Page 1
.
.
.
Oh, sang dewa musik, tolong lindungi aku. Buatlah mereka mendengar suaraku yang merintih, memanggil pertolongan. Langit yang merah ini, ke mana langkahku akan menuju bila tak dituntun? Tak ada seorang pun di sampingku, waktu telah terhenti, nyanyianku tak tersampaikan. Meskipun aku mencari orang-orang, tak ada yang menemukanku.
Apakah di dunia ini, mimpiku berharga?
Tidak perlu jauh membahas mimpi, sebenarnya apakah aku berharga untuk dunia ini? Jika memang tidak, biarkan aku tenggelam dalam wonderland tak bernyata ini. Memeluk diriku sendiri, hingga kita bertemu di lain tempat. Jangan menggangguku, biarkan saja aku sendiri.
Gelap, lembab, dan pekat. Namun, secercah cahaya berusaha menerobos masuk. Sosok berkilau dengan senyuman cerahnya mengulurkan tangan, menyilaukan penglihatan, "[Name]!"
Segera, udara kuraup sebanyak-banyaknya. Aku terbangun, mendapati sosok Tsukasa yang telah masuk ke dalam kamarku dengan ekspresi khawatir. Lekas saja, raut wajahku mengeras, memberi tatapan sinis padanya. Lantas, bibirku membuka dan mengangkat suara, walaupun terasa serak, "Kenapa kau ada di sini?"
"Habisnya, kau tidak menjawab panggilanku. Kau ini, kukira kau kenapa-kenapa tahu," omelnya sembari membawakan kantung plastik putih berisi beberapa air mineral, roti, dan snack. Iris cerahnya itu melemparkan tatapan tegas padaku, "nih, makan. Duh, kalau kau sakit, harusnya bilang, dong."
"Saki bagaimana?"
Tak ingin menjawab pertanyaannya, aku mengalihkan pembicaraan. Tubuh yang lemah dan selalu berusaha untuk menyembunyikannya dari yang lain. Namun, ia di mana pun dan kapan pun dapat menemukanku, membuat dadaku bergemuruh kesal. Tsukasa terdiam, memperhatikan diriku dalam keheningan lantas berteriak di dekat indra pendengaranku dengan suara berisiknya, "Tentu saja, dia sudah baikan!"
Jari-jemariku membuka tutup botol tersebut, lalu menegak air mineral di dalamnya. Irisku mencuri-curi pandang padanya, mengulas senyum tipis, "Baguslah. Kalau begitu, bisakah kau keluar dari kamarku? Aku ingin sendiri hari ini."
"Tidak mau. Tak akan kubiarkan kau terperangkap dalam ruangan lembab ini seharian!"
Cahaya mulai memasuki ruangan saat ia membuka tirai kamarku. Mau tak mau, membuatku menyipitkan mata, berusaha menghalau silaunya mentari. Cengiran lebar ia pasang di wajah tampannya, lalu mengulurkan tangan dengan gembira. Refleks, tanganku mengikuti arahannya, hanya saja terhenti seketika memori gelap itu kembali mengalir di dalam kepalaku.
Pemuda pirang itu mengerjap, kebingungan mendapati sosokku yang lagi-lagi dalam raut wajah pucat. Properti yang roboh, lampu panggung yang jatuh, teriakan orang-orang. Sontak, rasa mual menghampiriku.
Jangan, aku tidak boleh mendekati Tsukasa, bergabung dengan mereka hanya akan membuatku teringat akan kenangan buruk itu. Juga ... membahayakan orang-orang. Aku memalingkan wajah, mendelik padanya, "Pergi, Tsukasa. Sudah kubilang, aku ingin waktu sendiri, bukan?"
Seolah paham, Tsukasa melunturkan senyumnya. Lalu, menatap lekat padaku, khawatir. Ia mengacak helaian rambutku layaknya anak kecil, "Kejadian itu bukanlah kesalahanmu, asal kau tahu saja. Kami akan selalu menunggumu di panggung itu."
Dengan selesainya perkataan itu, maka menghilang pula sosoknya. Hening kembali menguasai suasana, membuatku nyaman sekaligus gelisah. Beberapa menit kemudian setelah aku memutuskan untuk tidur lagi, layar handphone-ku terlihat silau dan berkedip. Lantas, kuurungkan niatku, melirik pada sosok Rin dan Len yang muncul dengan bentuk hologram.
Dengkusan kasar terdengar menggema, kesal, aku pun mengangkat suara, "Kenapa kalian berdua datang ke sini?"
"Perasaanmu tersampaikan oleh kami, karena itu kami datang, tahu!" rengek Rin, gadis pirang itu nampak sedih, pita putihnya ikut turun. Pemuda yang wajahnya mirip dengan sang gadis juga turut prihatin, "Benar, lho! Sudah beberapa minggu kau tidak berkunjung bersama Tsukasa-kun dan yang lain. Bagaimana tidak kami cemas?"
"Jika ingin mengajakku ke sekai, urungkan saja niat kalian. Aku tak akan kembali ke sana, lagi."
"Kau sudah menemukan hontou no omoi milikmu. Apa kau yakin ingin meninggalkannya?" tanya Len, serius.
Aku tertegun, tak mampu membalas atau bahkan membantah sekalipun. Penuh kemenangan karena perkataan Len, seringai kecil lolos di wajah Rin. Ia berkacak pinggang dan berseru girang seolah ingin memelukku, "Jadi, kau harus datang yaaa!"
Daripada mereka terus merengek, tak ada salahnya aku mampir sejenak. Helaan napas kukeluarkan, lalu aku mengangguk kecil dan menggaruk kepala yang tak gatal. Handphone kupegang, memasang ekspresi menurut dan pasrah seraya memijat pelipisku.
"Hah ... baiklah, baiklah."
Cahaya menyilaukan memenuhi ruangan, membuatku mengedipkan sejenak lalu membukanya. Sontak, mendapati dunia wonderland yang penuh dengan warna ceria dan hangat. Aku terdiam, suasana nolstagia kembali masuk ke dalam dadaku.
Pelukan tiba-tiba kuterima setelah menginjakkan kaki dari Rin dan Len. Mereka terlihat senang. Tetapi, suara girangan itu tak dapat terdengar di telingaku karena fokusku menemukan sebuah marble berwarna biru muda dengan semburat merah muda. Perlahan, langkahku seolah terhisap ke dalamnya, mengabaikan sang Kagamine.
Aku menyamakan tinggi dan memegang bola kecil tersebut. Kagamine mengerjap lalu kedipan cahaya sama seperti memasuki wonderland sekai ini terjadi lagi.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro