Bunga Terakhir
Aku bergegas ke kampus lebih pagi dari biasanya. Perasaan senang dan semangat yang mengisi hatiku membuatku tak bisa berhenti tersenyum hingga Umi dan Abi menatapku keheranan.
"Kenapa pagi sekali Ka? Apa kiranya yang membuatmu bahagia seperti ini?" Tanya Abi.
Alasannya simpel. "Ini hari Rabu," jawab Umi yang aku sambut senyuman lebar dan kecupan di pipinya. Dia memang tahu semuanya. Dia wanita terdekatku, pahlawanku, cahayaku. "I love you mom," kataku yang di sambut cubitan Umi di pinggangku. Abi hanya geleng-geleng kepala melihat kami.
"Zaka berangkat ya!" Aku mencium tangan kedua orang tuaku. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatulloh.." Jawab mereka serempak.
Aku menaiki motor pemberian Abi saat aku memasuki kuliah semester satu. Karena aku berhasil lulus dengan nilai terbaik.
"Jangan ngebut Ka, hati-hati." Pesan Umi yang segera kupatuhi lalu akupun melajukan motorku.
Aku memarkir motor di tempat biasa. Lalu berjalan dengan langkah lebar dan cepat menuju kelas. Dalam hati aku berharap bisa menemui gadis itu. Tunggu, sebenarnya aku tidak tahu dia itu gadis atau pria. Tapi tidak mungkin kan jika pria mengirim bunga dan puisi untukku?
Saat sampai di kelas aku tak menemui siapapun disana. Kelas masih kosong bahkan hanya segelintir orang sibuk yang sudah berada di area kampus. Aku mendesah kecewa karena hari inipun aku belum tahu siapa orang yang suka memberi bunga lily putih dan puisi di mejaku. Padahal aku sudah berangkat lebih pagi dari biasanya, apa aku harus datang subuh-subuh? Pikirku jengah. Tidak mungkin.
Ini adalah bulan ke lima di semester keduaku. Selama tiga bulan terakhir aku selalu mendapat bunga dan surat dari orang yang sama dan ini adalah minggu pertama di bulan ke lima. Aku bisa tahu karena orang itu memberiku bunga setiap hari rabu. Dalam sebulan ada empat minggu jadi ini adalah bunga dan surat ke tiga belas yang aku terima.
Aku menghampiri mejaku yang sudah tergeletak bunga lily putih dan sebuah kertas di bawahnya.
Sebuah puisi lagi, aku tersenyum. Aku sangat mengagumi semua puisi yang orang itu tulis untukku. Jelas semua itu adalah puisi karangannya sendiri. Puisi yang berisi pujian untukku ku rasa, tapi ia memujiku karena Tuhan-Nya. Ia sampai menulis bait yang penuh akan sarat makna. Seolah-olah ia memiliki kedekatan yang teramat sangat dengan Sang Pencipta. Puisi yang ia tulis bukan hanya romantisme tapi juga pengagungan pada Dzat yang Maha Indah. Jelas kalau orang yang menulis semua puisi itu adalah orang yang sudah mendalami ilmu tasawuf.
Aku juga pernah belajar tasawuf tapi tidak sampai mendalam seperti ini. Aku bahkan pernah membaca puisinya berulang kali untuk memahami maksudnya. Sebenarnya siapa dirimu?
Aku memasukan bunga dan puisi itu ke dalam tasku. Aku selalu membawa semua puisi darinya dan bunganya aku simpan di rumah menaruhnya ke dalam vas bunga yang aku isi air agar tidak cepat layu.
Ah, aku ingat dia pernah memberiku puisi yang bukan karangannya. Aku tahu itu puisi Cinta yang Agung karangan Khalil Gibran. Saat itu aku tengah patah hati. Heh itu memalukan. Aku menyukai seseorang, namanya Ayasha. Ia juniorku di fakultas dan jurusan yang sama. Aku mengaguminya bukan hanya karena kecantikannya semata tapi karena ketaatannya pada-Nya lah yang membuatku mengaguminya. Ia berbeda dengan perempuan lainnya. Ia seperti membentengi dirinya dari makhluk bernama laki-laki. Membuat aku sedikit minder untuk mengenalnya lebih dekat. Dan saat aku ingin menyampaikan maksud dan perasaanku padanya, aku mengetahui satu hal kalau ia sudah di khitbah.
Kenyataan itu membuatku seperti dihujani paku-paku dengan kecepatan tinggi menusuk-nusuk tubuhku hingga aku tak lagi berdaya. Memang bukan dia yang mengatakannya padaku langsung tapi dari Najwa yang ku ketahui adalah sahabat terdekatnya. Saat itu juga harapanku musnah dan aku mengerti kenapa ia menjauhi semua laki-laki yang mendekatinya. Bukan hanya karena tuntutan agama semata melainkan sebab lainnya yang menuntutnya untuk melakukan hal itu. Besoknya adalah hari rabu dan ia seolah tahu aku yang sedang sedikit terpuruk memberiku puisi itu. Aku masih ingat jelas setiap kalimatnya.
Cinya yang Agung
Adalah ketika kamu menitihkkan air mata dan masih peduli terhadapnya..
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih
menunggunya dengan setia..
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata 'Aku turut berbahagia untukmu'
Apabila cinta tidak berhasil... bebaskan dirimu
Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi
Ingatlah... bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya.. tapi ketika cinta itu mati, kamu tidak perlu mati bersamanya
Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
(Khalil Gibran)
Aku sangat ingin bertemu denganmu gadis lily.
Aku melirik arloji di tanganku. Masih satu jam lagi kelasku akan dimulai. Aku beranjak dari kursi bermaksud untuk berjalan-jalan di sekitar kampus agar tidak terlalu bosan. Aku tidak tahu kenapa tapi kakiku mebawaku ke arah kelas Ayasha. Padahal aku tahu kalau dia pasti belum datang.
Langkahku terhenti saat aku mendengar suara seperti orang tercekik, bukan, bukan, tapi orang yang kehabisan napas. Aku segera berlari mencari asal suara, otakku mengatakan kalau orang itu mungkin terkena asma dan butuh pertolongan. Hingga aku sampai di dekat pilar yang cukup besar untuk menyembunyikan tubuh mungilnya. Dia, wanita itu adalah Ayasha. Aku tertegun untuk sesaat lalu kembali pada kesadaranku, menghampirinya dengan perasaan cemas. Ia sedang kesulitan bernapas, keringat mengucur di wajahnya yang pucat. Ia terlihat sedang.. sekarat.
"Ayasha? Kamu kenapa? Apa yang bisa aku bantu?" Tanyaku panik melihatnya yang terus memegangi dadanya yang sepertinya sesak.
"O..bat." Ucapnya dengan susah payah.
"Dimana?" Tanyaku cepat. Untunglah sepertinya otakku merespon dengan cepat saat darurat.
"Ke..las," ucapnya lagi.
Aku langsung melesat berlari dengan kecepatan penuh dengan perasaan khawatir. Tidak butuh waktu lama hanya melewati beberapa kelas saja. Aku tidak perlu susah mencari mana tas milik Ayasha karena di sana hanya ada satu tas. Aku segera menyambarnya membawanya ke hadapan Ayasha lalu aku mengeluarkan semua isi tasnya.
Ada! Teriakku dalam hati. Segera ku ambil obat itu dan memberikannya padanya. Setelah ia menghirupnya beberapa saat barulah ia tenang dan bernafas dengan normal. Aku terduduk dengan lemas dan perasaan lega. Ya Tuhan tadi aku benar-benar ketakutan.
Rupanya ia membawa air mineral juga. Ku sodorkan air itu padanya dan segera ia meminumnya dengan perlahan.
"Sudah baikan?" Tanyaku.
Ia mengangguk tanpa menatapku. "Ya, terima kasih Kak." Ucapnya pelan.
"Alhamdulillah.." Ucapku penuh syukur dan kelegaan. Aku tidak tahu kalau dia memiliki penyakit asma. Sungguh aku tak bisa membayangkan. Bagaimana kalau tidak ada yang menemukannya tadi? Aku beristigfar menghilangkan pikiran-pikiran negatif itu.
"Maaf aku mengeluarkan semua isi tasmu," ucapku kembali memasukan semua isi tasnya yang tadi berserakan di lantai ke dalam tasnya. Lalu memberikannya padanya.
Ia menerimanya tanpa berkata apa-apa lagi. Kenapa dia jarang sekali berbicara? Rutukku dalam hati.
Aku berinisiatif membantunya berdiri karena sepertinya ia masih lemas. Belum sempat tanganku menyentuhnya sebuah teriakkan mengejutkan kami berdua.
"Apa yang sedang kalian lakukan?!"
Aku menoleh dan mendapati Bu Asri menatap kami dengan geram dan tak percaya. Ya Ilahi.. Apalagi? Pasti ia salah paham.
Aku segera berdiri di ikuti Ayasha. Ia hampir terjatuh jika aku tak menahan kedua bahunya.
Ia menatapku dengan terkejut. Lalu segera berdiri dengan tegak dan akupun melepaskan tanganku.
"M-maaf," ucapku. Sungguh, itu refleks. Dan efeknya benar-benar hebat. Aku merasakan getaran yang hebat saat menyentuhnya tadi. Astagfirulloh.. Zaka!
"Tidak papa. Terima kasih," ucapnya. Lagi-lagi hanya kata itu yang ia ucapkan. Tanpa memandangku. Huh Zaka sadarlah dia akan segera menjadi milik orang lain. Apa yang kamu harapkan?
"Kalian ikut saya ke ruang BK."
Oh aku melupakan makhluk Tuhan di hadapan kami. Kami pun mengikutinya dengan patuh. Di sana kami diinterogasi seolah telah melakukan dosa besar. Ia mengira kami melakukan hal-hal yang tidak-tidak di pagi buta seperti ini. Astagfirulloh niat baik membantu orang lain malah jadi fitnah. Memang tadi posisi dan keadaannya sangat tidak menguntungkan. Aku yang berjongkok di hadapannya yang terduduk. Mencondongkan tubuhku untuk membantunya berdiri. Pastilah orang yang melihat akan salah paham dan berakhir fitnah.
Kami menjelaskan semuanya baik-baik tanpa kecuali. Kakiku sudah pegal berdiri satu jam di hadapannya karena ia tidak mau percaya. Sampai kami berani bersumpah mengatas namakan Allah barulah ia percaya. Syukurlah.. Sungguh yang kami katakan ini adalah kebenaran. Allah Maha Tahu atas segalanya.
Akhirnya kami keluar dari ruangan itu.
"Aku minta maaf.." Ucap Ayasha masih menundukan kepalanya.
"Bukan salahmu. Kembalilah ke kelasmu atau kau ke klinik saja sampai kau merasa lebih baik."
Barulah ia menatapku dan memberikan senyumnya yang menawan. Hatiku berdesir. Takjub dengan keindahan yang ia miliki.
"Aku pamit ke kelas saja. Tidak papa. Sekali lagi terima kasih banyak Kak. Assalamu'alaikum." Ucapnya kemudian berlalu dari hadapanku.
"Wa'alaikumsalam warahmatulloh.." Hatiku mencelos kembali sadar jika pengharapanku sudah tak ada artinya lagi. Kenyataan kalau ia bukan untukku. Kenyataan kalau ia akan menjadi milik orang lain. Senyum dan paras indahnya akan menjadi milik laki-laki beruntung yang memilikinya. Ya Rabbi.. Ikhlaskan hati ini. Tolong jagalah hati ini.
***
Ini adalah hari rabu terakhir di bulan ke lima yang artinya bunga dan surat ke enam belas yang aku terima. Aku tidak sabar untuk membaca puisi darinya. Aku sedikit tertegun karena isinya bukan puisi melainkan sebuah surat.
Bunga terakhir ini aku persembahkan untukmu. Pria yang aku kagumi. Engkau yang selalu memandangku dengan tatapan kagummu. Rasanya aku ingin sekali memandangmu dengan cara yang sama. Tapi setiap aku melihat ke matamu aku selalu ketakukan. Takut jika suatu saat mata itu terluka karenaku. Maafkan aku. Aku mencintaimu karena aku bisa melihat Tuhan dalam dirimu.
Sesaat aku tertegun dengan kalimat itu.
Tapi aku tahu cinta dan pengharapan pada manusia tak ada yang abadi. Hanya akan melahirkan kekecewaan.
Ya, seperti halnya pengharapanku padanya.
Untuk itu aku lebih memilih mendekatkan diriku padaNya, mengharapkan cintaNya. Karena semua cinta bermuara padaNya. Dan aku percaya ketika Zulaikha yang mencari cinta Yusuf. Allah jauhkan Yusuf darinya. Tapi ketika Zulaikha mencari cinta Allah, Ia dekatkan Yusuf padanya. Saat cinta untuk Dia hadir, maka ia akan hadirkan cinta lain untukku. Tapi nyatanya aku tidak bisa memberikan cintaku pada selainNya. Karena hidupku berdurasi. Ku persembahkan bunga terakhir ini untukmu. Terima kasih telah memberikan cinta itu untukku tapi aku tak pantas menerima cintamu. Semoga engkau berbahagia selalu. Jika kita berjodoh semoga Allah mempersatukan kita di syurga-Nya.
Dan aku terkejut saat melihat nama yang tertera di bawahnya.
Ayasha Maharani.
Seketika hatiku berdebar-debar tak karuan. Terlalu sulit untuk kupahami. Semuanya terlalu mengejutkan. Jadi, semua bunga dan puisi itu? Lalu saat ia melukai hatiku ia pula yang memberikan obat untuku. Dan ini tentang perasaannya terhadapku. Aku sungguh tak mengerti. Bukankah ia sudah di khitbah? Bukankah ia..
Ya Rabbi.. Aku mengusap wajahku sedikit frustasi. Aku harus mencari kebenaran.
Aku bangkit menuju kelasnya yang sudah tampak ramai. Tapi aku tak menemukannya. Seisi kelas mulai kasak-kusuk melihat kedatanganku.
Lalu Najwa menghampiriku. "Kak Zaka ada apa kesini?" Tanyanya lembut.
"Aku mencari Aya."
"Hari ini ia tidak masuk. Ia sedang sakit."
Aku mengerutkan kening. Lalu bagimana caranya surat dan bunga itu sampai di mejaku?
"Aku yang menaruhnya. Atas permintaannya." Ucapnya seolah tahu apa yang aku pikirkan.
"Kamu pasti tahu semuanya kan Wa? Tolong jelaskan semuanya. Apa maksud semua ini? Bukankah dia sudah memiliki orang lain?" Desakku. Jujur aku merasa di permainkan saat ini.
Ia menunduk. Wajahnya terlihat begitu sedih. Lalu ia menghela nafas berat.
"Aku minta maaf. Soal ia telah di khitbah itu, itu kebohongan. Ia yang menyuruhku," tuturnya membuatku terbelalak sempurna. Kebohongan? Semudah itu? Lalu mempermainkan perasaanku? Aku menutup mata menahan emosi yang bergejolak di hati.
"Maaf. Ia punya alasan melakukannya. Tapi yang aku tahu ia sangat menyukai Kakak."
Aku menatapnya. Tidak ada kebohongan di sana. "Lalu? Apa alasan dia melakukan semua ini?"
"Aku tidak bisa mengatakannya. Jika Kakak ingin tahu temui saja dia di rumahnya. Sudah beberapa hari dia tidak masuk."
"Apa asmanya kambuh?" Tanyaku dan Najwa menatapku dengan terkejut. Aku kebingungan. "Kenapa?" Tanyaku.
"Kakak tahu dari mana?" Tanya nya masih terliat kaget.
"Waktu itu Kakak..." Aku tak melanjutkan ucapanku. Karena menyadari satu hal. Seketika jantungku berdetak ketakutan.
"Apa.. ini alasannya?" Tanyaku ragu dan sayangnya itu benar. Najwa mengangguk lesu. Sekali lagi aku menutup mata dan beristigfar dalam hati.
"Seberapa parah sakitnya?" tanyaku takut-takut.
Najwa menunduk, ku lihat dia mengusap pipinya. Dia menangis. Ya Allah..
"Terima kasih Wa. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ucapku berlalu dari hadapannya.
Kepalaku pening sekali. Semuanya terlalu mengejutkan dan tiba-tiba.
Aku pulang dengan wajah lesu. Memikirkan semua yang terjadi. Konyol. Pikirku.
Aya, bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia baik-baik saja? Haruskah aku menemuinya? Setelah semua ini?
Aku membuang napas kasar. Lalu beristigfar. Mungkin nanti.
Beberapa hari berlalu, aku belum menemuinya, mendengar kabarnya pun tidak. Jika kalian bertanya apa aku masih menyukainya, maka jawabanku adalah Ya. Aku hanya merasa aku dipermainkan olehnya.
Umi sepertinya melihat kegundahanku, wanita selalu peka. Ya kan? Awalnya aku hanya menggeleng saat Umi bertanya apa yang terjadi padaku, tapi pada akhirnya aku menceritakan semuanya.
"Aku harus bagaimana Mi?"
Umi tersenyum lembut padaku. "Kamu menyukainya Kak?" tanyanya dan aku mengangguk.
"Apa dia halal untukmu bahkan hanya dalam pikiranmu?" tanyanya lagi membuatku tertegun dan menggeleng lemah.
"Tapi aku menyukainya, Mi. Sangat.."
Umi menggenggam tanganku. "Temui dia, temui keluarganya." Ucapnya menatapku dengan mata lembutnya.
Aku terdiam untuk beberapa saat sebelum memberikan senyuman terbaikku untuk wanita paling berharga bagiku.
"Terima kasih Mi," ucapku mengecup keningnya singkat lalu beranjak, pergi untuk menemuinya.
Aku melajukan motorku menuju kediamannya. Saat sampai, di rumahnya ada begitu banyak orang. Dan aku melihat sebuah bendera lambang kematian. Bendera kuning.
Jantungku berdebar-debar ketakutan. Tidak mungkin. Mungkin saja orang lain. Ya, orang lain.
Aku berjalan perlahan, orang-orang sedang mengaji mengelilingi jenazah di tengah-tengah mereka. Ku lihat beberapa orang menangis, mungkin keluarganya. Mataku kembali menelisik dan mendapati seseorang yang ku kenal. Najwa. Dia ada di sini.
"Maaf," kataku pada seseorang. Ia menoleh menatapku heran.
"Apa ini rumah Ayasha? Apa di sini ada yang meninggal?"
Orang itu terdiam menatapku. Aku kebingungan. Apa ada yang salah denganku.
"Kak Zaka," aku menoleh dan mendapati Bahwa di belakangku.
"Wa, siapa yang meninggal? Aya dimana?" tanyaku mulai tak tenang.
Najwa malah menangis sesegukan dan itu membuatku frustasi. "Wa.." ucapku hampir putus asa.
"Aya, dia.. Sudah kembali kepadaNya. Dia.. Sudah pergi Kak.." ucapnya dengan nada bergetar dan tangis yang tak bisa ditahannya.
Aku menggeleng pelan dan kurasakan sesak di dadaku. "Gak mungkin Wa.. Kamu bercanda kan?"
Sayangnya dia menggeleng, lututku lemas seketika. Aku mengusap wajahku, menahan air mataku supaya tidak tumpah. Ya Allah.. Apa ini?
"Dia sempat menanyakan kabar Kakak sebelumnya padaku."
Sesuatu menghantam dadaku dengan telak. Kenapa aku tidak datang lebih awal?
"Dia bilang, dia sangat mengagumi Kakak, ia bahkan tak berani menatap Kakak, apalagi berbicara dengan Kakak, karena ia selalu gugup dan kehilangan kata-kata. Ia bilang ia ingin sekali melihat Kakak untuk yang terakhir kalinya." Ucap Najwa dengan suara tercekat.
Perlahan air mataku jatuh. Pertahananku roboh. Bodoh sekali kamu Kak, bodoh. Astagfirulloh..
Aku berjalan untuk kembali melihat jenazahnya, Aya.. Secepat inikah kau pergi? Tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal? Tanpa memberiku kesempatan untuk mengatakan perasaanku.
Aku mencintaimu, karena Allah. Aku mencintaimu. Maafkan aku, harusnya aku datang secepat aku bisa. Maafkan aku, Aya.. Semoga Engkau tenang di sisi-Nya.
Aku berbalik, lebih memilih untuk pergi. Rasanya dunia berhenti berputar dan hanya ada aku dalam kesedihanku. Aku menyesal atas tindakanku sendiri. Aku mengingat saat menemukannya kesulitan bernapas di pojok. Kenapa tak pernah terpikir olehku kalau dia yang sering memberiku puisi?
Aku menghela napas panjang. Aya.. Andai saja aku tahu semuanya lebih awal. Tidak, andai saja saat itu aku langsung menemuimu.
Aku membeli bunga lily putih, lalu menghadiri pemakamannya, sampai semua orang pergi. Aku berjongkok di sampingnya. Menaruh bunga dan memanjatkan do'a.
Mengingat kembali semua pertemuan kikuk setiap kali berjumpa dengannya. Aku tersenyum. Allah lebih sayang padamu, jadi ia memanggilmu terlebih dahulu.
Selamat tinggal bunga lilyku, syurga tekah menantimu. Semoga kau bisa tidur dalam tenang selama penantianmu. Terima kasih untuk cinta yang tekah kau beri untukku. Dan maaf karena aku terlalu pengecut. Sampai bertemu di syurga.
***
Fin.
21 Agustus 2016.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro