Page 2
.
.
.
Tak ada sosok Kagamine di dunia ini, namun penampakkan tempatnya kurang lebih seperti sekai. Aku terdiam, genangan merah tua berada di kakiku, membuat napasku tertahan. Tetapi, tak ada bau darah, hanya cat yang memenuhi indra penciumanku. Merasa tenang, kakiku pun mulai melangkah, langit terlihat kelabu. Namun, di saat yang bersamaan, terdapat beberapa corak warna-warni pada awannya.
Di ujung jalan, siluet berbagai properti panggung nampak di pelupuk mata. Langkahku pun terhenti saat mendapati sosok secerah mentari yang memasang senyum girang. Ia mengulurkan tangan, membuatku mengerjap kebingungan dan memanggil namanya, "Tsukasa? Apa yang kau lakukan di sini?"
Sosok itu terlihat kecil.
Yah, dari dulu, keberadaan sekai saja sudah sangat aneh. Jadi, aku tidak terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba ini.
Tetapi tidak, ia tidak menjawab saat kupanggil seperti itu. Apakah penampilannya hanya menyerupai Tsukasa kecil saja? Fufu, seperti adegan horror show yang selalu kukagumi. Aku tidak menerima ulurannya, hanya memperhatikan anak itu dalam diam, hingga ia mengangkat suaranya.
"Kenapa sedari tadi kau tidak menerima ajakanku, hei? Aku membutuhkan pertolonganmu, wahai tamuku!"
Suaranya terdengar cempreng, dengan rengekan ringan yang khas. Mirip seperti sosoknya sewaktu kami masih kecil. Aku selalu menemani Tsukasa yang kesepian karena keberadaan Saki di rumah sakit, sehingga menjadi penonton dan staff pembuat properti setianya. Diriku ini tak akan pernah menjadi bintang berkilauan yang berada di atas panggung tersebut, seperti mereka.
Aku menyamakan tinggi, memeluk kedua kakiku lantas mengulas senyum sendu, "Pertolongan seperti apa?"
"Kau ... tidak tersenyum?"
Ia menatapku dengan tatapan memelas, membuatku tersadar kalau semenjak kejadian yang membuat Tsukasa dan lainnya bahaya, lekukan tipis pun bahkan tak lagi terbentuk di wajahku. Rasanya, aku menjadi lupa akan perasaan euforia tersebut. Lantas, aku memberikan gelengan pelan dan membalas, "Maaf yah, untuk yang satu ini, aku tidak bisa membantumu. Tetapi, apa ada yang kau inginkan?"
"Ah, benar juga! Aku ingin kau membuatkanku properti pedang! Layaknya Pangeran Pegasus yang telah turun dari langit!" serunya lantang, memecah diamku. Irisku berusaha melirik ke sekitar, mencari sesuatu yang tak berbahaya dan dapat digunakan sebagai propertinya. Tetapi, saat sempat ingin melangkah menjauh, sosok kecil itu menggelayut di tanganku dan berujar, "hei, tunggu. Jangan tinggalkan aku dulu! Aku akan menuntunmu."
"Tenang saja, aku tak akan meninggalkanmu, kok. Aku akan membuatkan barang yang kau inginkan," jawabku kecil.
"Benarkah? Kau bisa membuat pedang keren itu?!"
Sebenarnya hanya properti sederhana, namun aku mengangguk dengan sedikit percaya diri. Benda itu dapat kubuat hanya dengan kardus, setidaknya tak membuat Tsukasa kecil berada dalam bahaya. Entah mengapa, ada berbagai alat yang bisa kujadikan sebagai media pembuatan properti di sini. Mungkin saja, karena ini adalah sekai.
Tak memerlukan logika untuk berada di dunia ini.
Setelah cukup lama berkutat dengan permintaan tersebut, jari-jemariku pun terhenti, menyelesaikan sebuah karya yang berbentuk pedang silver dengan hiasan keemasan. Setidaknya mampu memenuhi keinginan anak itu. Lantas, aku memberikannya, sementara ia menatap berbinar pada seonggok hal yang dapat kusebut sebagai barang kecil tersebut.
Tsukasa kecil memeluknya, girang dan memekik, "Terima kasih! Aku sangat menyukainya!"
Senyuman hangat dan ceria yang sangat kusukai itu membuatku mengerjap. Mungkin saja, aku selalu mendambakannya dan hanya ingin berdiri di sampingnya, mendukung ia mewujudkan mimpi. Aku terhisap dalam keheningan, memperhatikan sosok menggemaskan itu meloncat dan berlari-lari kecil, memperagakan sebuah peran.
Selalu kukatakan kepada Rui kalau apa yang ia kerjakan akan terjamin keamanannya, meskipun penuh marabahaya. Bagaimana caranya agar aku dapat menjadi seperti Rui?
Bruk!
Tsukasa kecil terjatuh.
Irisku membelalak. Kilasan memori mengenai properti pohon yang jatuh menimpa Tsukasa dan Emu itu membuatku kembali menahan napas. Tanganku gemetaran, dingin, dan berkeringat. Mual mulai menghampiri, lantas aku berusaha berjalan pada Tsukasa kecil hingga ia bangkit dan menggenggam tanganku, "Neesan, apa kau baik-baik saja?"
Tenanglah, ini bukan kesalahanmu, [Name]. Ia hanya terjatuh karena tersandung oleh kakinya sendiri, bukan karena properti buatanmu.
"A-ah, aku baik-baik saja, kok. Kau sendiri ... bagaimana?" tanyaku, sekuat tenaga menyembunyikan getaran pada nada bicaraku. Ia mengangguk semangat dan tertawa seraya berkacak pinggang.
"Yang begini mah bukan apa-apa untuk seorang future star! Terima kasih ya, nee! Panggung jadi lebih hidup karena buatanmu. Aku sangat menyukaimu!"
Lucu sekali, entah kenapa mendengar pengakuan dari seorang anak kecil membuat dadaku menghangat. Mungkin saja, karena ia adalah sosok Tenma Tsukasa masa lalu, yang menemaniku menghabiskan waktu bersama dan mendiskusikan mengenai show. Senyum tipis kusunggingkan seraya balik membalas genggaman tangannya, "Ya, senang juga mengenalmu, Tsukasa-kun."
"Di ujung jalan sini, ada teman-temanku. Aku yakin mereka akan lebih senang melakukan show bersamamu! Kalau begitu, selamat tinggal!"
"Oh! Hati-hati, Tsukasa-kunー" Ia melambaikan tangan, penuh dengan kegirangan. Lantas, aku membalas lambaiannya, menemukan tiga siluet lainnya di ujung jalan tempat Tsukasa kecil berlari, nampak seperti Rui, Nene, dan Emu yang tengah tersenyum, "sampai ... berjumpa lagi, semuanya."
Berakhirnya perkataanku, kilauan cahaya yang terang lagi-lagi membuatku menyipitkan mata. Mengerjap, mendapati sekai yang seperti biasanya, serta kehadiran para Kagamine dan juga ...
Tenma Tsukasa yang sekarang.
"[Name]! Kau tidak apa-apa?!" tanya Rin dan Len hampir bersamaan, khawatir. Anggukan kecil sebagai balasanku membuat mereka menghela napas lega. Lalu, si pemuda pirang dengan kuncir kecil itu berujar, "aku lupa memberitahumu untuk berhati-hati dengan pecahan sekai tadi!"
"Pecahan sekai? Ungh, apa itu?" tanya Tsukasa, bingung. Aku melirik Len, menggeleng pelan dan lantas mengangkat suara untuk menjawab pertanyaan dari teman masa kecilku itu, "Bukan apa-apa. Kau tak perlu tahu mengenainya untuk saat ini."
"Hei! Apa maksudmu itu?!"
Kakiku melangkah menuju panggung, mengabaikan panggilan cemprengnya yang sedari tadi berusaha memanggilku. Mari pastikan saat ini, bagaimana perasaanku yang sebenarnya pada dunia Wonderland yang kucintai.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro