Riwayat Hidup : Raka Mahardika
a / n
Bagian ini saya dedikasikan khusus untuk male lead utama di cerita ini, Raka.
Kenapa?
Karena saya iseng, hehhe. Ngga deh, karena pengen kalian (pembaca) lebih relate sama tokoh dia aja. Dan ngasih insight juga supaya main plot dan klimaks nanti dapet, lebih nonjok, gitu.
Oke bismillah.
Raka 0 tahun.
Bayi itu lahir tepat pada hari kartini, 21 April, pukul 08.15 WIB. Seorang Taurus. Bobotnya 3 ½ kilogram.
Dia merupakan anak pertama dari pasangan Yohan Mahardika dan Melani Wulansari. Yohan merupakan Perwira Menengah berpangkat AKBP (Ajudan Komisaris Besar Polisi) saat itu. Sedangkan Melani adalah mahmud (mamah muda) istri rumahtangga yang sibuk mengurus keperluan suaminya, Pak Yoh.
Raka terlahir dengan sehat, kuat, menangis, dan menyusu pada jam-jam pertama hidupnya. Pak Yoh yang seumur hidup tak pernah menangis (kecuali saat masih bayi, mungkin) hari itu meneteskan air mata haru. Hatinya melambung tinggi diterbang rasa bangga karena ia berhasil mendapatkan anak laki-laki.
_____
Raka 2 tahun.
Batita itu tumbuh dengan tulang wajah yang tirus dan rahang yang kukuh, menurun dari Ayahnya, Pak Yoh. Alisnya yang turut simetris juga diwariskan dari sang Ayah. Satu ciri khas pemberian Bu Lani yang menempel pada fitur wajahnya adalah bibir tipisnya yang menawan, serta lesung pipit yang timbul tiap Raka tersenyum.
Pak Yoh telah naik pangkat menjadi Komisaris Besar, mulai sibuk tapi sebisa mungkin meluangkan waktu untuk bermain dengan jagoan kecilnya.
Di sisi lain, Lani, sang Ibu, mulai pusing karena anaknya sering pilih-pilih makanan. Bayi itu menolak menelan bubur instan yang praktis, ia hanya mau mengunyah MPASI.
Tahun itu, Bu Lani memutuskan untuk ikut kursus memasak dengan serius. Ia mulai pandai menimbang-nimbang nilai gizi dan memanipulasi tekstur dan rasa agar si Raka kecil mau lahap makan. Dan berhasil. Sepertinya lidah bayi Raka sudah bisa membedakan mana makanan produksi pabrik dan mana yang dimasak dengan sepenuh cinta. Raka lebih suka opsi yang ke-dua.
_____
Raka 7 tahun.
Bu Lani sedang hamil adik kecil. Raka excited sekali. Kata Ayah, Raka bakal jadi abang yang kuat dan siaga melindungi adiknya. Kata Ibu, dedek bayi akan lahir dengan jenis kelamin perempuan. Jadi, Raka harus sayang dan menjaga dedek bayi. Raka menyanggupi.
Karena Ayah sudah jadi Perwira Tinggi dengan jabatan Brigadir Jenderal, jadi jarang dirumah. Raka menghabiskan sepanjang hari bersama Ibu. Sepulang dari bermain, Raka selalu disambut harum masakan Ibunya.
Sering Raka merajuk, "Ibu kenapa masak nggak ngajak-ngajak Raka? Kan Raka mau bantuin Ibu. Bu Guru bilang anak berbakti itu yang mau membantu ibunya."
Ibu Lani biasanya hanya tersenyum, "Raka mau masak sama Ibu? Yaudah boleh, kita siapkan makan malam, ya?"
____
Raka 9 tahun.
Ibunya kewalahan. Batita dedek bayi bernama Jamima Maheswari itu manja setengah mati. Rewel dan menuntut perhatian penuh.
Ayah yang makin jarang dirumah, perannya mulai bisa digantikan oleh Raka. Sang abang yang menduduki kelas 4 SD itu sudah luwes mengganti popok dedek bayi. Terlebih lagi, Ibu sudah mempercayakan penuh si abang untuk menangani pembuatan MPASI sang dedek.
"Menu hari ini apa, Bang?" tanya Ibu sambil menimang Mima kecil.
"Karbo-nya Abang kasi beras merah, prohe (protein hewani) ada hati ayam, lemak tambahannya Abang kasi unsalted butter. Bumtik (bumbu aromatik) ada bawang merah. Tanpa MSG dan bahan pengawet, hehe. Tiga bintang dulu nggak papa ya, dek? Abang nggak nemu bahan serat yang cocok." Raka menjabarkan dengan antusias sambil mengaduk mangkuk kecil.
"Yum-yum, denger tuh dek? Enak nih kayaknya. Yuk, mamam yuk?"
"Mam-mam ..." Mima kecil menirukan kata-kata Ibu sambil menggigit sendok plastik.
____
Raka 16 tahun.
Si sulung tumbuh menjadi remaja yang tampan. Mima, dedek bungsu, mulai risih akan titipan surat cinta yang dihibahkan padanya. Apalagi saat bulan Februari. Valentine. Urgh.
"Bang! Abang kenapa nggak bales aja sih ini suratnya, satuuuu aja biar Abang tuh jadi pacar orang dan Mima nggak diganggu-ganggu lagi!"
"Apaan sih Mim, males banget."
"Ayolah, Bangggg ... Mima capek jadi pesuruh terus, 'dek Mim, titip ya', 'adek Mima, kasiin Abang kamu ya', hilih bicit!" Mima membanting tas punggungnya.
"Cuekin aja sih, Mim," saran Raka sambil sibuk memotong bawang putih.
"Gak bisa, Abang, gak bisaaa! Mima tuh dikejar-kejar terus sama cewek-cewek anak SMP komplek sebelah. Huft!"
"Ya-ya, ntar Abang tolakin semua deh." Raka memasukkan cincangan bumbunya kedalam panci.
"Abang masak apasih?" Mima nyelonong masik dapur, mengintip isi panci di atas kompor.
"Sop buntut, mau bantu?"
"Nggak, Mima mau nonton Barbie."
Interaksi abang-beradik itu harus terputus saat ucapan salam berkumandang dari pintu depan. Rupanya Ayah pulang lebih awal. Raka buru-buru mematikan kompor.
"Loh, Raka? Kamu ngapain di dapur?? Jangan bilang masak lagi kamu!" rentetan kalimat keluar dari mulut Ayahnya. Raka menggeleng kuat-kuat.
"Nggak, Yah ... ini cuma bantuin Ibu kok, jagain biar sop-nya nggak gosong. Ayah mau makan?"
"Tidak usah. Kamu anak laki-laki, jangan sering-sering di dapur ya! Gimana sekolahmu? Sudah daftar ekskul bela diri belum? Jangan lupa daftar, biar kamu bisa jagain adik kamu. Jangan lupa nilai kamu di semua mata pelajaran harus diatas 75 rata-ratanya ya! Minimal segitu kalau mau masuk Akademi Kepolisian. Paham kamu Raka?"
Remaja sulung itu menghela napas, menahan sabar.
"Iya, Yah."
____
Raka 18 tahun.
Bencana.
Malam itu Raka baru tiba di halaman rumahnya. Mesin motor baru saja mati saat adiknya berhambur dari pintu depan.
"Bang! Abang jangan masuk!" Mima buru-buru menyerahkan tas ransel dan secarik kertas.
"Ada apa, Mim? Ibu mana??" Raka mulai khawatir melihat wajah panik sang adik. Suara gaduh teriakan Ayahnya terdengar dari dalam rumah, diiringi nyaring piring-gelas-meja, apapun yang kaca, pecah.
"Ibu di dalam, lagi nahan Ayah. Surat dari kampus pilihan Abang dateng, dan tadi Ayah baca. Ayah ngamuk begitu tau Abang keterima di jurusan kuliner dan bukannya masuk Akademi Kepolisian."
"Hah?? Abang diterima?"
"Iya! Abang sekarang pergi ya, ke alamat ini. Ibu bilang jangan sampai Abang ketemu Ayah. Sekarang pergi, Bang. Cepetan!"
Raka tak punya pilihan lain selain memikul ransel pemberian Mima dan segera men-starter motornya. Pemuda itu berkendara menembus malam.
Tok-tok-tok
Rumah itu sederhana. Pagar berkarat terbuka lebar seakan menanti kedatangannya. Raka mengangkat tangan kembali untuk mengetuk, saat pintu itu mendadak terbuka.
"Oh? Lo pasti Raka ya, anaknya Tante Lani? Sini-sini, masuk. Kenalin, gue Oky. Kita nanti bakal satu kampus di Universitas Nusantara, cuma bedanya gue masuk jurusan Ilmu Budaya. Lo Tata Boga 'kan?"
Pemuda seumuran Raka itu tersenyum ramah, mengacungkan tangan menunggu untuk dijabat.
____
Raka 22 tahun.
Inikah namanya cinta?
Jantung Raka terasa berdegup lebih dalam saat matanya tak putus memperhatikan garis wajah gadis yang sedang berkonsentrasi di hadapannya.
Gadis itu punya mata jernih yang berkerlip penuh kecerdasan. Elizabeth Moelyadi tersenyum penuh kemenangan saat sendoknya dengan sukses mengangkat 'kuning telur' dari rendaman cairan sodium alginate dan mencucinya dalam air bersih.
"Sukses! Kuning telur sintetis buatan Lisa! Hahahha, Ka, liat Ka, nih, jiggly beneran mirip telur asli loh!"
Raka lebih tertarik memandangi wajah berseri Lisa daripada telur eksperimen gadis itu. Walaupun telah berpacaran selama satu tahun penuh, Raka masih merasa jatuh untuk pertama kali setiap ia menatap wajah itu lamat-lamat.
"Raka, ih! Liat nih, cobain!" Lisa mulai merengut. Imutnya, batin Raka.
Pemuda itu tak bisa menahan diri. Segera dimajukan badannya dengan cepat, condong kedepan seraya mendaratkan kecupan kilat di pipi gadis itu.
"Maaf, kamu lucu banget kalo lagi seneng gini. Gemes, jadi suka." Kata-kata dari mulut Raka itu melelehkan senyum Lisa.
"Dasar kamu, bucin! Eh iya, telornya. Ibu mana? Bu! Ibuuu ... coba nih, liat!" suara nyaring Lisa menggema di langit-langit dapur kediaman keluarga Mahardika. Bu Leni datang bersamaan dengan putri bungsunya, Mima, yang masih berbalut seragam SMP.
"Apa apa? Kenapa kenapa?" Ibunda Raka dan Mima itu sontak menyerbu dapur.
"Cobain deh, Bu. Ini telur buatan Lisa."
Gadis itu mengulurkan piring kecil berisikan 'kuning telur' bundar pipih yang bergoyang lembut.
"Aih, Ibu nggak suka telur setengah matang, Lis."
"Bukan telur beneran itu, Bu. Coba aja dulu, tebak rasa apa. Ini hasil eksperimen Lisa," Raka menjelaskan.
"Oya? Eksperimen apa ini?" Ibu maju dan meraih sendok kecil suguhan Lisa. Mima mengikuti tak jauh dibelakangnya.
"Telur beneran mah ini, Bu. Jangan mau dibegoin Abang sama Kak Lisa," sang adik mengompori.
"Coba dulu ah," tolak Ibu sambil menyendok 'kuning telur' itu. Benda kuning pekat tersebut pecah dan tumpah dengan kental. Ujung sendok Ibu menciduk sedikit cairan itu, lalu mencicipinya.
"Hmh?! Mirip ... tapi, bukan. Sayur ya ini? Eh, tomat! Ini dari tomat kan??" mata Ibu berbinar dengan kekaguman. Mima meringsak untuk ikut mencicipi.
"Eh iya? Tomat ya??"
"Kok bisa jadi telur, Lisa?"
"Hehehe, science, Bu. Aku pake sodium alginate yang dibekuin sedikit buat bikin putih telor-nya, terus puree tomat kuning sama bumbu-bumbu untuk jadi kuning telor-nya. Ajib, kan?" Lisa menuturkan dengan senyum terkembang.
"Wahh hebat-hebat, bisa aja kamu Lis!" puji Ibu sambil menyendok hasil eksperimen lagi.
"Asyikk, Mima beneran punya kakak ipar jenius nih! Kak Lisa, bantuin pe-er Kimia Mima, ya?"
Gelak tawa melambung terbang memenuhi dapur itu. Hati Raka ikut terbang memperhatikan orang-orang tercintanya berbaur dalam satu momen bahagia.
"Yaudah, cepet diberesin nih sebelum Ayah pulang. Dia pasti ngamuk-ngamuk kalau tau kalian mampir kesini," titah Ibu diikuti anggukan Lisa.
Walau pahit, Raka mencoba tetap tersenyum, menguatkan gadisnya yang tak sepenuhnya diterima oleh kepala keluarga Mahardika.
___
Raka 26 tahun.
Angin laut membawa aroma asin, menerpa wajah Raka yang sedang berdiri di deck kapal pesiar bertingkat. Biru samudra Atlantik Utara menghampar sepanjang mata memandang. Seragam putih pemuda itu disemati cravat (dasi koki) sewarna biru lautan.
Langit Miami akan segera menggelap bertabur bintang, mengiringi kapal pesiar Blue Crystal kembali ke homeport-nya.
"Homesick already?" suara rendah lelaki paruh baya mengusik pendengaran Raka.
"Chef Faris," sapa pemuda itu saat melihat sosok familiar di belakangnya.
"Kepikiran rumah, ya?" lelaki sebangsa yang merupakan Chef Kepala pada main galley kapal pesiar sekaligus mentor kuliner Raka itu menyeletuk, membuat Raka tersenyum simpul.
"The person, not the place," jawab Raka.
"Oh, pacar?" tebak Chef Faris jitu mengenai sasaran. Raka menjawab dengan kekehan pendek.
"Tawaran saya untuk nyomblangin kamu dengan anak sulung saya masih berlaku lho, Raka," tawar Chef Faris dengan senyum jenakan. Raka semakin tertawa saraya menggelengkan kepala.
"Makasih, Chef. Tapi kayaknya dia nggak demen sama brondong deh," tolak Raka sopan.
"Ah, kamu aja yang nggak suka perawan tua, yakan? Hahahaa."
Raka memperhatikan bagaimana tawa mereka terbawa angin, menguap berpadu dengan deru mesin kapal raksasa.
"Its okay. Saya sudah nganggap kamu sebagai anak sendiri, dengan atau tanpa status menantu." Chef Faris menepuk pundak Raka dua kali, mantap. Pemuda itu merasakan emosi menyeruak di dadanya.
"Makasih, Chef ... sudah bimbing saya selama tiga setengah tahun terakhir," ucap Raka sungguh-sungguh. Chef Faris membalas kata-kata itu dengan senyum lebar.
"My pleasure, Chef Raka." Nada suara lelaki itu ditekan pada kata terakhir, 'Chef' dan 'Raka', gelar yang tersemat pada nama sous chef muda yang selama ini telah susah payah diraihnya. Chef Faris menyerahkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah cravat berwarna merah.
"Kamu akan menjadi Chef yang hebat, Raka. I can feel it, in my gut!" Chef Faris menepuk perut buncitnya dengan satu tangan bebas.
Raka menerima hadiah perpisahan itu dengan pandangan haru.
"Chef yakin nggak lagi laper, kan?" Raka menyeletuk, bersambut dengan tawa mereka, lagi.
Petang terakhir di atas Blue Crystal mencetak memori mendalam pada ingatan Raka. Seumur hidup akan diingatnya Faris Santosa dan berbagai jasa serta teriakannya di dapur, yang mencetak Raka menjadi pribadi begini kokoh.
Satu hal yang masih menggerogoti nurani Raka adalah perasaan rindu dan rasa bersalah yang dapat tercecap di ujung lidah, bercampur takut, khawatir, harap-harap cemas, serta excited. Nano-nano menjadi satu.
Dalam beberapa hari, setelah kapalnya bersandar dan penerbangan udara membawanya kembali ke tanah air, ia akan berhadapan dengan gadis yang ditinggalkannya tanpa jejak sejak tiga tahun yang lalu. Elizabeth Moelyadi.
____
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro