Kontroversi Nama dan Saudara Kembar
Warning! Area bahasa non baku starts here!
Enjoy ....
📚
Mulailah hari pertama masuk kelas setelah tiga hari ospek. Dengan wajah cengo khas anak SD yang ga paham cara pakai jilbab segi empat yang benar, kami masuk kelas.
Bermacam-macam wajah ada di sana. Mata bengkak hidung berair, wajah-wajah calon preman dini, para seleb cantik tapi jutek, calon presenter gosip ternama, semua ada. Dari si kecil yang tenggelam di balutan jilbab yang nyaris nyentuh lutut, sampai yang iseng pakai jilbab sekolah mirip hijab pun terlihat.
Dari santri yang pakai jilbab berbentuk petak kayak sawah, bulat macam bola, lonjong seperti pocong, segitiga sama kaki, jajargenjang, dan model seperti ibu-ibu penjualan sayur di pasar pun menunjukkan eksistensinya.
FYI, dulu pas pertama kali dapet seragam, jilbab yang ukurannya 130x130 cm itu memang sekaku kain kafan, makanya terlalu sulit dibengkokkan. Alhasil, di hari pertama ini, semuanya tampak bagai orang-orangan sawah. Kaku dan tak berbentuk.
Semuanya, dengan wajah polos super innocent hanya saling pandang. Mau kenalan, belum berani. Takut dibilang sok dekat.
Subhanallah, maasyaAllah, Allahu akbar, rata-rata pada ramai yang baca quran selagi tunggu guru yang masuk. Mereka sadar betul, bahwa tak ada yang ngajak kenalan, jadi lebih baik mendekat pada yang kuasa. Nanti, juga akan terdengar tangis terisak sampai sedu sedan kalau ada yang ga sengaja ngucapin kata sihir.
Rindu keluarga, rindu rumah, pengen pulang.
Untung saja saat ada yang iseng bahas hal begituan aku lagi tidur.
Hari itu, karena lupa bawa mushaf dan ngga ada yang berani kuajak bicara sebab mereka tengah fokus mengaji dan menangis mengingat dosa, jadi lebih baik tidur dulu. Maklum, gegara si teman kampret ngingetin momen sahur bareng orang tua, aku jadi terprovokasi untuk menangis, jadi memilih melewati waktu sahur di dapur.
Lagi tidur, mimpinya enak baget. Makan es krim empat cup-nah, masih ingat. Eh, tiba-tiba lenganku ditepuk-tepuk sama teman di sebelah.
"Bangun, e. Udah masuk ustaz tu," katanya. Aku yang kaget langsung duduk tegap, ga peduli lagi tuh sama iler atau apa lah-soalnya tadi mimpi makan-eh ternyata ga ada pulau di mejaku. Palingan bentuk jilbabku yang sudah berevolusi berbentuk trapesium.
Pernah dengar istilah tak kenal maka taaruf? Marak, 'kan, ya? Nah, gitu juga saat pertama kali mondok. Awalnya, kami yang masih sangat sangat polos-ga tau apa-apa, red-terbengong-bengong saat salah satu ustaz mengatakan, "Hari ini kita taaruf aja, ya?"
Aku yang saat itu belum kenal sama teman sebangkuku yang wajahnya rada jutek dan kalau ngomong secepat MRT hanya bertanya-tanya dalam hati sambil bengong. "Masa taaruf sama anak kelas 1 SMP? Trus sama siapa? Kan sekelas ada empat puluh orang."
Kayaknya, sang ustaz mendapat sinyal telepati dari aku, akhirnya beliau menjelaskan.
"Ta'aruf itu artinya saling kenalan. Sebut nama, alamat, daerah asal, dan alasan masuk pesantren."
Nah, dimulai tuh. Dari absen terakhir sampai nama pertama, rata-rata punya alasan masuk yang sama. Dengan kalem mereka bilang, "Mau belajar agama lebih banyak, mau banggain orang tua, biar orang tua masuk surga."
Hih, padahal tiap harinya ngeluh pengen pulang. Sampai kelas akhir, ditanyain alasan pun akan bilang hal yang sama, mau anak alim, atau anak preman, ga ada yang beda.
"Nama saya Carla Adiba, tinggal di-"
"Carla Adiba? Amel Carla atau Adiba Khansa anaknya Uje?"
Hah? Aku melongo pas ustaznya nyela, teman-teman auto melirikkan mata, aku berasa artis. Sebenarnya aku kesal tiap kali ada yang motong bicaraku, tapi ga mungkin, dong, murid baru malah kesel sama ustaz? Kata abangku, sama ustaz ini jangan dijawab, nanti malah diolok balik. Ya sudah, aku cuma cengar-cengir doang.
"Wah bingung saya. Namanya udah diborong. Kontroversi ini." Ustaz pura-pura berpikir. Dikiranya aku anak usia berapa, sih?
Teman-teman malah tertawa, entah bagian mana yang lucu. Aduh, tolonglah. Segera selesaikan panggung sandiwara ini, diriku mengantuk. Lihat temenku yang udah selesai taaruf yang duduk di belakang lagi tidur, aku 'kan jadi pengen lanjutin mimpi makan es krim.
"Ayok, jadi siapa, nih? Amel Carla atau Adiba Khansa?"
"Bukan dua-duanya, ustaz. Saya Carla Adiba," tegasku sekali lagi. Kelihatan banget itu ustaz wajahnya sok mengkerut, padahal aku tau kalau beliau lagi nahan tawa.
"Adiba anaknya Uje, nih. Nggak salah lagi."
Tuh, kan, malah ngeyel coba. Aku, yang dari dulu kurang suka sama obrolan ga nyambung dan ga jelas, apalagi cringe kayak gitu, langsung menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bukan, anaknya Pak Zulfikar," jawabku lantang, mana peduli lagi. Udah perut lapar, mata berat sebab ngantuk, diajak bercanda pula.
Entah ustaznya ketawa karena ekspresiku yang sok jutek atau jilbabku yang berbentuk trapesium, beliau ngalah sambil bilang kalau itu cuma candaan. Deuh, parahnya ada yang tiba-tiba bilang kalau aku caper-dengan suara yang pelan banget-tapi entah siapa.
Caper dari mananya Jubaedah, ha?! Ambo hanya membela kehormatan. Ceile .... Ntar aku caper, sama wali kelas aja biar nilai tinggi.
"Saya kirain anaknya Uje," lanjut ustaz, masih berniat menyambung obrolan garing ternyata.
'Kan, anak Uje lagi, anak Uje lagi. Aku memilih untuk ga terlalu menanggapi.
Sasaran selanjutnya: si kembar.
Dari awal, banyak yang setuju kalau kakak beradik ini sama sekali ga mirip. Macam-macam alasannya.
"Beda, e. Itu matanya ga sama."
"Yang itu lebih mancung dikit. Eh ngga juga, sih. Dua-duanya ga mancung."
"Beda di bentuk wajahnya, giginya, semuanya lah, pokoknya!"
"Kakak yang mana, adek yang mana?"
"Oh, nampaknya adeknya lebih cocok jadi kakak."
Bermacam-macam lagi omongan para juliders dan netizen, menghakimi si cilik kembar yang ga tau apa-apa dan hanya bisa memasang senyum terpaksa. Parahnya lagi, ada yang bikin gosip baru.
"Katanya, adeknya kejam sama kakaknya, tau? Ih, durhaka kali. Aku kalau jadi kakaknya, kulempar itu adek ke sumur."
"Ih, iya! Katanya adeknya suka marah-marahin kakaknya. Padahal kakaknya ga salah. Kasian kakaknya."
Dikiranya, dua bersaudara itu bawang merah-bawang putih? Kisahnya tragis amat, kayak satu pro ibu tiri, satunya lagi tertindas dan tersiksa.
See? Mereka sudah terlatih untuk jadi presenter gosip sejak dini. Padahal baru menapakkan kaki lima hari di pesantren, udah pada nyebar berita dusta. Ya, walaupun waktu itu aku juga jadi pendengar setia gosip si kembar.
Jangan salahin aku! Mending dengerin gosip mereka daripada duduk melingkar trus nangis bareng.
Oke, balik ke laptop. Berdirilah dua saudara kembar itu, memperkenalkan diri. Sayup-sayup terdengar bisik-bisik tetangga yang mirip cabe keriting, pedas tak tertolong.
"Apa tuh adeknya sok imut."
Deu! Rasanya pengen balik badan trus melayangkan sebelah sepatu untuk si sok tau yang ngomong begitu. Ya gimana, coba? Emang mereka berdua tuh udah imut sejak bayi, eh malah dikata-katain sok imut. Iri dengki busuk hati emang. Lagian, bingung juga sama bibir lemes itu.
Sekalian, rasanya pengen bentuk jilbabnya jadi bagun ruang gabungan. Eh tapi sabar. Masih santri baru, ga boleh emosi, ntar takutnya jadi korban gosip baru. Nanti aja musuh-musuhannya pas udah kelas dua. Kelas tiga damai, karena mau pisah.
"Ini kembar? Masa? Ngga mirip, kok?" pertanyaan sang ustaz yang sebenarnya hanya berupa candaan memancing reaksi teman-teman sepergosipan.
"Iya, 'kan, ga mirip?"
"Emang nampak ga mirip."
Bla bla bla, dan lain sebagainya. Heleh, trus kalau ngga mirip kenapa, coba? Ga usah ngurus hidup orang kan, bisa. Ya walaupun hari itu aku juga ikut nyeletuk.
"Iya, ga mirip. Lebih cantik kakaknya, adeknya imut doang."
Maafkan aku, kembar, mwehe. Itu, kan, cuma kepancing doang.
Well sekarang, si kembar malah termasuk alumni yang paling dekat denganku. I respect them well. Luv yaa!
Oke, sekian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro