11. Blood in The Water
Bising televisi rusak menelisik di antara kesunyian malam menggema memenuhi penjuru kamar isolasi, satu-satunya benda jadul yang menyala dalam kegelapan pekat. Ruang bermayoritaskan rak buku tampak berantakkan, kertas gambar tersebar ke segala arah sementara puluhan buku ensiklopedia tergeletak tidak beraturan. Floyd yang saat itu berusia tujuh tahun terdiam takut—sendirian memeluk lutut di depan layar televisi analog tanpa sinyal.
Tubuhnya bergetar hebat, dingin menusuk tulang, beberapa tikus berkeliaran bebas. Bibir Floyd kering, matanya menyiratkan ketakutan, wajah tampan itu memucat sempurna. Floyd takut pada sesuatu ....
Dia tidak berani menatap langit-langit kamar.
Aroma anyir menyeruak indera penciumannya, bocah itu semakin dibuat ngeri mendapati tetesan berupa cairan kental berjatuhan bagaikan hujan di ruang isolasi. Floyd memberanikan diri mengadahkan kepala ke atas, memandangi belasan—tidak, puluhan mayat anak-anak tanpa tangan bergelantungan secara terbalik di atas sana membentuk semacam formasi akar pohon. Mata mereka terbuka lebar, melotot hingga uratnya terlihat, setiap tetesan darah yang keluar membentuk semacam irama pada lantai. Beberapa mayat di antaranya jatuh karena kulit telah sepenuhnya membusuk, Floyd sempat tertimpa olehnya.
Anak itu kini menangis, menutup telinga dan mata. Ingin rasanya berteriak namun percuma saja, Floyd kecil dikurung, sendirian bertemankan puluhan mayat dan televisi analog yang sengaja diletakkan untuk membunuh psikologinya. Ia semakin tidak waras. Rintik-rintik darah terasa seperti berbisik ... mengajaknya untuk mati.
Floyd kecil pun mengambil pensil gambar lalu menikam perutnya hingga tertancap. Ia terjatuh ke lantai bersamaan dengan kesadarannya yang kian menipis.
Bagaikan kaset rusak, ingatan masa kecil berputar hebat di atas benaknya. Floyd memandangi cermin retak wastafel—membasuh wajah serta rambutnya dengan air lalu menatap ketampanannya yang kini sudah cukup dewasa untuk takut pada hal kekanak-kanakan seperti masa lalu. Mayat? Ia sudah biasa akan hal itu. Menjadi petinggi dari organisasi perdagangan manusia serta menjual organ secara ilegal membuatnya kebal. Tubuh busuk dan darah sudah mengakar dalam hidupnya, satu-kesatuan sempurna yang akan sering ditemukan jika bermain-main dengan Redroom—sisi terdalam Darkweb.
Floyd mendorong rambut depan yang basah ke belakang dengan satu tangan, ia tersenyum, menghiraukan remangnya cahaya obor serta beberapa tikus berlarian di sekitar mayat pria berkostum prajurit abad pertengahan. Floyd mampir sebentar untuk membersihkan diri seusai wajah menawannya ditinju oleh Sherlock Holmes hanya saja salah satu tamu berkostum prajurit bersembunyi di sana dan hendak menikamnya, tentu saja nasibnya berakhir tragis di kamar mandi.
Kini mata biru samudra milik Floyd berpindah memandangi speaker pengumuman yang entah sejak kapan terpasang di kamar mandi. Rupanya master game telah merencanakan semuanya dengan matang, memasang speaker di setiap ruang hingga toilet bau ini.
"Oh?" Floyd terkekeh. "Master Game merubah aturan permainan. Ini sangat menarik! Haruskah aku membunuh si peringkat satu?" Floyd tersenyum santai seraya mengeluarkan salah satu Revolvernya kemudian menembakkannya tepat di kepala tamu yang diduga sudah menjadi mayat.
Dor!
"Oi-oi, aku suka trik murahan ini. Jangan menipuku, Prajurit. Aku tahu bahwa kau hanya berpura-pura mati." Floyd berujar pelan kepada tubuh yang kini sudah benar-benar menjadi mayat. "Sayang sekali, anda bertemu musuh yang salah ... I'm pretty good at this trick, Sir."
"Floyd! Kenapa lama sekali?! Kau sudah selesai di toilet?" Suara Arabella di luar pintu mengagetkan Floyd yang sedari tadi sibuk memasang pose keren menembak. "Apa tamu itu bangun lagi?"
Floyd menghela napas. Dia bahkan lupa kekasihnya sedari tadi menunggu di depan pintu. "Iya, sayang! Si keparat ini ternyata pura-pura mati."
"Cepat keluar! Aku ingin ke toilet." Arabella memukul pintu.
Floyd membuka pintu kamar mandi lalu keluar dari sana sembari sengaja mengibaskan rambutnya yang basah ke belakang untuk menarik perhatian Arabella. "Bagaimana jika kutemani ke dalam? Si keparat itu bisa pura-pura mati lagi dan melihat kecantikanmu. Aku akan menemani—"
Arabella tanpa mempedulikan ocehan kekasihnya, segera beralih masuk serta menutup pintu kamar mandi dengan kencang.
"Baiklah, jangan terlalu lama di toilet, sayang. Kita harus segera kembali ke markas, Kasha sepertinya akan kembali dari ...." Floyd menjeda kalimatnya setelah mata bak elang itu menangkap sosok yang berjalan keluar dari bayang-bayang gelap koridor. Gadis itu—Kasha—tampak berantakkan. Kostum dipenuhi darah dan debu, tangan lentiknya terkena luka bakar parah serta wajah cantiknya sedikit tergores. Ditambah aura yang sedikit berbeda dari sebelumnya setelah mendapati Kasha membawa Crossbow, Floyd tertegun sejenak beriringan dengan derap langkah kaki Kasha yang meruntuhkan keheningan koridor gelap tak berujung. Napasnya tersenggal-senggal, ia melangkah menuju obor yang masih menyala—tempat Floyd berada.
Floyd terdiam memandangi Kasha yang seakan-akan selamat dari medan tempur. Lantas ia memasang senyuman teduh seraya mengulurkan tangannya kepada sang gadis. "Selamat datang, Tuan Putri. Sepertinya kita harus merayakan kemenanganmu setelah selamat dari perburuan, hanya saja ... bagaimana bisa para tikus-tikur cacar darah itu menggores luka ke salah satu rekan timku, hmm? Aku akan memusnahkan mereka—"
Kasha menyambut uluran tangan Floyd. "Tidak perlu, aku sudah membunuhnya. Mereka telah berubah menjadi poin untukku," ucapnya gugup berusaha dibuat lebih kuat. Sesekali ia beradu pandang dengan mata biru Floyd yang seakan-akan memancarkan cahaya menenangkan dari balik kegelapan. "Floyd ... aku—"
Pintu kamar mandi terbuka dengan keras, Arabella keluar dari sana, kini gadis itu menyambar Floyd dengan memeluknya. Begitu tiba-tiba, padahal semenit yang lalu ia tampak acuh dan apatis kepada kekasihnya namun sekarang? Arabella berubah menjadi manja dan seduktif. Ia merangkul lengan gagah Floyd. "Floyd sayang! Sedari tadi kamu tidak mengintipku di kamar mandi bukan?"
Floyd tersenyum. Dia mengerti Arabella memiliki semacam dua kepribadian. Sisi seduktifnya bukan Arabella sesungguhnya sementara ia yang asli tampak acuh dan membenci Floyd. Mereka berbeda namun menyatu di tubuh yang sama. Hanya saja Floyd mencoba bersikap biasa—pura-pura tidak mengerti.
Kasha membuang muka kesal. Nyaris rasanya ia ingin memusnahkan gadis berwajah mayat itu. Sedari awal Arabella tampak mencurigakan untuknya, bisa saja dia yang menjadi penghianat untuk Floyd.
"Sudah-sudah, kita harus segera berangkat. Berhubung belum mendekati tengah malam ... mari kita transmigrasi markas." Floyd berdehem.
"Pindah markas?" Masih dengan posisi merangkul, Arabella memandangi Floyd tertegun.
"Ya, tentu saja, Sayang. Ayo kita berburu dan menjarah markas kelompok yang lebih besar. Kita juga membutuhkan persediaan makanan dan obat-obatan."
Arabella mengeratkan pelukannya. "Tidak, aku tidak setuju, Sayang. Bagaimana jika pacarku terluka?"
"Aku setuju. Menurutku Floyd terampil dalam menembak tentu saja jika kita bersama-sama menggabungkan kekuatan, markas lain yang lebih layak bisa kita jarah." Kasha menimpali, matanya yang tajam saling menatap sinis dengan manik Arabella.
"Jangan dengarkan dia Floyd—"
"Benar kata Kasha, Sayang. Kita harus menggabungkan kekuatan untuk menjarah. Aku ingin sesuatu yang layak untuk ditempati, bukankah begitu ... Ara?"
Arabella tertawa kecil. "Aku hanya bercanda. Tentu saja aku akan mendukungmu, tetapi jangan sampai mereka melukaimu—"
Floyd mengangguk lalu secara perlahan melepaskan tangan Arabella darinya—tidak seperti biasanya. Pria itu memasang senyuman ramah lalu mengeluarkan Revolvernya yang lain dari saku seraya memunggungi kekasihnya. "Hmm? Sudah waktunya, let's make a plan," ucapnya sembari berjalan—melewati Kasha. Sejenak ia beradu pandang dengan sang pemilik Crossbow sebelum pergi menyusuri koridor diikuti kedua gadis yang menjadi rekan satu timnya. Hanya saja Arabella merasa marah, Floyd menolak rayuannya? Sementara jelas Arabella mendapati cara pandang kekasihnya yang berbeda ketika menatap Kasha. Floyd tipikal pria yang hanya bermain-main lalu sekarang?
Arabella menggigit kuku, dia takut Floyd meninggalkannya. Tidak boleh! Tak ada wanita lain yang bisa bersanding dengan kekasihnya itu. Hanya Arabella seorang, bahkan Arabella yang asli tidak cocok dengannya. Hanya Arabella dengan kepribadian Eve. Ya, hanya Eve yang mencintai Floyd.
"Ngomong-ngomong, aku punya rencana ... kita akan menjarah di mana," Floyd terkekeh seraya menoleh ke belakang—menatap kedua rekannya. "Kalian mau tahu?
***
Suara terbukanya pintu besi bawah tanah menggema memenuhi area lorong basement. Usut punya usut letak pintu bawah tanah ini berada di mansion Foster bagian timur, lebih tepatnya tertanam pada lantai—tempat dapur dan kegiatan memasak berada. Floyd menemukan sedikitnya sarang laba-laba serta bercak darah yang bertengger pada pintu
masuk, maka ia menyimpulkan tamu lain sudah memasuki area ini. Lantas ketika terbuka pria itu segera melompat ke dalam, menyadari betapa gelapnya lorong yang hanya diterangi minimnya obor, berbeda jauh ketika mereka berada di atas basement.
Dingin menusuk tulang, sunyi menyisakan suara derasnya air mengalir. Tunggu, air mengalir?
"Hei Moriarty, apakah situasi aman di bawah sana?" Kasha berteriak dari atas bersama Arabella yang berada di sebelahnya.
"Ya, kalian turunlah segera. Di sini sangat sejuk, terhindar dari jangkauan sekumpulan cacar darah." Floyd menjawabnya dengan cepat segeralah ia memasukkan kedua Revolvernya ke dalam saku lalu mengambil salah satu obor yang terpasang di dinding kemudian mengarahkannya memasuki kegelapan pekat—mengecek sekitar. Setelah berjalan lebih ke kiri, ia menemukan sesuatu.
"Well ... well ...." Floyd terkekeh, suarannya menggema, wajahnya yang tampan terlihat begitu jelas di bawah remang cahaya obor, dia tersenyum pongah. "Kemari dan lihatlah apa yang tengah kutemukan."
Kasha dan Arabella yang kini sudah melompat turun segera mendatangi Floyd.
"Bendungan bawah tanah?" Arabella menghancurkan keheningan di kala suara derasnya aliran sungai menjadi bagian kecil dari diorama yang mereka lihat. Floyd salah mengartikan bahwa ia menemukan basement Keluarga Foster, padahal tempat ini merupakan kawasan yang langsung berujung pada terowongan dan bendungan yang mengalirkan air dari sungai bawah tanah melewati lorong-lorong gua purba.
Kasha terdiam di tempat. "Ternyata begitu, sekarang aku paham ketika listrik mati, speaker dan layar monitor poin peserta tetap menyala."
Floyd menoleh memandangi Kasha, tampak tertarik. "Kenapa?"
"Air merupakan sarana potensial yang bisa digunakan untuk menggerakkan turbin, tentu saja ternyata tempat ini punya bendungan besar dan akan menurunkan air dalam jumlah lebih ke dalam lubang untuk memutar turbin. Perputaran tersebut akan menghasilkan energi mekanik yang dikonversi melalui generator menjadi energi listrik." Kasha menjelaskan pemahamannya dengan lugas. "Kesimpulannya, Master Game sudah memprediksi semuanya. Dia mematikan seluruh generator dan memfokuskan pada listrik bertenaga air. Lalu hanya memasang sumber daya bertenaga air kepada alat-alat elektronik tertentu yang berguna dalam permainan seperti jebakan, speaker dan layar monitor. Benar-benar jenius."
Floyd mengelus dagunya sendiri. "Kau benar, itu sebabnya kita terus dipermainkan oleh permainan ini." Dia berjalan menelusuri lorong. "Yah ... namun aku harus berterima kasih kepadanya, melalui permainan bodoh Court of Cull ... aku menjadi lebih bersemangat. Baiklah! Sepertinya kita harus menjelajah lorong!"
Floyd mengeluarkan puntung rokok, ia menyalakannya dari percikan obor, diisap kemudian membuang asapnya ke udara. Selama perjalanan menelusuri lorong ... ia, Arabella dan Kasha hanya terdiam bahkan sesekali menemukan ruangan yang memang sudah ada sejak lama di setiap gua bahkan ternyata ujung bendungan memiliki elevator menuju ke lantai atas. Mansion Foster memiliki banyak jalur untuk mengakses bendungan serta keluarga kanibal itu pasti menyimpan beragam misteri dan benda-benda persediaan. Segala harta berharga ada di kawasan ini.
Floyd berhenti melangkah, tepat di sebelah sungai yang dasarnya tidak dalam. "Berhenti, aku mendengar suara!" Floyd berbisik seraya membuang puntung rokoknya ke tanah lalu menginjaknya dalam sekali tekan. Dia menoleh mencermati lorong gelap di ujung terowongan. Sesuatu seperti bayangan berjalan mendekat kemudian tidak berlangsung lama, benda kecil berwarna hijau terlempar ke arah mereka.
"Tiarap ke dalam air! Serangan Bom Molotov!" Floyd memberi aba-aba dengan tegas. Arabella dan Kasha pun tanpa berpikir panjang mengikuti arahan sang ketua melompat ke dalam sungai, bersamaan dengan itu ledakkan bom memecah belah suasana.
Floyd naik ke permukaan, sayangnya pistol telah menempel di dahinya, satu pria berseragam tuxedo dengan topeng menyeramkan seperti badut, tidak hanya satu orang tetapi sekitar sepuluh pria dengan kostum yang sama mengarahkan benda berbahaya itu kepadanya. Floyd terkekeh gila. "Well ... apakah ini pesta air?
Salah satu dari mereka bersuara menyeramkan, "Floyd Archer, kau sudah dikepung. Kalian masuk ke dalam perangkap Jigsaw."
"Dikepung? Benarkah?" Floyd terkekeh. "Bagaimana jika sebaliknya?"
Panah melesat cepat menusuk setiap kepala pria bertopeng, Arabella dan Kasha melakukannya dengan sigap di balik bebatuan gua. Untung saja kedua gadis itu menyelamatkan diri agak jauh dari jangkauan kelompok Jigsaw. Usut punya usut, Floyd sudah menduga bahwa kawasan ini pasti ditemukan oleh segerombolan orang yang memiliki kekuatan lebih dan itu merupakan pasukan milik sang peringkat pertama, Jigsaw—yang keberadaan sang pemimpinnya sendiri menjadi misterius di antara sekumpulan orang berkostum sama. Kelompok ini memilih menjarah seluruh bawah tanah lalu bersembunyi hingga akhir game setelah mengetahui bahwa aturan permainan dirubah.
Ketika fokus mereka berpindah ke hujaman panah, Floyd segera keluar dari air lalu mengeluarkan kedua senjata andalannya. "Oi-oi! Tidak sopan mengalihkan pandangan dari pria tertampan seantero acara permainan Court of Cull ini, heh!" Floyd menembakkan kedua peluru Revolvernya dengan sigap secara membabi-buta. Meski bajunya basah dan memberatkannya beraktivitas ia mampu secara lincah melompat lalu menyerang mereka di udara.
Terlalu cepat dan tanpa perhitungan, Floyd bahkan sempat terkena tembakkan pada lengan kirinya. Untung saja semua kelompok itu benar-benar dibuat mati sekarang, namun ia salah ... ketika Kasha dan Arabella fokus menembakkan panah ke segerombolan pasukan Jigsaw, kini sang bos utama muncul di hadapan Floyd. Dia Jigsaw yang asli, satu-satunya sosok yang memakai dasi merah serta membawa dua senjata—kedua Revolver—sama seperti milik Floyd.
Dia terdiam tertegun memandangi kemunculan Jigsaw sang peringkat pertama, lalu seketika itu juga Floyd tertawa. "Aku suka ini!" Ia tertawa gila, seketika wajahnya berubah menjadi sinting. "Akhirnya! Akhirnya ada yang bisa sepadan denganku!" ucapnya sembari mengarahkan kedua Revolver ke musuh begitupun juga sebaliknya. "
"Floyd Archer waktumu sudah habis." Jigsaw bersuara lantang dari balik topeng. Ketika Revolver miliknya ditembakkan ke Floyd, pria itu secara sigap menghindar—melakukan salto di udara seraya menembakkan pelurunya kepada musuh.
"Wrong Sir, your time is over."
Mereka berdua beradu Revolver bahkan sampai tercebur ke dalam sungai, dua petinggi poin dalam membunuh itu saling mempertahankan posisi, bahkan tidak lagi peduli sungai telah sepenuhnya berubah menjadi merah karena sekumpulan pasukan Jigsaw mati mengapung di sana.
Floyd terkena tembakan parah di area tangan sama seperti Jigsaw yang juga kewalahan menghadapi sang Moriarty, sadar bahwa pasukannya sudah dibabat habis oleh Arabella dan Kasha sementara kedua gadis itu hendak beralih membantu Floyd. Jigsaw berhenti menembak. "Tembakanmu cukup bagus, sampai jumpa Moriarty."
Bersamaan dengan kalimat tersebut, Jigsaw mengeluarkan bom asap lalu menghilang secara misterius dari sana. Dia cukup cepat melarikan diri menggunakan elevator terdekat—keluar kawasan bawah tanah. Kini situasi sudah aman, Floyd memandang kepergian Jigsaw yang menurutnya sangat disayangkan jika tidak ia bunuh. Floyd tertawa. "Cih! Suka-suka kau saja, mari kita lihat siapa yang lebih baik? Aku? Batara? Sherlockey atau si Jigsaw itu?"
***
Sehabis membunuh pasukan sang peringkat pertama, kelompok Floyd beristirahat di salah satu ruangan berpenuhkan pasokan makanan. Rupanya pemilik mansion ini sengaja meletakkan banyak persediaan makanan dan obat-obatan pada ruang yang dibangun di terowongan bawah tanah. Tangan Floyd benar-benar terluka terkena serangan peluru, untung sana Kasha segera melakukan pertolongan pertama dengan mengeluarkan benda itu dari sana.
"Si Jigsaw itu benar-benar menarik ya." Floyd terkekeh sembari menyaksikan Kasha membalut lukanya dengan perban.
"Kau hampir mati jika kami tidak datang menolongmu. Jangan gegabah dan menantang kematian." Kasha berujar cepat, meski terdengar dingin ia tampak sedih memandangi Floyd. "Hei, Tuan Putri. Jangan khawatir," dia tertawa geli. "Seorang penembak jitu sepertiku sudah biasa jika dihadapkan dengan situasi semacam ini bahkan yang lebih parah sudah kulalui."
"Tetapi tetap saja—"
Floyd tersenyum ceria lalu mengelus kepala Kasha seperti anak kecil. "Kau sudah melakukannya dengan baik, Kasha. Aku bangga kepadamu," ucapnya menenangkan hingga membuat sang gadis terdiam tersipu. Floyd kini menoleh memandangi Arabella yang terdiam di belakang sana, kekasihnya itu sedari tadi hanya menatap Floyd dan Kasha mengobrol tanpa perasaan cemburu lalu beralih keluar dari ruangan.
Beberapa menit setelah Arabella keluar, Floyd pun mencoba menyusulnya. Pria itu berjalan keluar dari markas baru mereka—mencoba mencari sang kekasih. Sadar bahwa Arabella sedang berjalan menuju bendungan paling dalam, Floyd segera menariknya untuk menjauh dari sana.
"Apa yang kau lakukan?!" Floyd menaikkan intonasinya. Kini ia benar-benar marah kepada Arabella.
Arabella terdiam di tempat, tanpa menoleh memandangi Floyd. "Aku ingin mati, kenapa memangnya?"
Floyd terkekeh sinis. "Kau sudah menjadi Arabella yang asli rupanya, di mana Arabella yang seduktif? Oh ... Eve, bukan?"
Arabella mendecih. "Sudah kuduga kau sudah mengetahui keberadaan kami sejak awal. Eve bodoh itu memang cinta buta kepadamu tetapi tidak denganku. Lebih baik aku mati daripada menemanimu hingga akhir hayat."
Floyd terdiam, baju dan rambutnya yang sebelumnya sempat basah karena terjatuh ke dalam air tidak mengurangi bahwa ia benar-benar kedinginan ditambah kalimat Arabella yang menusuk membuatnya semakin tertusuk. "Jadi, Arabella yang asli tidak mencintaiku berbeda dengan Eve?"
"Ya, jangan kira aku terobsesi kepadamu. Pria gila yang hobi menggoda wanita manapun untuk mencapai tujuannya, kau tidak layak untukku, Floyd. Aku membencimu, kau berbahaya." Arabella memekik kencang, ia benar-benar membenci Floyd.
Hening menyisakan suara derasanya aliran sungai, Floyd pun segera menarik Arabella lalu mendorongnya ke dinding lorong lantas ia mencium paksa kekasihnya itu di sana. Sedikit menggebu, pukulan Arabella bahkan tidak mempan untuk menghentikannya.
"Pria iblis!" Setelah ciuman itu berakhir, Arabella menampar kuat wajah Floyd. "Jangan kira aku bidak catur yang bisa kau pindahkan! Dasar iblis!
"Ya, benar! Dan iblis di depanmu ini terobsesi dan mencintaimu!" Floyd berucap lantang, entah kenapa mata biru yang selalu memancarkan keceriaan itu berubah menjadi sendu, seakan terluka pada sesuatu. "Aku mencintaimu Ara! Kau adalah satu-satunya! Bahkan Eve sekalipun, aku hanya mencintaimu, Arabella yang asli ... hanya kamu seorang."
Arabella terdiam, tiba-tiba kepalanya berubah menjadi pusing. Seakan-akan ia mendengar beragam suara. "Diam Eve! Aku membenci Floyd! Berhenti menguasai tubuhku sekarang! Aku tidak mencintainya—"
Floyd menghentikan kekasihnya yang mencoba memukul diri sendiri. Ia mencengkram lengan Arabella dengan kuat lalu berbisik pelan di telinganya. "Eve saat ini tidak muncul, kamu sendirilah yang merasakan perasaan itu. Jangan menolak perasaanmu, Ara."
Arabella menatap Floyd, mata biru mereka saling beradu pandang, mencoba memastikan. Entah kenapa kini ia benar-benar tersipu. Pandangan serta perasaannya seperti dibuat mabuk, namun di sisi lain ia ingin membunuhnya saja.
Floyd tersenyum teduh lalu memandangi wajah cantik kekasihnya, ia mengangkat lembut dagu Arabella lalu kembali menciumnya pelan. "Akan kubuktikan, Ara ... bahwa pikiranmu salah."
***
Part 11 ditulis oleh Ralorra dalam sudut pandang karakter si penembak jitu tampan, Floyd Archer
______________________
Floyd Archer
Umur: 25 tahun
Profesi: Terlibat dalam perdagangan manusia
Senjata: Pengguna dua revolver
MBTI: ENTP
Kostum: Koboy, Prof. Moriarty
Hobi: Menggoda seseorang
Kelebihan: Memanipulasi perkataan
Kostum Floyd
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro