Page 4
.
.
.
Suatu hari nanti, seluruh berlian berwarna-warni ini akan pecah dan menemukan tempatnya masing-masing. Namun, mereka tak akan pernah lupa akan sosok yang telah memoles kilauan milik mereka.
Tanganku berhenti menggoreskan spidol di atas kertas, menengadah saat mendapati sensasi dingin yang bersentuhan langsung dengan kulitku. Sudah kuduga pelakunya adalah Tsukasa, pemuda pirang ceria yang merupakan teman masa kecilku. Ia mengulas senyum penuh percaya diri, tetapi langsung berubah menjadi kekhawatiran tatkala mendapati diriku yang tengah fokus dengan pekerjaan.
Ia mengerutkan dahinya, bertanya sebal, "Kau lupa makan, bukan? Mengaku saja dan aku akan memaafkanmu!"
"Oh, dari mana kau tahu akan hal itu?"
"Apa kau lupa kalau kau itu selalu mengabaikan kebutuhan diri jika tengah fokus terhadap sesuatu? Astaga, memangnya aku ini apa? Pengasuhmu, kah?" omelnya dengan raut kesal. Meskipun begitu, aku paham benar kalau ia tidak sedang marah. Hanya sedikit mengeluarkan uneg-unegnya, mungkin saja Emu kembali memeluknya sampai ia terjatuh lagi atau bahkan terjebak dalam perangkap Rui.
Mengabaikan gerutuannya, aku kembali bekerja seraya mencicipi beberapa sandwich bawaannya. Tidak sopan jika aku kembali menolak niat baik pemuda itu dengan egoku. Lantas, aku melemparkan pertanyaaan padanya, "Tsukasa, bagaimana perasaanmu saat memainkan peran kemarin? Menyiapkan pakaian kalian ternyata lebih menyenangkan dari yang kuduga. Oh, dan kau cukup keren saat menjadi Trope, lhoー"
"HAHAHA!"
Refleks, kedua tanganku berusaha menutupi indra pendengaranku sebab tawanya yang memotong kalimat. Tsukasa pun melanjutkan, "Aku selalu senang jika kau memujiku keren! Tetapi, harus kuakui, mendalami peran itu cukup sulit karena kesamaannya denganku sedikit sekali."
"Tapi, kau tetap keren."
Pemuda di hadapanku itu mengerjap, berusaha memproses, lantas memalingkan wajah dengan rona memerah samar di pipinya. Dahiku mengerut, cukup kebingungan mendapati tingkahnya yang seperti itu. Tersadar akan waktu yang berjalan, aku segera menginterupsi keheningan, "Ah, aku harus segera menyelesaikan ini. Apa kau tidak ingin kembali latihan, Tsukasa?"
"Hari ini latihanku sudah. Aku datang ke sini tak lain untuk mengajakmu beristirahat sejenak, tahu! Apa kau tidak sadar kalau hari mulai sore, huh?"
Dia benar.
Irisku melirik ke arah langit yang telah menampakkan semburat jingganya. Lantas, aku menghela napas dan membereskan peralatan kembali ke tempatnya. Namun tetap membiarkan beberapa properti besar di luar. Akan kulanjutkan esok hari saja, meskipun dalam hati ingin sesegera mungkin kuselesaikan.
Suara cempreng seorang gadis terdengar di telingaku. Kuduga pemilik dari suara ini adalah Emu dan tebakanku benar, diberikan dengan pelukan kejutan dari belakang. Ia menggelayut di leherku seraya tertawa riang, "Haha! Hari ini aku menang dari Tsukasa-kun!"
"Emu, lebih baik kau diam atau aku akan marah, ugh!"
Tsukasa terlihat memerah sembari mengepalkan kedua tangannya, seolah berusaha untuk memisahkan diriku dengan sang gadis berambut pink tersebut. Emu menjulurkan lidahnya perlahan, lalu berlari ringan menuju Nene. Aku mendengkus kasar dan melemparkan pertanyaan, "Kalian main apa lagi hari ini?"
"Ti-tidak ada! Kau saja yang terlalu curigaan, [Name]," jawabnya kikuk.
Sosoknya memang tidak pandai berbohong, tetapi aku memilih untuk mengabaikan dan melangkah ke Rui. Pemuda berambut ungu dan biru muda itu mengedipkan mata perlahan ketika mendapati diriku yang menarik kerah bajunya. Tsukasa membeo dengan nada tinggi, "[Na-Name]! Apa yang kau lakukan?!"
"Kalian main rahasia-rahasiaan dariku lagi, ya?"
"Se-sebentar, [Name]. Rasanya ada kesalahpahaman di sini," ujar Rui dengan keringat dingin yang lolos sedikit demi sedikit. Ia mengulas senyum, namun rasa takut tak mampu ia sembunyikan tatkala mendapati salah satu tanganku yang tengah memegang palu. Gadis berambut hijau menatap pasrah dan bergumam pelan, "Sudah kubilang kan ... ini akan percuma. Kalau kalian mau mati, jangan ajak aku, dong."
"Jangan-jangan, kalian menjadikanku sebagai bahan taruhan?" tanyaku curiga, mendapati gelagat mereka yang mulai aneh.
Rui menimpali, "Setengah benar dan setengah salah."
Lelah berurusan dengan tingkah konyol mereka, cengkramanku pada kerah Rui pun terlepas. Lantas, Tsukasa menggenggam tangaku secara tiba-tiba. Membuatku tersentak kaget seraya membeo pelan, "Tsukasa? Ada ... apa?"
"Apa ..."
Pemuda berambut pirang itu menggantungkan kalimatnya, nampak berusaha menyembunyikan rasa gugup sembari melirik-lirik ke arah lain. Aku menunggu ia kembali membuka mulut, tetapi menerka-nerka dalam hati, mungkin saja ia tengah diberikan dare oleh mereka. Butuh waktu beberapa menit dan suara keras serta memekakkan telinga itu kembali terdengar lagi.
"[FULLNAME]!" teriaknya lantang, membuatku membelalak. Jika saja, gendang telingaku adalah sesuatu yang rapuh, maka sudah sedari dulu pecah. Namun, aku tetap memperhatikannya yang telah penuh dengan rona merah di wajah.
Sosok bermarga Tenma itu lebih mendekatkan diri lagi, "Jadilah manajerku untuk sekarang dan di masa yang akan mendatang nanti!"
"Manajer ...?"
Dari Tenma Tsukasa?
Dan malah bukan dari Wonderlands x Showtime?
Hal yang sangat mengejutkan.
Kalau boleh jujur, jantungku rasanya mau copot, hampir saja aku mengira bahwa ia akan menyatakan perasaannya. Bukan terlalu percaya diri, tetapi rata-rata dare anak zaman sekarang adalah hal yang seperti itu. Aku terdiam, melepaskan genggaman tersebut dengan perlahan dan membalas, "Keahlianku hanyalah membuat properti. Dalam urusan administrasi dan lainnya, aku sangatlah payah. Apa kau masih bisa menerimaku dalam keadaan seperti ini?"
"Tak perlu khawatir! Seiring waktu, kau dapat belajar dengan sendirinya. Semua manusia melakukan kesalahan dan kau adalah salah satunya," tutur Tsukasa, tegas. Lalu, ia kembali membuka mulut, "bukannya kau sendiri yang berjanji padaku untuk membuatku lebih bersinar di atas panggung sebagai aktor terbaik?"
Janji itu, aku tak pernah melupakannya.
Kuutarakan di saat hari aku menemukan kilauannya yang keren. Di mataku, aku ingin membuat ia tak tertandingi oleh bintang mana pun. Orang-orang tersenyum, terutama dirinya yang menikmati pertunjukan lebih dari siapa pun. Itu adalah salah satu bentuk keegoisanku, keinginan yang pernah kulupakan hanya karena ketakutan akan mencelakai yang lainnya.
Mendapati diriku yang tak kunjung membalas, ekspresi pemuda di hadapanku ini sedikit murung, "Haha, ini terlalu tiba-tiba, ya? Tidak masalah jika kau menolaknyaー"
"Aku akan melakukannya."
Tsukasa menahan napas mendengar jawabanku. Senyum kecil kuulas, lalu menundukkan sedikit kepala seraya mengangkat suara, "Di mana pun dan kapan pun kalian berada, aku akan berusaha membuat kalian bersinar. Terutama dirimu, Tsukasa."
Keempat sosok yang berada di stage, nampak memerah merona, terlebih Tsukasa. Tak sanggup menyembunyikan rasa malunya, ia pun berjongkok dan mendengkus kasar. Aku mengerjap, cukup kebingungan.
"Ka-kalian kenapa?" tanyaku, bingung.
"Apa kau harus selalu bertingkah seperti ini, [Name]?" sahut Nene dengan nada pasrah. Emu mengangguk kencang lalu memelukku dari belakang. Lantas, Rui hanya mengeluarkan tawa kecil sembari menepuk-nepuk pelan pundak Tsukasa.
Aku tak mengerti. Hanya saja yang jelas, aku tak ingin kebersamaan ini berlalu cepat. Biarkan kami memoles masa muda kami bersama, sebelum berpisah ke jalan dan panggung masing-masing. Helaan napas kecil lolos dari bibirku, kepalaku menengadah dan berandai-andai.
Tugas seorang manajer adalah memoles mereka untuk menjadi talenta keren. Kuharap, sekai wonderland merah darah itu telah berubah menjadi merah muda yang membawa kebahagiaan pada pemiliknya.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro