahulu dari sini, lalu kita kembali mencari tempat persembunyian la—"
"Tidak, kita tidak akan kemana-mana," interupsi Batara seketika, saat ini ia benar-benar tak setuju untuk beralih dari dapur. Pria itu memiliki firasat lain ketika ia sampai di sana. "Sedari tadi aku memanfaatkan sesuatu yang bising dari bawah sini untuk berteriak menahan sakit, aku ingin tahu rahasia apalagi yang mansion ini sembunyikan."
Ambisius, begitulah yang mendeskripsikan Batara sekarang. Pasutri itu saling menatap untuk mencerna perkataan 'bos' timnya barusan, keduanya cukup muak dengan seluruh sistematika aneh dari pesta serta permainan yang masih tengah dijalankan. Lalu Batara ingin mengulik rahasia apalagi?
"Ada seseorang yang sengaja ingin menutupi sesuatu," ungkap Batara sembari menunjuk ke arah lemari yang memang nampak seperti tengah membelakangi sesuatu, pria itu lantas mengangkat tubuhnya mencoba berdiri tegak. Zeralda menarik salah satu garis alisnya ke atas, kedua manik mata wanita itu ikut menatap apa yang sempat Batara tunjukkan.
"Itu hanya sebuah lemari, apa yang membuatmu yakin bahwa—"
Batara segera mengeluarkan desisan, tak lupa menempelkan telunjuk kanan pada bibirnya yang menandakan bahwa ia ingin Zeralda menghentikan komentarnya. "Zeralda La Rue, cukup. Kau mau taruhan jika memang benar ada sesuatu di balik lemari itu?" tanya Batara pada Zeralda dengan ekspresi wajahnya yang menantang.
"Ya Tuhan, kalian berdua ini apa enggak bosan untuk berdebat pada hal yang sepele terus?" tanya Rogelio heran guna menyerobot percikan api penimbul berdebatan yang akan muncul sebentar lagi. "Darling, sudahlah. Biarkan Batara melakukan apapun yang ia inginkan asal kita tak dilukai," sambung Rogelio sembari mendekat ke arah di mana Zeralda berdiri dan mulai memosisikan tubuhnya agar ia bisa berhadapan dengan istrinya.
"Jadi sekarang kau lebih memercayai orang asing ketimbang aku ya Roge? Lagipula kau terlalu polos dengan memberikan kata 'tak dilukai', tampang Batara sendiri saja tidak meyakinkan," cibir Zeralda kesal setelah ia melipat kedua lengannya, bahkan tatapan yang wanita itu berikan lebih tajam dari katana yang hampir saja menebas kepala suaminya.
"Lalu aku harus bagaimana lagi, Zeralda? Setidaknya aku harus berbuat baik padanya karena Batara yang telah menjagamu selama kita saling jauh!" balas Rogelio mulai meluapkan emosi. Segarang-garangnya seorang Zeralda, pria itu akan tetap khawatir jika istrinya berada dalam situasi genting dan bahaya.
Perdebatan hebat justru dilakukan oleh Zeralda dan Rogelio sendiri, hingga mereka sadar bahwa Batara sebenarnya telah sirna dari sekitar mereka, hal itu nampak dari suasana dapur yang semakin meremang sebab salah satu pencahayaan telah Batara gunakan. Lemari yang sempat Batara tunjuk kini telah bergeser ke samping kanan dan memperlihatkan sebuah pintu yang tertanam di lantai telah terbuka lebar. Benar apa kata pria itu, ada sesuatu yang disembunyikan oleh seseorang.
"Tiada hari tanpa berdebat dengan istri tercinta, sampai kita tak sadar bahwa Batara telah hilang entah kemana," ucap Rogelio pelan sembari berlari kecil menuju ke pintu yang masih terbuka lebar. Kedua manik matanya mencoba menelisik ruangan apalagi yang tersedia di bawah sana.
"BATARA, DI MANA KAU?!" pekik Rogelio sekencang mungkin pada lorong basement, ia paham bahwa Batara pasti telah jauh dari jangkauan. Namun sebuah balasan dengan intonasi serupa tak lama membalas. "KALIAN BERDEBAT TERUS! CEPAT SUSUL AKU!" Nyatanya Batara masih bisa merespon walau ia terasa telah jauh dari Rogelio serta Zeralda berada.
Mendengar hal itu, Zeralda segera menggaet seluruh bagian lengan kiri Rogelio dengan ekspresinya yang awas bercampur bimbang. "Jangan ke bawah, kumohon. Inilah mengapa aku menganggap Batara tidak meyakinkan. Tolong, sayangku."
Panggilan sayang di akhir ucapan Zeralda membuat kepala Rogelio beralih cepat. Ia menatap belahan jiwanya itu lekat-lekat, dibalik kesalah-tingkahannya itu ia juga merasakan gelisah yang mulai muncul perlahan di dalam benaknya.
***
Tenggelam dalam permainan biadab seperti Court of Cull adalah salahnya, bahkan ia mempunyai rasa dendam terhadap dirinya sendiri. Menjadi pembunuh bayaran bagaikan sebuah makanan sehari-harinya, namun permainan ini benar-benar hina bagi Batara. Semilir hawa sejuk sesekali menusuk tubuhnya walau ia masih setia memakai kostum The Matrix yang serba hitam itu. Batara masih mengingat bahwa ia adalah pemain peringkat ke dua dalam permainan, dan menurutnya hal itu bukan sebuah kebanggaan, melainkan sebuah bencana bagi dirinya. Isi kepala pria itu bahkan memikirkan bagaimana ia nanti diterkam oleh orang-orang bengis yang ingin memenangkan permainan gila ini.
Sadar ia telah melamun, Batara menepis lamunannya dengan membuang muka perlahan. Pria itu reflek meraih kotak penyimpanan rokoknya kembali dan menyalakan tembakau gulung tersebut dengan pemantik api. Seperti apa yang selalu ia katakan, rokok adalah peredam rasa gelisahnya. "Jangan lemah Batara, Keluarga Chandrakanta tidak diajarkan untuk menyerah," gumam Batara mencoba memberikan semangat untuk jiwa raganya sendiri setelah ia menghembuskan asap rokok yang sempat ia sesap. Gumaman itu juga membuatnya sadar bahwa Rogelio dan Zeralda tak kunjung datang menghampirinya, hingga ia harus membalikkan tubuhnya berniat untuk menjemput mereka berdua walau dalam rasa keterpaksaan.
"Batara ya? Selamat datang."
Jantung Batara bagai dikejut oleh pengejut jantung bertegangan tinggi, ia terperanjat ketika melihat sosok Moriarty yang percaya diri berdiri tegap di hadapan Batara. Floyd Archer, lebih tepatnya. Ternyata pria itu telah lama berdiri di belakang Batara selama ia terdiam melamun.
"Oh, kau si humor gelap," kekeh Batara pelan yang lalu kembali menyesap rokoknya, mencoba menutupi ekspresi terkejutnya. Kalimat itu membuat Floyd tertawa tertahan, ia menggeleng heran. "Banyak orang menganggapnya gelap, padahal bagiku itu humor yang sangat sederhana," ucap Floyd sembari memasukkan salah satu revolvernya ke tempat asal, ia pun mulai melangkah mendekati Batara.
"Singkat saja, apa yang membuatmu kemari, kau butuh sesuatu?" tanya Floyd sembari memberikan rangkulan menyamping untuk Batara yang disambung dengan langkah perlahan, kedekatan mereka nampak seperti sepasang sahabat karib yang saling bertemu untuk membicarakan sesuatu.
Walau rangkulan itu terasa kurang nyaman bagi Batara, namun ia tetap menyunggingkan senyuman kecil pada Floyd untuk sebatas formalitas. "Just curious, sebab aku sempat mendengar kegaduhan di bawah sini, apakah itu kau?" tanya Batara berbasa-basi. Padahal suasana yang sepi seperti inilah keduanya bisa memanfaatkan situasi—saling bunuh untuk menambah poin.
"Kelompok Jigsaw, mereka sudah tidur dengan lelap di sana," balas Floyd sembari menunjuk ke arah mayat-mayat yang cukup tersebar di lorong basement tersebut, Batara hanya mengangguk sedikit kagum dan menghembuskan asap rokoknya. Keduanya sempat hening, hanya suara gempuran deras sungai yang terdengar. Hingga Batara ingat akan awal kejadian yang mempertemukan mereka.
"Bagaimana dengan keadaan gadis yang kau sebut Arabella waktu itu?" celetuk Batara melemparkan rokoknya yang telah habis ke sembarang arah. Pria yang masih merangkul Batara hanya tersenyum, kembali membayangkan bagaimana bilah bibirnya sempat berseteru dengan bibir kekasihnya yang tak lain adalah Arabella sendiri. "Ara memang seperti itu setiap isi kepalanya memproyeksikan masa depan yang ia lihat."
"Ah baiklah kalau begitu. Aku hanya ingin bilang sekali lagi, maaf jika perlakuanku sempat membuatmu salah sangka." Batara mengucap maafnya sekali lagi, di dalam hatinya ia juga berniat untuk segera keluar dari basement tersebut sebab berada disekitar Floyd membuat firasatnya semakin tak acuh. "Tak masalah, Batara. Aku mengapresiasi aksimu, bagaimana kalau kita minum sesuatu? Aku ada sake di tempat persembunyianku." Meski sempat gelisah, tawaran Floyd memang cukup menggiurkan, pria itu pun juga sudah lama tak menegak macam-macam alkohol untuk pelepas penatnya.
"Boleh saja, tapi aku harus—"
"BATARA!" Bentakkan itu membuat mereka yang semula berbincang harus membalikkan tubuh. Suara itu jelas Batara kenali, presensi mereka—Zeralda serta Rogelio semakin mendekat ke arah di mana Batara berdiri. Batara sempat bersyukur bahwa mereka masih menghembuskan napas dan masih mampu menyusulnya ke dalam basement. Namun, di kala mereka semakin mendekat, ada yang berbeda dari ekspresi yang pasutri itu tunjukkan. Seperti amarah yang ingin segera diledakkan.
"Jelaskan semua kebodohan ini atau isi kepalamu akan hancur berkeping-keping," ucap Zeralda berani sembari meletakkan moncong shotgun tepat pada dahi Batara, raut wajah wanita itu benar-benar ketus menatap tajam ke arah pria yang seakan-akan siap ia jarah dengan senjatanya.
Aksi itu jelas membuat Floyd terkejut, ia memilih menyingkir dari sekitar Batara dengan melangkahkan kedua kakinya mundur perlahan. "Ah, an interesting showtime, i guess?" batin si pria berkostum Moriarty terkekeh, ia tetap menjauhi kawasan 'panas' yang tengah terjadi.
"Apa maksudmu? Kebodohan apa?!" Batara ikut setengah membentak, ia juga memikirkan bagaimana ketika pelatuk shotgun itu benar-benar ditarik oleh anggota timnya sendiri, betapa sia-sianya nyawa Batara.
"Jelaskan tentang pisau lipatmu itu!" sambung Rogelio yang juga siap dengan kapak, baru pertama kalinya ia menatap Batara dengan tatapan penuh dengki. Suasana lorong basement kini semakin panas akan pembahasan yang Zeralda pertanyakan, wanita itu sedari tadi curiga pasal pisau rusak yang selalu Batara bawa. Mengingat janggalnya kematian Mr dan Mrs Foster serta peninggalan bukti berupa serpihan pisau lipat, Zeralda semakin yakin bahwa pisau Batara lah yang paling mendekati.
"Maksudmu ini? Ini bukanlah apa-apa! Pisau ini adalah pisau peninggalan kakekku!" Batara tak mau kalah untuk menyampaikan pendapatnya setelah ia mengeluarkan pisau yang sempat dipakai untuk memotong benang jahitan, Rogelio tentu siap menyanggah apa yang Batara ucap barusan. "Oh ya?! Bagaimana kalau kita tak percaya? Lalu bagian yang pecah itu?"
"Hey dokter, ada banyak pengunjung dari pesta gila ini, dan ingatlah bahwa semua yang ada di sini adalah para kriminal. Kita semua mungkin kriminal, tapi aku tak pernah ada niatan membunuh orang seenaknya kecuali terpaksa!" balas Batara geram setengah membentak, tak menyangka bahwa ternyata anggota timnya sendiri telah memfitnah hal buruk tentangnya. Padahal Batara merasa bahwa ialah yang mempertemukan mereka dalam keadaan selamat. Hatinya tentu sakit, bagai dihujam belasan belati.
"Jadi ada yang memaksamu untuk membunuh mereka?" tantang Zeralda kembali menanyakan hal yang membuat darah Batara semakin mendidih. Jemari pria itu sontak mengepal, ia benar-benar ingin menghabisi wanita yang ada di hadapannya.
"Siapa yang memaksaku?! Aku tak mengenali kalian semua di sini! Diberi uang sepeserpun aku takkan sudi menerimanya!" balas Batara dengan kedua manik matanya yang senantiasa terbelalak, hatinya kini sungguh dendam menerima balasan pahit yang diberikan oleh Zeralda maupun Rogelio.
"Tidak! Aku tidak percaya! Kau pasti mengenali salah satu orang di permainan ini. Sekuat apapun kau menepis, aku akan tetap menyebutmu sebagai orang tersangka. Apalagi kau adalah seorang pembunuh bayaran, aku yakin sepulang dari sini rekeningmu akan penuh akan uang kotor yang kau terima dari pembunuhan kejimu!" imbuh Zeralda seakan tak mau menerima pengakuan dari Batara lagi. Baginya, Batara adalah seorang yang tengah berlindung dari argumen palsunya.
"Jaga mulutmu Zeralda! Jika aku memang seorang pembunuh yang tak punya hati, gila akan uang serta harta, kamar yang menjadi persembunyian kita waktu itu adalah ruangan terakhir di mana kau hidup!"
"Kau ini manusia yang tidak di untung atau bagaimana?!" Pertanyaan menohok Batara membuat telunjuk Zeralda semakin siap menarik pelatuk dari shotgun yang ia genggam kuat. Hingga tepukan pundak yang Rogelio berikan membuat ia mengurungkan niatnya.
"Zeralda, cukup. Pikirkan jika memang Batara membunuhmu, bagaimana kau bisa bertemu denganku?!" Entah setan apa yang merasuki Rogelio. Ia sempat mendukung penuh tindakan Zeralda, lambat-laun ia mulai membisikkan kata-kata untuk menenangkan penyakit debat yang istrinya idap. "Lebih baik kita perdalam penyelidikan tentang Batara, daripada menuduhnya sembarangan." Bisikkan itu membuat Zeralda mendengus menahan emosi, walau benaknya masih berat akan tampang mencurigakan Batara, bisikkan itu juga telah membuat shotgun tersebut akhirnya turun menjauhi tubuh Batara.
"Berterima kasihlah pada Rogelio, Batara. Jika ia tak bicara kepadaku barusan, mungkin aku yang akan menggantikan posisi peringkat ke dua mu setelah ini," ucap Zeralda setengah memelankan intonasi bicaranya. "Masa bodoh dengan semua argumentasimu. Intinya kami tak lagi percaya padamu," bisik Zeralda penuh amarah setelah ia memperkikis jarak tubuhnya dengan Batara, kedua manik mata wanita itu masih menyiratkan rasa kesal serta kecewa.
"Maka jangan sungkan-sungkan untuk membunuhku di lain hari nanti, atau kau ingin melihatku mati sekarang?" tanya Batara ikut memberikan sorot pandang tajam terhadap Zeralda. Dada mereka saling kembang-kempis, banyak emosi yang tak tersalurkan. Namun batin Zeralda berkata lain, ia ingin mengumpulkan lebih banyak bukti bahwa Batara memang mencurigakan.
"Jangan aku, biarkan orang lain yang akan membunuhmu, dan aku akan menjadi saksinya."
Kalimat yang Zeralda ucap barusan akhirnya menjadi penutup dari perdebatan sengit, pasutri itu memutuskan untuk keluar dari lorong basement tersebut. Menyisakan Batara serta Floyd yang nyatanya benar-benar tengah menikmati pertunjukkan. Bahkan pria itu telah menghabiskan dua batang rokok sebagai teman menontonnya, dan sejujurnya ia menyesal ketika perdebatan itu usai begitu saja.
"Maaf, aku turut prihatin, Batara. Mari hibur dirimu, kau masih ingin minum sake 'kan?" tanya Floyd mendekat ke arah Batara yang masih tertunduk, pria itu sesekali memberikan tepukan pelan pada pundak Batara. Sekali lagi, mungkin sake adalah hal yang paling menggiurkan bagi Batara. Namun, dendamnya pada Zeralda akan tumbuh pesat sebentar lagi.
Part ini ditulis oleh chaoticimpulse dalam sudut pandang karakter Batara Chandrakanta
_____________
Batara Chandrakanta
Umur: 24 tahun
Profesi: Pembunuh Bayaran
Senjata: Pistol Desert Eagle dan Pisau Lipat
MBTI: INTJ
Kostum: Agent, Neo The Matrix
Hobi: Merokok
Kostum Batara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro