10. Rival and Survival
Dominic percaya karma.
Segala perbuatan yang dilakukan selama hidup, kelak akan mendapat balasan yang setimpal. Entah pemberian Tuhan atau dari sesama manusia. Ketika kau melakukan kebaikan, karma baik juga akan datang. Begitupun sebaliknya, maka ketika Dominic memilih jalan yang buruk-merugikan orang lain untuk kepentingannya sendiri-maka ia sudah bersiap untuk segala bentuk pembalasan yang akan menimpa.
Jika dipikir-pikir lagi, inikah karmanya, terjebak di tengah permainan maut? Hanya saja, tidakkah ini terlalu mengerikan dan tidak bisa dikatakan setimpal? Dominic diharuskan membunuh jika tidak ingin dibunuh. Padahal ia tidak pernah menghilangkan nyawa seseorang-secara langsung-seperti saat ini.
Dominic mencabut pedang dari tubuh lelaki gila yang beberapa saat lalu hampir meremukkan kepalanya dengan palu besar. Bersamaan dengan berakhirnya pengumuman tentang aturan baru Court of Cull.
"Miliaran Euro, ya?!" lirih Dominic seraya menoleh pada layar monitor di dinding. Namanya tertera di peringkat empat dengan 16 poin. "Karma apa yang akan mereka dapat setelah membuat permainan seperti ini? Mati terbakar? Tidak, tidak. Itu terlalu ringan!" Ia menggeleng seraya terkekeh.
"Kau pikir aku akan mengikuti permainan ini?" Menuruti orang tuanya saja, Dominic enggan apalagi seorang master game psikopat seperti ini. Ia menengadah, mengamati monitor yang layarnya telah mati.
"Sepertinya sumber daya tidak benar-benar padam. Jika mereka bisa menyiarkan suara, bahkan menggunakan monitor, berarti ruang kendalinya ada di salah satu ruangan di sini."
Dominic berkacak pinggang, usai mengamati setiap sudut ruangan, berharap menemukan sesuatu yang dapat menjadi petunjuk menuju ruang kendali. Namun, tidak ada apa-apa. Jemarinya kembali merogoh smartphone di kantong celana, memeriksa apakah sudah bisa digunakan, tapi nihil. Berdecak sekali, ia mengambil langkah, meninggalkan ruang berantakan dengan tiga tubuh pria tak bernyawa di dalamnya.
Waktunya habis hanya untuk mencari Aruna yang ajaibnya menghilang lagi. Ia tidak habis pikir pada gadis itu, entah apa yang ada dalam otaknya. Semakin diperingatkan, malah makin membangkang. Jika seperti ini terus, bukannya mati terbunuh, ia malah mati serangan jantung karena tingkah sang adik yang suka memancing malaikat maut.
Setelah memaksa Keith untuk berpencar mencari Aruna, ia kembali menyusuri lorong yang mulai sepi. Api obor di sepanjang dinding meliuk-liuk terembus angin dari luar jendela. Aroma amis melintas beberapa kali, menyengat hidung dan membuat keningnya mengernyit. Langkahnya begitu pelan, berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi yang keras. Sebilah pedang tergenggam erat di tangan, sesekali mengintip ke sela pintu yang dilewati untuk melihat keadaan di dalam.
Begitu hening dan sepi.
Di ujung lorong, ada persimpangan yang gelap sebab obor di dinding telah padam. Namun, aroma amis tercium semakin pekat membuatnya paham apa yang akan menanti. Sesekali kilat dari luar menyambar dan masuk melalui ventilasi, memperjelas apa yang dikhawatirkan. Tentu saja, mayat bergelimpangan di sepanjang jalan.
Menyusuri lorong tersebut, langkahnya terhenti di persimpangan lain. Ia merapatkan punggung ke dinding-bersembunyi. Terdengar suara perkelahian bersambut letusan pistol beberapa kali. Dadanya bergemuruh kala mengintip. Ada seseorang di ujung sana, berdiri menyamping menghadap dinding. Cahaya obor memperjelas parasnya dan Dominic dapat mengenali sosok itu-Floyd.
"J-jangan. Ampuni aku!" rengekan lelaki lain mengalihkan perhatiannya. Seseorang tengah terjebak di antara dinding dan Floyd yang berdiri seraya menodongkan pistol.
Tanpa mengatakan apa pun, pria koboi itu menembak beberapa kali. Seolah menikmati kala peluru menghujani tubuh yang sudah tidak bernyawa di bawahnya. Tindakan sia-sia, hanya membuang amunisi, tapi Dominic yakin telah melihat raut kepuasan dari wajah Floyd.
Bentakan menggema, bersambut derap langkah. Masih ada tiga orang yang datang menyerang Floyd secara bersamaan dan mengalihkan perhatiannya. Ini kesempatan, Dominic menyarungkan pedangnya dan beralih mengeluarkan pistol.
Pria berkostum koboi itu berbahaya. Tidak boleh dibiarkan hidup. Dia tidak terpaksa bermain, tapi menikmati permainannya. Jenis orang yang tidak boleh dilepaskan karena pasti akan sangat menyusahkan. Untuk itu Dominic membidiknya.
Tangannya berkeringat, kunci pistol telah dilepas tapi jemarinya terasa kaku saat hendak menekan pelatuk. Bukan karena takut, tapi sadar dengan kemampuan menembak yang buruk. Jika gagal dan meleset, nyawa dan harga dirinya dipertaruhkan secara bersamaan.
Menghela napas berat, tangannya turun perlahan dan menarik diri untuk kembali bersembunyi di balik dinding. Suasana menjadi hening hingga ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri. Suara langkah kaki menggema dan sialnya malah mendekat.
"Kenapa menurunkan senjatamu, Sherlockey? Tidak tega membunuhku?" ejek Floyd. Pria dengan senyum mencurigakan itu berhenti tak jauh dari tempat persembunyian Dominic. Pistolnya terarah ke depan, bersiap untuk melubangi siapa saja yang akan muncul dari balik dinding.
Dominic mendengkus geli dan keluar dengan santai, mereka saling berhadapan di remangnya lorong panjang. "Lihat, ada si peringkat tiga di sini. Apa aku akan menjadi salah satu korbanmu?"
"Hm ... menurutmu?" Floyd menurunkan pistolnya dan berpose seolah sedang berpikir keras. Sudut bibirnya kembali terangkat. "Tapi sepertinya percuma membunuhmu. Toh, kau tidak akan pernah melewati peringkatku!" ujarnya dengan nada meremehkan.
Inilah kenapa Dominic membencinya. Koboi gadungan itu pintar sekali menyentil harga diri seseorang. Pedang kembali terangkat, mengacung pada Floyd yang masih tersenyum pongah di hadapannya. "Begitukah, mari kita lihat!"
Floyd mengangkat kedua tangan-seolah menyerah-raut takut yang dibuat-buat membuatnya terlihat semakin meremehkan lawan. "Wow, Sherlockey seperti samurai sekarang. Aku jadi penasaran, apakah kau lebih hebat dari Ara atau tidak."
"Aku bisa memisahkan kepala dari badanmu dalam waktu singkat jika kau mau."
Sebelah Alis Floyd terangkat. "Terdengar menyenangkan tapi sayangnya aku masih butuh kepala untuk memenangkan permainan." Senyumannya lenyap. Hening sejenak sebelum melanjutkan, "dan mendapatkan semuanya."
"Berhenti berceloteh, cepat selesaikan semua ini karena aku harus mencari seseorang!" sinis Dominic.
"Siapa? Kekasihmu?" godanya, alih-alih mendapat jawaban, sabetan pedang melayang ke arahnya. Suara besi beradu terdengar, Floyd berhasil menahan serangan itu menggunakan badan revolver-nya. "Baiklah, aku diam. Tapi bagaimana kalau sama-sama menggunakan pistol agar adil?"
Lelaki berambut cokelat gelap itu mendengkus, mengambil jarak, lalu menjatuhkan pedang serta pistolnya ke samping. "Tangan kosong kalau berani!"
Floyd tertawa terbahak, lalu berkata, "Inilah kenapa aku menyukaimu, Sherlockey. Setiap tindakanmu sangat menghibur!"
Dominic membuka bibir untuk mengatakan sesuatu tapi urung ketika Floyd berhenti tertawa dan menodongkan pistol ke arahnya.
Dor!
Napasnya sempat berhenti sejenak dengan mata terbeliak. Dominic berjengit ketika seorang lelaki ambruk di belakangnya dengan satu lubang di kepala. Dia kembali menoleh tapi satu bogeman mendarat di wajahnya.
"Sikap naif hanya akan membuatmu mati konyol," ujar Floyd seraya melayangkan satu pukulan lagi tapi ditahan oleh Dominic. "Bayangkan jika lawanmu bukan Moriarty yang berjiwa kesatria ini, pasti kepalamu yang sudah berlubang!"
"Brengsek!" Dominic menendang perutnya hingga Floyd terdorong. Belum sempat berdiri tegak, satu pukulan mendarat di wajahnya.
Floyd meludahkan darah dari bibir yang terluka. Ia masih dapat tersenyum meski harus meringis karena perih. "Boleh juga."
Dominic kembali menyerang seolah tidak mau memberi jeda, tapi pukulannya ditahan oleh Floyd menggunakan kedua tangan yang menekuk ke depan. Ketika ada celah diantara serangan yang membabi buta, Dominic ditendang bagian perut dengan sangat kuat dan tonjokkan bersarang tepat pada wajahnya. Mereka terus melakukan hal yang sama, satu pukulan dibalas pukulan lain hingga akhirnya sama-sama berhenti untuk mengatur napas.
"Sherlock harusnya menyelidiki dalang dari permainan ini, bukannya jadi tukang pukul!" seloroh Floyd lalu terkekeh. "Untung saja Moriarty ini selalu sabar menemanimu."
Dia gila! Dominic memang tidak akan berharap dapat bertemu seseorang yang bisa diajak berpikiran waras untuk menentang permainan ini, tapi tetap saja tidak habis pikir pada orang yang malah menikmati semuanya seperti Floyd. "Tampaknya kau sangat menikmati situasi ini. Jangan-jangan kau dalang dari semuanya."
Pria berjas biru panjang itu terdiam. Berdiri terpaku menatap lawannya, "Bagaimana kau-" dia mundur. Gelagatnya mencurigakan, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak. "Sepertinya kau harus mati."
Dominic mendengkus kala Floyd menutup mulut dengan bahu bergetar-menahan tawa. Lagi-lagi dipermainkan. "Sialan!"
Tawa Floyd kembali meledak. "Sungguh, aku sangat terhibur. Pasti beberapa saat lalu kau merasa menang karena intuisimu ternyata benar!"
Tangannya terkepal, ingin menjejalkan satu bogeman mentah dan mmerontokkan gigi pria sialan yang tertawa di depan sana, tapi sebuah anak panah melesat tepat di samping wajahnya hingga tergores.
Floyd berbalik, lalu melambai ke arah gadis berkuncir yang mendekat, sebuah busur tergenggam di tangannya. "Pantas saja kau lama, ada tikus yang menyusahkan rupanya!"
"Maaf, Ara. Tuan Sherlockey sangat ingin bermain denganku, mana mungkin kuabaikan!" Floyd merengkuh sang gadis dan kembali menghadap Dominic yang masih berdiri terpaku. "Perkenalkan, ini kekasihku Arabella Lievy!"
"Kita harus segera membunuhnya, lalu kembali!" usul gadis itu. Tangannya sudah siap melesatkan anak panah sekali lagi.
"Itu ide yang bagus! Tapi sebaiknya jangan, sayang sekali kalau orang semenarik dia mati terlalu cepat!" Floyd menurunkan busur Arabella perlahan dan menenangkannya. Ia berjalan ke arah samping, memungut dua revolver yang sedari tadi tergeletak di lantai. "Sampai di sini dulu. Tetaplah hidup untukku dan bertemu lagi di babak final, Sherlockey!"
Dominic menahan diri, keadaan tidak menguntungkan jika harus tetap melanjutkan pertarungan mereka. Lagi pula ia tidak boleh lupa kalau prioritas saat ini adalah Aruna.
****
Bunyi tembakan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri, mengalihkan perhatiannya. Dominic bergegas mendekati asal suara, berharap tidak ada Aruna di sana. Namun, karma buruk masih terus berdatangan silih berganti. Tidak jauh di depannya ada seorang wanita sedang mengendap di belakang gadis berjaket kuning yang sangat familier.
Lelaki berambut cokelat dengan kemeja putih yang sudah kotor dan penuh bercak darah itu mengeluarkan pedang, berlari mendekat.
"Aruna ... lari!" Keith yang tercekik tidak jauh dari Aruna menjerit tertahan. Tangannya menggapai, hendak menarik gadis itu dari pisau yang berkilat di belakang sana. Akan tetapi, tubuhnya tidak bisa digerakkan. Baginya, mati bukan hal yang buruk, tapi membayangkan melihat Aruna terbunuh, ada kegelisahan yang menggerogoti hatinya.
"Satu poin untukku!" ujar wanita yang berdiri di belakang Aruna seraya melayangkan sebuah pisau ke arah lehernya. Namun, belum sampai menyentuh sang gadis, pisau itu jatuh dari genggaman.
"Mundur!" seru Dominic.
Aruna terlonjak, segera menyingkir, dan Dominic menekankan pedangnya lebih dalam hingga menembus tubuh wanita itu, lalu mencabutnya dengan kasar. Tidak membuang waktu, Aruna menembak lelaki besar yang sedang mencekik Keith di depan sana, dan berhasil mengenai bahunya.
Pitingan pada leher Keith melonggar, ia menggunakan kesempatan itu untuk menembakkan bius dari pulpen ciptaannya, lelaki itu langsung terjatuh menimpanya. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh besar berotot itu dari tubuhnya. Dominic mendekat dan membantu hingga Keith berhasil bangun seraya terbatuk-batuk.
Aruna terduduk dengan napas legas. Suasana menjadi hening, mereka bertiga terdiam, menyisakan suara napas yang sama-sama berat. Kejadian barusan berlangsung begitu cepat. Semuanya benar-benar berpacu dengan waktu dan ketepatan.
"Jadi, apa lagi sekarang, gadis kecil?" sinis Dominic dengan tatapan tajam. Suasana hatinya sedang sangat buruk dan tubuhnya teramat lelah. "Apa kau seingin itu untuk mati?"
"Dom, aku-"
"Sepertinya hingga saat ini aku masih belum bisa mengerti apa yang kau pikirkan!" Potong Dominic.
Pria 24 tahun itu menancapkan pedang ke tubuh lelaki yang pingsan di samping Keith, membuat Aruna tersentak. Ini pertama kalinya Dominic semarah itu padanya. Bahkan Aruna tidak berani menatap langsung ke mata sang kakak yang sudah berdiri di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan dengan berkeliaran di situasi berbahaya seperti ini? Ikut berburu? Juga ingin menjadi pembunuh?"
Aruna menggenggam erat pistol di tangan, giginya bergemerutuk. "Kita memang diharuskan membunuh, bukan? Bahkan kau-"
Dominic berlutut di depan Aruna, masih dengan tatapan tajam. Sang adik mengangkat wajah, menatap balik ke arahnya. Mereka terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya Aruna bergumam, "Maaf!"
Menarik napas panjang, ia merengkuh sang gadis. "Aku benar-benar akan mengikatmu setelah ini agar tidak berkeliaran sembarangan lagi!"
"Maaf," ulang Aruna dengan nada pelan, tangannya membalas pelukan sang kakak.
Keith mengernyit di belakang mereka. Begitu saja? Pikirnya akan terjadi konflik keluarga setelah ini, tapi kedua kakak-beradik itu berbaikan dengan sendirinya. "Sudah selesai?"
Dominic melepas pelukannya dan membantu Aruna berdiri. Ia mendelik Keith. "Kau berharap kami saling membunuh?"
Keith diam. Toh, ia hanya bertanya, pun tidak berniat ikut campur. "Kalau begitu, sebaiknya kita pergi dari sini!"
"Keith, terima kasih," ucap Aruna pelan seraya mengulurkan tangan.
Dominic mencabut pedang dari tubuh lelaki yang tadi ditumbangkannya. "Sekarang kita harus mencari tempat yang akan menghentikan semua permainan ini. Dan kau!" tunjuknya ke arah Aruna.
"Jangan mulai lagi, aku sudah minta maaf!" tepis Aruna. Ia mengibaskan tangan dan pergi lebih dulu melewati koridor yang sama kacaunya dengan tempat lain di masion tersebut. "Tapi Dom, memangnya semua ini bisa dihentikan?"
Baiklah. Dominic menyerah. Ia akan menganggap sikap Aruna saat ini juga bagian dari rentetan karma buruknya. "Tentu saja. Jika menemukan ruang pengendalinya, permainan ini bisa kita ambil alih!"
"Tidak semudah itu menemukannya, terlalu percaya diri juga bukan hal yang baik!" sela Keith.
Alih-alih tersinggung, Dominic malah berdiri di tengah Keith dan Aruna, lalu merangkul mereka di bahu. Memaksa untuk mendekatkan diri, lalu berkata dengan suara pelan. "Jika ruangan itu tidak ketemu, berarti kita hanya harus mencari dalang yang bisa saja sedang berlenggak-lenggok di sebuah koridor. Tengah menikmati permainan ini!"
"Kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanya Keith.
Keith mengernyit kala Dominic hanya diam, tapi sudut bibirnya terangkat. Tak ubahnya sang adik, kakaknya juga menyebalkan. "Jika memang benar begitu, berarti tak ada yang bisa dipercaya. Termasuk kalian!" ketusnya.
"Tidak masalah jika percaya atau tidak." Aruna melepas rangkulan Dominic dan melanjutkan perjalanan. "Bukankah ini yang diharapkan sang master game?! Membuat semuanya menjadi abu-abu. Saling mencurigai, membunuh, dan akhirnya menyisakan satu orang yang berhasil bertahan dari semua itu."
"Baiklah. Karena kita sama-sama berhutang nyawa, mari saling untuk tidak menikam dari belakang!" usul Keith, ikut melepas rangkulan pria yang lebih tinggi darinya itu, lalu menyusul Aruna.
Dominic adalah orang yang bertahan dengan mengandalkan intuisi. Makanya tanpa ragu ia ikut ke pesta jebakan ini, bukan sekadar karena Aruna berkata akan menghadirinya. Akan tetapi sebab firasatnya tidak pernah salah. Hal mengerikan akan terjadi dan beginilah keadaan mereka sekarang.
Pun tentang dalang yang bisa saja berkeliaran bersama mereka. Kali ini bukan hanya berdasar intuisi, tapi juga keanehan lain. Tempat permainan ini milik Foster dan harusnya mereka menjadi pelaku utama. Jika benar, maka ia masih dapat menganggap semuanya wajar, para tamu hanya ternak yang hendak disembelih. Akan tetapi sang dalang menjadikan pasangan Foster sebagai pertunjukan pertama, seolah menegaskan semua ini bukan ajang pembunuhan masal, tapi lebih dari itu.
Entah apa tujuannya, tapi dari semua yang terjadi Dominic yakin kalau ada yang ikut bersenang-senang bersama semua ini. Sengaja memilih peserta yang terbiasa dengan dunia gelap untuk meminimalisir adanya orang-orang naif yang enggan membunuh. Jelas yang diinginkan adalah kesenangan.
Sekarang, sang dalang pasti merasa telah menjadi Tuhan, menghargai setiap nyawa dalam bentuk poin, lalu mengimingi miliaran Euro, dan menyuruh mereka melakukan ini-itu sesuka hati. Jika Dominic yang menjadi dalang, maka cara terbaik untuk menikmatinya adalah dengan menjadi bunglon, berbaur, kalau bisa ikut memanasi suasana.
Dominic merasa begitu kesal ketika membenarkan pemikirannya tersebut. Itu artinya ia ikut dikendalikan oleh orang lain sebagai hiburan. Pantang sekali baginya untuk tunduk pada orang lain, makanya ia harus bisa membalik keadaan dan menjadi si pemegang kendali, persetan dengan permainan dan segala aturannya, Dominic hanya ingin menghentikan semuanya, menginjak wajah sang dalang, lalu membawa Aruna keluar dari sini.
"Baiklah. Mari saling bekerja sama! Setidaknya ini akan lebih mengerucutkan pencarian!" sahut Dominic, mengikuti di belakang.
Part ini ditulis oleh Serenade33 dalam sudut pandang karakter Dominic Dawson.
______________
Dominic Dawson
Foto Kostum
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro