Kerja Sama Pacar
"Aduh... Perutku sakit. Sepertinya aku terkena diare," keluhku pada ayah yang sedang berusaha membujukku untuk ikut kegiatan kerja bakti membersihkan selokan di lingkungan perumahan. Ayahku adalah ketua RT setempat, sehingga dialah yang bertanggung jawab atas lingkungan dan warga sekitar. "Ya sudah, istirahatlah. Ayah pergi dulu."
Aku pun tersenyum senang melihat rencanaku berhasil. Sebenarnya aku sama sekali tidak sakit. Aku hanya malas mengikuti kegiatan itu. Apalagi saat ini adalah hari libur semester. Saat di mana seharusnya aku pergi bersenang-senang. Aku pun mengambil smartphone baruku—yang baru kubeli minggu lalu dari sebuah toko online—lalu menelepon Andien, kekasihku.
"Halo, Raka." sahut suara lembut di seberang sana.
"Sorry agak telat. Aku kesana sebentar lagi ya."
"Oke, No problem."
Aku pun mematikan telepon dan bergegas mandi. Kupilih baju terbaikku dan kusemprotkan sedikit parfum untuk mendongkrak rasa percaya diriku. Hari itu aku sudah berjanji untuk mengajak pacarku pergi ke mall karena kedua orangtuanya sedang pergi. Sekarang aku sudah siap. Aku pun mengendap keluar dari kamar untuk memastikan ayahku sudah tak ada di rumah.
Aku keluar lewat pintu belakang, lalu bergegas pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ketika sudah merasa aman, aku pun memanggil ojek online lewat smartphoneku. Sembari menunggu, aku mengirimkan chat untuk ayahku. "Perutku sudah sembuh. Aku pergi ke rumah Andien." Aku tahu ayahku bukan tipe pemarah. Meski mungkin merasa dongkol, aku yakin dia tak akan terlalu peduli dengan kepergianku. Tak lama kemudian, seorang bapak berjaket hijau pun menghampiriku. "Mas Raka?" tanyanya seraya membaca nama yang tertera di smartphonenya.
"Ya pak," jawabku sambil melompat ke atas motornya. Kukenakan helm hijau pemberiannya lalu aku mempertegas lagi tujuanku, "ke Gading ya pak." Bapak itu menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
Saat itu cuaca mulai mendung. Awan gelap tampak menggelayut di langit Jakarta. Semoga aku tiba di tujuan sebelum hujan turun, batinku.
Setengah jam kemudian, aku pun tiba di rumah Andien—saat itu cuaca gerimis. Setelah menyerahkan helm hijau yang tadi kupakai, aku bergegas menekan bel pintu rumah Andien. Cepatlah, hujan akan segera turun, gumamku tak sabar menanti Andien membukakan pintu. Sementara itu, hujan turun semakin deras.
Karena Andien tak kunjung keluar dari rumahnya, kupencet bel itu sekali lagi. Beberapa saat kemudian barulah gadis itu keluar. "Maaf, aku sedang di kamar mandi tadi," ujarnya seraya membukakan pintu pagar rumahnya.
Kejengkelanku karena harus menunggu di tengah hujan mendadak sirna ketika kupandang wajahnya yang begitu manis. Rambut hitam lurusnya yang panjang membingkai pipinya yang sedikit chubby. Lesung pipit dan gigi depannya yang gingsul menambah pesonanya sehingga membuatku betah menatapnya berlama-lama.
"Yuk masuk..." ujar Andien seraya memayungiku. Meski sudah terlambat—karena tubuhku terlanjur basah kuyup, namun aku sama sekali tidak keberatan. Perhatian kecilnya terasa menghangatkan tubuhku dari dalam hati.
Setibanya aku di dalam rumahnya yang cukup besar, Andien bergegas mengambilkan baju ganti beserta handuk berwarna pink dan bergambar pikachu. "Keringkan dulu tubuhmu di kamar mandi," ujarnya. Aku pun menurut saja. Usai mengenakan baju dan celana Andien yang sudah kebesaran karena terlalu sering dicuci, aku pun keluar dari kamar mandi.
"Di luar hujan deras, kurasa kita tak akan bisa pergi," ujar Andien sambil melihat keluar jendela.
"Yah, aku setuju. Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Kita nonton film saja. Aku berlangganan video streaming." Sahut Andien. Ia pun menyalakan TV lalu menunjukkan berbagai macam genre video yang tersedia. Layanannya cukup lengkap. Berbagai macam genre mulai dari drama, action, horror, komedi, hingga kartun ada di situ.
Sementara ia sibuk mencari video yang hendak ditonton, aku menyadari smartphoneku mulai kehabisan baterai. "Apakah aku bisa meminjam charger?" tanyaku pada Andien.
"Ambil saja di sana. Pakai stop kontak di bawah dispenser." Andien memberikan petunjuk sambil terus menatap layar kaca di hadapannya. Aku pun menurut saja apa katanya. Setelah charger tersambung, aku meletakkan smartphone baruku di lantai karena letak stop kontaknya memang rendah.
"Apa yang kau suka?" tanyanya sambil terus memencet-mencet remote TV nya.
"Hmm... bagaimana kalau horror?" tanyaku. Dalam hati aku berharap ia akan memelukku ketika ketakutan nanti.
"Dasar! Kau ingin aku memelukmu ketika ketakutan yaa?" goda Andien nakal namun jitu—membuatku terdiam.
"Baiklah kalau begitu ini saja. Yang sekarang lagi tren." Andien pun menekan tombol play pada sebuah gambar boneka menyeramkan berjudul Annabelle. Musik latar yang agak menyeramkan pun terdengar tak lama kemudian.
"Ayo... Filmnya uda mau mulai nih." Andien memanggilku dari sofa. Aku pun melesat duduk di sebelah gadis pujaanku itu.
"Eh, ambilkan kacang di meja makan donk." Belum sedetik aku duduk, Andien sudah memintaku berdiri lagi. Meski agak kesal, aku tetap mengikuti permintaannya. Aku memang sudah paham dengan sifatnya yang suka tiba-tiba berubah pikiran alias plin plan.
"Nih..." ujarku seraya memberikan sekantong kacang kulit padanya.
"Ih, jangan kasar-kasar napa?" sahut Andien sambil sedikit manyun, membuatku semakin terperangkap dalam pesonanya.
Sambil mengunyah kacang, kami pun mulai menonton film itu. Adegan demi adegan mengagetkan dan menyeramkan berhasil membuat Andien berteriak lalu menyembunyikan wajahnya di balik bantal hatinya sambil memeluk lenganku. Atmosfir benar-benar terasa mencekam ketika tiba-tiba petir menggelegar. Andien bahkan terkejut hingga bantalnya terlempar dari dekapan.
"Udah... hantunya uda pergi." Aku berusaha menipunya, tapi dia sama sekali tidak percaya. Ia masih menyembunyikan wajahnya di balik bahuku sambil sesekali mengintip. Ketika adegan menyeramkan itu benar-benar usai, barulah ia berani tegak kembali—dan tak lupa mengambil kacangnya lagi.
Ketika film mencapai klimaksnya, mendadak listrik padam. Andien pun menjerit sekali lagi, membuatku telingaku sedikit berdengung. "Duh... teriak-teriak mulu sih," protesku.
"Ih siapa suruh nonton film horror," balas Andien tak terima.
"Duh, listrik mati sementara di luar hujan deras. Bisa mati gaya nih. Ngapain donk enaknya?" tanyaku sedikit memancing.
"Ih... dasar otak ngeres!" Andien memukul lenganku.
"Aduuh..." Aku pura-pura kesakitan namun upayaku sama sekali gagal. Andien malah memukuliku semakin keras. "Eh, aku kan ga bilang apa-apa," protesku kemudian.
"Iyaya... Berarti aku dong yang ngeres?" Andien bertanya pada dirinya sendiri. Hal itu berhasil membuatnya berhenti memukuliku.
"Kita bikin mie instan aja yuk," usulku. Perutku yang sudah kosong mulai meronta minta diisi. Namun melihat kondisi cuaca, sepertinya kami tak mungkin pergi keluar. Memesan online pun sepertinya tidak mungkin.
"Yuk... yuk... Aku juga lapar." Andien menyambut baik usulku. Kami pun beranjak dari sofa hendak pergi ke dapur. Namun ketika melangkah turun—ruang keluarga Andien memang satu trap lebih tinggi dari ruang lainnya—telapak kaki kami terasa basah.
"Hah?! Kok basah?" Andien terkejut. Air tampak menggenangi rumahnya setinggi satu centimeter.
"Waduh... Apa banjir ya?" sahutku setelah mengamati situasi. Aku pun berjalan mendekati jendela untuk melihat situasi di luar. Hujan sudah reda, namun jalanan di depan rumah Andien kini tak nampak lagi—tergantikan oleh genangan air bak sungai.
"Oh tidak..." Air muka Andien seketika berubah. Ia jelas merasa khawatir karena kini kami terjebak di dalam rumah. "Di sini memang sering banjir namun tak pernah sampai masuk ke dalam rumah. Dan biasanya cepat surut. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Andien berbicara cepat sementara aku masih mengamati kondisi di luar rumah.
"Kurasa kita harus menelepon seseorang untuk mencari bantuan. Mungkin ada tetangga yang kau kenal?" Sambil berbicara, aku tiba-tiba teringat bahwa ponselku tadi kuletakkan di lantai. "Mampus deh." Aku pun melesat menuju lokasi di mana ponselku tergeletak terendam air. Dan kekhawatiranku terbukti, layar benda pipih itu sudah padam dan berapa kalipun aku mencoba menyalakannya, ia tak bereaksi. "Yah... rusak deh," ratapku.
"Duh... Padahal baru beli ya," sahut Andien.
"Sial banget sih hari ini." Merasa tak berdaya, aku hanya bisa mengeluh. Kini hanya ponsel Andien yang masih bisa digunakan untuk berkomunikasi mencari bantuan. Andien pun mengambil ponselnya dan menelepon pak Broto, ketua RT setempat.
"Halo Pak Broto, ini Andien putrinya Pak Andri. Kompleks banjir nih Pak. Tolongin dong."
"Iya nih. Tapi biasanya cepat surut kok. Apalagi hujan udah berhenti. Coba ditunggu dulu saja ya. Kalau dalam satu jam belum surut, aku akan menelepon pusat penanggulangan bencana," sahut Pak Broto dari seberang.
"Ooh... ya udah, baik. Makasih Pak." Andien pun menutup teleponnya lalu berkata padaku, "Pak Broto bilang disuru tunggu dulu sejam."
"Hmm... Gitu ya. Ya udah yuk kita bikin mi instan dulu aja." Aku sadar kembali akan kondisi perutku yang masih meronta-ronta. Kami pun melesat ke dapur dan memasak tiga bungkus mi instan, dua untukku dan satu untuk Andien.
"Duh, kenapa ya mi instan ini enak banget?" tanyaku sedikit absurd sambil menjejalkannya ke dalam mulut.
"Soalnya kamu makannya bareng aku," jawab Andien sambil nyengir.
"Iih... bisa aja deh." Aku berusaha menoel pipi chubby-nya, namun ia berhasil menghindar. Setelah kenyang, kami memutuskan untuk pergi ke lantai dua yang lebih kering dan menghabiskan waktu di sana sambil bermain game di tablet milik Andien.
Tanpa terasa, waktu satu jam sudah berlalu. Aku dan Andien pun menengok ke bawah untuk melihat situasi. Genangan air di rumah Andien sudah surut namun menyisakan kotoran.
"Bantuin bersihin yuk?" pinta Andien padaku dengan ekspresi wajah yang membuatku tak sanggup menolak.
Siang itu aku bertugas mengepel lantai sementara Andien mengelap perabotan yang basah menggunakan kanebo. Sebelum mulai, aku sempat melongok ke jendela untuk mengecek kondisi di luar. "Airnya sudah mulai surut. Mungkin satu jam lagi sudah kering," kataku pada Andien yang masih sibuk mengelap bagian bawah lemari.
"Bagus deh," sahut Andien tanpa meninggalkan pekerjaannya. Siang itu kami pun melakukan kerja bakti membersihkan rumah Andien. Mungkin ini karmaku karena menolak ajakan ayah tadi pagi. Pikirku sambil nyengir sendiri.
Setelah semua sudut sudah dibersihkan, kami pun mandi untuk meyegarkan tubuh. Aku di kamar mandi bawah sementara Andien di atas. Selesai mandi, aku merasa amat segar. Aku hendak mengambil air minum ketika kudengar bel pintu berbunyi.
"Tolong bukain dulu dong!" teriak Andien dari lantai atas.
Aku pun bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang. Di luar banjir sudah surut sehingga jalanan sudah terlihat lagi, namun penuh kotoran.
"Selamat siang, cari siapa ya?" tanyaku.
"Non Andien ada? Saya Pak Broto." Jawab pria paruh baya itu.
"Ada Pak. Ada perlu apa ya?" sahutku.
"Ini kan banjir sudah surut. Ternyata banyak sampah di selokan yang bikin air tadi cepat naik. Ini saya mau mengajak warga bersih-bersih bareng soalnya kan sekarang musim hujan, takutnya nanti malam kalau hujan deras lagi, bakalan banjir besar."
Sial, ternyata karma ayahku belum berakhir. Batinku. "Baik Pak kalau begitu saya sampaikan Andien dulu ya. Nanti kami keluar."
"Ya, aku akan mengajak warga lainnya juga." Pak Broto pun berlalu mengetuk rumah warga satu per satu.
Siang itu aku dan Andien pun ikut dalam kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan. Selain perlengkapan yang disediakan oleh Pak RT, para warga semua ikut membawa apa saja yang mereka punya. Ada yang membawa ekrak, sapu lidi, tong sampah besar hingga cangkul.
Aku ikut membantu mencangkul kotoran dari selokan sementara Andien menyapu jalanan menggunakan sapu lidi. Ternyata kegiatan kerja bakti cukup seru. Apalagi kalau ditemani kekasih. Hehehe...
Aku pun berjanji dalam hati tak akan menolak ajakan ayahku untuk ikut kerja bakti lagi. Aku sudah mendapatkan pelajaranku hari itu. Sekali aku menolak, aku harus kehilangan hp baru ditambah bekerja dua kali. Kapok dah gua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro