Yang Paling Mahal dari Santri Itu ....
Jadi gini ... aku lagi pusing nyusun ulang plot di SFTS dan stuck di Tentang Januari, sedangkan aku lagi pengen banget nulis. Jadi, ya ... main ke sini, deh! Enjoy~
-----
Kalau ngomongin tentang santri itu susah nemu ujungnya. Benar atau betul? Atau benul—benar dan betul? Ada aja yang mau diceritain. Dari tingkah-tingkah absurd yang mengocok perut, peristiwa besar yang mengorbankan banyak hal, hobi aneh, bermacam tipe di setiap situasi, kisah cinta terhalang tembok, dan lain-lain.
Beberapa orang masih menganggap jadi santri itu membosankan. Tinggal di tempat tertutup, kalau perlu dikelilingi hutan belantara. Jangankan mau update feeds Instagram yang estetik, pegang ponsel aja cuma boleh HP Nokia dan Samsung tahan banting. Itu loh, yang bentuknya sekecil korek api—lebih panjang dikit, lah. Kalian punya, ngga?
Aku pernah dengar, ada yang bilang kalau santri itu katro, kampungan, ngga moderen, ngga bisa bersaing di dunia akademis. Etdah, tapi yang ngomong malah sukanya mantengin akun Lambe Turah, ngikutin berita artis yang saling unfollow sampai ngorek-ngorek permasalahan rumah tangga selebritas. Kurang waras emang.
Nyatanya, banyak hal indah yang cuma bisa dipahami oleh santri itu sendiri. Ya, wajar aja orang-orang nggak paham. Yang mahal dari santri itu:
Hobi absurd. Ngelihatin biawak kayak ngeliatin Atta-Aurel nikahan, heboh banget. Belum lagi yang seneng kejar itu biawak sampai hilang di gorong-gorong. Emang kadang santri segabut itu, tapi itu betul-betul membahagiakan, kok. Ngejar biawak bisa bikin mood buruk jadi raib. Apalagi kalau biawaknya bullyable, gendut, dan kalau lari suka bingung mau ke mana. Auto dah jadi incaran santri untuk di-bully. Bahkan santri putra isengnya bisa kelewatan sama ini hewan. Dari dijadiin sasaran panah sampai disalib di pohon karena berani-beraninya ngambilin camilan yang cuma seuprit itu.
Hobi absurd selanjutnya adalah konsumsi buah-buahan mentah. Makanin kedondong muda, telan mangga yang masih putih isinya, ngambil jambu yang masih kelat, sampai petik kelengkeng yang dagingnya masih setipis kertas. Buah-buah itu terenggut nyawanya sebelum sempat puber. Yang bikin mahal, santri ngga akan seegois itu untuk melakukan hal tersebut sendirian. Petik bareng, makan bareng, bikin asinan bareng, ngotorin rumah bareng, tapi yang nyuci dan bersihin tempat adalah orang-orang yang terlatih menjadi mamah muda.
Bayangin aja, makanan yang ngga enak itu bisa habis dalam waktu beberapa menit aja. Itu mahal banget. Ngga cuma sampai di situ aja. Santri paling bisa makan sepiring bersepuluh, walau cuma nasi pakai ikan sambel dan sayur asem. Di saat orang-orang makan makanan mahal dan mevah, santri udah bahagia dengan ngumpulin buah-buahan yang baru brojol. Dimakan bareng pula. Bahkan saking berjiwa sosialita, santri ikut nawarin ustazah untuk makan bareng.
Yang mahal dari santri berikutnya adalah habbit-nya. Bangun subuh-subuh, jalan ke musala dengan mata yang masih setengah watt ditambah jalanan tanpa banyak penerangan. Syukur nggak ketabrak pohon, asal ngga nabrak mereka aja udah merupakan rahmat besar. Salat sambil ngangguk-ngangguk, ada yang nggak bangkit dari sujud lagi karena jiwanya nyaman mendekat pada Tuhan hingga matanya tertutup dan rebah tiba-tiba. Salat Zuhur di musala setelah letih-letihnya belajar rumus trigonometri. Salat Asar habis pulang panas-panasan pramuka, pusing-pusingan les serta bimbel, dan ngantuk-ngantukan setelah bangun tidur siang. Salat Magrib, halaqah, salat isya sambil ketar-ketir nungguin pengumuman mahkamah.
Yang paling mahal adalah peristiwa mengimami dan diimami. Loh, cewek bisa jadi imam? Bisa dong, asalkan makmumnya juga cewek, bukan pria apalagi waria. Diimami? Sama cewek juga sih seringnya, jarang diimami sama cowok. Merana banget, nggak, tuh? Tapi santriwati seringnya lebih suka diimami sesama santriwati, soalnya kalau imamnya santri putra atau asatiz, bacaannya lama dan panjang.
Yang mahal itu adalah ketika kamu yang baru datang tiba-tiba ditunjuk buat imamin salat. Dengan cengo dan mengandalkan hafalan yang disetor semalam karena belum sempat murajaah, imamin jamaah yang masih ngantuk-ngantuk. Yang lebih mahal dari itu, ketika imam baca surah pertengahan juz Al-Qur'an dan tiba-tiba lupa, ada aja yang ingatin. Entah dari saf depan, tengah, belakang, kanan, kiri, ujung, sudut, di mana aja. Itu tuh rasanya kayak ... wah, ahlul qur'an ada banyak di sini. Mengimami keluarga-keluarga Allah itu rasanya amazing. Mahal banget.
Rindu! Rindu diimami, mengimami, lupa bacaan saat mengimami, mengingatkan imam yang lupa bacaan. Aih, andai bisa diulang ... tapi kalau diulang-ulang melulu, kapan nemu imam benerannya? Maksudnya, ekhem, imam lima waktu yang nggak berubah-ubah. Imam, lah, pokoknya!
Selanjutnya, ilmu. Ini mahal banget. Bukan hanya ilmu-ilmu yang tertulis di atas kitab atau uraian penjelasan dari lisan para asatiz/ah aja, tapi lebih dari itu. Ilmu tentang kehidupan, diajarkan lapang dada menerima perbedaan, diarahkan selektif memilih berbagai hal, dekat dengan ahli ilmu, belajar untuk tidak mudah berpuas diri, dibawa keliling dunia melalui tayangan dan kisah inspiratif, dan dibimbing membuka wawasan lebih lebar.
Jadi, nggak ada ceritanya kalau santri itu rasis, sekuler, dan fanatik buta. Islam universal, tidak perlu taqlid buta—orang-orang sering salah di sini. Kalaupun ada yang seperti itu, percayalah letak kesalahannya ada di diri masing-masing.
Selain itu, antar santriwati dan ustazah, juga santriwan dan ustaz sangat dekat. Nggak ada gap yang menghalangi untuk saling tegur sapa, sharing, bahkan membicarakan rencana masa depan—cita-cita maksudku. Mahal? Mahal, dong. 24 jam siap sedia, mau datang untuk konsultasi, silakan. Mau datang untuk sharing, mangga. Mau datang untuk ngadu? Boleh. Mau datang untuk minjam buku? Gas, lah, masa enggak.
Terus, yang mahal dari santri adalah pengalamannya. Santri itu punya prinsip dipaksa, terpaksa, terbiasa, bisa, luar biasa. Nah, dididiknya juga lewat pengalaman. Pengalaman ditinggal orang tua pas lagi sayang-sayangnya. Keluar istana masuk penjara, dibangunin pakai sayang diganti jadi dibangunin pakai air, dimasakin makanan bergizi pas di rumah, dimasakin pakai emosi pas di pesantren, dsb. Ada juga disatuin dalam satu rumah bahkan kamar sama orang yang nggak disukai, berantem sampai nangis, marahan tiga hari, surat-suratan, trus minta maaf karena diaduin ke ustazah.
Pengalaman ngibulin OSIS sampai frustrasi jadi pengurus OSIS. Pengalaman rawat teman sakit sampai dirawat saat sakit. Pengalaman nguatin teman pas lagi down sampai dikuatkan mereka saat berderai air mata. Pengalaman dihukum bareng, salat bareng, telat makan bareng, magh bareng, cacar bareng, nangis bareng, lulus bareng, dan semua yang bareng-bareng.
Pengalaman dipecut demi salat jamaah, ditekan untuk terus menjaga aurat, dipantau untuk senantiasa berbahasa—maklum, santri kadang suka iseng ngomong bahasa daerah padahal yang diwajibin bahasa Arab dan Inggris—disiram air kolam karena nggak jamaah, nyapu jalan karena ngalor-ngidul ke pasar tanpa izin, bersihin parit karena pulang tanpa bilang-bilang, ngelaksanain hukuman sampai nangis sebab masuk mahkamah, dan lain-lain.
Pengalaman ini tentu nggak sekeren pengalaman teman-teman yang first date-nya ditemani candle light. Nggak sereceh gombalan PDKTers yang niru-niru gaya Dilan. Nggak semenyenangkan nongkrong bareng di kafe baru. Nggak seasik nge-mall dan cari spot foto yang bagus buat feeds Instagram, tapi pengalaman ini mahal untuk dimiliki. Bersama-sama jalan ke surga dan ngerasain pahit getirnya itu mahal, loh.
Dan yang paling mahal di antara itu semua adalah ukhuwah. Ya, hubungan tak terlihat ini kuatnya bisa melebihi tali tambang yang dipakai buat lomba tujuh belasan. Santri itu punya hobi bilang gini, "Maafin aku, ya. Kalau nanti kamu masuk surga, cari aku. Kalau nggak nemu aku, tarik aku dari neraka. Bilang sama Allah kita pernah salat bareng, setoran bareng, belajar bareng." Dan kalimat ini ampuh untuk melembutkan hati yang penuh uneg-uneg tak menyenangkan.
Kalau diperhatikan, kalimat itu deep banget dan selama dua tahun lulus dari pesantren aku belum pernah dengar kalimat ini keluar dari mulut teman-temanku di kampus. Padahal sederhana ngucapinnya, tapi maknanya itu dalam. Bikin pengen gandengan terus sampai ke dalam kubur biar ngga kepisah pas Yaumul Hisab nanti. Saat dengar dan ngucapin kalimat itu, rasanya lupa dunia dan seisinya. Inget mati terus, takut kecebur ke neraka.
Salah satu ustazahku di pondok pernah bilang begini:
(Tulisanku jelek, jangan diliatin lama-lama. Udah gitu kamera buluk banget. Kentang, kentang.)
Itu aku tulis pas ada kejadian besar yang nyaris memecah belah kami saat itu lantaran kesalahpahaman dan emosi yang memuncak. Di tahun keenam aku di pesantren, baru kali itu aku merasakan huru-hara yang parah banget—kapan-kapan kuceritain, deh. Saat-saat itu pula kami belajar banyak hal. Tentang ukhuwah, hakikat manusia yang selalu salah, hubungan persahabatan mendekati persaudaraan yang mudah hancur hanya karena merasa lebih benar, dan tentang surga.
Surga, yang dulu selalu kami tekadkan untuk dicapai bersama. Dengan air mata dan keringat. Baru saat itu aku benar-benar sadar, bahwa ukhuwah adalah ikatan termahal di dunia. Ada cinta, kasih sayang, kepedulian, kekeluargaan, persahabatan, dan kedewasaan. Sungguh, aku merindukan itu semua.
Santri itu berkelas, kok. Mereka mahal, tapi ketutupan aja. Ya, maklum. Nggak ada harta karun yang terletak di permukaan, kan?
Sip, ada yang mau nambahin? Silakan komen~
Sekian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro